My Cute Snow Queen
Saenatori
Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan nyata dan cerita nonfiksi lainnya hanya kebetulan kesamaan belaka yang terjadi secara tidak sengaja.
Perhatian yang perlu diperhatikan sebelum membaca cerita ini:
Hati-hati menginjak dan terpeleset TYPO.
Perhatikan jalan anda, karena kami akan membawa anda ke dunia AU.
Akan terjadi hal yang terjadi secara biasanya secara MAINSTREAM.
Pasang sabuk pengaman anda karena kereta akan melaju secara tidak normal ALUR MAJU DAN ALUR MUNDUR.
Pengakuan tertulis sudah di tempel di dekat tempat duduk anda. Kami akan membacakan isinya.
'VOCALOID TIDAK KAMI MILIKI DAN KAMI MEMINTA IJIN UNTUK MEMAKAI KARAKTER DARI ANGGOTA VOCALOID UNTUK DIHIDUPKAN KEMBALI SEBAGAI PEMERAN DALAM FICT INI.'
Kamit telah diberi ijin secara resmi dari FANFICTION . NET.
Selamat menikmati. Wahana-wahana kami akan segera dimulai.
"Mikuo Hatsune!" seorang pemuda yang duduk di barisan paling depan tersentak mendengar namanya yang dipanggil dengan keras. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri dengan gelisah begitu melihat banyak orang sedang menatapnya dengan kecut. Ia tersenyum bersalah kepada seluruh orang di tempat itu dan buru-buru mengambil jaket yang tadi ia lampirkan pada kursi dingin khas rumah sakit.
"Mikuo Hatsune!" namanya kembali disebutkan, dan Mikuo, pemuda bertubuh tinggi itu langsung masuk ke dalam ruangan yang akhir-akhir ini sering ia datangi, kurang lebih 4 bulan ini.
Senyum Mikuo mengembang begitu melihat sosok yang sangat ia senangi.
"Selamat sore, Hatsune."
Tanpa aba-aba, Mikuo langsung duduk di kursi panjang yang diterangi lampu besar, masih dengan senyuman lebar di wajahnya.
"Baiklah, buka mulutnya. Saya mau lihat, seberapa rajin kamu menyikat gigi."
Sosok wanita berparas cantik namun mulutnya tertutupi masker, serta kedua tangan yang tertutupi sarung tangan begitu dekat dengan wajah Mikuo dan langsung membuat pemuda itu nyaris tidak bernapas.
"Nafasnya rileks, Hatsune. Sudah empat bulan ini kamu datang ke sini tapi kamu selalu lupa untuk bernapas," wanita dengan rambut honeyblonde menjauhkan wajahnya dari Mikuo dan mencatat semacam hasil pemeriksaan tadi.
"Lenka."
"Jangan panggil saya begitu, Tuan Hatsune. Panggil saya Dokter," tanpa melihat wajah Mikuo, wanita yang tadi dipanggil Lenka itu tetap melanjutkan tulisannya meski nada bicaranya agak senggit.
Senyuman manis kembali mengembang di wajah Mikuo. Begitu Lenka kembali memajukan tubuhnya kepada wajah pemuda kasmaran itu, dengan sigap Mikuo meraih dan menggenggam sebelah tangan Lenka.
Lenka tidak mengambil pusing soal itu dan kembali memasukkan sebuah alat ke dalam mulut Mikuo. Ia tampak mengganggukkan kepala kepada salah satu perawat dan perawat tersebut langsung memasukkan satu alat lagi ke dalam mulut Mikuo.
Begitu alat-alat itu dilepas dari wajah Mikuo, Lenka menggeser tempat duduknya ke sisi lain untuk kembali menulis, tapi Mikuo tampak enggan untuk melepaskan tangannya.
"Tuan Hatsune, maafkan saya, tapi saya harus membuat laporan harian," ucap Lenka dengan ekspresi datarnya.
"Tapi aku mau sama-sama Lenka."
Wanita itu tampak tidak mengubah ekspresinya dan mengibaskan tangannya dengan kasar, membuat pegangan tangn Mikuo terlepas dari tangannya.
"Hentikan," Lenka membalikkan kursinya dan kembali menulis.
Mikuo menghela napasnya. Sudah empat bulan dan Lenka masih tidak mau membukakan hati untuk dirinya. Tapi ia tidak akan menyerah.
Lenka memberikan catatan kecil kepada Mikuo yang mengharuskan dirinya memberikan kepada perawat yang bertugas di depan. Mikuo keluar dari ruang praktek dengan wajah kasihan. Beberapa orang merasa iba dengannya, mungkin karena mengira pemuda itu habis merasakan sakit pada giginya.
"Tuan Hatsune, ya. Periksa dua minggu lagi, Dokter Kagamine mau Tuan kontrol."
Mikuo mengangguk. Perawat di hadapannya segera mencatat beberapa note di buku pasien.
"Hei, hei!" Mikuo terpikir sebuah ide. "Apakah kamu tahu, makanan apa kesukaan Lenk—Dokter?"
Perawat itu menyeritkan alisnya dengan bingung, tapi melihat wajah Mikuo yang berbinar-binar, perawat itu tidak ragu untuk memberitahunya.
"Permisi, apa Dokter sedang ada pasien?" Mikuo menyentuh meja resepsionis dengan sedikit antusias. Sudah dua hari yang lalu sejak Mikuo datang dan ingat, Mikuo tidak akan menyerah pada Lenka.
"Empat orang lagi, Tuan. Tuan daftar jam berapa?" tampak seorang berbalut pakaian perawat mengetuk pulpen, hendak mencatat kunjungan Mikuo.
Mikuo segera menggeleng. "Tidak, aku tidak datang untuk kontrol. Aku datang untuk menemui Dokter Lenka."
Perawat itu memasang kacamatanya dan mengangguk mengerti. "Aah, Tuan Hatsune. Kami akan tutup sekitar pukul delapan. Mungkin Dokter selesai pukul setengah delapan."
Mikuo terkekeh melihat perawat di hadapannya tampak mengerti tujuannya datang ke sini.
"Baiklah, aku akan menunggu."
Mikuo merebahkan kepalanya pada salah satu kursi. Ia tersenyum geli membayangkan Lenka akan tersenyum, berterima kasih kepadanya dan menyukainya. Pemuda itu menutup matanya, berusaha membayangkannya.
"Terima kasih, Mikuo. Aku menyukaimu."
"Aku juga menyukai Lenka. Lenka, jadilah pacarku."
"Ya, aku mau." Di sebuah pantai dengan view romantis ala artis luar negeri, wajah Lenka yang bersemu kemerahan karena malu dan cahaya sunset, Mikuo tersenyum dan memeluk wanita itu dengan erat. Keduanya saling bertatapan, saling mendekatkan wajah. Wajah Lenka dan mata terpejamnya.
"Apaan sih ah!" Senyuman di wajahnya langsung berganti dengan wajah ketakutan begitu orang-orang melihatnya karena mendengar teriakan sumigrah Mikuo. Pemuda itu langsung menundukkan kepalanya dan mengutuk dirinya sendiri pada tingkahnya yang kebangetan.
"Tuan Hatsune?"
Mikuo membuka matanya dan mendapati wajah Lenka di hadapannya. ia langsung bangun dengan panik. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Tampak wajah beberapa perawat yang ia kenali tertawa geli. Mikuo kembali mengalihkan pandangannya menuju jam dinding di atas pintu praktek. Pukul setengah sembilan malam. Great. Good job, Mikuo ganteng.
"Sudah tutup ya? Hahaha," Mikuo menggaruk tenguknya dengan gelisah. Lenka Kagamine tampak membuka tasnya yang bergelayut manja pada bahunya.
"Kamu ketinggalan jadwal? Saya akan bukakan ruang praktek untukmu."
"Eng—enggak!" pemuda berrambut teal itu menangkap kedua telapak tangan mungil milik dokter gigi manis di hadapannya dan menggenggamnya dengan erat.
"Ijinkan aku mengajakmu pergi, Lenk—Dokter!"
"Tidak."
Tidak sempat Mikuo menghela napasnya, Lenka sudah menolak tepat setengah detik setelah Mikuo berbicara. Bahkan, dia masih dalam kondisi menahan napas dan tidak menghembuskannya sama sekali.
Para perawat bergantian menoleh satu sama lain dan menatap Mikuo dengan iba.
"Dokter belum makan, kan? Aku mau mengajak Dokter makan malam. Please?"
"Tidak," Lenka membiarkan tangan dinginnya digenggam Mikuo dengan erat, namun tampaknya wanita itu tidak mengubrisnya sama sekali dan tetap bicara dengan monoton.
Wajah syok Mikuo membuat para perawat saling berbisik dan bergumul sendiri. Mereka langsung membisiki Lenka setelah memutuskan hasil rundingan mereka. Dengan berat hati, Lenka menghela napasnya panjang dan berkata dengan nada yang sama. "Baiklah. Buang napasmu, kamu bisa mati kalau begitu."
Mikuo tersenyum sumigrah dan bangkit berdiri. Ia menggenggam erat tangan Lenka, namun wanita itu dengan cekatan melepaskan genggaman tangan Mikuo.
"Kalau kamu menyentuhku seujung jaripun, kujamin kamu akan menjerit kesakitan dua minggu kedepan," ucap Lenka sambil mendelik. Mikuo langsung memasukkan tangannya ke saku dan mengangguk gembira.
"Aku tidak akan macam-macam, Lenk- Dok!"
Mikuo langsung berdiri di depan Lenka dan tersenyum kepada setiap perawat di sana. Ia menganggukkan kepala dan bersiul riang, membuat Lenka menggelengkan kepalanya.
Perawat-perawat lain melambaikan tangannya dan mengucapkan kata-kata penyemangat yang direspon baik dengan Mikuo. Mahasiswa semester enam itu memukul kakinya sebagai pelampiasan rasa gembiranya. Lenka mendahului langkah Mikuo tanpa menoleh sedikitpun.
Mikuo tersenyum senang dan mengamati wanita yang tengah memunggunginya itu dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Rambut honeyblonde yang biasanya diikat satu digerai menutupi sedikit bahunya. Punggung yang selalu ia lihat tertutup dengan jas dokter kali ini terlihat jelas dengan kemeja putih dan rok biru navy cantik. Kaki yang biasanya hanya terbalut kaus kaki kali ini terlihat dengan sepatu cantik yang senada dengan rok biru navy-nya.
"Tuan Hatsune? Kenapa kamu melamun? Kalau sepuluh detik lagi kamu masih diam saya akan tinggal pergi."
Melihat Lenka yang menoleh kepadanya dengan ekspresi datar, membuat Mikuo kembali tersenyum lebar dan berlari kecil untuk menyamakan posisi tubuhnya dengan tubuh Lenka yang mungil.
"Siap, Dokter!"
Motor hijau gelap Mikuo terparkir rapi di parkiran. Pemuda itu membantu Lenka berdiri, tapi dokter gigi itu menolak. Mikuo agak kecewa begitu Lenka menaruh tas kerjanya di antara dia dengan wanita itu, tapi kekecewaannya itu tidak berlangsung lama saat motornya berjalan, Lenka menggenggam ujung bajunya dengan erat.
"Tara! Kudengar Dokter sangat menyukai makan makanan laut! Jadi aku mengajakmu ke restoran seafood!"
Terlihat sedikit binar bahagia pada mata Lenka, tapi begitu maya. Walaupun sedikit, Mikuo tersenyum puas.
Keduanya memasuki restoran seafood yang ramai pengunjung dan mencari tempat duduk untuk keduanya makan. Tapi sayang sekali, tidak ada satupun tempat yang bisa untuk mereka berdua.
"Saya makan berdiri juga tidak apa kok."
"Tidak!"
Dengan cepat Mikuo menolak. Tapi pemuda itu kembali melirik jam yang ada di ruangan itu. Memang, sudah menunjukkan jam malam tapi tak satupun yang beranjak dari tempat duduknya untuk pergi.
"Hatsune, saya tidak keberatan untuk makan di motormu, kok."
Mikuo menunjukkan wajah kecewa, tapi ia mengangguk lesu. Keduanya memesan makanan untuk dibungkus dan keluar dari restoran seafood itu menuju parkiran.
"Maafkan aku, Dok. Aku menemukan pemandangan bagus yang bisa kita lihat di dalam, tapi sepertinya tidak satupun yang mau beranjak dari sana."
"Tidak apa. Lagipula, saya tidak peduli dengan pemandangannya. Saya lebih suka dengan masakan seafood."
CatatanPribadi. Lenka Kagamine tidak suka pemandangan indah melainkan lebih suka masakan seafood.
Tampak Lenka antusias menunggu Mikuo membuka bungkusan yang mereka pesan. Memang, wanginya menyeruak keluar begitu terlihat gurame saus manis dan lobster bakar. Mikuo ikut gembira begitu melihat Lenka yang tampak berbinar-binar menatapi lobster merah cantik itu.
Andai aku lebih disukainya daripada lobster tidak bernyawa itu.
Mikuo membantu Lenka membuka cangkang lobster dan keduanya mengucapkan kata-kata secara serempak. "Selamat makan."
Sebelum lobster maupun gurame itu tersentuh, terasa rintik-rintik hujan menyentuh permukaan kulit mereka berdua. Lenka langsung mengambil dua bungkus makanan itu ditambah Mikuo yang menuntun motornya untuk berteduh.
Begitu keduanya sudah berteduh, munculah hujan deras yang mengguyur permukaan tanah.
Mikuo lelah. Kenapa semua begitu sulit untuknya, bahkan hanya untuk ngecengin gebetan?
"Maafkan aku, Dokter. Rasanya, acara kita menjadi serba sial karena aku," ucap pemuda itu menggoyangkan kakinya. Ia mengutuk dirinya sendiri. Kenapa ia lahir jadi orang yang tidak beruntung?
Tidak terdengar respon dari Lenka. Mungkin wanita itu terlalu kesal dengan dirinya. Mikuo kembali membka mulutnya. "Maafkan aku yang membuatmu tertimpa kesialanku, Dokter. Seharusnya aku tidak senekad ini untuk mendekatimu."
Mikuo menghela napasnya dengan lelah. "Aku tahu pasti Dokter susah karena sikapku ini. Tapi aku tidak akan menyerah dan akan membuat Dokter menyukaiku."
Tidak ada respon lagi. Mikuo akhirnya memberanikan diri mengangkat kepalanya. Tangis atau wajah kecewa Lenka, berani ia tanggung.
Tapi apa? Wajah sumigrah Lenka yang tengah melahap lobster yang Mikuo dapati. Wanita itu terlihat sama sekali tidak mengubris apa yang sedang pemuda itu lakukan.
Merasa diperhatikan, Lenka menolehkan kepalanya. "Apa kamu tadi bicara sesuatu, Hatsune?"
"Tidak."
"Ayo kita makan. Rasanya lezat sekali. Kamu sangat pintar mencari tempat makan, Hatsune."
Mikuo tersenyum kecil. Ia menyampirkan jaketnya di pundak Lenka dan membantunya duduk di lantai.
"Ya, ayo kita makan!"
Setelah sedikit bertengkar, akhirnya Lenka memutuskan untuk menerima diantar pulang walaupun terlihat dari gaya bicaranya yang tidak segembira tadi bahwa wanita itu agak kesal.
Sesampainya di depan rumah Lenka, Lenka segera melompat turun, mengucapkan terima kasih dan buru-buru masuk ke dalam rumah.
Mikuo tersenyum kecut dan menatap lurus pada pintu rumah Lenka.
Mungkin dia memang tidak ada rencana untuk mengundangku masuk, bahkan hanya untuk berbasa-basi.
Sebelum Mikuo melajukan motornya, ia menemukan sosok laki-laki yang berjalan berlawanan arah dengannya. Terlihat bahwa laki-laki itu ramah dengan senyum yang tertuju padanya, walaupun mereka tidak saling mengenal. Mikuo membalas senyuman itu dengan sedikit kaku.
"Dari rumah Lenka?"
Orang ini mengenal Lenka?
Mikuo menyerit bingung, menganalisis laki-laki di hadapannya dengan teliti. Laki-laki itu tampak salah tingkah.
"Oh, kukira dari rumah ini. Maaf ya kalau salah," laki-laki itu kembali tersenyum dan mengangguk, melewati tubuh motor Mikuo. Mikuo segera menoleh ke belakang, melihat sosok punggung pria itu memasuki rumah yang tadi dimasuki Lenka.
Apa hubungan orang ini dengan Lenka?
Mikuo memasuki kawasan klinik kecil dengan wajah muram. Para perawat yang ingin menggodanya mengurungkan niat mereka dan merasa heran kenapa Mikuo terlihat begitu mengenaskan.
Mikuo menjatuhkan dirinya pada kursi di sudut yang paling dekat dengan loket resepsionis.
"Kenapa kamu melankolis gitu sih?" perawat yang sudah akrab dengan Mikuo menyodorkan tubuhnya lewat meja resepsionis dan menyerit melihat Mikuo bersender mengenaskan.
"Aku putus asa, He. Kenapa aku sial banget sih?"
Yan He, perawat tersebut, memilih untuk tidak bertanya apapun lagi daripada diberikan pertanyaan yang seharusnya dijawab oleh dirinya sendiri.
Merasa temannya begitu menyedihkan, Yan He melempar saset kopi kepada Mikuo. "Gratis, untuk kali ini," ucap Yan He kembali menyisir rambutnya dengan jari.
Mikuo menaruh saset kopi bubuk itu ke pinggir mejanya dan menjatuhkan kepalanya pada meja yang dingin. Setidaknya, hal itu membantunya untuk mengurangi rasa negative kepada laki-laki yang kemarin ia temui.
"Yan He!"
Mikuo mengangkat kepalanya dan bersuara keras, membuat Yan He kaget.
"Apaan sih buat kaget aja."
"Dokter Lenka suka hewan? Suka kucing atau anjing?"
Menghiraukan suara sinis Yan He, Mikuo memberikan pertanyaan yang seharusnya bersifat pribadi itu. Yan He tampak berpikir.
"Ikan. Dia suka banget seafood. Kenapa?"
Mikuo nyaris menjedukkan kepala Yan He ke tembok. "Sial!" umpatnya. Ia memang lupa kalau Lenka sangat menyukai seafood, tapi ternyata ia sebodoh itu untuk tidak memperhatikan sekitarnya kalau ternyata kesukaan Lenka banyak yang mengetahuinya.
Yan He memberikan cengiran sambil mengetuk-ketuk pena pada dahinya yang tertutupi poni-poni pendek. "Mmmm… Hawaii?"
"Terima kasih atas saranmu tapi aku tidak akan memakainya. Ongkos mahasiswa tidak cukup untuk pergi ke Hawaii," Mikuo memutar bola matanya dan melanjutkan bicaranya. "Lagipula, aku yakin seratus persen ia akan menolaknya."
"Apa, Hawaii?"
Suara merdu yang sangat membuat Mikuo tergila-gila berhasil mengusik konsentrasi kedua orang yang tengah berdebat itu dan menolehkan kepala mereka menuju sumber suara.
"Len- Dokter!"
Tampak sesosok wanita dibalut polesan make-up tipis tengah menyesap segelas minuman dan bertolak pinggang sedang menatap mereka. Otomatis, Mikuo memalingkan wajahnya dengan kecut. Lenka yang melihat itu mengendikkan bahunya dan memilih kembali menyeruput teh-nya.
Yan He yang merasakan suasana awkward berusaha mencairkan suasana tegang. Wanita itu tertawa gugup dan menepuk kepala Mikuo. "Iya Dok, ini si Hatsune ada-ada saja mau minta ke Hawaii. Memangnya uang mahasiswa cukup apa untuk pergi ke Hawaii."
Walaupun Mikuo tidak menoleh kepada Lenka, ia tetap memasang telinganya untuk mendengar suara yang ia tunggu.
"Oh."
Oh awesome. Mikuo nyaris menghantam kepalanya ke meja. Hebat, ia lupa kalau yang ia kejar ini adalah seorang snow queen.
Mikuo, kalau kamu enggak yang ngejar, kamu enggak akan mendapatkannya.
"Len—Dokter!"
Mikuo bangkit berdiri, menggenggam sebelah tangan Lenka yang bebas dan menatap mata wanita itu dalam-dalam.
"Aku akan membantumu!"
"Bantu apa?" Lenka bicara dalam nada monotonnya. Walaupun ia membalas tatapan mata Mikuo, tapi Mikuo melihat kekosongan dalam mata wanita di hadapannya.
"Mmmm… apa saja," Mikuo terlihat gelisah begitu Lenka bertanya. Sungguh, ia seorang mahasiswa jurusan musik, bukan mahasiswa kedokteran!
"Kalau begitu," Lenka menarik tangan yang tadi dipegang Mikuo ke sisi tubuhnya. "Bantu aku tetap diam dan jangan mengusik hal pribadiku."
Mikuo terasa seperti dilempar ribuan pasir ke dalam tubuhnya. Tidak sakit, tapi tajam. Mikuo tersenyum getir mendengar penolakan dari wanita pujaannya.
Belum tiga langkah Lenka meninggalkan mereka, Mikuo berbisik namun dipastikan dapat didengar oleh Lenka. "Maaf, tapi aku tidak akan menyerah, Lenka."
Lenka tampak tidak peduli dan melanjutkan langkahnya menuju ruang praktiknya. Sekali lagi, para perawat menunjukkan wajah ibanya, tapi tidak untuk Yan He yang tengah menahan tawa mengejek.
"Apa ketawa," ketus Mikuo. Yan He menggeleng serta menahan tawanya sampai keluar air mata. "Kalau mau ketawa, ketawa aja."
Tak dapat menahan lagi, Yan He menyemburkan tawanya sambil memukul meja. Wanita itu tertawa terbahak-bahak ditemani wajah bete Mikuo.
Wanita itu mengangkat tangannya dengan lemas, menyerah. "Nih," wanita itu merogoh saku pakaian perawatnya dan menyerahkan dua buah kartu.
"Apa?"
"Tiket masuk sea world," jawab Yan He enteng. Ia mengedipkan sebelah matanya sambil mengacungkan jempolnya, dan berhasil membuat Mikuo melongo bingung selama beberapa detik.
Kesal melihat respon lambat Mikuo, Yan He menoyor kepala pasien merangkap teman SMP-nya dulu dan berhasil membuat Mikuo meringis kesakitan. "Kamu cewek atau apa sih?"
"Pakai itu untuk berkencan dengan Dokter!" Zhao Yan He mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Mikuo.
"Zhao Yan He, kamu memberikannya gratis untukku?"
"Tidaklah, bodoh," ucap Yan He sambil menjitak kepala Mikuo entah yang keberapa kalinya. "Diberikan adikku, tapi Yuu –pacarku- tidak suka hewan laut, jadi ku jual kepadamu."
"Kantong mahasiswa tipis, Jiějiě," Mikuo berusaha mengucapkan logat orang Tiong Hua tapi gagal.
"Cukup belikan aku tiket konser dua bulan lagi dan lunas."
Mikuo menatap wanita di hadapannya itu tidak percaya. What the!?
"Yan He bilang kalau kamu mau bicara? Kuharap bukan hal yang menyangkut hal pribadiku."
Mikuo meneguk ludahnya. Ia seketika lupa kalau berhadapan dengan seorang dokter gigi super cool itu lebih menyeramkan daripada periksa gigi itu sendiri.
Mikuo langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. "A-aku hanya mau mengajak Dokter pergi ke sea world."
Sebelum Lenka membuka mulutnya yang kemungkinan besar untuk menolak, Mikuo kembali berbicara. "Kudengar di sana seafood-nya enak banget."
Dokter berperawakan dingin itu terdiam, tampak menimbang-nimbang ajakan Mikuo. Dalam hati pemuda berusia dua puluh satu tahun itu memanjatkan doa agar setidaknya sekali saja ia diberikan kesempatan untuk menunjukkan kejantanannya.
"Baiklah."
Mikuo membentuk lengkungan tipis pada bibirnya. Dalam otaknya, Mikuo langsung mengatur strategi jitu agar Lenka jatuh kepadanya.
Mikuo menoleh kesana kemari dengan gelisah.
Kemarin Lenka bilang kalau dia akan datang, tapi aku kurang teliti untuk melihat apa hari ini dia ada jadwal praktek atau nggak. Gawattt.
Mikuo memainkan rambutnya yang berjatuhan karena keringat. Di tempat seramai itu, ia mengutuk dirinya sendiri kenapa tidak menanyakan nomor telepon atau kontak Lenka. Bahkan mereka tidak menentukan tempat janjian! Tindakan yang sangat gegabah, Tuan Hatsune.
Memainkan rambut berubah menjadi remasan kasar. Mikuo kesal. Ia kesal pada dirinya sendiri yang ceroboh dan plinplan.
Suara dari ponselnya berdering. Dengan malas, Mikuo merogoh-rogoh sakunya dan menekan ponsel androidnya dengan cepat.
"Halo?"
"Hatsune!? Kamu di mana!? Saya sudah menunggu sekitar lima belas menit!"
Mata Mikuo membulat. Dokter Lenka? Pasti dia dapat nomorku dari Yanhe! "Dokter? Dokter di mana?"
"Saya ada di depan sea world-nya! Saya tidak punya waktu banyak. Dua jam lagi saya harus praktek. Kalau kamu tidak datang dalam waktu sepuluh menit, saya mau pulang, kerja!"
"Secepatnya!" ucap Mikuo buru-buru dan mematikan ponselnya. Ia tidak boleh menyianyiakan kesempatan ini!
Mikuo menopang tubuhnya dengan tangan. Berlari sekitar dua kilometer itu sangat menguras tenaga karena Mikuo hanya mengkonsumsi mie instan dan telur hari ini.
Pemuda itu menegakkan tubuhnya, menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari sosok Lenka. Senyumnya melebar begitu melihat Lenka sedang berdiri sambil menekan ponsel sambil tengah menggerutu.
"Dokter," panggilnya. Lenka mengangkat kepalanya dan menyeritkan dahinya.
Sungguh, penampilan Lenka hari ini sangat berbeda. Dengan kemeja putih dan rok jeans 3/4 yang sederhana sungguh membuat Mikuo pangling. Tidak ada jas dokter. Tidak ada masker. Tidak ada kacamata tipis yang ia dapati setiap menatap wajah Lenka dengan lama.
"Ayo masuk," ucap Lenka datar. Walaupun ia berbicara dengan nada datar, Mikuo tersenyum kecil. Ia mengetahui getaran yang berbeda dalam suara Lenka.
Mereka melewati gerbang sea world yang tidak ramai seperti pada hari liburan lainnya. Mungkin karena hari itu adalah hari kerja. Lenka berjalan duluan dan membiarkan Mikuo mengekorinya sambil berusaha menyamakan langkah kaki pada dokter gigi yang ia ajak kencan itu.
Mikuo menyerahkan dua tiket masuk kepada petugas dan diberi gelang tali yang tertulis tanggal hari itu untuk menjadi tiket keluar masuk sea world.
Tampak Lenka memperhatikan kolam aquarium besar yang berisi dua ekor gurita yang melihat tajam kepada wanita itu.
Salah satu gurita menghampiri Lenka dan menempel pada kaca di depan Lenka. Dokter gigi itu melonjak kaget begitu salah satu tentakel gurita itu mengetuk kasar tepat di depan muka Lenka. Mikuo mendengus geli dan menyentuh pundak Lenka, menyingkirkan tubuh wanita cantik itu sedikit menjauh dari aquarium.
Lenka membuka mulutnya dan kembali menutupnya, mengulanginya beberapa kali sehingga membuat Mikuo kembali terkekeh geli. Pemuda itu mengambil sebelah tangan Lenka dan menautkan gelang tanda masuk yang tadi diberikan kepada lengan kiri Lenka.
"Aayo kita melihat yang lain, Dokter," Mikuo menyentuh sebelah pundak Lenka, menggiringnya menuju aquarium lain. Lenka agak menundukkan wajahnya dan mendahului langkah Mikuo.
Mikuo tersenyum geli. Baiklah, ia akan menikmati ini.
Asyik berkeliling, Lenka bertemu mata dengan seseorang yang ia kenali. Tampak dalam matanya kalau ia terkejut. Mikuo yang sedang asyik mengetuk aquarium yang terisi oleh bayi ikan pari tidak merasakan suasana hati Lenka yang memburuk.
Mikuo menoleh ke sekelilingnya begitu merasa pakaiannya diremas kasar oleh jemari mungil. Getaran hebat yang dapat terlihat oleh mata jeli Mikuo, segera membuat Mikuo menyamakan arah pandangan Lenka. Ia mendapati sosok laki-laki yang pernah ia temui di sekitar rumah Lenka sedang berjalan ke arah mereka, walaupun pandangan laki-laki itu tidak melihat mereka.
Mikuo melirik wajah Lenka. Pucat pasi, gemetaran, seperti mabuk laut. Ia tidak pernah menghadapi sikap ketakutan ini sebelumnya, yha selain adik perempuannya yang mabuk laut.
Segera Mikuo merendahkan tubuhnya dan mendekatkan bibirnya ke wajah dokter gigi itu.
"Ada apa, Dokter?" bisiknya sambil sedikit melirik laki-laki yang membuat Lenka ketakutan.
"Ki-kita harus pergi sekarang, Hatsune. Ayo cepat, saya mau pulang," ucap Lenka dengan panik dan terburu-buru.
Mikuo menggeleng sedikit. "Tidak, kita tidak pergi sekarang. Sekarang ikuti petunjukku, aku akan mengkamuflase diri kita." Mikuo mendekatkan tubuhnya ke tubuh mungil wanita di hadapannya dan mendorongnya pelan, sambil berbisik maaf berkali-kali.
TO BE CONTINUED
SaeSite
Anyonghasaeyo! Saya kembali dengan fict romance! Udah lama banget ya rasanya saya enggak ngepost fict romance. Yang terakhir kalau enggak salah…
Pinky Promise –FriendShip, Meteor- Family, Just Hate – Friendship, 3L – Family
Sejujurnya aku sendiri lagi ga ngerasa bisa nulis romance yang penuh teka-teki. Saya juga rencana ngembangin cerita dengan tema Family, lagi suka banget hehe.
But, this is for you wiki pempers (baca: winkiesempress), rencananya mau buat one shot, tapi keblablasan. Yha, rasanya kayak nulis tiga tahun yang lalu /eh.
Maaf kalau ada kata-kata yang enggak berkenan, (but I'm not sorry about that wiki pempers)
Sampai jumpa di chapter berikutnya!
