Naruto belongs to Kishimoto Masashi

いま、会いにゆきます / Ima, Ai ni Yukimasu / Be With You / Now, I'm Coming To Be With You (movie) based on novel by Ichikawa Takuji; directed by Doi Nobuhiro; produced by Honma Hideyuki; written by Okada Yoshikazu

Alternate Universe, Out of Character

.

.

.

If you had one wish, what would you … wish for?
… Make your wish….
—Don't forget the things you cherish the most.

.

いま、会いにゆきます
Ima, Ai ni Yukimasu
I'm Coming To See You Now

.

~* To See You *~

.

.

.

"Tokkun, bangun! Sarapan sudah siap!"

Namikaze Naruto baru selesai menyiapkan sarapan untuk dua porsi sederhana dengan lauk telur mata sapi. Terdengar sahutan dari salah satu kamar tidur, bersamaan dengan bel rumah yang berbunyi nyaring. Ia meletakkan penggorengan di atas kompor tanpa api dan bergegas menuju pintu depan. Tak lupa ia mengenakan alas kaki untuk melangkah di bagian lantai dekat pintu yang permukaannya lebih rendah dibandingkan lantai kayu rumahnya.

"Aa." Naruto sudah mengenal tamunya.

"Ohayou gozaimasu," sapa pria tua berambut panjang tersebut. Meskipun sebagian besar rambutnya berupa uban, helaian cokelat masih terlihat di antaranya.

"Ohayou gozaimasu," balas Naruto sopan sambil mengangguk singkat. "Anda mengantarkannya dengan sangat cepat." Sekilas ia melihat kotak putih berhias pita keemasan yang dibawa oleh pria itu dengan menggunakan dua tangan.

Pria dari klan Hyuuga itu tersenyum singkat sebelum wajahnya berubah sendu. "Sebenarnya, aku akan segera menutup usahaku," katanya.

Ekspresi senang Naruto turut berubah. "Begitukah?"

Hyuuga-san menunjukkan senyum yang jarang disunggingkannya sebelum berkata lagi, "Tapi tidak masalah karena aku dapat memenuhi janjiku sampai akhir."

"Saya sangat berterima kasih untuk semua yang telah Anda lakukan selama ini," ucap Naruto tulus, "Arigatou gozaimashita." Ia membungkuk lagi, namun lebih dalam daripada sebelumnya.

"Otanjoubi omedetou gozaimasu." Hyuuga-san menyerahkan kotak yang dibawanya kepada Naruto.

Pemuda berambut pirang itu tersenyum lebar dan sekali lagi mengucapkan terima kasih. Ia mendapatkan balasan berupa senyum simpul sebelum Hyuuga-san pamit dan melajukan sepeda motor bututnya.

"Naruto." Minato memanggil dari balik pintu kamar mandi tatkala Naruto melewati koridor sempit di depannya.

"Hm?"

"Ini sikat gigi baru? Ke mana sikat gigiku yang lama?" sahut Minato tanpa keluar dari kamar mandi.

"Kemarin aku sudah bilang kalau menggantinya, 'kan…." Naruto meletakkan kotak berisi kue ulang tahunnya di tengah meja makannya yang permukaannya berbentuk persegi. Ia yang sudah mengenakan seragam, beranjak ke kamarnya untuk mengambil tas sekolahnya sebelum menemani ayahnya menyantap sarapan di meja makan.

.

Naruto mengayuh sepedanya melalui jalan setapak di tengah hutan. Di kanan kirinya hanya ada pohon-pohon rindang yang menjulang tinggi, selain rerumputan dan semak-semak. Suara serangga dan cicitan burung merupakan musik alam yang menggetarkan jiwa. Ia melajukan sepeda gunungnya dengan semangat, seakan tak mengenal lelah. Keranjang kecil di bagian depan sepedanya yang berisi tas sekolah, terlihat bergoyang naik turun ketika permukaan tanah yang dilaluinya tidak rata.

Sebelum benar-benar menuju sekolahnya, pemuda berusia delapan belas tahun itu mampir ke suatu tempat di tengah hutan. Ia menghentikan laju sepedanya di dekat terowongan yang kini dipalang beberapa batang bambu panjang.

Tahun itu … pada musim hujan, keajaiban mendatangi kami…,
dan bermula dari hutan ini.

Naruto memejamkan matanya. Ia terbayang suatu kenangan di mana ia melewati terowongan itu bersama ayah dan ibunya. Ia menggandeng tangan orang tuanya yang berjalan mengapitnya, dan melangkahkan kaki dengan riang.

Sebuah keajaiban selama enam minggu….

Ia kembali menampakkan manik birunya. Seketika ia seolah melihat siluet tubuh bocahnya yang berjalan melalui terowongan pendek itu dengan menggamit jemari ayah dan ibunya.

Mungkin hal tersebut telah menjadi sebuah bayangan gaib dari sisi lain kabut. Tetapi, bagaimanapun, tidak dapat diragukan bahwa kami bertemu dengan ibuku. Waktu itu … ibuku memang kembali.

.

.

.

Hari ini, tepat setahun Namikaze Kushina meninggal dunia. Ia meninggal di usia yang terbilang muda; dua puluh delapan tahun—meninggalkan suaminya, Minato, serta putra semata wayang mereka yang masih berusia lima tahun; Naruto. Kematian Kushina meninggalkan duka mendalam di hati keluarga kecilnya, juga merupakan duka bagi keluarga besar Uzumaki.

Sejak satu tahun yang lalu, Minato dan Naruto hanya hidup berdua di rumah mungil mereka. Dan mulai saat itu, mereka harus membiasakan diri untuk berjuang di dunia ini tanpa Kushina.

Sudah menjadi tradisi di kalangan klan Uzumaki untuk mengadakan peringatan kematian bagi anggota keluarga mereka yang telah berpulang ke sisi Sang Pencipta. Hal tersebut juga menjadi suatu renungan bagi mereka yang masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia yang fana ini.

Mereka yang hadir untuk memberikan penghormatan kepada Kushina, secara bergantian meletakkan bunga dan memanjatkan doa dengan khidmat. Minato dan Naruto mendapatkan giliran paling akhir untuk melakukannya. Masing-masing dari mereka berdua meletakkan setangkai bunga mawar putih dan kuning. Tanpa bangkit dari posisi jongkoknya, mereka mendoakan segala kebaikan untuk Kushina dengan menangkupkan kedua telapak tangan.

"Kini sudah setahun sejak Kushina-chan meninggal dunia," celetuk seorang wanita dari keluarga Uzumaki.

"Apakah kalian baik-baik saja?" timpal seorang pria yang sebenarnya mencemaskan keadaan Naruto yang berada dalam perawatan ayahnya seorang, "Kau tidak dalam keadaan sehat, Minato-kun."

Minato menurunkan kembali kedua tangannya yang mengatup di depan wajah, sementara Naruto masih bertahan dengan kedua mata tetap terpejam. Ia belum beranjak dari posisinya dan tatapan mata safirnya begitu hampa.

"Merupakan kesalahan jika kau merawat Naruto-kun dengan sembrono," sahut kerabat wanita yang lain, "Sebagai seorang ayah, kau memiliki pekerjaan sulit yang memerlukan tanggung jawab besar. Meski kau hanya karyawan biasa di kantor kecil, kami harap kau bisa merawat Naruto-kun dengan baik."

"Apakah kau membesarkan Naruto-kun dengan baik?" Seorang pria menimpali dengan nada meremehkan sebelum bergabung bersama anggota keluarganya untuk meninggalkan area pemakaman.

Minato berjalan cukup jauh di belakang mereka yang keseluruhan mengenakan pakaian berkabung, meninggalkan Naruto yang sebelumnya berujar ingin lebih lama lagi berada di dekat Kushina. Ia menyempatkan untuk menoleh ke belakang dan menemukan Naruto yang duduk menekuk lutut tak jauh dari batu nisan Kushina. Ia tersenyum maklum melihat Naruto membuka buku cerita bergambar bersampul kuning yang dibuat oleh Kushina—khusus untuk sang buah hati.

.

"Ne, ke mana orang-orang pergi saat mereka meninggal?" Tiba-tiba Naruto bertanya ketika Minato tengah memasak untuk sarapan pagi ini. Ia mendekap erat buku cerita bergambarnya yang bagaikan harta paling berharga.

"Mereka akan tinggal di bintang Akaibu," jawab Minato sembari mengangkat penggorengan yang berisi telur setengah matang. Ia tampak terburu-buru karena ia juga harus menyiapkan diri untuk bekerja. Setelah meletakkan telur di piring Naruto, ia melakukan hal yang sama untuk piringnya, "Sekarang Mama juga berada di sana."

"Ne, apakah Mama benar-benar akan kembali?" tanya Naruto yang terus mengikuti ke mana pun Minato melangkah.

"Tentu," jawab Minato yang kembali meletakkan penggorengan di atas kompor yang sudah dimatikan apinya, "karena Mama tidak mungkin berbohong."

"Kalau begitu, saat musim hujan, Mama akan kembali. Benar, 'kan?" Kini Naruto berdiri di sebelah Minato yang sedang mengoleskan selai pada dua porsi roti bakar.

"Hm." Minato mengangguk kecil, membuat Naruto tersenyum senang. "Nah, semuanya sudah siap. Ayo makan." Ia membawa dua piring berisi roti bakar ke meja makan, diikuti Naruto yang sebelumnya mengangguk semangat disertai senyum lebar.

"Gomen, telur gorengnya berantakan." Yah, seperti biasanya. Ia lalu menduduki kursi di seberang Naruto.

"Tidak apa-apa," ujar Naruto sambil membuka tutup botol saus tomat. Ia menuangkan saus di atas telur gorengnya yang tidak terlihat seperti telur mata sapi, juga tidak bisa dibilang sebagai telur dadar. "Aku mau memakannya."

Minato tersenyum simpul, "Itadakimasu…."

"Itadakimasu."

Seusai sarapan dan mengganti pakaian—lengkap dengan topi kuning taman kanak-kanak—Naruto masih membolak-balik buku cerita bergambarnya. Ia tidak sabar menanti kepulangan ibunya dari bintang Akaibu. Senyumnya merekah sebelum ia memasukkan buku bersampul kuning tersebut ke dalam tas sekolahnya yang berwarna hitam.

Di ruang tengah, Minato mengambil kaus kaki berwarna gelap di antara jemuran yang digantung di salah satu sudut ruangan. Ia mengikat dasinya asal-asalan sebelum duduk dan memakai kaus kakinya. Sementara itu, Naruto sudah siap dengan tas punggung yang menyampir di kedua bahu serta tas kain jinjing yang berisi pakaian olahraga.

"Tokkun, aku pergi duluan!" seru Naruto yang mulai berlari ke pintu depan.

"Itterashai," balas Minato yang masih berkutat dengan kaus kakinya.

Tidak lama kemudian, Naruto kembali ke ruang tengah. "Tokkun," panggilnya.

"Ya?" Minato menyempatkan untuk menoleh sebelum memakai sebelah kaus kakinya.

"Jangan telat."

"Wakatta."

"Ittekimasu!" pamit Naruto lagi, yang kemudian kembali berlari karena ia juga tidak ingin terlambat masuk ke kelas.

Buru-buru Minato menggeser pintu kaca menuju halaman samping rumah dan menguncinya. Berikutnya ia membereskan piring-piring kotor di meja makan sekaligus membersihkan sisa-sisa makanan yang terjatuh di sekitar tempat makan Naruto. Ia melihat jam dinding dengan gelisah, apalagi ujung dasinya tak sengaja terkena saus tomat yang masih tersisa di piring. Dengan cepat dan sekenanya ia mengelap ujung dasi abu-abunya sebelum menyampirkan tas selempangnya. Piring-piring kotor masih menumpuk di atas meja makan, ia akan mencucinya sepulang kerja saja.

"Ittekimasu…," pamitnya entah kepada siapa. Ia menyampirkan jas hitamnya di salah satu lengannya sebelum bergegas keluar rumah.

Seperti biasa, dengan sepedanya Minato berangkat ke tempat kerjanya. Dari melewati jalanan pedesaan yang lumayan sempit, sampai melalui jalan yang lebih lebar di pinggiran kota. Ia merasa telah mengayuh sepedanya dengan cepat, namun ternyata ada seorang siswi sekolah menengah yang bisa menyalipnya. Siswi berbadan tambun itu melihatnya sekilas dengan tatapan menantang, seakan mengajaknya untuk adu balap. Ia mengabaikannya dan tetap berusaha mengayuh sepedanya dengan kecepatan stabil, walaupun ia mulai merasa lelah.

Sesaat kemudian, ada kereta yang melewati kawasan yang kini dilewatinya, yang menandakan baru diberangkatkan dari stasiun terdekat. Itu berarti ia tidak terlalu terlambat untuk pergi bekerja.

.

Tiga puluh menitan setelah berjuang melawan rasa lelah dan dahaga, Minato sudah duduk di belakang meja kerjanya yang dihadap langsung oleh sang kepala bagian. Tak jauh berbeda dari biasanya, bosnya yang berambut putih itu hanya bermalas-malasan di atas meja kerja dan sepertinya lebih banyak tidur. Mungkin karena lagi-lagi malam sebelumnya pria paruh baya bertampang mesum tersebut sibuk bersenang-senang atau mabuk-mabukan bersama para wanita.

Minato sedang membuat urutan daftar pemesanan suatu produk ketika sebuah tangan berjari lentik menginterupsi kegiatannya. Wanita yang sekarang berdiri di sebelahnya itu, menukar salah satu daftar yang sebelumnya sudah ia urutkan.

"Lebih baik jika seperti ini." Wanita berambut gelap itu berkata sembari menata kembali hasil pekerjaan Minato.

"Aa." Sekilas Minato membalas tatapan rekan kerjanya yang bernama lengkap Uchiha Mikoto tersebut.

"Akan lebih mudah mengurusnya jika dalam urutan ini," imbuh Mikoto ramah, tanpa bermaksud menggurui.

"Arigatou," ucap Minato yang enggan mengalihkan perhatian dari setumpuk pekerjaan di mejanya.

"Iie." Mikoto tersenyum lembut. Selanjutnya pandangannya tergugah oleh ujung dasi Minato yang bernoda. Ia sempat membuat Minato bingung ketika menunjuk objek yang menarik perhatiannya. Namun, pria berambut pirang itu tidak keberatan saat ia menawarkan untuk membersihkan noda yang menempel di ujung dasi abu-abunya.

Mikoto menduduki kursinya yang bersebelahan dengan Minato. Meja kerja di kantor itu menempel dan tanpa sekat yang menghalangi, jadi memungkinkan mereka berdua untuk berbincang kecil tanpa harus turun dari kursi masing-masing. Hal tersebut juga berlaku untuk para karyawan yang menempati meja di depan mereka.

Wanita berpembawaan tenang itu menggunakan sapu tangannya yang sudah dibasahi air untuk menggosok lembut bagian dasi Minato yang bernoda. Ia melakukannya dengan hati-hati dan telaten, kebetulan tidak terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya hari ini.

"Sumimasen," ucap Minato yang sebenarnya merasa sangat sungkan. Namun, ia tidak enak hati untuk menolak niat baik Mikoto.

"Ah, iie." Seusai mengatakannya, ia menoleh ke arah Minato yang kembali berkutat dengan berkas-berkas. "Mm … Anda mengenakan setelan musim dingin…?" Ia bermaksud melontarkan pertanyaan, tetapi terdengar seperti suatu pernyataan.

Minato meneliti pakaiannya sejenak, dan terbukti bahwa yang dikatakan Mikoto memang benar adanya. "Ah, sumimasen," ucapnya sekali lagi seraya mengembalikan perhatian pada pekerjaannya.

Bersamaan dengan Mikoto yang mengangguk kecil, terdengar suara benda jatuh dari arah belakang mereka. Keduanya sama-sama menengok ke belakang, dan menemukan bolpoin milik kepala bagian yang terjatuh dari meja. Menyusul kepala sang bos yang terbentur permukaan meja kayunya setelah terantuk-antuk selama sekian detik.

Saat mereka mengalihkan pandangan dari kepala bagian, perhatian mereka terenggut oleh televisi kecil di ruangan tersebut yang menayangkan ramalan cuaca. Pria pembawa acara berita itu mengatakan bahwa musim hujan telah tiba.

"Musim hujan…," gumam Minato yang tidak menahan senyumnya.

"Anda … suka hujan?" tanya Mikoto yang mendengar gumaman pria di sampingnya.

Minato hanya menjawab sekenanya sembari meneliti berkas-berkas di mejanya.

"Tapi, akhir pekan nanti ada festival." Mikoto berharap agar hujan tidak membatalkan festival yang hendak diadakan. Ia lalu kembali bertanya, "Apakah Anda berencana untuk mengajak Naruto-kun mengunjunginya?"

Mikoto merasa sedikit canggung karena Minato tidak menyambung percakapan untuk waktu yang cukup lama. Terlebih saat ia mengutarakan maksudnya, ia merasa semakin gugup, "Mm … apakah Anda keberatan jika saya mengajak Naruto-kun?"

Mikoto melakukannya sebagai seorang sahabat dari ibu Naruto. Tahun lalu, mereka bertiga juga pergi bersama-sama, meskipun tanpa Minato. Sekali lagi pria itu hanya bungkam, sehingga Mikoto lebih memilih untuk tidak menuntut suatu balasan. Ia segera mengembalikan dasi yang dipegangnya kepada sang pemilik, kemudian menaruh perhatian kepada pekerjaannya.

.

Di taman kanak-kanak, jam istirahat hampir berakhir. Naruto menggantungkan sebuah boneka penangkal hujan di pagar balkon kelasnya, namun digantung dengan posisi terbalik. Tadi pagi, ia juga menggantung boneka serupa dengan posisi yang sama di teras samping rumahnya.

Matahari bersinar terik, namun tidak menghalangi beberapa murid untuk bermain di lapangan yang panas. Tetapi sebagian besar tetap berada di dalam kelas, seperti Naruto yang kali ini tidak tertarik untuk bermain di luar kelas.

Bel berbunyi tidak lama setelahnya. Beberapa teman Naruto masih bergerombol untuk mendiskusikan tentang festival yang digelar akhir pekan ini. Banyak di antara mereka yang berencana untuk datang bersama-sama. Ada juga yang bilang akan pergi ke festival bersama kedua orang tuanya.

Walaupun bocah-bocah itu berisik dengan menimbulkan suara keras yang saling bersahutan, ada di antara mereka yang bisa tertidur di mejanya. Sementara itu, Naruto langsung menghampiri tempat duduknya yang bersebelahan dengan seorang teman perempuan yang berambut pink lembut.

"Kamu tidak pergi ke festival, Namikaze-kun?"

Naruto mengangguk untuk menjawab pertanyaan temannya yang bernama Haruno Sakura itu. "Di keluargaku, ayahku tidak bisa pergi ke tempat-tempat yang banyak orang," katanya.

"Begitu…," desah Sakura yang tampak sedikit kecewa.

Mendadak kelas menjadi semakin riuh karena guru berambut pirang panjang memasuki kelas. Ibu guru yang bernama Senju Tsunade itu membuat para murid kembali ke tempat duduk masing-masing, bahkan sebelum ia memberikan komando kepada mereka. Setelah meletakkan bawaannya di meja guru, Tsunade-sensei menanyakan tentang benda yang tergantung di pagar balkon kelas—yang tepat berada sejajar dengan tempat duduknya. Karena hanya terhalang jendela kaca bening yang lebar, ia jadi bisa melihatnya.

"Naruto yang menggantungnya!" teriak beberapa siswa bersahut-sahutan. Bahkan di antara mereka ada yang sampai berdiri dari kursinya.

"Ya, Naruto yang meletakkannya di sana!"

Sebagian murid semakin menyudutkan Naruto, dengan rangkaian kata serta nada bicara yang menyalahkannya. Seakan-akan Naruto telah melakukan dosa besar yang tidak dapat dimaafkan.

Tsunade-sensei menghampiri meja Naruto. Di sisi lain kelas mulai tenang. Naruto tidak mampu mengeluarkan suaranya. Ia mengira Tsunade-sensei akan menghukumnya karena telah mengotori lingkungan kelas. Namun, melihat senyum simpul yang disunggingkan oleh Tsunade-sensei, ia merasa tenang dan turut tersenyum.

"Itu lucu," kata Tsunade-sensei.

Rangkaian kata sederhana itu sudah cukup untuk membuat Naruto mengembangkan senyumnya. Setelah itu, Tsunade-sensei kembali ke muka kelas dan memulai pelajaran ilmu hitung. Naruto melihat teruterubouzou yang tadi dibuatnya menggunakan kain perca, benang, dan tali seadanya. Boneka putih itu tampak tersenyum, dilihat dari bibir serta dua mata yang tidak lupa digambar oleh Naruto di bagian kepala. Senyum bocah berkulit tan itu semakin merekah karena si boneka teruterubouzou tampak lebih hidup saat tertiup angin.

.

"Ne, Sensei…," Naruto mengawali percakapan dengan seorang dokter pemilik klinik terdekat dari rumahnya. Nama dokter tersebut adalah Sarutobi Hiruzen. Itu sebabnya nama Sarutobi terpampang di papan klinik yang berdiri di sebelah bangku putih yang kini diduduki oleh Naruto. Di tempat itu, lumayan teduh untuk berlindung dari teriknya mentari menjelang sore hari. Pepohonan dan tanaman yang tumbuh di halaman klinik juga membuat udara terasa lebih sejuk, apalagi ketika berhembus angin sepoi-sepoi.

"… Kenapa Papa tidak bisa pergi ke tempat-tempat yang banyak orangnya? Apakah itu penyakit?"

"Hah, begitulah," desah Sarutobi-sensei yang duduk di sebelah Naruto. "Bagi papamu, rasanya seperti menghirup asap bensin dari mobil yang jaraknya sangat dekat dengannya," jelasnya sembari merangkul pundak kecil putra pasiennya tersebut, "Dan itu bukanlah penyakit yang menyerang kepala atau jantungnya. Paham?"

"Ya." Naruto mengangguk mengerti.

"Tapi, papamu akan tetap bahagia," ujar Sarutobi-sensei.

"Doushite?"

"Karena dia memilikimu."

Pada saat yang sama, Minato menghampiri mereka berdua sambil menuntun sepedanya dan berlarian kecil. Napasnya masih terengah-engah, tetapi ia segera menyangga sepedanya sebab tidak ingin membuat dokternya menunggu lebih lama.

"Maaf karena saya terlambat, Sensei," ucapnya penuh rasa bersalah.

"Tidak apa-apa," Sarutobi-sensei berkata ramah disertai senyum, "Santai saja."

.

Naruto bermain dengan anjing besar milik Sarutobi-sensei ketika Minato berada di ruang dokter. Dari jendela ruangan yang berada di lantai dua, Minato bisa melihat putranya yang tengah membelai anjing berambut cokelat panjang itu. Si anjing begitu besar, bahkan terlihat lebih gemuk dibandingkan Naruto. Ia juga yakin bahwa Naruto bisa memasuki kandang anjing itu melalui pintunya yang lebar.

"Kasihan Naruto…," lirih Minato.

"Kenapa kau berkata seperti itu?" sahut Sarutobi-sensei yang mengamati Naruto dari jendela yang lain.

"Karena orang tuanya seperti ini," ujar Minato lesu.

"Seperti apakah yang kau maksud?" Dokter berjenggot itu terkekeh. "Kau terus berjuang meski orang-orang di sekitarmu selalu memojokkan dan meremehkanmu. Kau juga masih berusaha keras meski mereka menentangmu. Menurutku, kau adalah seorang ayah yang sangat luar biasa untuknya."

"Tidak, saya tidak seperti itu," sanggah Minato, "tidak sedikitpun." Wajahnya berubah sendu. Ia beranjak menduduki kursi yang berada di dekat ranjang klinik yang berseprai putih. "Saya berharap bisa melakukan banyak hal untuknya, seperti yang dapat dilakukan oleh orang tua normal lainnya."

Sarutobi-sensei beranjak menduduki kursinya. "… Sudah setahun sejak Kushina-san meninggal dunia…."

Minato mengerti akan arah pembicaraan Sarutobi-sensei. "Akhir-akhir ini, Kushina selalu memenuhi benak saya. Saya tahu bahwa … hanya dengan melihat benda-benda seperti gambar atau foto tidak akan membuat saya merasakan kehadiran Kushina, tapi…,"

Sarutobi-sensei memandang foto mendiang istrinya yang ia pajang di mejanya.

"… Kushina mengatakan bahwa dia akan kembali," lanjutnya, "segera."

"Apakah yang kau maksud adalah cerita tentang kepulangannya selama musim hujan?"

Minato mengangguk singkat.

Sarutobi-sensei memutar kursi berodanya untuk menghadap Minato. "Menginginkan kepulangannya selama musim hujan adalah harapan baik," katanya, "dan Naruto sangat mempercayai cerita itu." Ia melihat Minato mengangguk kecil setiap ia memberi jeda untuk perkataannya. "Apakah kau juga percaya?"

Minato terkesiap. Ia diam untuk sekian detik, lalu menjawab dengan mantap, "Naruto mempercayainya."

Di saat yang sama, Naruto tengah menunjukkan isi buku cerita bergambarnya ke anjing besar yang duduk manis dengan menjulurkan lidahnya. Bocah lima tahun itu sungguh mengharapkan kepulangan ibunya. Berkali-kali ia membolak-balikkan halaman, dan seolah ingin menunjukkan pada anjing besar itu bahwa ibunya akan kembali secepatnya.

"Saya percaya hal itu tidak dapat terjadi…," tambah Minato.

"… Ya, dari sudut pandang ilmu alam, dan sebagai seorang dokter," timpal Sarutobi-sensei. Ia memutuskan untuk menyambung percakapan begitu melihat senyum getir di wajah pasiennya. "Namikaze-kun," panggilnya yang membuat Minato mengembalikan tatapan ke arahnya, "apakah kau akan gembira jika Kushina-san kembali?"

Minato tersenyum lemah sebelum menjawab tanpa keraguan, "Ya, karena saya sama sekali belum bisa membuatnya bahagia."

"Begitukah?"

Minato meneruskan, "Dengan kondisi saya yang seperti ini, saya hanya membebani Kushina, dari awal sampai akhir. Bahkan, meski hanya sekali, saya ingin membuatnya merasa bahwa dia bahagia hidup bersama saya. Karena itu, jika dia benar-benar kembali, saya ingin dia mempunyai kenangan seperti itu." Ia mulai membayangkan banyak hal menyenangkan yang belum pernah dilakukannya bersama mendiang istrinya, dikarenakan kondisi kesehatannya. "Mungkin kita dapat pergi berlibur naik kereta seperti pasangan-pasangan normal," ujarnya getir.

Sarutobi-sensei masih setia mendengarkan apapun yang akan dikatakan oleh Minato.

"Sensei, Anda belum mengatakan apapun mengenai tubuh saya, meski Anda adalah seorang dokter." Akhirnya Minato dapat mengatakan sesuatu yang sedari tadi mengganggu pikirannya. Dokter pribadinya tersebut sama sekali belum membahas tentang perkembangan kesehatannya maupun hal-hal lain yang menyangkut penyakitnya.

"Memangnya, bagaimana keadaanmu?" Sang dokter malah bertanya, "Ada gejala-gejala yang kau rasakan?"

"Tidak ada." Minato menjawab dengan yakin.

Sarutobi-sensei terkekeh geli.

.

Masih sama seperti setahun ke belakang, Minato dan Naruto menyantap makan malam berdua saja. Keduanya menduduki kursi yang berseberangan di meja makan mereka yang sempit. Menu untuk malam ini adalah nasi kare ala Namikaze Minato yang khas dengan potongan sayur dan daging yang besar-besar serta kurang beraturan.

"Rasanya sangat buruk, 'kan, Naruto?" Minato menyendok makanannya dengan malas, padahal Naruto hampir selesai karena makan dengan lahap.

"Enak, kok," balas Naruto setelah meminum air mineral di gelasnya.

"Kare ini sama sekali tidak enak," sanggah Minato yang baru saja menelan nasi di mulutnya. "Gomen ne, Naruto."

"Tidak masalah," sahut Naruto sebelum menyuapkan satu sendok penuh nasi ke mulutnya, "Aku mau memakannya."

Piringnya sudah bersih ketika Naruto membawanya ke bak cuci piring. Dengan bantuan kursi berkaki rendah, ia bisa menjangkau kran air dan mencuci sendiri peralatan makannya. Minato terus memperhatikannya sampai melupakan nasi yang masih tersisa di piring. Saat ia tinggal membilas piring dan sendok yang berbusa, Minato menghampirinya.

"Kamu ingin pergi ke festival Sabtu ini?"

"Eh?"

Minato berlutut agar bisa sejajar dengan tinggi putranya. "Tahun lalu kamu pergi bersama Mama, dan kamu juga mengatakan kalau itu sangat menyenangkan, bukan?"

Sejujurnya Naruto memang ingin datang ke festival itu, apalagi jika terbayang kenangannya tahun lalu bersama ibunya. Namun, mengingat kesehatan ayahnya, ia rela jika tetap berada di rumah. Nonton televisi di akhir pekan juga tidak terlalu buruk. Di sisi lain, ia tidak ingin mengecewakan ayahnya yang secara tidak langsung bersikeras untuk mengajaknya mengunjungi salah satu festival yang diselenggarakan pada musim panas tersebut.

"Tapi … apakah Tokkun akan baik-baik saja?"

Sejenak Minato terdiam. Sebenarnya ia juga merasa ragu. Tetapi, senyum merekah di bibirnya sebelum ia menjawab, "Aku akan baik-baik saja. Ayo pergi."

Seketika Naruto tersenyum lebar dan mengangguk penuh semangat. Mata birunya berbinar bahagia.

.

Suara ledakan kembang api bersahut-sahutan di udara, berbaur dengan dentingan lonceng berbahan keramik dan tabuhan alat musik pengiring tarian naga. Bunga api dengan berbagai bentuk dan warna, meledak di langit malam yang cerah. Naruto berjalan dengan riang sambil menggamit jemari ayahnya. Senyumnya tak kunjung pudar saat ia melangkahkan kaki di antara para pengunjung yang kebanyakan mengenakan yukata beserta aksesorisnya. Lampion-lampion menggantung di sepanjang jalan yang mereka lewati, begitu pun dengan deretan stan-stan yang begitu menarik minat beberapa pengunjung untuk menyempatkan mampir.

"Namikaze-kun!" seru Sakura yang datang bersama teman-teman sekelas mereka.

"Sakura-chan!" Naruto segera menghampiri teman sekelasnya yang malam ini mengenakan yukata yang senada dengan warna rambut, serta obi berwarna hijau cerah. Ia menurut saja ketika Sakura menggandeng tangannya dan mengajaknya menuju suatu stan permainan, meninggalkan ayahnya di antara lautan manusia. Sepertinya ia terlupa akan akibat dari kelalaiannya, dan tidak seharusnya ia membiarkan sang ayah mengikutinya di antara kerumunan orang.

Minato berusaha menemukan Naruto di tengah gerombolan pengunjung yang beralu lalang. Ia yang bertubuh tinggi memang tidak sulit untuk melihat keadaan sekitar. Tetapi, banyaknya orang yang berjalan ke sana kemari tetap membuatnya kesulitan untuk menemukan Naruto. Saat ini, ia merasa khawatir akan keselamatan Naruto di antara sekian ratus orang tak dikenal. Ia juga takut apabila putranya tersesat dan tidak tahu jalan pulang. Itu sebabnya ia ingin selalu berada di dekat Naruto, dan sepertinya lebih baik jika tadi ia tidak melepaskan tautan tangannya dengan bocah hiperaktif tersebut.

"Naruto!" Suaranya teredam oleh dengung percakapan orang-orang, ditambah ledakan kembang api serta tabuhan alat musik tradisional yang tak kunjung berhenti. "Naruto!" panggilnya lagi dengan suara lebih keras sembari berjinjit dan melongokkan kepalanya.

Peluh membasahi kening Minato. Dadanya mulai terasa sesak dan ia semakin kesulitan untuk menarik napas. Ia mengerjapkan matanya ketika pandangannya memburam. Tabrakan pelan dari pengunjung sudah sanggup untuk membuatnya hampir limbung. Walaupun begitu, ia terus berusaha untuk bernapas dengan benar agar tidak sampai kehilangan kesadaran. Namun, tubuhnya tidak bisa kompromi dengan harapannya.

Naruto baru menyadari bahwa ayahnya tidak berada di dekatnya setelah ia ingin meminta uang untuk membayar suatu permainan yang hendak dimainkannya. Secara mendadak ia merasakan keresahan dan kecemasan yang tak terkira. Meninggalkan Sakura dan teman-temannya, ia menerjang lautan orang-orang dewasa. Ia sungguh merasa bodoh karena telah meninggalkan ayahnya sendirian. Sekarang ia merasa sangat takut. Setelah kehilangan ibunya, kini ia tidak ingin jika ayahnya juga meninggalkannya.

"Tokkun!" panggilnya dengan suara bergetar menahan tangis. Ia melihat ke sekeliling, namun hanya orang-orang asing yang tertangkap penglihatannya. Ia belum menemukan seorang pria tinggi berambut pirang yang malam ini mengenakan kemeja putih berlengan panjang. "Tokkun!"

Naruto sudah kelelahan ketika lewat di sekitar arakan panjang pembawa obor. Ia tidak berlari seperti sebelumnya. Pandangan matanya berkelana, dengan air mata yang membasahi wajahnya. "Tokkun," panggilnya lagi dengan suara serak.

"Tokkun!"

"Naruto-kun." Mikoto menerobos para pengunjung setelah mendengar teriakan Naruto. Sejak ia menemukan Minato dalam keadaan tak sadarkan diri, ia memang mencari Naruto. Kebetulan sekarang bocah itu berada tak jauh dari keberadaannya. Ia menghampiri Naruto dan membawanya ke tempat ayahnya berada.

.

Sudah lebih dari lima menit Naruto berada di dalam salah satu tenda kesehatan yang disiapkan di beberapa titik lokasi festival. Ia menduduki kursi di sebelah ranjang yang di atasnya terbaring Minato yang belum siuman. Masih kurang dari sepuluh menit, tetapi rasanya begitu lama bagi Naruto. Ia sungguh merasa bersalah pada ayahnya. Gara-gara dirinya, ayahnya jadi sakit. Padahal selama ini ayahnya baik-baik saja, bahkan seingatnya ayahnya belum pernah sakit lagi setelah ibunya meninggal—sampai malam ini; di mana ia tega meninggalkan ayahnya di tengah lautan pengunjung.

Malam semakin larut, namun tidak biasanya Naruto belum merasa mengantuk. Ia segera bangkit dan mendekati ranjang ketika melihat pergerakan kepala ayahnya. Mikoto yang setia mendampinginya tampak lega sebab Minato sudah mulai membuka mata.

"Naruto," panggil Minato dengan suara lirih. Meskipun masih merasa lemas, ia menggerakkan kedua lengannya untuk mendekap jagoannya. "Gomen," ucapnya.

Naruto menggeleng pelan. Ia yang bersalah, tidak seharusnya ayahnya yang minta maaf. Ia lalu memeluk ayahnya dengan lebih erat. Air mata kembali menuruni pipinya yang lumayan tembam.

"Lebih baik kalau kita tidak datang," ujar Naruto penuh penyesalan, "Tidak seharusnya kita datang."

Minato tersenyum tipis dan mengangguk setuju. "Jangan menangis," pintanya sembari membelai kepala Naruto, "apapun yang terjadi." Ia kembali mendekap Naruto dengan kedua lengannya.

Bocah lima tahun itu menyamankan diri di dada bidang ayahnya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membuat ayahnya sakit lagi.

"Maaf," Minato mengucapkannya sekali lagi, "Maafkan Papa, Naruto."

Tanpa kata, Mikoto beranjak pergi. Ia berharap keduanya dapat lebih leluasa tanpa orang lain di sekitar mereka.

.

Minato mengajak Naruto pulang setelah merasa lebih baik. Kali ini Naruto menggenggam erat tangannya, seolah tak ingin melepaskannya lagi. Di kanan kiri sepanjang jalan yang mereka lalui, tergantung lampion berbagai bentuk dan warna. Meskipun begitu, jalanan yang mereka lalui sangat lengang, berbanding terbalik dengan keadaan di lokasi festival.

"Ne, Tokkun…," kata Naruto tiba-tiba.

"Hm?"

"Mama meninggal karena aku?" Naruto tidak dapat menyembunyikan kesedihan sekaligus rasa bersalah dalam ucapannya.

"Eh?"

"Itu benar, bukan?"

Minato menghentikan langkahnya, diikuti oleh Naruto yang kemudian membalas tatapannya. "Kenapa kamu berbicara seperti itu?"

Naruto menundukkan pandangan saat menjawab, "Itu yang dikatakan oleh kerabat kita. Terus—"

Minato merendahkan tubuhnya agar tingginya sejajar dengan Naruto. "Apa yang mereka katakan tidak benar," ujarnya meyakinkan, "Mama meninggal bukan karena Naruto. Dan juga, Papa tidak akan pergi ke mana pun. Paham?"

Naruto mengangguk kecil. Ia percaya dengan apapun yang dikatakan oleh ayahnya. Namun kesedihan tergambar jelas di wajahnya saat ia menundukkan kepala. "Aku kangen Mama. Aku ingin bertemu dengan Mama," lirihnya.

Setelah itu, mereka berdua meneruskan perjalanan dalam diam.

.

Naruto sudah terlelap di sofa sambil memeluk buku cerita bergambarnya, sementara Minato masih duduk di depan televisi untuk menonton ulang video yang direkamnya tahun lalu. Di televisi kecil tersebut, tampak Naruto yang berjongkok di rerumputan. Di sebelah bocah itu, berjongkok seorang wanita berambut merah panjang—Kushina—yang turut memilah rumput-rumput seperti yang dilakukan oleh Naruto.

"Apa yang sedang kamu cari?" Suara Minato terdengar di rekaman itu. Ia sebagai pengambil video tidak bisa bergabung bersama istri dan putranya.

"Daun semanggi berhelai empat," jawab Naruto tanpa menghentikan gerakan tangan-tangan mungilnya, "yang dapat mengabulkan permintaan."

"Harapan apa yang kamu inginkan agar terkabul?" Minato bertanya lagi.

"Aku ingin sakit Mama pergi." Naruto menjawab dengan polos, namun terdengar begitu tulus dan penuh pengharapan.

Kushina langsung menoleh ke arah Naruto sembari tersenyum lembut. "Arigatou," ucapnya seraya tersenyum lebih lebar.

Sesaat kemudian Minato merasa bahwa Kushina sedang membalas tatapannya, sama seperti waktu itu. Senyum masih tersungging di bibir Kushina sebelum mengalihkan pandangan karena saat itu ia tahu bahwa Minato merekamnya dalam jarak yang terlalu dekat.

Perhatian Minato terenggut oleh gemuruh petir di luar sana, menyusul rintik hujan yang semakin deras. Ia melangkah pelan ke dekat jendela kaca, mengamati keadaan di luar rumahnya—seperti belum percaya bahwa bumi sedang diguyur hujan. Naruto yang sedari tadi tidur di sofa, secara mendadak terbangun dan berlari kecil ke sampingnya.

Mereka berdua masih tertarik dengan limpahan air dari langit. Sementara itu, televisi kecil mereka masih menampilkan video yang sama.

"Kushina…," Suara Minato kembali terdengar, "daijoubu?"

"Daijoubu," jawab Kushina mantap disertai senyum.

.

Keesokan harinya, Minato mengantarkan Naruto ke hutan. Tujuan mereka adalah bangunan tua di tengah hutan. Hujan masih mengguyur bumi sejak semalam. Naruto mengenakan mantel biru mudanya sambil menjinjing kaleng kecil berisi sekop mungilnya. Ia yang semula menggandeng tangan Minato, langsung berlari riang tatkala melihat terowongan yang mengindikasikan bahwa tempat yang ditujunya sudah dekat.

"Naruto!" teriak Minato yang tertinggal di belakang, "Hati-hati."

"Daijoubu!" seru Naruto tanpa mengurangi kecepatan berlarinya. Sepatu bootnya yang senada dengan mantelnya, membuatnya tetap bisa menjaga keseimbangan meskipun melalui tanah becek. Pintu besar yang tidak asing sudah di depan mata. Ia semakin memacu langkah lebarnya, menerjang rumput ilalang yang hampir menyamai tingginya.

Naruto masuk ke bangunan penuh perkakas bekas itu terlebih dahulu. Minato melipat payung kuningnya sebelum mengikuti ke mana pun kaki Naruto melangkah.

"Apa yang sedang kamu cari?" tanya Minato sembari menghampiri Naruto yang tampak mencari sesuatu di antara kaleng-kaleng berkarat di tengah ruangan.

"Rahasia," balas Naruto tanpa menghentikan kegiatannya, "Aku sudah membuat perjanjian dengan Mama." Jeda sejenak sebelum ia meneruskan ucapannya, "Tapi … aku lupa di mana meletakkannya."

"Kalau kamu berusaha keras, pasti kamu akan menemukannya," tutur Minato disertai senyum.

"Souka," gumam Naruto.

Selagi Naruto sibuk dengan sesuatu yang dicarinya, Minato mendekat ke sisi ruangan yang tidak terhalang tembok—yang membuat bangunan tua itu tetap terang karena cahaya yang bisa masuk dari sana, selain dari bagian atap yang bercelah.

Suara gerimis menciptakan rasa tenteram. Perlahan Minato memejamkan matanya. Di waktu yang sama, pintu baja di belakangnya terbuka dengan pelan, menciptakan derit yang sedikit menakutkan. Ia masih menyembunyikan manik birunya, menikmati aroma rumput basah, juga irama rintik hujan.

Hingga suara gerigi besi yang terjatuh dari tangan Naruto membuat Minato membuka matanya dan menoleh. Putranya itu memandang lurus ke depan dengan mata yang berembun. Minato belum berbalik sampai suara lirih Naruto terdengar setelahnya.

"Mama…."

Minato menengok ke belakang. Seketika Minato terbelalak, mulutnya terbuka tanpa mampu berkata-kata. Seorang wanita bersurai merah terduduk tak jauh dari pintu—terlihat seperti berteduh dari hujan. Ia yakin kalau matanya masih berfungsi dengan sangat baik, karena Naruto pun bisa melihat wanita tersebut.

"Ku—shina…," lirihnya.

"Mama…!" seru Naruto dengan wajah sumringah.

Wanita yang diduga sebagai Kushina itu menoleh dikarenakan suara Naruto. Ekspresi bingungnya belum berubah, bahkan sampai Naruto berlari mendekat padanya. Di belakang Naruto, Minato mengekor dengan langkah gontai—yang tampak belum sepenuhnya mempercayai penglihatannya.

"Kushina…," Ragu-ragu Minato mengeluarkan suaranya ketika sudah berdiri di dekat sang wanita, "Apakah kamu … benar-benar Kushina?"

Wanita itu terlihat semakin bingung. "Ku—shina?" tanyanya, "Apakah itu … nama saya?"

Minato merasa sesak di dadanya. Di sebelahnya, Naruto terlihat berkaca-kaca sambil menggumam lemah, "Mama…."

Sang wanita mengalihkan perhatian kepada Naruto. Sorot matanya masih menunjukkan kebingungannya. "Ma—ma?"

Naruto dan Minato terdiam.

"… Sebenarnya … siapa kalian?" tanyanya bingung.

Pundaknya tampak berjengit begitu Minato melangkah maju, semakin mengurangi jarak dengannya. Ia bahkan terlihat akan beringsut mundur. Tetapi, perhatiannya kembali teralih pada Naruto saat bocah itu semakin mendekat padanya sembari mengulurkan tangan. Dengan ragu-ragu, ia meraih uluran tangan mungil itu dan bangkit dari duduknya. Sesaat pandangannya bertemu dengan mata biru Minato yang teduh, sebelum ia beralih memandang Naruto.

.

.

.

~* To Be Continued *~

.

.

.

Author's note:

To See You adalah fic saduran dari film Ima, Ai ni Yukimasu, tapi dengan sedikit tambahan dan pengurangan di sana sini. Lucu, menurut saya, yang dorama sesuai untuk pair NaruHina, tapi yang film lebih condong ke MinaKushi.

Sekali lagi, Naruto dan Ima, Ai ni Yukimasu bukan milik saya, dan saya tidak mendapatkan keuntungan dalam bentuk apapun dengan menulis fic ini. Saya menyadurnya ke dalam bentuk fic atas kecintaan saya terhadap Ima, Ai ni Yukimasu.

Tokkun: Minato-kun

Untuk fic ini, akan saya update lanjutannya kalau masih ada yang suka. Tapi kalau tidak ada yang suka, ya … dibiarkan atau dihapus saja, haha.

Mind to CnC or RnR?

Go koui, arigatou gozaimashita….

Wednesday, April 18, 2012