Prolog

'Jika aku diminta untuk menggali masa lalu mengenai hal apa yang membuatku jatuh kepadanya, maka aku akan lebih memilih diam seperti seorang yang memiliki masa lalu yang buruk yang tidak ingin digali keberadaan memorinyakembali.'

Angin sepoi musim gugur menerbangkan dedaunan yang telah mengering dan menghempaskan beberapa dahan pepohonan kecil yang telah kehilangan daunnya. Beberapa helai rambutku pun ikut berterbangan layaknya kibaran korden tipis yang terhempas. Jika cinta bisa dimisalkan dengan musim, maka aku akan memprotes kepada seseorang yang mengatakan itu. Saat musim semi makan cinta pun akan bersemi seperti layaknya setiap pohon dan bunga yang bersemi. Begitupun saat musim gugur mulai berdatangan, maka daun dan bunga akan mengering dan memisahkan diri dari pohonnya. Jika cinta memang seperti itu, maka aku lebih memilih untuk tidak mengenal apa itu cinta dan lebih buruknya aku harus memilih untuk mati rasa saja. Aku tahu bahwa setiap orang akan menemukan cinta yang bukan seperti musim, namun jika waktunya sudah tepat. Dan jika saat seseorang sudah menemukan waktunya namun cinta yang didapatkannya masih bersifat seperti musim, maka aku –entah mengapa- akan merasa marah pada seseorang yang mendapatkan hal tersebut. Setiap orang pantas untuk mendapatkan itu. Sampai akhirnya kita mengira bahwa dunia tidak akan pernah adil terhadap sesuatu yang telah dimiliki oleh seseorang namun ada beberapa orang yang tidak mendapatnya. Atau dengan kata lain, sampai waktunya habis namun waktu yang tepat itu tidak datang.

Rambut halus disekitar leher maupun badanku juga ikut merasakan kehidupan. Merasakan kehidupan saat waktu yang tepat datang menghampirinya. Secara otomatis kinerja otakku dipengaruhi oleh keadaan sekitar, tanganku mengeratkan balutan blazer. Menunggu di musim yang tidak seharusnya untuk menunggu seseorang adalah hal yang mungkin paling dibenci oleh setiap orang. Terkecuali, orang-orang yang menunggu untuk suatu hal yang menurutnya spesial. Begitupun juga aku, menunggu seseorang yang mengatakan bahwa aku harus menunggu saat musim dimana saat yang tidak seharusnya. Oleh karena dia mengatakan hal dingin seperti itu, maka aku mengasumsikannya bahwa saat yang –mungkin- tepat adalah saat ini. Menunggu di setiap harinya, menunggu sampai waktunya yang tepat, tiba.

Kata-kata yang diproduksi oleh dua tumpukan daging di bagian wajahnya itu, masih terngiang di kepalaku. Walaupun, entah sudah triliunan detik yang lalu. Aku masih ingat persis gerakan bibirnya saat mengucapkan kata-kata yang hingga kini aku ragu untuk mempercayainya.

.

.

.

.

.

.

"I still love you"