Summer came and left without a warning
All at once I looked and you were gone
And now you're looking back at me
Searching for a way that we can be like we were before
Pukul setengah enam pagi kiranya ketika senar gitar itu mengalun dengan indah. Memecah hening dibalik fajar yang belum terbit. Dan menjadi awalan yang sempurna dalam menyambut musim panas. Jari-jari panjangnya bergerak sangat piawai selaras dengan kunci senar gitar yang dimainkan. Suaranya serak, tidak bervibrasi, namun merdu. Wajahnya terkadang tertekuk dengan alis yang menyatu kemudian kembali rileks berupa senyuman lebar yang menawan.
Tahun ketiganya di Universitas Tokyo begitu membosankan, setidaknya begitulah menurut Uzumaki Naruto. Nilai-nilai yang diperolehnya membuahkan hasil yang memuaskan, jadi jelas sekali bukan hal itu yang dimaksud. Tetapi lebih kepada beban tugas, yang menurut pemuda itu, sangat tidak penting sudah berhasil menguras seluruh tenaga otaknya dalam bekerja. Belum lagi persoalan dua organisasi yang diketuainya mengalami pemandatan biaya. Dan yang terakhir, ia tidak tahu harus bersyukur atau tidak dalam hal ini, Yumi memutuskan hubungan keduanya sebulan yang lalu. Naruto terlalu sibuk sehingga melupakannya, katanya. Alasan klise. Yang pasti, jujur Naruto katakan gadis itu sedikit menjengkelkan akhir-akhir ini.
Mungkin mendeskripsikan sedikit mengenai Yumi Haruki. Tubuhnya tinggi semampai dengan kaki jenjang berwarna putih bersih. Wajahnya sangat cantik dengan kemerahan di kedua pipinya. Bibirnya tebal di bagian bawah dan membentuk gelombang pada bagian atas, dan selalu terpoles lipgloss merah. Rambutnya coklat bergelombang yang jatuh sepunggung. Warna matanya coklat gelap dengan garis alis tebal yang sedikit menukik, menandai sedikit kearoganan dalam sikapnya. Rahangnya sedikit tirus hingga dagu. Keseluruhan tubuhnya proporsional dengan kisaran berat yang ideal.
Gadis itu sudah menjadi kekasihnya sejak satu tahun yang lalu. Meski menjengkelkan, sebagai mantan kekasih Naruto pasti merindukannya.
And I remember how you loved me
Time was all we had until the day we said goodbye
I remember every moment of those endless summer nights
Kenangan indahnya terhenti ketika Naruto mendengar suara pintu mobil di bawah sana. Wajahnya melongok melalui jendela balkon yang terbuka.
Sebagai catatan tambahan, Naruto berserta kedua orangtuanya baru pindah ke Tokyo empat bulan yang lalu, yang sebelumnya mendekam pada salah satu apartemen di daerah Hokkaido. Agar Naruto lebih dekat dengan kampus menjadi alasan Tuan Namikaze ketika di tanya. Jadi mengenai tetangga sekitaran mereka, Naruto tidak terlalu memperhatikan. Terlebih ia pemuda yang aktif di kampus sehingga sering pulang larut malam dan jarang berada di rumah.
Dibalik pintu mobil yang terbuka, sosok seorang perempuan muda keluar. Membawa tas punggung yang terlihat ringan, membentangkan tangan menyambut perempuan yang lebih muda darinya kedalam pelukan hangat. Terdengar suara tawa yang renyah. Satu mobil lagi datang menyusul. Namun kini berupa mobil box yang cukup besar. Mengabaikan kedua perempuan tadi, yang sudah berhambur masuk kedalam rumah, kini Naruto fokus kepada seorang pria paruh baya, yang diduga adalah Ayahnya, mengintruksi supir mobil untuk mengeluarkan barang-barang yang, astaga! semuanya kardus. Hanya terdapat dua tas yang dimaksudkan untuk pakaian disana.
"Naruto! Bisa bantu ibu sebentar?"
Uzumaki Naruto melempar gitarnya asal ke tempat tidur dan segera keluar kamar. Terkadang Nyonya Uzumaki Kushina bukanlah orang yang sabaran.
.
.
.
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
.
.
.
.
.
The way I look at you © Miss Sperasza
.
.
.
.
.
WARNING!
Miss typo(s), tidak menarik, random and more. If you really don't like this, please klick back.
( U. Naruto & H. Hinata)
.
.
.
Hope you like it ^^
Naruto baru saja membuka loker ketika Haruno Sakura datang memukul bahunya cukup kencang. Pancaran wajah sahabatnya itu penuh dengan amarah dan rasa penasaran, membuat Naruto menatapnya malas.
"Jadi, Sakura, tidak biasanya kau datang menemuiku sepagi ini. Apa Sasuke mencampakkanmu?"
"Jangan konyol! Aku datang karena kau berhutang penjelasan padaku!" katanya dengan menggebu. "Kau putus dengan Yumi—eh?"
Naruto tidak menjawabnya. Beberapa bahan materi hari ini masuk kedalam tasnya sementara meninggalkan beberapa buku paket disana. Melipat jaketnya dan meletakannya di balik pintu loker, kemudian menguncinya. "Apa yang kau ingin dengar dariku?"
"Semuanya!" Sakura tampak begitu menuntut. Haruno Sakura adalah gadis keras kepala yang pernah di kenalnya. Lihatlah bagaimana dia menekuk pangkal hidung agar terlihat seperti orang yang sedang menahan plaktus.
"Oh, baiklah. Akan kujelaskan inspektur, tapi bisakah kau biarkan aku menyelesaikan mata kuliahku dulu? Omong-omong kau membuatku terlambat dua menit, Nona." Setelah gumaman tak jelas dilontarkan kekasih Uchiha Sasuke itu, ia pergi menuju kelasnya di lantai dua.
Sesuai dengan yang dijanjikan, Sakura duduk dengan rapi seperti anak TK ketika Naruto datang membawa sejumlah makan siangnya. Bahkan gadis itu membawa beberapa kawan. Aneh? Tentu saja tidak. Bukan karena Sakura adalah perempuan maka ia senang bergosip. Asal tahu saja, orang yang menolak terang-terangan hubungan Naruto dengan Yumi hanyalah Sakura, disaat yang lain menjadi pendukung keras atau justru patah hati. Yumi adalah gadis paling cantik di Universitasnya.
"Well, aku tidak tahu darimana aku harus memulainya karena, sebenarnya, aku tidak menyukai pembicaraan ini. Tetapi, baiklah, mungkin akan menjadi sesuatu yang menyenangkan hatimu, Sakura, jika aku mengakui dia adalah gadis yang cukup menjengkelkan,"
"Yap, I told you."
"Kau tahu aku cukup aktif di kampus bahkan memiliki dua organisasi sekaligus dimana aku adalah inti dari pengurusnya. Akhir-akhir ini pun kerjaanku bertambah karena dosen-dosen gila itu membebani kami semua dengan jurnal. Hal itu mempersempit pertemuan kami sehingga tak jarang aku menolak ajakan kencannya. Yah, intinya, dia marah padaku karena menurutnya dia sudah di campakkan,"
Sejenak hening mengisi meja makan bundar tersebut.
"Kau membiarkannya pergi, bung," Kiba berceletuk. "Jangan marah jika selanjutnya dia bersamaku—aw! Apa-apaan itu?"
Ino tersenyum lebar setelah menggores lengan Kiba dengan kukunya yang tajam. Teman lelakinya itu memang bermulut buaya. Tak ada yang tahu dia bercanda atau tidak.
"Well, Sasuke, jika aku bersikap menjengkalkan seperti itu, apa kau akan mencampakkanku? Kurasa tidak, kau terlalu menyayangiku," canda Sakura, mencolek bahu kokoh kekasih di sebelahnya.
"Ceritaku tak membuahkan hasil apapun. Kalian sama sekali tidak membantu!" Naruto menekuk wajahnya.
"Naruto, cobalah berfikir dengan logis. Ketenarannya bagaikan selebriti kampus membiusmu untuk segera mendapatkannya, mengabaikan fakta bahwa dia menjengkelkan. Hubungan kalian hanya main-main, maka akhir hubungan itupun terasa awkward," Ino memberi penjelasan singkat. Pembicaraan mereka sejak tadi memang tak memiliki bobot berarti untuk Naruto, hanya sedikit sindiran rendahan dari Kiba dan Sakura.
Uzumaki Naruto diam. Bergelut dengan pikirannya, tambahan dengan organisasi-organisasi yang di pimpinnya. Sudah dikatakan sebelumnya bahwa tahun keduanya amat membosankan. Belum lagi saat pulang, ia melihat Yumi berjalan bersama seorang pria. Wajahnya tegas. Kulitnya kehitaman menandakan bahwa ia adalah anggota pencinta alam. Rahangnya menonjol dan lehernya lebar. Cukup menyeramkan tapi pria itu tampan. Cepat sekali pindah hati?
Pembicaraan mengenai mandatnya biaya untuk bakti sosial masih menjadi pembicaraan berat baginya. Beberapa sponsor menarik diri dan dana yang mereka punya hanya setengahnya. Pihak kampus terlalu menyepelekan sehingga program yang mereka jadwalkan harus diundur beberapa saat sementara ujian semester sudah di depan mata.
"Kau terlihat murung, Sayang. Ada apa?"
Sentuhan lembut jemari Kushina mengelus rambutnya yang berantakan. Membuat Naruto sedikit terkejut karena melamun. "Sedang banyak kendala, Bu. Sementara aku belum mempersiapkan apapun untuk ujian semester," keluhnya. Kepala itu tergeletak lemas di sandaran sofa ruang tengah. Persoalan Yumi sama sekali tidak penting untuk dibahas, mungkin ada baiknya ia mengesampingkan hal itu.
Jemari Kushina tidak berhenti mengelus kepala anak laki-laki kesayangannya itu. "Kau terlalu memikirkannya sampai membuatmu terbebani. Rilekslah, setelah lebih tenang, barulah kau coba mencari jalan keluarnya. Kau bahkan kehilangan keceriaanmu,"
Naruto bergumam rendah. Mungkin Ibunya benar. Dia hanya terlalu memikirkannya dalam waktu yang bersamaan, siapapun pasti akan gila.
"Nah, sekarang, ibu minta tolong antarkan kue ini untuk keluarga Hyuuga tetangga kita. Ibu dengar anak gadisnya baru saja pulang dari Jerman,"
Naruto menatap Ibunya dengan malas sementara senyum lembut Kushina terkesan tak ingin di bantah. Maka melangkahlah pemuda itu, hanya dengan menggunakan celana pendek serta kaos rumahan. Jadi gadis itu baru saja pulang dari Jerman? begitu pikirnya. Rumah keluarga Hyuuga hanya tiga meter dari gerbang rumahnya. Naruto menekan bel. Sampai yang ketiga kalinya barulah suara kaki beradu dengan tangga menyapa pendengarannya.
Seorang gadis membukakan pintu. Wajahnya ayu dan lembut. Warna mata itu teduh dibalik kacamata besarnya. Hidungnya bangir, mancung namun kecil. Rambutnya panjang sampai ke punggung, namun kini tergelung rapi dengan sebuah kunciran. Naruto memperkirakan itu dari banyaknya gulungan yang dihasilkan. Tubuhnya mungil namun berisi di beberapa bagian. Gadis itu sempat terkejut.
"Ah, maaf. Silakan masuk."
Untuk pertama kalinya sejak kepindahannya ke Tokyo, Naruto memasuki rumah salah satu tetangganya. Rumah itu bersih serta rapi, membawa suasana sejuk dan wangi yang khas. Bahkan sofanya pun terasa empuk.
"Ayah dan Kak Neji sedang tidak dirumah." Suara gadis itu mendayu. Sangat lembut.
"Tidak. Aku tidak ingin menemui mereka, secara khusus. Aku kesini hanya mengantarkan kue buatan ibuku. Beliau mengatakan Putri Tuan Hyuuga baru saja pulang dari Jerman, sehingga ia berinisiatif untuk membuatnya," Jika Naruto tidak salah, gadis inilah yang Ibunya maksud.
Gadis itu tersenyum, pipinya kemerahan ketika menerima kue tersebut. "Terima kasih banyak, sungguh," See? Berarti tebakan Naruto benar. "Tunggu sebentar, akan kubuatkan teh—"
"Tidak perlu. Aku tidak lama," sanggahan Naruto menghentikan langkahnya menuju dapur. Ia segera berdiri dari duduknya. "Sebaiknya aku pulang, sampai nanti. Semoga kau suka kuenya,"
"Ah, ya, tentu. Sampaikan terima kasihku untuk Ibumu," senyum itu tak pernah luntur. Sangat manis. Dengan sopan gadis itu membukakan pintu, masih memeluk toples kue yang tadi di berikan Naruto.
Kiranya kesan Naruto kepada seorang gadis yang baru ditemuinya tidaklah seperti saat ini. Dengan kacamata besar yang membingkai kedua matanya serta bagaimana cara gadis itu tersenyum membuat Naruto berspekulasi gadis itu memiliki tatakrama yang baik. Sebagai seorang laki-laki normal, ia tidak menyangkal jika gadis itu cukup mempesona. Dengan cara yang berbeda dari kebanyakan gadis di Universitasnya. Dan berbeda dengan Yumi.
Jam menunjukan pukul delapan malam. Semilir angin musim dingin masih setia meninggalkan jejak sebelum pergi seutuhnya. Naruto membiarkan jendela kamarnya terbuka lebar. Kertas-kertas berserakan di mejanya. Beberapa jurnal sudah berhasil ia selesaikan dalam waktu singkat, dan beberapanya lagi masih mandat di penelitian. Baru saja Gaara meneleponnya. Ia telah mendapatkan sponsor baru dan kiranya mencukupi kebutuhan biaya yang kurang. Setelah mengirim pesan ke semua anggota organisasi untuk mengadakan rapat pada pukul enam sore besok, Naruto menanggalkan kesibukannya dan meraih gitar.
Naruto baru memasuki intro ketika mendapati kamar di seberang balkonnya, yang biasanya sepi dan gelap, kini terang menderang. Meski tertutup gorden putih transparan, Naruto dapat melihat jelas ruang kamar yang lebih mirip kamar perempuan muda.
Warna catnya biru toska. Ruangan itu cukup luas jika dibandingkan dengan kamarnya, hanya saja satu hal yang membuat Naruto kagum luar biasa sampai menghentikan petikan gitarnya adalah rak-rak buku berwarna coklat tua dimana disetiap sekatnya dipenuhi berbagai buku, dari yang tipis hingga tebal. Letaknya bersebrangan sementara tempat tidur berada di tengah. Belum lagi bayangan gadis yang tadi siang di temuinya sedang duduk bersila di tempat tidur, membaca sebuah buku yang sangat tebal bersampul merah tua. Kacamatanya tak lepas sedangkan rambutnya di cepol tak karuan, memberikan kesan berantakan. Wajahnya serius menatap rangkaian kata seolah tak ingin satupun luput dari pandangannya.
Sesuatu menggelitik Naruto. Belum ada pergerakan berarti dari tubuhnya selain terdiam memperhatikan gadis itu. Bagaimana tangan kurusnya membuka halaman sampai caranya membetulkan letak kacamata yang turun berkali-kali.
"Hinata!"
Sebuah suara mengejutkan gadis itu. "Ya, Ayah?"
"Bisa turun sebentar, Nak?"
Gadis itu melepas kacamatanya dan menandai halaman terakhir yang dibaca pada bukunya, kemudian pergi setelah menutup pintu kamar. Jadi, namanya Hinata? Begitu pikir Naruto. Ia tersenyum simpul kemudian melanjutkan pentikan gitarnya yang sempat tertunda.
.
~The way I look at you~
.
Suatu hari di akhir pekan yang terang. Ketika dengan gagahnya matahari muncul tak terhalang. Taman kota menjadi tempat yang begitu banyak di kunjungi. Atau mungkin kiranya Naruto melihat hal itu dari sudut pandang seorang pemuda. Pasangan remaja yang masih di pengaruhi hormonal pubertas pasti akan menjadi pemandangan yang cukup biasa di tempat itu. Musim panas menjadi favorit sebagian penduduk Tokyo.
Naruto menghirup lamat-lamat udara segar ketika mendapati seorang pria dewasa bersepeda melewati depan rumahnya. Akhir pekan yang cukup bersemangat. Terutama untuk Naruto. Rapat kemarin sore membuahkan hasil yang amat memuaskan dan kiranya dua minggu yang akan datang, program sosial yang di usulkannya sudah dapat berjalan. Hal itu lantas membuat senyum lebar secerah matahari pagi menggantung indah di wajahnya yang tampan.
Tidak ada rencana khusus yang akan di jalaninya sabtu pagi ini, tapi mungkin berkeliling menggunakan sepeda akan menyenangkan, mengingat sudah beberapa hari ia terus mendekam di kamarnya. Ibu serta Ayahnya pergi keluar kota tadi malam. Kegiatan akhir pekan mereka memang seperti itu. Tak jarang Naruto pergi seharian atau menginap di apartemen milik Sasuke untuk melepas rasa jenuh dirumah.
Gerbang tetangga terbuka. Hinata keluar menggunakan dress merah pastel selutut serta sneakers. Tote bag menggantung di bahunya yang kecil. Naruto berjalan mendekat. "Selamat pagi," sapanya.
Gadis itu menoleh kaget. Kepangan rambutnya berkibar. "Oh, hai, selamat pagi," seperti biasa, senyum itu terkembang manis.
"Ingin pergi ke suatu tempat?" melihat bagaimana cara Hinata berpakaian, sudah jelas gadis itu ingin pergi ke suatu tempat. Naruto terlalu banyak berspekulasi sebenarnya.
"Ya. Ada beberapa keperluan yang ingin ku beli di toko buku. Bagaimana kau tau?"
"Kupikir akan terlalu formal jika kau hanya berjalan-jalan pagi menggunakan pakaian dan sepatu seperti itu," katanya. "Hm, boleh aku ikut?" terdapat modus tersirat dibalik kalimat tanya itu.
"Tentu saja," dengan senyum dan rona kemerahan di pipi, Hinata mengizinkan Naruto untuk ikut. Tidak ada yang salah dengan pakaian Naruto sehingga membuatnya harus berganti. Karena celana training dengan hoodie terlihat lebih keren.
"Jadi, ehm, kurasa kita belum berkenalan secara resmi. Padahal kau sudah berada samping rumahku sejak empat hari yang lalu dan hampir setiap hari kita bertemu," Naruto memulai pembicaraan di sela-sela perjalanan mereka. Berjalan kaki menjadi pilihan yang praktis karena akan sangat memakan waktu yang cukup lama kalau menggunakan kendaraan umum atau bis, karena jalan raya terlihat cukup padat padahal akhir pekan. Sedangkan toko buku utama Tokyo letaknya tidak begitu jauh dari taman kota dan rumah mereka.
Hinata menoleh dan tertawa kecil. Ia mengulurkan tangannya. "Hyuuga Hinata. Kau bisa memanggilku Hinata. Jadi, siapa namamu?"
Naruto menyambut uluran tangan itu. Kecil dan lembut. Bahkan warna kulitnya sangat kontras dengan kulit Naruto yang kecoklatan. "Uzumaki Naruto. Biasanya ibu dan teman-teman memanggilku 'Bakattebayo' tetapi itu terserah padamu, hehe," Naruto menggaruk tengkuknya canggung.
"Naruto lebih baik, kurasa," lagi-lagi suara tawa itu keluar dari bibir mungilnya.
Hinata adalah gadis yang ramah. Tidak seperti sebagaimana tampilannya ketika ia sedang serius membaca buku. Naruto terkadang ragu jika ingin menyapa, meski pertemuan pertama mereka Hinata justru memberikan kesan gadis yang murah senyum. Setelah melewati beberapa blok dan dua kali menyebrang lampu merah, sampailah mereka pada toko buku besar yang letaknya bersebrangan dengan pusat perbelanjaan. Toko buku yang sangat lengkap.
Hinata menuntun langkahnya menuju tempat alat-alat tulis berada. Membeli beberapa pulpen dan spidol berwarna. Kemudian berpindah pada rak di sebrangnya, beberapa kertas polos diambil Hinata dalam satu pack.
Naruto tidak mengerti. Dia hanya memperhatikan dengan random kegiatan Hinata ketika memilih buku. Tidak jarang wajah gadis itu menekuk dengan dahi yang mengerut. Seperti menimbang-nimbang buku mana yang seharusnya dibeli. Dan setelah melalui pergolakan dan pertimbangan yang matang selama hampir dua menit, gadis itu memilih kedua bukunya.
"Aku tidak mengerti. Kenapa kau membeli kedua buku itu sedangkan sebelumnya kau terlihat bingung?" tanya Naruto ketika keduanya memutuskan untuk singgah sejenak di kafe terdekat.
Hinata tersenyum saat menyeruput moccachino lattenya. "Awalnya aku justru berfikir tidak memerlukan dua buku itu. Namun saat mengingat ada beberapa point yang berbeda dari kedua buku tersebut dan sangat aku butuhkan, maka aku memutuskan untuk membeli dua-duanya," katanya.
"Memang apa yang sedang kau kerjakan?"
"Tidak ada. Hanya jurnal kecil-kecilan yang aku buat sendiri secara inisiatif,"
"Jurnal kecil-kecilan? Bukankah kau sedang liburan?" seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, Naruto penuh dengan spekulasi. Gadis itu pulang dari Jerman, apa lagi jika bukan liburan?
Pipi Hinata yang berisi memerah. Cukup banyak hingga ke telinga. Dengan tatapan yang malu-malu ia menjawab, "Sejujurnya, aku... sudah lulus." Dan terkadang tidak semua spekulasi Uzumaki Naruto adalah benar. Pemuda itu melotot. Bukan reaksi yang sopan dimana seharusnya ucapan selamat diungkapkan.
"Aku menganggapnya sebuah keberuntungan ketika aku dapat lulus lebih cepat."
Itu bukan keberuntungan. Itu briliant!
"Wow! Kau hebat, Hinata, sungguh!" kata Naruto berlebihan. "Tidakkan kau berfikir untuk melanjutkannya ke magister?"
"Belum sepenuhnya. Aku ingin bekerja dan mendapat beberapa pengalaman sebelum melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Itulah mengapa aku mencoba membuat jurnal kecil-kecilan, hanya agar pemahaman yang kupunya tidak pudar begitu saja,"
"Boleh ku tahu jurusan apa yang kau ambil?"
"Biologi murni,"
Gadis ini unik.
Sungguh.
Uzumaki Naruto menyeruput kopinya dengan canggung. Dirinya baru akan wisuda tahun depan sementara gadis ini sudah lulus terlebih dahulu. Seingatnya, Sakura yang pintar tidak mungkin seluar biasa ini. Tapi Naruto tidak heran. Melihat bagaimana desain kamarnya yang penuh dengan buku, pastilah Hinata suka sekali membaca. Dan ia pernah mendengar pepatah jika rajin membaca maka kau akan pintar. Mungkin hal itu diterapkan secara mendalam pada diri Hinata.
Satu lagi kekaguman yang Naruto dapat dari gadis ini.
.
~The way I look at you~
.
Rasa-rasanya Hinata merindukan Shion saat ini. Teman satu kamar apartemennya itu masih harus melanjutkan kuliahnya hingga dua tahun kedepan. Mahasiswi kimia murni itu sahabat pertama Hinata ketika sampai di Jerman. Wajahnya cantik dan matanya besar. Banyak orang mengira Shion bukan orang Jepang.
E-mail yang dikirimnya dua hari yang lalu belum di balas, yang membuat Hinata yakin Shion sedang sibuk akhir-akhir ini. Hinata menyamankan punggungnya diatas tempat tidur. Memandang langit-langit kamar bercat putih itu dengan pandangan kosong. Jurnalnya masih setengah berjalan. Mungkin beberapa hari kedepan ia akan mencoba mencari pekerjaan. Rasanya bosan jika harus mendekam dikamar dan terus berkutat dengan buku-bukunya. Buku yang tadi siang dibelinya masih tergenggam. Sampai pada halaman empat puluh sebelum akhirnya Hinata menyudahi kegiatan bacanya.
Samar-samar Hinata mendengar suara gitar mengalun. Membentuk sebuah nada.
What would I do without your smart mouth
Drawing me in, and you kicking me out
You've got my head spinning, no kidding, I can't pin you down
Suara itu merdu mengalun melewati celah-celah jendela Hinata yang setengah terbuka. Hinata bangkit dan menatap dari kejauhan.
What's going on in that beautiful mind
I'm on your magical mystery ride
And I'm so dizzy, don't know what hit me, but I'll be alright
Hyuuga Hinata memilih diam. Tidak bergerak namun nafasnya teratur dengan detak jantung yang mendebar hangat. Ia menyukai lagu itu, dan seseorang sedang menyanyikannya. Wajah Naruto serius ketika kedua tangannya yang panjang bermain lincah membuat pola kunci senar dan petikan nada. Bibirnya membentuk semacam gerakan yang kini Hinata sadari pemuda itu sedang bernyanyi.
Hinata berjalan mendekat kemudian membuka jendela itu selebar mungkin. Membuat anak rambut yang lolos dari kuncirannya bergoyang terkena angin malam.
"Suaramu bagus,"
Naruto menghentikan permainannya kemudian mendongak. Mendapati Hinata dengan kacamatanya yang besar serta buku di genggamannya, berdiri di depan jendela kamar yang terbuka lebar. Naruto mengira, sejak kapan gadis itu berada di sana? Namun akhirnya Naruto tertawa malu. "Hehe, biasa saja,"
"Jadi, Naruto, kau suka bernyanyi dan bermain musik? Aku pernah mendengarmu menyanyi beberapa hari yang lalu" tanya Hinata.
"Hanya hobi semata. Menurutku musik dapat menjernihkan pikiran ketika aku sedang stres,"
Hinata mengangguk, "Sebagian orang mengatakan itu," katanya. "Jadi kau akan bermain musik ketika kau stres?"
"Hm, tidak juga. Aku melakukannya kapanpun aku mau," jawab Naruto. "Apa kau merasa terganggu?"
Hinata menggeleng mantap, menandakan pertanyaan itu jauh dari yang sebenarnya. "Tidak sama sekali. Aku senang mendengarnya. Kau tahu, berkutat dengan banyak buku terkadang membuatku jenuh, tapi jika kau bermain disana, mungkin aku akan terhibur. Seperti yang kau katakan, musik bisa menjernihkan pikiran."
Naruto tertawa renyah. "Jadi musik apa yang kau sukai?"
Hinata melepas kacamatanya kemudian menerawang jauh. "Pengetahuanku tentang musik benar-benar payah. Tapi, aku sering mendengarkan The Script. Lagu yang kau nyanyikan barusan juga merupakan favoritku,"
"Seleramu cukup bagus juga, Nona." ledek Naruto. "Mungkin kapan-kapan kita bisa berduet?"
Tangan Hinata mengibas-ngibas. Naruto mendesah kecewa. "Loh? Kenapa?"
"Suaraku jelek. Kau pasti muntah jika mendengarnya."
Uzumaki Naruto tertawa lepas. "Kau berlebihan sekali, hahaha. Biasanya suara setiap wanita itu unik dan lembut. Kau pasti bisa menyanyi, Hinata."
"Jangan meledekku. Membaca lebih menarik ketimbang aku harus bernyanyi," decak Hinata.
Keduanya berbaur dengan topik random mengenai musik hingga pada masalah yang tidak sama sekali tidak penting untuk di bahas, seperti merek sepatu apa yang sering digunakan Michael Jackson ketika konser. Keduanya terkadang tertawa mengenai suatu lelucon. Atau Naruto menceritakan pengalamannya bernyanyi di acara kampus.
Hyuuga Hinata merasa hidupnya tidak akan membosankan seperti yang sempat terpikirkan. Tiga tahun hidup di Jerman sedikit banyak mengubah sudut pandang pola kehidupannya. Namun sepertinya Naruto merubah hal itu. Pemuda di samping rumahnya sangat ramah dan hangat.
"Kukira sudah waktunya aku tidur. Ayah akan marah jika jam tidurku lewat batas," kalimat itu sebagai awal Hinata untuk pamit.
"Ah, ya, selamat malam."
"Selamat malam, Naruto."
Meski jendela itu sudah tertutup rapat, Naruto enggan mengalihkan tatapannya, bahkan sampai lampu kamar itu redup. Ia dan Hinata kan menjadi teman dekat menyenangkan, pikirnya.
.
.
.
.
.
Mungkinkah?
TBC
.
.
Song ; Endless Summer Nights - Richard Marx / All of Me - John Legend
Note :
Haiii... :)
Gue bikin cerita ini bener-bener random dan gue juga berfikir ga akan ada konflik yang menarik. Jadi ini cerita bakal berjalan apa adanya banget karena sebenernya gue ga ngejar target apapun, yaa karena emang gue pengen update aja. so, i'm really sorry if this story is not like you imagine before. Diusahakan bakal sampe 2 chapter aja karenaaa sebenarnya gue orang yang males ngetik meskipun moodnya lagi meningkat tajam. Jadi daripada gue ngutang dan bikin orang penasaran, kan dosa, yaa jadilah gue usahain chap depan selesai. Cuma ya gitu, pasaran dan random banget karena emang cuma pengen nulis aja. Nekatnya ga ketulungan.
Buat lagu udah gue tulis kan tuh di atas, tpi buat yg lagu kedua gamungkin gada yang tau wkwk. Kalo mau request lagu kesukaan juga bisa, tapi ditampung yaa karena harus sesuai alur cerita :D
Apa lagi ya ...? udah kali ya itu aja.
Buat kalian yang udah terlanjur nyebur ke sini, boleh lah ninggalin jejak di kotak review. Mau kritik, saran apapun lah suka suka kalian, mau curhat juga gapapa ^^
Sampai jumpa di chap depan.
.
.
Salam,
Miss Spearsza
28/01/2017
