Moon Lovers: Scarlet Heart
Chapter 1
Genre : Drama, Romance, Fantasy, Historical (?)
Disclaimer: Cerita ini milik penulis, sutradara, serta produser drama korea "Moon Lovers Scarlet Heart: Ryeo" dan SBS. Semua karakter Inuyasha milik Rumiko Takahashi, saya hanya meminjam nama mereka. Saya tidak mengambil keuntungan dari penulisan cerita ini, tulisan ini hanya sebagai hiburan semata.
Warn! Typo(s) ‖ OOC ‖ AU ‖ diksi tidak tepat ‖ dll.
Rating : M
Remake! : Emma Griselda ‖ Beta Reader: Sky Yuu
The love between me and him was so strong and sorrow
And it was dangerous
That was like cactus that hurts each other
As we get close to each other
Now I know, too deep love could bring a sad ending on the contrary
Di sebuah tebing yang di dekatnya terdapat sebuah danau, terlihat ramai oleh pengunjung yang sedang asyik menikmati liburan musim panas. Ramainya suasana di objek wisata tersebut tak bisa lagi dipungkiri, terlihat banyak pengunjung yang berlalu lalang kesana kemari menikmati liburan dengan menaiki perahu, bermain bersama keluarga ataupun orang terkasih, bahkan ada pula yang hanya melakukan piknik di tepi danau.
Seorang wanita membuka kotak make up kecil dari sling bag yang berada di dekatnya. Cermin kecil yang berada di kotak make up tersebut memantulkan sudut bibirnya yang terluka dan meninggalkan noda darah. Wajah wanita itu lusuh, surainya tidak tertata rapi, berantakan. Ia memasukkan kotak make up-nya ke dalam sling bag kembali. Dengan frustrasi ia menenggak sebotol sake yang telah ia bawa sambil duduk di tepi danau. Wanita itu begitu menikmati sake yang ditenggaknya, semua bebannya terasa kembali ringan saat ia menikmati sebotol sake yang hanya tersisa setengah saja.
Pandangannya teralihkan pada seorang pria yang duduk tak jauh darinya. Penampilan pria yang menyerupai seorang tuna wisma dengan beberapa tas jinjing di tangannya itu, terus menatap botol sake yang berada dalam genggaman wanita yang berusia kurang lebih dua puluh lima tahun tersebut. Pria itu juga menginginkan sake yang diminum oleh wanita itu. Menyadari bahwa pria tuna wisma tersebut menginginkan sake darinya, akhirnya wanita itu memberikan sebotol sake-nya pada si pria yang terlihat sudah berusia lebih dari empat puluh tahun. Pria tersebut tersenyum lebar dengan menampilkan sederet giginya yang rapi pada wanita itu ketika ia memberikan sebotol sake tersebut padanya. Pria itu tak segera menerima pemberian wanita itu, ragu-ragu. Wanita besurai hitam acak-acakan itu menyakinkan bahwa sebotol sake itu dia berikan pada pria itu dengan tulus.
Pria itu kembali tersenyum. Ia bangkit dan segera menyambar sebotol sake itu layaknya ikan yang menyambar umpan di kail pancing. Pria itu langsung duduk setelah mendapati sake di tangannya, segera menenggak layaknya ketakutan orang lain akan merampas sake itu darinya. Pria itu duduk di samping wanita itu dengan tenang sambil menikmati sebotol sake. Wanita itu memperhatikan pria yang duduk di sampingnya itu keheranan.
Wanita itu menerawang ke depan, pikirannya bergelung di kepalanya, "Tuan," panggilnya pada pria yang duduk di sampingnya, "pernahkah kau ingin tidur selama seratus atau seribu tahun lebih? Semuanya selalu tak ada yang beres dan segalanya itu menjadi kacau, bahkan kau tidak melihat adanya harapan untuk menjadi lebih baik. Kau memberitahu dirimu sendiri bahwa, 'Aku yakin semuanya berjalan dengan baik', tapi kemudian hal lainnya berubah menjadi kacau." Lanjutnya.
Wanita itu mendesah, "Lebih baik aku tidur dan tidak pernah bangun lagi. Aku ingin melupakan segalanya, tapi tidak berhasil."
Laki-laki yang berada di sampingnya hanya menggeser posisi duduknya dan kembali menenggak sake dengan tenang. Wanita itu mengalihkan pandangannya ke arah danau, dengan tatapan nanar dan pikiran yang kosong.
"Aku ingin melupakan segalanya, tapi ini tidak berhasil." Wanita itu berusaha untuk mencegah agar air mata yang berada di pelupuknya tak membasahi pipinya yang lembut.
"Si brengsek itu yang meninggalkanku dengan tumpukan hutang, sedangkan si jalang itu menipuku dan kabur dengannya. Astaga ..." Wanita itu berdecak tak percaya ketika dirinya yang begitu mudahnya dimanfaatkan oleh orang lain, "Aku seharusnya tidak mudah percaya dengan orang," lanjutnya dengan mata yang berkaca-kaca. Ia menyesal karena mudah mempercayai sembarang orang.
Air mata yang sudah susah payah ia bendung akhirnya membasahi pipinya. Wanita itu menoleh pada pria itu.
"Tuan, kau tahu itu? Kupikir jika aku tidak berubah," wanita itu terdiam sesaat, "maka orang yang kupercayai dan kusukai tidak akan berubah juga. Tapi, ternyata aku salah. Bagaimana bisa hidupku berubah seperti ini?"
Wanita itu menangis tersedu-sedu dan membenamkan kepalanya dalam kedua kakinya yang ditekuk. Pria yang diajak berbicara oleh wanita itu nampaknya mulai merasakan kantuk, ia menata tas yang ia bawa untuk ia jadikan sebagai bantal untuk tidur.
"Hidupmu tidak bisa berubah, hanya karena kau menginginkannya," jawab pria itu dengan menutup botol sake yang masih sisa sedikit. Ia sibuk mencari tempat yang tersisa dari tas jinjingnya untuk menyimpan sisa sake, "mungkin bila kau mati dan hidup kembali." Lanjut pria itu dengan entengnya, lalu membaringkan tubuhnya dengan tas jinjing yang ia bawa sebagai bantal.
Wanita itu bingung dengan maksud perkataan yang baru dilontarkan oleh laki-laki tersebut.
"Apa?" tanyanya untuk meyakinkan pendengarannya dan menuntut jawaban lebih dari sesosok laki-laki itu.
Pria itu tidak memberikan respon, ia justru tidur. Bukannya menjadi lebih tenang, wanita itu bingung memikirkan maksud perkataan yang baru saja dilontarkan oleh pria yang ada di sampingnya. Ia menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya sendiri yang mulai depresi sambil menepuk dadanya.
Perhatiannya beralih pada jembatan yang ada tepat di depannya. Ia melihat seorang anak kecil menjulurkan kakinya dari jembatan untuk menaiki sebuah perahu yang tertambat di dekatnya. Wanita besurai hitam itu mengabaikan pemandangan itu, mencoba mengabaikan semuanyanya. Surainya tertiup angin dan ia kembali mendesah untuk menenangkan pikirannya yang sedang kacau. Ia menutup matanya dan mengusap air mata yang membasahi pipi halusnya dengan kasar.
Wanita itu kembali menarik napas panjang dan mengalihkan pandangannya pada anak kecil yang mencoba menaiki perahu yang tertambat di dekat jembatan. Anak kecil itu sudah tak berada di tempat semula, ia mengedarkan pandangannya ke danau, kemudian kembali pada jembatan tempat anak laki-laki yang berusia kurang lebih lima tahun itu menjulurkan kakinya.
Anak kecil yang dicari oleh wanita itu sudah berada di tengah danau, tenggelam. Namun, tubuh mungilnya tidak mau menyerah begitu saja. Wanita yang mempunyai bekas luka di sudut bibirnya bangkit, matanya melotot tak percaya melihat anak kecil yang berada di tengah danau.
"Oh tidak!"
Wanita itu panik. Ia kebingungan, "Hei, tuan!" panggilnya pada laki-laki yang berada di sampingnya, berusaha mencari bantuan untuk menolong anak kecil yang tidak bisa berenang itu supaya tidak tenggelam.
Pria itu tak mendengar panggilan dari wanita yang sudah panik dari tadi. Wanita itu semakin panik.
"Tidak," ucapnya panik sambil terus mengawasi anak itu, ia membalikkan badan berusaha mengabaikan anak itu, "Tidak, tidak. Aku yakin ada orang lain yang melihat," ucapnya menenangkan dirinya sambil mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, tapi tak ada satu pun orang yang memperhatikan anak tenggelam itu.
Kecemasan wanita itu mulai memuncak, "Pada saat aku masuk ke sana, orang lain pasti akan menyelamatkannya," ia menutup kedua telinganya, mencoba mengabaikan hal itu.
"Kagome, kau tidak perlu menolongnya. Tidak, kau tidak perlu," ia mencoba menenangkan dirinya yang sudah dikuasai oleh kecemasan, "bahkan bila kau tidak, orang lain akan ..."
"Astaga! Kenapa aku lagi?" teriaknya kesal dengan berlari ke arah danau.
Kagome rasanya ingin merutuk dirinya yang terlalu mempedulikan orang lain daripada dirinya sendiri. Ia bingung kenapa harus dirinya lagi yang terlibat dan mengorbankan nyawanya dengan melompat ke danau demi menolong si anak.
Byuuurrrrr
Tubuh Kagome seketika basah oleh air danau, kemeja putih lengan panjang serta cardigan yang dikenakannya sedikit terangkat ketika tekanan dari dalam danau itu menyambutnya. Pria tuna wisma itu membuka matanya perlahan ketika mendengar suara yang sedikit ramai. Orang tua dari anak kecil itu mulai panik setelah mendengar suara seseorang menceburkan dirinya ke dalam danau, berusaha menyelamatkan anak kecil itu.
"Sōta!" teriak seorang ibu pada suaminya, menyadari anaknya yang sudah berada di tengah danau, "Sayang, ini Sōta kita!" wanita itu panik.
"Sōta! Sōta!" teriak ibu itu dengan panik.
"Sōta, tunggu!" sang ayah langsung bergegas menaiki sebuah perahu yang tertambat di dekat jembatan.
Kagome terus berenang mendekat ke arah anak itu. Pria tuna wisma itu melihat sepasang sepatu Kagome yang tertinggal di sampingnya. Ia mengalihkan pandangannya ke langit yang perlahan mulai meredup. Tebing yang mengelilingi danau itu tenggelam dalam bayangan. Gerhana matahari.
Ayah dari anak kecil itu mencoba untuk menaikkan anaknya ke atas perahu dengan dibantu oleh Kagome. Kagome mengatur irama pernapasannya agar stabil. Ayah dari anak kecil itu mencoba menolong Kagome dengan mengulurkan tangannya.
"Pegang tanganku," ujar sang ayah dari anak kecil itu dengan mengulurkan tangannya.
"Baiklah."
Kagome mencoba menggapai uluran tangan itu. Tiba-tiba matanya melotot. Tatapan mata Kagome tertuju pada matahari yang secara perlahan mulai tertutupi oleh gerhana.
"Berpeganglah padaku. Tahan!" Laki-laki itu memperingatkan Kagome.
Kagome tertarik ke dalam danau. Layaknya kekuatan gaib menariknya dari dalam. Kagome mencoba untuk berenang, semakin mencoba ia bergerak, tubuhnya justru semakin tertarik jauh ke dalam danau. Ketika tubuhnya semakin tertarik ke dalam, cahaya matahari mulai tak terlihat lagi oleh Kagome. Air berusaha memasuki area matanya dengan paksa.
Kala matahari hampir secara penuh ditutupi oleh gerhana, ketika tubuh Kagome sudah tak mampu untuk berkutik akan tarikan yang begitu kuat dari dalam, potongan-potongan kenangan menyakitkan yang dimiliki oleh Kagome kembali terputar dengan jelas. Layaknya sebuah film yang biasa ia saksikan saat di bioskop. Kenangan ketika kekasihnya mencium wanita lain yang lokasinya tak jauh dari tempat Kagome berdiri, ia hanya mampu diam, lalu ketika ia menampar wanita yang sudah megkhianatinya.
Bagaimana bisa kau lakukan ini padaku?
Pertanyaan itu terlintas di kepalanya. Wanita yang tadinya Kagome tampar tak terima dan balik menamparnya. Menjambak surai hitamnya yang panjang, dan berkelahi layaknya anak kecil yang berebut mainan.
Bagaimana bisa kau lakukan ini padaku?
Tubuh Kagome sudah tak berdaya dan semakin jatuh ke dalam. Kenangan masa lalunya kembali berputar. Ketika laki-laki yang ia cintai datang padanya, Kagome tengah bertengkar dengan Hana —wanita yang mengkhianatinya. Pada awalnya, Kagome mengira bahwa laki-laki itu akan melerai dan membelanya, nyatanya dugaannya salah. Laki-laki yang selama ini ia cintai sepenuh hati —Yamato— malah balik menyerangnya. Yamato mendorongnya hingga nyaris terjatuh.
"Kau gila?" teriak Yamato padanya, marah.
Kagome mulai menutup matanya perlahan, dan membuka kembali saat kenangan buruk ibu-ibu berlari mengejarnya untuk menagih hutang yang tak pernah ia lakukan. Umpatan-umpatan kekesalan ibu-ibu itu melayang padanya. Kagome hanya mampu berlari tanpa memperhatikan penampilannya kembali, ia hanya berlari sekuat tenaga. Napasnya yang mulai tak beraturan pun menambah sesak dadanya, ia ketakutan menghadapi para ibu yang marah membabi buta itu, sekali lagi Kagome hanya berusaha menghindari kejaran.
Tubuh Kagome semakin tertarik ke dalam danau. Tak ada seorang pun yang berusaha menolongnya. Kekuatan gaib sepertinya bersekokongkol dengan semuanya. Perlahan mata Kagome mulai menutup dan di saat yang bersamaan, gerhana matahari total terjadi. Gelap. Gerhana matahari total itu menarik tubuh Kagome ke dalamnya.
—o0o—
Ketika gerhana secara perlahan mulai meninggalkan matahari, terlihat seorang penunggang kuda yang sedang memacu kudanya diikuti dengan sekelompok orang di belakangnya. Haori-nya terombang-ambing mengikuti gerakan tubuh si pemakai. Si penunggang kuda beserta beberapa orang yang berada di belakangnya tengah menuju Heian-kyō. Setengah wajah dari si penunggang kuda yang berada di paling depan tertutupi oleh topeng dan tatapan mata yang tajam.
Ia dan rombongannya yang memakai montsuki dengan hakama serta haori berwarna hitam itu menghentikan langkah perjalanannya sejenak, melanjutkan perjalanannya kembali ketika matahari bersinar seperti sedia kala. Mereka memacu kudanya dengan cepat menapaki jalan yang masih menyisakan salju.
Di sebuah pasar banyak orang berlalu lalang. Keramaian pasar dapat didengar dengan jelas ketika para penjual menawarkan dagangannya pada para pembeli, sebaliknya, para pembeli sibuk menawar harga yang diberikan oleh penjual.
"Itu anjing-serigala! Anjing-serigala!" teriak para warga yang melihat segerombol orang mengenakan montsuki dengan hakama beserta haori berwarna hitam sedang mengendarai kuda.
Debu mulai menutupi pemandangan. Orang-orang sibuk berhamburan dengan heboh hanya untuk menghindari segerombolan orang yang mengenakan montsuki dengan hakama beserta haori berwarna hitam mengendari kuda. Raut wajah-wajah ketakutan dapat dilihat dengan jelas pada wajah para warga yang berada di pasar. Semua menyembunyikan pandangan mereka dari orang yang mereka juluki "anjing-serigala" tersebut.
Terlihat seorang pemuda yang penasaran tentang siapa laki-laki yang dijuluki sebagai "anjing-serigala" itu, mencoba melihat orang tersebut dengan sembunyi-sembunyi.
"Anjing-serigala," gumam pemuda itu sambil bersembunyi di balik meja yang tertutup oleh selendang yang tembus pandang.
Pandangan orang yang dijuluki sebagai "anjing-serigala" itu teralihkan pada sebuah tusuk surai cantik yang terjajar dengan rapi yang dijual oleh salah satu pedagang.
—o0o—
Istana Damiwon
Di sebuah pemandian kerajaan, pangeran ke-10, Kōga, yang memakai ikat kepala terlihat sangat bahagia.
"Cepat, ayo pergi!" teriak Kōga antusias untuk mengajak adiknya, Inuyasha. Ia langsung melompat begitu saja.
"Uwaaa!" senyuman manis terpancar dari wajahnya.
Melihat kakaknya yang begitu menikmati kolam air panas yang tersedia di pemandian kerajaan, pangeran ke-14 langsung membuka bajunya. Otot perutnya terlihat dengan jelas, dan ia juga memperlihatkan otot lengannya dengan bangga, barulah ia melompat menyusul sang kakak.
"Baiklah, aku datang," jawab Inuyasha sambil melompat.
Kedua pangeran ini masuk ke dalam kolam air panas sambil bermain-main riang. Tawa canda mereka menghiasi wajah mereka.
"Inuyasha," panggil Pangeran Kōga, bermain-main dengan riangnya di kolam air panas. Kepulan uap dari air hangat itu tak menghalangi tingkah konyol mereka.
"Aniki," Inuyasha mengikuti ke arah mana pun yang diambil oleh kakaknya, Pangeran Kōga.
Tak jauh dari lokasi kolam air panas, terlihat seorang pangeran yang memilih duduk sambil minum sake, untuk sekedar mengawasi kedua adiknya yang bertingkah seperti anak kecil itu. Wajah angkuh pangeran ke-3, Naraku, terlihat dengan jelas bagaimana cara ia menatap orang lain. Lirikan matanya yang tak kalah tajam dari orang yang dijuluki "anjing-serigala".
Datanglah pangeran ketiga belas, Miroku, mengenakan haori hitam tipisnya dengan langkah yang mempesona menuju lokasi pemandian kerajaan. Dari arah yang berlawanan, salah satu pangeran datang ke lokasi yang sama dengan menuruni anak tangga, memperlihatkan badannya yang setengah terbuka. Pangeran kedelapan membenahi jubahnya dengan memakainya secara penuh. Tepat di depan Pangeran Naraku, pangeran kesembilan, Bankotsu, sedang sibuk melatih otot-otot tubuhnya dengan melakukan gerakan pull-up di kolam.
"Aniki, rasakan ini. Kau lihat definisi di sini?" pintanya pada Pangeran Naraku untuk memegang otot bagian lengan yang sudah sangat keras.
Pangeran Naraku hanya tersenyum simpul melihat tingkah Pangeran Bankotsu. Senyum simpul meremehkan sang adik, ia kembali menenggak segelas sake yang tersedia di dekat mejanya, otot-otot bagian perutnya terlihat karena haori yang ia kenakan, sengaja tidak dikaitkan talinya.
"Inuyasha, aku akan pergi sekarang!" teriak Pangeran Kōga meninggalkan Inuyasha yang masih menikmati air hangat.
Pangeran Kōga berlari ke arah kolam yang berada tepat di depan Pangeran Naraku duduk.
"Aniki, tunggu aku!" teriak Pangeran Inuyasha. Ia bangkit dan mengikuti sang kakak, Kōga.
"Aniki!" Pangeran Inuyasha kembali berteriak.
Pangeran Kōga tidak menggubris apa yang dikatakan oleh Pangeran Inuyasha, ia terus berjalan. Tak berselang lama, ia menghentikan langkah kakinya, menghampiri Pangeran Inuyasha dan membuat tanda dengan gerakan telunjuk tangan yang ditempelkan tepat dibibirnya. Pangeran Kōga ingin Pangeran Inuyasha diam, dan Pangeran Inuyasha menurut. Dua pangeran yang bertingkah seperti anak kecil itu masuk ke dalam kolam yang bertabur penuh dengan kelopak bunga mawar perlahan. Kepuasan nampak jelas di wajahnya.
Seorang pelayan yang bertugas menuangkan minuman di gelas kecil tak sengaja mengenai tangan Pangeran Naraku. Pangeran ketiga itu langsung mengalihkan pandangannya pada jari telunjuknya yang tersiram minumannya walaupun hanya sedikit. Ia langsung menatap tajam pada pelayan yang bertugas, mengangkat tangan untuk memukul pelayan yang lalai dalam melaksanakan tugas. Saat hendak memukul pelayan itu, Pangeran kedelapan mengalihkan perhatiannya dengan memanggilnya.
"Aniki!" panggil pangeran kedelapan, Pangeran Hōjō.
"Apakah saudara keempat kita belum tiba di sini? Dia harus mandi, jika dia akan menghadiri ritual keagamaan," lanjut Pangeran Hōjō.
"Apakah dia pernah melakukan kegiatan seperti yang kita lakukan?" Pangeran Naraku menanggapinya dengan pedas, "Tak perlu repot memikirkannya. Itu bisa membuat sakit kepala saja!" lanjutnya dengan menuangkan minumannya dari teko yang berada di sampingnya. Pelayan yang tadi sempat akan dipukul oleh Pangeran Naraku berpamitan dengan mengambil langkah mundur.
"Bukankah kau tahu sendiri Hōjō itu seperti apa? Dia selalu mencemaskan orang lain," sahut Pangeran Bankotsu pada Pangeran Naraku.
Pangeran Hōjō tersenyum manis mendengar apa yang baru dilontarkan oleh adiknya, ia memasuki kolam bertabur bunga mawar itu perlahan.
"Hanya Sesshōmaru yang lahir di tahun yang sama denganku. Setidaknya aku harus peduli terhadapnya," jawab Pangeran Hōjō dengan tersenyum.
"Ini pertama kalinya Sesshōmaru aniki akan menghadiri ritual keagamaan, 'kan? Aku ingin tahu apakah Yang Mulia mempunyai alasan tertentu menyuruh dia datang," Pangeran Miroku berjalan mendekat dengan merentangkan kedua tangannya untuk beberapa waktu, kemudian ia melepaskan haori-nya dan memperlihatkan badannya yang tak kalah berotot dengan saudara-saudaranya yang lain.
Pangeran Miroku berjalan mendekat ke arah dua pelayan yang berdiri berjaga di dekat pintu sambil membungkukkan badannya. Ia mendekat pada dua pelayan itu.
"Gunakan uap saat mencucinya, jangan sampai keriput," pintanya pada kedua pelayan itu dengan mengumbar senyum manisnya.
Dua pelayan yang baru saja diberikan tugas oleh Pangeran Miroku itu berjalan mundur dengan posisi kepala tetap menunduk. Pangeran Miroku memasuki kolam yang penuh dengan kelopak bunga itu dengan tersenyum.
"Miroku!" panggil Pangeran Kōga.
"Apakah kau dengar bahwa saudara keempat kita telah membantai keluarganya di Asuka?" tanya Pangeran Kōga, Pangeran Naraku yang mendengar langsung mengalihkan perhatiannya, "mereka bilang itu sangat brutal, dia seperti serigala pembunuh manusia," lanjut Pangeran Kōga dengan menirukan lolongan suara serigala.
"Kau tidak boleh mempercayai rumor seperti itu. Semua penjahat di negara ini bahkan tidak membahas hal-hal seperti itu," komentar Pangeran Miroku yang tak mempercayai rumor tak berdasar.
"Semua pengunjung dari Asuka mengatakan begitu. Rumor itu pasti benar," jawab Pangeran Kōga dengan yakin.
Pangeran Inuyasha melatih otot-otot tubuhnya seperti yang dilakukan oleh Pangeran Bankotsu tadi. Pangeran Hōjō mengalihkan perhatiannya pada adiknya yang mulai berdebat mengenai rumor pangeran keempat, Sesshōmaru.
"Itu hanyalah rumor," sahut Pangeran Inuyasha, "bagaimana dia bisa mengalahkan pemerintah sendirian? Bagaimana dengan tentara setempat? Bahkan keterampilan seni bela diri belum tentu berhasil. Lagipula, Sesshōmaru aniki tidak pernah memiliki guru yang mengajarinya seni bela diri," jelas Pangeran Inuyasha panjang lebar.
Pangeran Kōga menatap pangeran Inuyasha dengan wajah yang serius, " Inuyasha, kau dan Sesshōmaru memiliki ibu yang sama. Kau tidak pernah tahu kapan kau akan berubah menjadi serigala," ejek Pangeran Kōga menutup kedua matanya, kembali menirukan lolongan seekor serigala.
Inuyasha yang tak mau kalah dari kakaknya yang bersikap sedikit merendahkannya itu, dengan menirukan suara anjing yang menggonggong pada tuannya dan memberikan cakaran pada tangannya.
Pangeran Naraku membanting gelas, "Tutup mulutmu!" bentaknya.
Pangeran Inuyasha dan juga Pangeran Kōga mengalihkan pandangannya pada Pangeran Naraku dengan sedikit ketakutan.
"Lalu, aku juga lahir dari rahim yang sama dengan saudara keempat kita. Apakah aku juga bukan manusia?" tanyanya dengan nada kesal, tatapan Pangeran Naraku menuntut jawaban Pangeran Kōga.
Hening.
Semuanya terdiam, tak ada yang berani menjawab pertanyaan Pangeran Naraku.
Pangeran Hōjō menghembuskan napas, "Leluconnya terlalu keras." Pangeran Hōjō mencoba menenangkan kakaknya yang mulai naik darah. Pangeran Kōga dan juga Pangeran Inuyasha menenggelamkan kepala mereka ke dalam kolam secara perlahan, ketakutan akan murka Pangeran Naraku.
"Aku akan berbicara dengannya nanti. Tolong jangan diambil hati," lanjut Pangeran Hōjō.
"Pangeran keempat akan kembali ke Asuka setelah ritual keagamaan berakhir. Jika Raja mendengar omong kosong ini, maka aku takkan diam saja. Apa kalian mengerti?" tegas Pangeran Naraku memperingatkan pada adik-adiknya.
Tatapan matanya yang tajam beredar melihat satu per satu wajah adik-adiknya. Kembali hening. Mereka mengalihkan pandangannya dari tatapan tajam Pangeran Naraku.
"Aniki, haruskah kita membuat taruhan pada siapa yang bisa mengapung paling lama di air? Ayo kita pergi ke kolam luar!" ajak Pangeran Kōga, ia kemudian berlari ke kolam air panas.
"Kōga, cukup! Aku bilang berhenti!" teriak Pangeran Hōjō mencoba menghentikan adiknya.
Pangeran Kōga nampaknya tidak mengindahkan peringatan yang diberikan oleh sang kakak. Ia terus berlari ke kolam air panas.
Byuuurrrrr
Pangeran Inuyasha dan Pangeran Miroku bangkit, mengalihkan pandangannya pada Pangeran Kōga yang baru saja menikmati pemandian kolam air panas.
"Aniki, jika kau memberiku satu kesempatan, aku bisa membuatnya untuk diam agar ia tak cari masalah lagi," pinta Pangeran Inuyasha pada Pangeran Hōjō.
"Sudah, tak apa-apa," jawab Pangeran Hōjō.
Mendengar jawaban dari sang kakak, Pangeran Inuyasha cembrut. Membuat ekspresi lucu di wajahnya.
"Aniki! Cepat kemari!" teriak Pangeran Kōga mengajak para pangeran yang lain untuk ikut bergabung dengannya di kolam air panas.
Pangeran lainnya hanya menanggapi dengan senyuman atas ajakan Pangeran Kōga tersebut.
"Inuyasha! Datanglah sekarang!"
Tepat setelah Pangeran Kōga menceburkan dirinya kembali ke kolam air panas, muncullah seorang wanita dari dalam kolam secara tiba-tiba. Wanita itu mengenakan pakaian tradisional —kimono— zaman Heian. Tidak ada yang langsung menyadari kehadiran wanita misterius itu. Ia terkseiap kaget seolah ia baru saja dari tidur dengan mimpi buruk yang terus mengejarnya.
Wanita itu bangkit, menutup matanya. Menghapus air dari kolam hangat yang bersaing untuk memasuki matanya. Wanita itu membuka matanya perlahan, mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat yang terasa asing untuknya. Sebuah tempat yang sekelilingnya dipenuhi dengan uap.
"Tempat apa ini?" batin wanita misterius itu —Kagome, "ah, aku pasti masih hidup. Syukurlah, benar-benar melegakan," Kagome menghembuskan napas lega sambil memegang dadanya.
Pangeran Kōga berenang mundur, merasakan ada sesuatu yang mencoba menghalanginya. Kepalanya merasakan terbentur sesuatu. Pangeran Kōga membalikkan badannya. Di saat yang sama, Kagome yang berdiri itu juga membalikkan badannya.
"AAAAHHHHH!" Pangeran Kōga maupun Kagome sama-sama menjerit dengan keras karena kaget.
Pangeran Kōga dengan refleks berenang ke belakang, "Hei, kau ... kau ..." Pangeran Kōga tak mampu melanjutkan kata-katanya. Para pangeran lainnya berpaling ke arah mereka dan sama-sama terkejut melihat kehadiran seorang wanita di kolam pemandian kerajaan.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dengan mata melotot dan menuding wanita misterius —Kagome— yang muncul secara tiba-tiba dari dalam kolam air panas.
Kagome melotot pada Pangeran Kōga. Surai hitamnya yang panjang itu basah.
"Kenapa ada wanita di sini ..." tanyanya tak percaya melihat sesosok wanita yang berada di depannya.
"Aniki! Aniki!" teriak Pangeran Kōga memanggil pangeran yang lain. Wajah Kagome terlihat panik dan kebingungan sendiri melihat sekeliling tempat yang terasa asing beserta orang-orang yang tak dikenalinya itu.
"Aniki! Aniki! Aniki!" teriak Pangeran Kōga sambil mencoba berlari menaiki tangga untuk menuju kolam yang bertabur bunga. Ia mencoba memberitahukan kehadiran wanita itu kepada saudara-saudaranya dengan teriakan karena ada seorang gadis yang mencoba untuk mengintip para pangeran yang sedang mandi untuk ritual.
Sementara Kagome kebingungan sendiri, Pangeran Hōjō terlihat lebih kaget mendapati seorang wanita yang berada di kolam hangat. Akhirnya, Kagome beradu tatap dengan seorang wanita yang terlihat seperti seorang pelayan bersembunyi di balik bebatuan di dekat kolam hangat.
Pelayan itu mengisyarakatkan pada wanita misterius tersebut untuk segera keluar dari kolam air panas sambil berbisik memanggilnya, "Hime-sama, hime-sama ..."
"Aku?" tanya Kagome. Ia kebingungan kenapa seorang pelayan memanggilnya, kenapa ia harus dipanggil dengan sebutan "hime-sama".
"Apa ini?" ujar Pangeran Inuyasha tak percaya, "Aniki, aniki!" teriaknya menuding ke arah wanita misterius —Kagome. Pangeran Bankotsu berlari ke arah Pangeran Inuyasha, untuk melihat lebih dekat.
"Ini seorang gadis!" teriak Pangeran Inuyasha.
Mendengar teriakan dari Pangeran Inuyasha, wanita itu menoleh. Sedangkan pelayan wanita yang bersembunyi di balik bebatuan terus memanggil Kagome yang basah kuyup itu untuk segera keluar dari situ.
"Hime-sama!" bisik pelayan wanita yang bersembunyi di balik bebatuan yang surainya diikat dengan rapi
"Apa ada orang di sana?" teriak Pangeran Naraku marah setelah melihat seorang wanita tak dikenal berada di kolam. Ia memanggil para pengawal yang berjaga di luar untuk menangkap Kagome.
Mendengar itu, Kagome langsung berusaha melarikan diri dari tempat asing yang dipenuhi oleh kepulan uap. Ia berusaha berlari secepat yang ia bisa untuk menghampiri pelayan yang bersembunyi di balik bebatuan. Ia ketakutan.
"Hei, berhenti di situ!" teriak Pangeran Kōga memperingatkan. Karena Kagome tidak mengindahkan peringatannya, Pangeran Kōga langsung berlari dan menceburkan diri ke dalam kolam air panas, berniat untuk memburunya.
"Kau berani memata-matai para pangeran?" teriak Pangeran Kōga yang terjatuh berkali-kali saat hendak mengejar Kagome.
Pangeran lainnya nampaknya tidak ada yang mengenali wajah Kagome yang muncul secara tiba-tiba dari dalam kolam air panas. Kagome berhasil melarikan diri dengan melewati jalan setapak yang berada di dekat bebatuan itu.
"Kimiko ..." gumam Pangeran Hōjō melihat kepergian wanita misterius itu
Kagome terus ditarik oleh seorang pelayan wanita yang tak dikenalnya memasuki sebuah gua untuk segera pergi.
"Apa yang kita lakukan sekarang? Kau dalam masalah," gerutu pelayan wanita itu, "cepat hime-sama. Kita harus pergi," lanjut pelayan itu sambil terus menyeret Kagome.
Pelayan itu melihat wanita misterius yang bernama Kimiko menghentikan langkah kakinya, ia memegang kepalanya. "Sekarang bukan waktunya untuk melakukan ini. Cepat!" protes pelayan itu.
"Apa yang akan kita lakukan?" tanya pelayan itu dengan cerewet pada Kagome, hingga akhirnya mereka keluar dari gua yang menghubungkan antara pemandian terbesar di Heian-kyō dan pemandian khusus pangeran di istana.
Kagome semakin merasa sakit kepala mendengar ocehan dari pelayan wanita yang tidak dimengertinya, pelayan itu terus menyeretnya tanpa memperhatikan keadaannya.
"Kau tidak keluar begitu lama. Aku tahu pasti ada sesuatu yang salah. Para pangeran sudah mulai mandi, aku bahkan tidak bisa pergi mencarimu. Ini gila! Ayo cepat! Ayo pergi!" pelayan wanita itu terus menyeret Kagome, tanpa memperhatikan Kagome yang dari tadi kebingungan ke mana mereka akan pergi. Kagome tidak bisa fokus karena kondisi jalanan yang mereka lalui dipenuhi dengan bebatuan.
Pelayan wanita itu menghentikan langkah kakinya, menoleh ke arah wanita yang terus diseretnya melewati jalan yang penuh bebatuan, "Ah, kau baik-baik saja 'kan, hime-sama?"
Kagome mengambil napas dengan perlahan, oksigen terasa berat untuk dihirupnya. Ia menatap wanita yang berada di hadapannya dengan seksama.
"Hime-sama? Pangeran? Ini aneh. Bagaimana bisa aku berakhir di sini?" batin Kagome kebingungan.
"Ayo!" ajak pelayan wanita itu besurai panjang yang diikat rapi.
"Tunggu," jawab Kagome, surainya yang berwarna hitam itu mulai mengering. Ia memegangi kepalanya kembali.
"Aku ..." wanita misterius itu mendesah, terasa berat, "kau mengenalku?" tanyanya dengan terengah-engah.
"Apa?" respon yang refleks ditunjukkan oleh pelayan itu. Ia keheranan melihat sifat aneh yang ditunjukkan oleh hime-sama. Namun, ekspresi yang tergambar dengan jelas di wajah sang hime tidak berbohong. Nampaknya, sang hime benar-benar lupa dengan tempat apa itu.
"Ini tidak terlihat seperti danau. Apa yang aku lakukan di sini?" Kagome kembali bertanya, kimono berlapisnya serta jubahnya mulai menari karena angin.
"Hime-sama ..." rengek sang pelayan ketakutan, ia menatap ekspresi wajah sang hime dengan seksama, ia mendekatkan wajahnya pada wajah sang hime. Ia melakukannya berulang, namuan ekspresi itu tetap sama, "apa maksudmu, kau tidak tahu di mana ini? Ini area pemandian terbesar di Heian-kyō."
Kagome melihat ke sekeliling tempat itu dan semakin kaget melihat beberapa orang yang sedang mandi dengan memakai pakaian tradisional zaman Heian. Area pemandian itu dipenuhi dengan orang-orang yang sibuk membersihkan diri.
"Apa ini? aku benar-benar sudah meninggal. Jadi, tempat ini ..." batin Kagome dengan mengedarkan pandangannya sekeliling lalu tersenyum, "alam baka?"
Wanita yang mengenakan kimono berlapis dan jubah itu pun jatuh pingsan karena shock.
"Hime-sama!" teriak sang pelayan kebingungan. Orang yang berada di dekatnya langsung menoleh ke arahnya.
—o0o—
Istana Heian
Pangeran keempat, Sesshōmaru, bersama para pengawalnya yang keturunan dari keluarga Minamoto akhirnya telah tiba di depan gerbang Istana Heian. Para pengawal yang berada di depan gerbang langsung memberikan hormat pada Pangeran Sesshōmaru dan rombongannya. Pangeran Sesshōmaru mengangkat tangan kanannya ke atas, memberikan sebuah tanda untuk berhenti sejenak menunggu penjaga gerbang istana untuk membukakannya.
"Buka pintunya!" perintah seorang pengawal yang berdiri di samping gerbang utama istana.
Para penjaga gerbang istana kerajaan langsung membukakan gerbang utama untuk Pangeran Sesshōmaru. Pangeran Sesshōmaru membuka penutup kepala yang ada pada jubahnya.
"Saya tidak akan mengawal Anda lagi, Pangeran. Setelah ritual selesai, jangan menunda dan langsung kembali ke Asuka! Anda telah diadopsi oleh Keluarga Minamoto, berarti Anda juga adalah anggota dari keluarga Minamoto, jadi jangan lupakan itu. Tolong tegakkan nama keluarga kita di hadapan raja," ucap kepala pengawal yang merupakan anggota keluarga Minamoto panjang lebar pada Pangeran Sesshōmaru.
"Hmmph, kau bilang adopsi? Keluarga angkat? Kukira selama ini aku dijadikan sandera oleh kalian," sindir Pangeran Sesshōmaru dengan tersenyum sinis lalu memacu kudanya masuk ke dalam istana.
Pangeran Sesshōmaru masuk ke dalam istana seorang diri dengan menunggangi kudanya. Gerbang istana pun ditutup. Setelah memastikan Pangeran Sesshōmaru masuk ke dalam istana, kepala pengawal itu memacu kudanya untuk pergi meninggalkan area Istana Heian. Dengan sigap, Pangeran Sesshōmaru turun dari kuda yang ditungganginya dari Asuka menuju Istana Heian, berjalan mendekati salah satu pengawal istana yang berada tepat di hadapannya.
Tatapannya tajam, ia akhirnya mendengus kesal mengingat apa yang dikatakan oleh keluarga Minamoto beberapa waktu yang lalu. Ia kemudian kembali mendekati kudanya dan menarik pedangnya yang terikat pada pelana, mengangkat tinggi-tinggi pedang itu, dan langsung menebas seekor kuda yang ia tunggangi tadi.
Kaluarga Minamoto yang memutuskan untuk pulang ke Asuka, menghentikan langkahnya setelah mendengar jeritan suara kuda yang merintih kesakitan akibat ditebas oleh Pangeran Sesshōmaru. Noda darah terciprat ke wajah Pangeran Sesshōmaru yang tertutup oleh topeng di sebelah kiri dan juga noda darah itu yang ada di ujung pedang pun masih dapat tercium aroma anyirnya. Pedang itu terpantul oleh cahaya matahari, noda darah yang membekas perlahan menetes ke tanah. Semua pengawal istana yang melihat kejadian tersebut langsung melotot kaget atas apa yang dilakukan oleh Pangeran Sesshōmaru. Para pengawal istana yang menyaksikan kebengisan Pangeran Sesshōmaru, langsung gemetar ketakutan.
Seorang pria berdiri di atas benteng istana memandang Pangeran Sesshōmaru dan seekor kuda yang sudah terbaring tak bernyawa tepat di halaman istana. Pria itu memiliki wajah yang sama dengan seorang pria tuna wisma yang ditemui oleh Kagome di danau.
"Kau tidak dapat menggunakan pedangmu di dalam istana," seorang kepala pengawal istana memperingatkan Pangeran Sesshōmaru dengan gugup.
Sepatah kata pun tidak terucap dari bibir Pangeran Sesshōmaru. Dengan santainya, ia menyerahkan pedangnya pada kepala pengawal itu sambil menatapnya tajam.
"Haruskah saya siapkan kuda untuk kembali ke sana?" tanya kepala pengawal itu gugup —ketakutan.
Pangeran Sesshōmaru mendesah dan alisnya sebelah kanan terangkat, "Aku tidak akan kembali," jawab Pangeran Sesshōmaru.
Pangeran Sesshōmaru berjalan memasuki istana dengan menghapus noda darah yang masih menempel di wajahnya dengan kasar. Tatapannya yang tajam menghiasi wajah tampannya, kemudian ia melanjutkan langkah kakinya untuk memasuki area istana. Pria yang berdiri di atas benteng istana mengamati Pangeran Sesshōmaru dengan tajam. Pria itu adalah ahli perbintangan kekaisaran yang begitu dipercaya oleh kaisar. Setelah memasuki Gerbang Keselarasan Tertinggi, Pangeran Sesshōmaru menghentikan langkah kakinya, dan berdiri tepat di Balairung Utama.
"Aku tidak akan kembali. Tidak akan kubiarkan diriku kembali ke Asuka sebagai sandera," batin Pangeran Sesshōmaru sambil memandangi bangunan yang berada tepat di hadapannya —Balairung Utama. Surai panjangnya diikat dan ditusuk menggunakan tusuk surai khas para anggota keluarga kekaisaran berwarna perak sedikit terhempaskan oleh angin.
—o0o—
Kagome akhirnya terbangun. Perlahan, ia membuka kedua matanya. Pada awalnya, pandangannya kabur. Namun, lambat laun menjadi lebih jelas. Kagome mendapati dirinya di sebuah ranjang di tempat yang begitu asing untuk dirinya, semuanya terlihat kuno. Kepala Kagome diperban.
Uhukk uhukk uhukk
Seorang wanita mengenakan kimono khas aristokrat tengah duduk di kursi dekat ranjang Kimiko terbatuk-batuk. Wajah wanita itu pucat, sakit-sakitan. Ia duduk bersama seorang pelayan wanita —Kikyō, yang tadi menyeret sekaligus menolong Kagome— menunggu Kagome terbangun dari pingsan. Sekali lagi, Kagome mengerjapkan kedua matanya. Mungkin yang dilihatnya hanyalah ilusi, ia mencoba melihat wanita yang duduk di kursi itu lebih dekat agar ia bisa mengklarifikasi apakah yang dilihatnya sebuah ilusi atau bukan.
"Aargh!" Kagome merintih kesakitan saat hendak berdiri, rasa sakit yang ada di kepalanya terasanya berdenyut-denyut.
"Kimiko!" teriak wanita yang terbatuk-batuk itu dengan panik. Surainya tertata dengan rapi karena disanggul dan dibubuhi beberapa ornamen sederhana yang terlihat elegan. Wanita itu hendak berdiri dan dibantu oleh Kikyō untuk berjalan mendekat ke arah Kagome.
Kagome melepas perban yang melilit kepalanya. Ia melihat perban yang baru ia lepas dengan heran. Apa yang sebenarnya terjadi padanya, pikiran itu yang kini hinggap di kepalanya, Kikyō terlihat senang ketika mendapati Kagome sudah terbangun, ia tersenyum lebar.
"Akhirnya, Kimiko hime-sama terbangun juga," ucap Kikyō dengan riang.
Kagome terdiam, ia menatap pakaian tradisional yang dikenakan oleh dua orang yang berada di depannya. Kimono yang mereka kenakan sungguh berbeda, terlihat kuno namun anggun.
"Argh!"
Kagome kembali merasakan sakit pada kepalanya.
"Apakah kau masih merasakan sakit?" tanya wanita yang mengenakan kimono kaum aristokrat zaman Heian dengan khawatir.
"A-apa aku terluka parah?" tanya Kagome pada dua orang yang berada di hadapannya.
"Jangan bahas itu! Kau terjatuh begitu keras. Saya kira kepalamu akan pecah. Kau tahu betapa khawatirnya Ayumi-sama?"
Kagome menatap wanita yang dipanggil Ayumi-sama oleh pelayan itu.
"Kimiko ..." panggil Ayumi-sama.
"Maaf," potong Kagome, "Kenapa kalian selalu memanggilku Kimiko? Namaku Kagome Higurashi," terang Kagome. Dua wanita yang berada di hadapannya kebingungan mendengar penjelasan darinya.
"Apa?" tanya Ayumi-sama bingung.
"Kenapa kau memanggilku 'Kimiko' atau 'hime-sama'? Aku tidak mengerti kenapa aku dipanggil dengan sebutan itu," jawab Kagome kebingungan.
Ingatannya terputar begitu saja ketika ia selesai menjawab pertanyaan dari seorang wanita di hadapannya yang bernama Ayumi-sama. Ingatan ketika ia tenggelam di danau.
"Ah, benar. Aku sudah meninggal," katanya sambil tersenyum. Dia merasa konyol saat mengingat kenangan itu.
"Kau tidak meninggal. Kau hampir meninggal," ucap Kikyō mengklarifikasi.
"Aku tidak meninggal?" Kagome kaget mendengar pernyataan dari Kikyō. Lagi-lagi, dua orang yang berada di depannya kebingungan dengan maksud ucapannya. Kagome langsung mencubit dirinya sendiri, ia ingin mengetes apakah ia benar-benar sudah meninggal atau belum.
"Oh!" Kagome merintih kesakitan setelah mencubit lengannya sendiri. Ia mendapati dirinya memang belum meninggal dan tidak sedang bermimpi juga. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang terdapat furnitur tradisional. Kagome langsung bangkit, berlari keluar dari kamar dan tersentak kaget ketika melihat rumah itu adalah bangunan tradisional, rasa takut dan cemas menggerogotinya perlahan, ia langsung berlari menuju halaman dan tiba-tiba ia menghentikan langkah kakinya yang berlari tanpa mengenakan alas kaki. Ia melihat banyak pelayan yang sedang mengerjakan tugas masing-masing dan para pelayan yang sedang lewat langsung membungkuk memberikan hormat padanya.
Kagome mengedarkan pandangannya ke sisi kiri bangunan yang terletak dekat dengan ruangan yang digunakan ia beristirahat tadi. Pelayan yang melihat Kagome pun langsung membungkuk hormat. Ia membalikkan badan, menatap kembali bangunan tempat ia keluar beberapa saat yang lalu, kemudian ia memegang kepalanya dengan bingung. Napasnya tak beraturan, dan kepalanya kembali berdenyut. Ia menutup matanya sejenak, dan membuka kedua matanya lalu mengedarkan pandangannya ke semua pelayan yang sedang bekerja. Para pelayan yang melihat itu langsung kebingungan dengan sikap tuannya yang terlihat aneh.
"Ini bukan mimpi. Jika aku tidak meninggal, dimana aku?" batin Kagome kebingungan.
"Kimiko!" panggil Ayumi-sama keluar dari kamar dibantu oleh Kikyō untuk berjalan. Kagome membalikkan badan, melihat Ayumi-sama yang berjalan dengan susah payah dibantu oleh Kikyō.
"Kimiko!" Ayumi-sama memanggilnya lagi.
Kagome hanya terdiam dan merasakan napasnya sesak karena kebingungan. Ketakutan terasa mencekik lehernya perlahan.
"Panggilkan tabib istana sekarang!" perintah Ayumi-sama pada Kikyō khawatir.
"Ya," jawab Kikyō dengan patuh.
"Dimana tempat ini?" tanya Kagome panik, ia memegang kedua lengan Ayumi-sama dengan erat. Mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Kagome, Kikyō menghentikan langkahnya dan sedikit menoleh ke arah Kagome yang nampak kebingungan.
"Tidak, tidak ... Aku siapa?" Kagome kembali bertanya pada Ayumi-sama.
"Apa kau tidak bisa mengingat sama sekali? Namamu Kimiko, Ki-mi-ko. Aku sepupu keenammu, Ayumi." Terang Ayumi-sama, ia mengira Kagome tidak dapat mengingat sama sekali.
"Kimiko? Aku Kimiko?" Kagome membatin dengan bingung.
Setelah menyadari sesuatu yang ia rasa tidak masuk akal, ia menutup mulutnya.
"Apa jangan-jangan ... Rohku masuk ke dalam tubuh orang lain? Apa aku terjebak di dalam tubuh seseorang yang bernama Kimiko?" Kagome masih menutup mulutnya, ia merasa ketakutan dan cemas.
Ayumi-sama memegang tangan Kimiko dengan lembut, "Pikirkan dengan cermat. Lihat aku baik-baik. Kau berada di Heian-kyō sekarang. Ini adalah rumah pangeran kedelapan, Hōjō."
"Heian-kyō?" Kagome terdiam sejenak, "Heijō-kyō, Nagaoka-kyō, dan Heian-kyō ... Lalu ini Heian-kyō yang itu?" tanya Kagome meyakinkan.
"Apa kau ingat sekarang? Ya, ini Heian-kyō yang itu."
"Hah!" Kagome kaget, ia melepaskan genggaman tangan Ayumi-sama. Ia kembali panik, "Lalu, sekarang ... siapa rajanya?"
"Yang Mulia yang mendirikan negeri ini," jawab Ayumi-sama yang ikut kebingungan melihat sikap Kimiko yang tidak seperti biasanya, tidak seperti Kimiko yang dikenalnya.
"Yang Mulia yang mendirikan Heian? Apa mungkin ..." batin Kagome mencoba menggali ingatan tentang sejarah negara Jepang.
"Kaisar Inu no Taisho?!" tanya Kagome dengan berteriak saat menyebut nama kaisar.
—o0o—
Balairung Keselasaran Abadi
Kaisar Inu no Taisho tengah duduk di singgasananya. Ia mengadakan audiensi bersama para menterinya yang juga dihadiri oleh para pangeran, kecuali pangeran Sesshōmaru yang tidak ikut serta dalam jalannya audiensi. Tatapan Kaisar Inu no Taisho tajam, ia sedang marah. Tak berselang lama ia melemparkan sangkar burung yang di dalamnya terdapat seekor burung berwarna hitam sudah terkapar tak berdaya.
"Ini adalah burung yang mencicipi makanan putra mahkota pagi tadi. Ini terjadi bahkan sebelum burung itu menelan satu gigitan. Ini keberuntungan besar bahwa putra mahkota tidak sarapan karena ia merasa tidak lapar," terang Totosai, ahli perbintangan sekaligus orang kepercayaan Kaisar Inu no Taisho. Semua yang hadir dalam audiensi hanya menundukkan kepala dan terdiam, begitu pula dengan para pangeran.
"Kenapa tidak ada tanggapan?" tanya Kaisar Inu no Taisho geram, "tangkap orang yang berusaha membunuh putra mahkota!" perintah Kaisar Inu no Taisho yang sudah tak mampu menahan amarah.
"Kita harus cari tahu kenapa hal ini bisa terjadi. Apa yang akan berubah jika kita hanya menangkap pelakunya saja?" salah satu menteri, Jaken, yang berdiri di dekat Pangeran Naraku akhirnya membuka mulutnya untuk menanggapi sang kaisar.
"Apa maksudmu?" tanya Kaisar Inu no Taisho.
"Bukankah seharusnya putra mahkota berperilaku sebagai putra mahkota?" kata Jaken.
Di saat yang sama, pangeran pertama —Nakashimaru— yang merupakan putra mahkota datang. Ia menghentikan langkahnya ketika mendengar apa yang dikatakan oleh slah satu menteri mengenai dirinya di depan pintu. Beberapa pengawal yang menjaga pintu Balairung Keselarasan Abadi membungkuk hormat pada putra mahkota.
"Pada pertemuan majelis ... Dia hanya menerima salam dari utusan asing lalu pergi. Putra mahkota biasanya cuma ada di medan pertempuran atau mengunjungi pemandian air panas. Apa Anda tahu bahwa ada rumor ... kalau putra mahkota mengidap penyakit tak tersembuhkan?" kata Menteri Jaken itu pada kaisar, para pangeran hanya bisa saling melirik. Tatapan Kaisar Inu no Taisho dan juga Totosai tertuju pada sang menteri.
"Oleh karena itu, saya membuat permintaan untuk Anda, harap lengserkan pangeran pertama Nakashimaru dari posisi putra mahkota. Saya memohon pada Anda untuk menobatkan putra mahkota yang baru," tegas Menteri Jaken. Pangeran Nakashimaru yang mendengar permintaan sang menteri dari luar hanya bisa menahan amarahnya.
"Apa kalian semua setuju dengannya?" kaisar bertanya pendapat para pangeran yang hadir dalam audiensi, "Katakanlah. Siapa diantara kalian, yang kalian pikir lebih pantas mengisi posisi itu jika bukan putara mahkota yang sekarang?!" tambah Kaisar Inu no Taisho.
Para pangeran hanya diam tak berani berkutik apalagi untuk menjawab pertanyaan kaisar yang sudah dipenuhi dengan amarah.
"Harap tarik kembali perkataan itu, Yang Mulia. Tidak ada di antara kami yang ingin menjadi Putra Mahkota," kata Pangeran Hōjō berlutut di depan Kaisar Inu no Taisho.
"Benar, Yang Mulia. Harap tarik kembali perkataan Anda," timpal Pangeran Miroku ikut berlutut di samping Pangeran Hōjō.
"Harap tarik kembali perkataan Anda, Yang Mulia." Pangeran Naraku membenarkan perkataan dua saudaranya. Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Pangeran Naraku, sang menteri yang mengusulkan pelengseran putra mahkota itu menoleh pada Pangeran Naraku.
Beberapa pangeran yang masih berdiri di tempatnya bingung harus melakukan apa melihat ketiga saudara telah berlutut di hadapan kaisar. Pada akhirnya semua pangeran yang hadir ikut berlutut dan menyuarakn pendapat yang sama, meminta kaisar untuk menarik kembali perkataannya.
"Ahli perbintangan, Totosai." Panggil Kaisar Inu no Taisho pada ahli perbintangan, Totosai, yang sedari tadi berdiri tepat di sampingnya. Totosai membungkuk hormat pada kaisar junjungannya.
"Saya ahli perbintangan, Totosai, akan menyampaikan kehendak langit untuk kalian semua yang ada di sini. Bintang Putra Mahkota Nakashimaru adalah bintang kekaisaran di langit. Ini adalah bintang pertama dari lima bintang utara dan bersinar terang setiap hari. Bersinar terang bersama dengan Istana Kaisar Heian. Ini artinya Pangeran Nakashimaru tidak kekurangan sebagai putra mahkota," terang Totosai panjang lebar.
Kaisar Inu no Taisho bangkit, "Sudah dua puluh empat tahun sejak negeri ini didirikan. Pangeran kesatu, Pangeran Nakashimaru telah berjuang bersamaku dalam banyak peperangan. Dia yang telah mendirikan pondasi bagi negeri ini bersamaku," ucap kaisar dengan menaikkan nada suaranya karena menggebu-gebu, mengingatkan pada semua yang hadir bahwa Pangeran Nakashimaru pantas menjadi putra mahkota.
"Totosai, selama ritual ini, Pangeran Nakashimaru akan mengusir roh-roh jahat. Jadi, persiapkanlah itu dengan baik!" perintah kaisar.
"Ya, Yang Mulia," jawab Totosai.
Pangeran Naraku sedikit melirik tajam dalam posisi menunduk, ia terlihat tak suka dengan titah kaisar yang baru saja diumumkan. Namun, ia hanya terdiam.
—o0o—
Setelah audiensi selesai, Menteri Jaken yang tadi mengusulkan tentang pelengseran putra mahkota di hadapan kaisar, pergi menghadap Ratu Inu Kimi. Ratu Inu Kimi merupakan ibu kandung dari Pangeran Naraku, Pangeran Sesshōmaru, dan Pangeran Inuyasha. Menteri Jaken nampak membisikkan sesuatu pada Ratu Inu Kimi.
"Itu benar." Respon dari Ratu Inu Kimi mendengar apa yang baru dikatakan oleh sang menteri dengan berbisik. Alis Ratu Inu Kimi sedikit terangkat mencoba mengingat sesuatu. Sang menteri menjauhkan diri, membenahi posisi duduknya.
Ratu Inu Kimi menuangkan teh teratai dari teko ke dalam gelas yang berada tepat di hadapan sang menteri maupun gelas yang berada di hadapannya sambil mengutarakan pendapatnya mengenai putra mahkota, "Putra mahkota sungguh beruntung," ia tersenyum simpul, "dia memiliki umur yang panjang. Kita hanya membuatnya lebih sadar dan waspada sekarang," imbuh Ratu Inu Kimi sambil menenggak teh teratai perlahan.
"Ini adalah pelayan," ucap seorang pelayan memberitahu kehadirannya yang ingin menghadap Ratu Inu Kimi.
Seorang pelayan datang dengan posisi membungkukkan kepalanya, berjalan mendekat ke tempat Ratu Inu Kimi berada. Pelayan itu membisikkan sesuatu pada Ratu Inu Kimi yang tengah asyik menenggak teh teratai.
"Sampaikan pesanku jika aku tidak ingin menemui siapa pun," kata Ratu Inu Kimi.
"Sudah dua tahun pangeran keempat tidak datang kemari. Menurut hamba, jika Yang Mulia bertemu dengannya sekarang, maka ..." jawab pelayan itu dengan memberikan sedikit saran pada ratu.
Ratu Inu Kimi langsung membanting teko berisi teh teratai di meja. Sang menteri menikmati teh teratainya dengan santai.
"Aku sedang tidak sehat saat ini," ucap Ratu Ini Kimi marah, "siapa yang berani mengganggu ratu?" imbuhnya dengan menaikkan nada suaranya pada pelayan yang masih berdiri di sampingnya.
Pangeran Sesshōmaru berdiri tepat di depan istana ibunya, menunggu kabar dari seorang pelayan yang menyampaikan pesan tentang kehadirannya pada sang ratu. Setelah beberapa waktu Pangeran Sesshōmaru menunggu, datanglah seorang pelayan mengahmpirinya, menghaturkan hormat padanya.
"Bagaimana dengan haha-ue?" tanya Pangeran Sesshōmaru antusias, karena ia sungguh ingin bertemu dengan ibunya setelah dua tahun tidak bertemu.
"Ratu Inu Kimi sedang istirahat, karena beliau sedang sakit. Mungkin Anda harus datang di lain waktu," jawab pelayan.
Mendengar penjelasan dari pelayan tentang ibunya, Pangeran Sesshōmaru kecewa. Ia pun berbalik meninggalkan area kediaman ibunya dengan penuh kekecewaan.
—o0o—
Kagome mengurung dirinya di dalam kamar, memikirkan keanehan yang terjadi padanya. Ia duduk di lantai di dekat ranjang dengan tatapan yang kosong. Pikirannya kalut, bingung bagaimana ia bisa berada di Heian-kyō, pada zaman Heian. Ia kembali teringat terakhir kali dia tenggelam setelah menyelamatkan anak kecil di danau yang hampir tenggelam. Ketika mengingat kejadian bagaimana ia tenggelam di dasar danau, ia ketakutan dan membenamkan kepalanya di kedua lututnya.
Kagome menghembuskan napasnya berat, memandang cermin yang terletak tak jauh dari posisinya duduk. Wajah cantiknya terpantul di cermin.
"Aku telah meninggal saat itu. Gadis ini, Kimiko, pasti juga tenggelam dan meninggal di dalam air," batin Kagome, napasnya terengah-engah dan ia mengalihkan pandangannya, "lalu, apakah aku ini Kagome atau Kimiko?" tanyanya pada diri sendiri, ia ketakutan, rasanya ia sedang mengalami perang batin.
"Aku tidak tahu bagaimana aku bisa berada di Heian-kyō dan berada dalam tubuh ini," Kagome kembali membenamkan kepalanya, rasa takut dan bingung menyergapnya.
"Cobalah berpikir positif!" Kagome mengangkat kepalanya, "kau punya kesempatan di sini. Kesempatan menghindari kematian dan tetap hidup. Kau sangat beruntung di sini. Baiklah, jadi jangan sampai ketahuan dan coba hadapi semua ini. Bila kau melewati semua ini ..." batinnya, mencoba menyemangati dirinya sendiri yang ketakutan.
"Bila kau melewati semua ini ..." Kagome berhenti sejenak, memikirkan sesuatu dan matanya mulai nanar, "aku bukan Kimiko, bagaimana jika aku ketahuan dan tertangkap? Apa yang harus aku lakukan? Lalu, bagaimana aku harus bersikap di zaman Heian?" batin Kagome yang mulai bimbang kembali.
Tok ... Tok ... Tok ...
Pintu kamar tempat Kagome mengurung diri diketuk oleh pelayan yang tadi siang sempat menyeretnya, membantu melarikan diri dari kolam pemandian air panas tempat khusus pangeran untuk membersihkan diri.
"Hime-sama!" panggil pelayan itu dengan terus menggedor-gedor pintu membuat Kagome kaget dan mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamar.
"Kimiko ... Keluar dan bicaralah. Tolong keluarlah!" Ayumi-sama mencoba untuk membujuk Kagome agar ia bersedia untuk keluar dari kamar bukan mengurung diri.
"Hime-sama, tolong buka pintunya!" pelayan itu, Kikyō, kembali memanggil Kagome dengan khawatir, ia terus mengetuknya, membuat Kagome semakin ketakutan.
"Apa yang kau rencanakan?" tanya Kikyō semakin khawatir karena tak ada respon dari Kagome.
"Aku tidak tahu dunia macam apa diluar sana. Aku takut. Aku takut setengah mati. Aku bahkan tidak tahu apapun tentang Heian. Kaisar Inu no Taisho adalah pendiri Heian. Setelah Kaisar Inu no Taisho ..." Kagome berusaha mengngat-ingat siapa kaisar Heian selanjutnya, ia menitikkan air matanya karena ketakutan.
"Setelah Kaisar Inu no Taisho ..." gumam Kagome, air matanya mulai membasahi pipinya.
"Hime-sama, kenapa kau menjadi seperti ini?" tanya Kikyō sambil terus mengetuk pintu dengan keras.
"Kaisar Taisho II?" gumam Kagome mencoba mengingat-ingat.
Ayumi-sama dan Kikyō terus berusaha mengetuk pintu kamar Kagome berulang kali dengan cemas. Tidak ada respon dari Kagome. Ayumi-sama terbatuk-batuk di depan pintu kamar Kagome. Pangeran Hōjō yang kebetulan lewat di depan kamar Kagome diikuti dengan dua pelayan laki-laki yang membawa lentera, melihat pemandangan istrinya terbatuk-batuk dan Kikyō terus mengetuk pintu kamar Kagome dengan keras, ia langsung menghampiri istrinya yang terbatuk-batuk dengan cemas.
"Istriku!" panggil Pangeran Hōjō cemas.
Ayumi-sama terbatuk-batuk, ia berpegang pada kayu penyangga dengan menutup bibirnya dengan sebuah sapu tangan. Pangeran Hōjō memegang tubuh istrinya yang mulai lemas dan terus terbatuk.
"Apa yang terjadi?" tanya Pangeran Hōjō pada Kikyō.
"Kimiko-sama ..." hanya itu keluar dari bibir Kikyō, ia cemas.
"Kimiko?"
Belum sempat Kikyō menjawab pertanyaan Pangeran Hōjō, Ayumi-sama mengatur pernapasannya.
"Dia tenggelam dalam air dan tidak kembali selama dua jam. Menurut tabib ... dia berhenti bernapas," terang Ayumi-sama pada suaminya.
"Lalu, maksudmu Kimiko sudah meninggal?"
"Hime-sama meninggal dan kembali lagi. Mungkin itu penyebabnya hime-sama kehilangan semua ingatannya bahkan tidak tahu namanya," jelas Kikyō benar-benar khawatir.
"Aku khawatir dia akan melakukan sesuatu yang berbahaya pada saat seperti ini," ungkap Ayumi-sama khawatir, wajahnya terlihat pucat dan ia terlihat lemah.
Pangeran Hōjō menatap pintu kamar Kagome yang terkunci dengan rapat. Pangeran Hōjō ikut cemas pada keadaan Kagome, setelah mendengar penjelasan dari istrinya.
Brakkk
Pintu kamar Kimiko tiba-tiba roboh setelah ditendang dengan kuat oleh Pangeran Hōjō. Kagome mengalihkan pandangannya pada pintu, kaget mendapati pintu itu telah roboh dengan cara ditendang. Pangeran Hōjō menatapnya, mendapati Kimiko yang tengah duduk meringkuk ketakutan di lantai. Ia mendekati Kagome yang hanya diam ketakutan melihat kedatangannya. Napas Pangeran Hōjō terengah-engah, dan ia melihat sepasang mata nanar di hadapanya.
Kagome hanya menatap Pangeran Hōjō sekilas lalu menundukkan kepalanya kembali layaknya orang yang benar-benar lupa ingatan. Ketika Pangeran Hōjō mencoba melangkahkan kakinya untuk mendekatinya, Kagome kembali menitikkan air mata ketakutan, dan tak berani menatap wajah Pangeran Hōjō karena ia tak mengenalnya.
"Kimiko, jangan takut. Aku yang membawamu ke tempat ini. Jadi, aku akan membantumu sampai akhir," kata Pangeran Hōjō lembut. Mendengar itu, Kagome langsung mengangkat kepalanya perlahan, dan mencoba memberanikan diri untuk menatap Pangeran Hōjō dengan tatapan nanar.
"Kau yang membawaku ke tempat ini?" batin Kagome dengan menatap Pangeran Hōjō yang masih berdiri di hadapannya.
"Menghindari masalah ini tidak akan merubah apapun," Pangeran Hōjō tersenyum, "kau harus kuat." Kagome kembali menundukkan kepalanya menghindari tatapan Pangeran Hōjō.
Pangeran Hōjō maju satu langkah untuk mendekat ke arah Kagome, ia mengulurkan tangannya.
"Kau bisa mempercayaiku dan ikut aku keluar?" tanya Pangeran Hōjō, tangannya masih terulur.
Kagome menitikkan air matanya, memandang Pangeran Hōjō. Ia menatap lekat tangan Pangeran Hōjō yang masih terulur untuknya. Ia bimbang, haruskah ia menerima uluran tangan itu atau tidak.
"Aku tidak bisa kembali lagi dan aku tidak bisa mengubah keadaan yang sudah terjadi. Aku ingin hidup! Aku ingin melakukan apapun yang aku bisa untuk bertahan hidup dan tetap hidup," batin Kagome dengan terus menatap uluran tangan Pangeran Hōjō.
TO BE CONTINUED
A/N : Sebelumnya saya minta maaf karena belum bisa update chapter selanjutnya dari "Nightwish: Treasure". Sudah dua bulan laptopku sakit dan kesibukan sebagai mahasiswa tingkat akhir akhir mulai melanda, mungkin itu terdengar hanya sebagai sebuah alasan untuk menghindar dari tanggung jawab. Tapi, itu nyata adanya, aku belum lama memegang laptopku setelah dia sembuh, baru semingguan ini aku memegangnya. Dan kebetulan baru bisa menyelsaikan cerita baru ini. Cerita "Nightwish: Treasure" masih berada dalam 10% dari 100%. Aku berusaha mencari waktu luang untuk menyelesaikannya dan berharap mood untuk menulis juga tetap stabil. Maafkan malah bahas cerita yang satunya *bow*
Tulisan ini akan menjadi slow update banget.
Tulisan ini merupakan remake dari drama korea "Moon Lovers Scarlet Heart: Ryeo" yang tayang pada tahun 2016 silam, tulisan ini bukanlah tulisan "yang terinspirasi dari ..." melainkan, tulisan ini hanyalah remake. Katakanlah, cerita ini hanyalah cerita yang mengganti nama tokoh dari drama korea tersebut dengan penyampaian menggunakan bahasa sendiri.
Jika belum melihat drama korea "Moon Lovers Scarlet Heart: Ryeo" mungkin bisa baca ini saja XD
Sampai jumpa di kesempatan lain dengan cerita yang baru ^^
Salam hangat,
Emma Griselda
Bandung, 27 Juli 2017
