Disclaimer: bukankah seluruh karekter dalam Naruto milik Masashi Kishimoto?!
Genre: Family, Romance, Drama, Hurt/Comport
Main Chara : Ino Yamanaka and Shikamaru Nara
Warning : Author amatiran, banyak kesalahan dalam penulisan, payah EYD, banyak typo(s), hanya berharap maklum dari para readers.
Evidense
"Aku sedang tidak mau berdebat apa-apa, Ino. Aku lelah" ucap suami ku, Shikamaru saat dilihatnya aku memasang tampang acuh menatap kearahnya. Ia baru saja pulang kerja, dan bukannya mengucapkan 'aku pulang, tadaima, i'm home' yang pertama keluar dari mulutnya malah mengenai ia tidak ingin ada perdebatan diantara kami. Ya memang, sudah hampir beberapa bulan ini rumah tangga kami selalu saja dirundung dengan percecokan. Saat ia baru pulang kerja, bahkan saat satu sama lain sudah berada diatas tempat tidur yang sama. Ini benar – benar bukan keluarga yang dapat dikatakan harmonis.
Entah sejak kapan tepatnya, aku selalu merasa ada yang ia sembunyikan dari ku, ia sering pulang terlambat dan entah apa yang ia lakukan diluar sana. Sedangkan aku, aku hanya berkutik dengan urusan ku sebagai ibu rumah tangga. gelar magister dokter ku campakan saat aku lebih memilih untuk menjadi istri dan ibu yang baik. Bukannya aku menyesal dengan keputusan ku, aku hanya ingin dihargai seluruh pengorbanan ku. Terkadang aku merasa bahwa ia sudah melupakan ku, dan kembali kerumah ini hanya karena satu alasan, Shaka Nara. Semua orang tahu betapa ia menyayangi anak laki-lakinya itu.
"Kau selalu menghindar Shikamaru." Ucap ku sarkatis sambil memalingkan wajah ku kearah lain. Ia tak mengubris ku, mungkin kali ini ia benar – benar enggan berseteru dengan ku. Ia melewati ku begitu saja yang duduk dikursi ruang tamu. Tak sadarkah ia, aku menunggunya? Ingin menangis rasanya saat ia membuka pintu dan kata yang ia ucapkan tidak sesuai harapan ku. Ia melenggangkan kakinya masuk keruang tengah. Lebih tepatnya kamar tidur kami berdua.
Aku yang merasa jengkel karena diacuhkan, serta merta mengikuti jejaknya. Ku temukan ia sedang mengeluarkan beberapa barang- barang dari tas yang ia bawa seperti handphone, kunci mobil,dompet, labtop dan menaruhnya diatas meja kerja berserta jam tangannya. Setelah itu, membawa handuk dan memasuki kamar mandi dengan membawa beberapa lembar pakaian bersih. Aku sedari tadi hanya memilih untuk memerhatikan semua gerak-geriknya sambil mendudukan diri di sofa kamar. Taklama, terdengar suaru guyuran air dari shower .
Tatapan ku teralih pada beberapa figura yang ada dikamar kami, dan tepatnya saat netra ku menangkap foto yang memperlihatkan aku dengan gaun pernikahan berwarna pastel dengan aksen ungu dan disebelahku ada pria memakai tuxedo hitam dengan corak slice yang sama, ku pejamkan mata ku untuk sesaat. Rasa nyeri yang tidak dapat ku definisikan.
Ada pertanyaan yang tidak bisa ku dapatkan jawabanya, apakah lelaki dihadapan ku ini masih memiliki perasaan yang sama ketika ia memakai tuxedo hitam dan berdiri disebelahku? Atau kalimat mudahnya, apakah ia masih mencintai ku, setidaknya dengan cara yang sama? Sungguh, mendapatkan gelar dokter dalam bidang Neurolog tidak mambantu otak ku mendapatkan jawabanya.
Aku ingin jawabannya adalah YA! Tapi yang ada, bukti yang ku dapatkan untuk membenarkan keinginan ku itu tak kunjung kudapatkan. Ya tuhaaann..! gregetannya aku, seandainya ia memang masih mencintai ku, apa susahnya mengatakannya dan pasti tidak akan ada percecokan lagi. Aku hanya butuh dibuat yakin.
Ia keluar dari kamar mandi dengan kaos berwarna dark burnette dan celana jeans selutut, membuatnya terlihat sangat kasual. Air bekas guyuran masih sedikit menetes dari ujung-ujung rambutnya, bulir air membasahi handuk yang tersampir dipundaknya. Aku beranjak dari posisi semula ku untuk mendekatinya. Dengan angkuh, ku lipatkan kedua tangan didepan dada ku.
"Sekarang apa lagi alasan mu terlambat pulang? Kemana saja kau? Harusnya kau sudah dirumah sejak jam 5 tadi Shika!" aku mulai kembali menghujaninya dengan berbagai pertanyaan saat sekitar beberapa senti dibelakang tubuhnya. Ia masih juga tidak menjawab, malah sibuk mengelap rambutnya.
"Shika..!" paksa ku sembari membalikkan tubuh suami ku setengah paksa. Ia membalas tatapan ku, walau masih saja tidak menjawab pertanyaan yang ku lontarkan .
"Jangan bilang kau sibuk lagi!"
"Nah, kau tahu kan?!" Akhirnya, ia bersuara juga. Ku palingkan tatapan ku darinya dengan acuh, jelas sekali bahwa aku menyepele kan jawabannya.
"Iya, sibuk! Sibuk bertemu dengan gadis-gadis yang kau kenal didunia maya, sibuk membalas semua pesan yang masuk dimassenger mu dari perempuan jalang, sibuk sayang-sayangan dengaan..."
"Cukup Ino, jaga bicara mu! Kau selalu menuduhku yang tidak-tidak!" Selanya saat aku baru akan melanjutkan kalimat ku.
"Menuduh kata mu? Oh yaaa? Astagaaaaa...!"
"Mendokusei." terdengar pula kalimat andalan suami ku ini, hampir setiap orang yang mengenalnya pasti pernah mendengar kata keramat itu disebutkan olehnya.
"Apanya yang mendokusei? Aku? Bagaimana dengan gadis-gadis yang kau kenal diluar, apa mereka tidak membuat mu merasa seperti itu?"
"Perempuan mana yang kau maksud, Ino? Sakura, ten-ten, hinata,karin, ayame..."
"Temari..!" Kali ini giliran ku yang menyela ucapanya. Bosan aku dengan intermezzonya membawa nama-nama teman ku sendiri. Dan sekarang, skakmat lah dia! Nampak sekali mata sipit suami ku membulat sempurna, nampaknya ia tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
"Kau tahu, semenjak kau mengenalnya, kau jadi lupa sama anak dan istri mu..?"
"Harus berapa kali kukatakan Ino, dia partner bisnis ku. Tidak lebih."
"Dia partner bisnis mu, ATAU PARTNER DIRANJANG MU?" aku berkata dengan penuh penekanan di empat kata terakhir ku.
Biip..! Bipp..! terdengar suara dari ponsel Shikamaru, lampu LED dari ponsel suami ku berkedip-kedip dengan warna merah tanda bahwa ada pesan baru masuk. Kami berdua secara bersamaan mengalihkan perhatian kearah sumber suara. Ia pun langsung beranjak mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menjadi penolongnya dari sindiran ku.
"Pacar mu? Apakah ia menanyakan kau sudah bersih dari sisa bercinta kalian?" kontan saja Shikamaru menghentikan jarinya mengetik pada tombol fungsi diponselnya. Dan tak perlu diberitahu, aku sadar kata-kata ku ini benar-benar ketelaluan. ia memasukkan ponsel cerdasnya didalam saku lalu berjalan mendekati ku. Amat jelas gurat wajahnya menahan emosi yang meluap.
"Bisakah sekali saja kau berhenti menuduhku Ino?"
"Oke, sekali saja kan? Hari ini aku berhenti. tapi besok dan.."
"Ya tuhaaan..! bagaimana agar kau percaya bahwa aku tidak seperti yang kau tuduhkan Ino?" Shikamaru terlihat frustasi dengan semua kelakuan ku. Tapi aku tak peduli, satu-satunya yang menjadi prioritasku adalah keyakinan bahwa apa yang ku katakan tidak salah.
"Berikan ponsel mu..!" Pinta ku sambil mengulurkan tangan kanan ku, meminta apa yang kukatakan barusan. Jengah, Shikamaru mengambil handphonenya dari saku celana dan dengan agak kasar ia menyerahkannya pada ku. Aku mundur beberapa langkah darinya, berjaga–jaga siapa tahu ia langsung merebut kembali ponselnya. Ia sendiri hanya membuang tatapannya kearah jendela kamar. Taklama...
"apa passwordnya, Shikamaru?!" Tanya ku, begitu aku mendapati untuk masuk keakses interface ponselnya membutuhkan password.
"Terserah..!" jawabnya yang terdengar sangat acuh.
"Sekali lagi aku tanya, APA PASSWORDNYA TUAN SHIKAMARU NARA?" Kali ini aku setengah berteriak.
"Passwordnya TERSERAH, INO. TERSERAH..!" Balasnya dengan suara tinggi yang sama. Untuk moment yang ini, habis sudah kesabaran ku.
Bruuukk..! Bunyi ponselnya yang kulempar kesofa kamar yang tadi ku duduki dan kembali menatapnya nyalang. Ia sendiri, kali ini benar-benar tidak bisa menyembunyikan otot-otot wajahnya dari emosi.
"keterlaluan kau Shikamaru."
Shikamaru ku lihat menggelengkan kepalanya, ia tersenyum hampa untuk ku sebelum berkata...
"Ya tuhan, wanita macam apa yang ku nikahi?" Setelah mengatakan demikian, ia langsung menyambar kunci mobil yang tertaruh manis diatas meja kerjanya. Melenggangkan kakinya, melewati ku begitu saja pergi meninggalkan kamar kami berdua.
"touu-saan..!" kudengar suara cempreng khas putra ku memanggilnya, entah sejak kapan ia berada dibalik pintu kamar kami. Kasihan anak itu, ia harus menjadi korban keegoisan kami. Shikamaru nampak sudah menutup mata dan telinganya, ia berlalu begitu saja tanpa memperdulikan anak kecil yang memanggil statusnya sebagai seorang ayah.
Blaaaaammm..!
Pintu yang tertutup dengan menggema nyaring itu mengartikan bahwa ia sudah keluar dari kediaman kami. Taklama, disusul suara mesin mobil yang menyala dan sedikit demi sedikit suaranya menghilang. Entah kemana sekarang kepala keluarga nara itu perginya. Tetap pada posisi berdiri ku, sekarang pandangan focusku terarah pada anak kecil berumur lima tahun yang berdiri diambang pintu. Air mata ku sudah hampir menetes, namun setengah mati kutahan. Ku pikir, aku seorang ibu dan aku harus terlihat kuat didepan anak ku.
Perlahan, Shaka membalikan tubuhnya kearahku. Pandangannya mengarah pada jari-jari kakinya yang bersih. Dalam keadaan tertunduk begitu, ku pikir ia tengah melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan. Berusaha untuk tidak menjatuhkan bulir air mata. Tapi aku salah, saat ia mengangkat wajahnya untuk menatapku, kudapati senyum andalanya yang membuat mata sipit dengan kornea aqua yang menurun dari ku itu semakin tenggelam. Ia mendekati ku, membuat ku berjongkok agar menyetarakan tinggi kami. Kata maaf ku akan terdengar untuk kesekian kalinya bila ia tidak dengan cepat memeluk ku.
"passwordnya itu t-e-r-s-e-r-a-h, terserah kaa-san, terseraah." ujar anak ku, dengan ejaannya yang sempurna untuk anak yang masih duduk dibangku taman kanak-kanak. Ia memang putra Nara si jenius dengan IQ-200 kan?! Jadi tidak perlu kaget.
Dengan itu, aku langsung merutuki kebodohan ku. Kenapa anak ku yang masih kecil saja mampu memahami hal sepele seperti itu? Memang mengecoh, tapi setidaknya aku tidak terbawa emosi hingga inilah yang terjadi. Sungguh seumur–umur dalam kehidupan rumah tangga kami yang memang sering diwarnai pertengkaran, tak pernah sekalipun Shikamaru pergi menginggalkan rumah seperti ini. Lalu yang lebih parahnya, ia bahkan bisa mengacuhkan putra yang satu juta kali lebih ia anggap berharga dari dirinya sendiri.
Sebegitu marahnya kah kau, Shikamaru? Apa saat ini jika aku berkata aku menyesali apa yang ku lakukan, kau akan kembali?!
Ini sudah hampir jam sepuluh malam, atau lebih tepatnya hampir tiga jam suami ku itu pergi. Aku sendiri juga tidak tahu ia kemana arah perginya. Mau menghubunginya pun tidak bisa, karena handphonenya yang menjadi korban amukan ku tertinggal di tempat yang sama saat aku melemparnya. Aku cemas, tentu saja. Bagaimana tidak cemas saat lelaki yang kau cintai pergi meninggalkan rumah dengan keadaan emosi yang memuncak, salah-salah hal yang terfatal adalah ia pulang hanya meninggalkan nama. Jujur, sebego-begonya aku, aku enggan berstatus janda. Beranak satu pula. Nooo..!
Sakura, ingin rasanya aku menghubungi sahabat baik ku itu, tapi rasanya tidak etis menelponnya dijam tidur begini. Ia atau Naruto juga pasti sedang mendongengkan Sucia-chan, atau malah sibuk dengan tangisan Kaito-kun yang baru berusia tiga bulan. Mengingatnya, sebersit niat untuk ikut merealisasikan ajakan reuni yang diberikan oleh sahabat–sahabat ku.
Aku kembali menduduki sofa panjang yang ada dikamar ku, ku lirik beberapa kali ponsel Shikamaru yang tergeletak didekat ku. Aku terus saja melakukannya hingga sebuah tangan kecil mengangkat benda itu, memberikannya pada ku, dan secara spontan langsung ku raih.
Shaka pun langsung memposisikan diri disebelahku, aku tahu maksudnya, dan langsung saja ku ketikan password 'terserah'-nya Shikamaru pada ponsel itu. Aku memulai memeriksa isi ponsel suami ku Sebersit rasa takut hadir, tidak tahu kenapa aku jadi takut apa yang kutuduhkan itu benar. Pertaman– tama aku memeriksa dari kotak pesan singkatnya yang kudapati beberapa pesan dari Naruto,Chouzi, Shino, Neji, Sakura, Hinata yang mengajak reuni bersama. Dan bahkan, pesan yang baru saja masuk tadi dari Lee mengajukan ajakan yang sama dengan teman – teman yang lain.
Pemeriksaan ku beralih pada akun messangernya. Aku langsung speechless begitu mendapati profile picture-nya adalah foto ku yang memeluk Shaka, dengan status messanger 'they are my best thing in my life'.
Memang, ia berchating-ria dengan teman–teman perempuannya, namun hampir seluruhnya adalah teman ku juga. Dan bila ia diajak berkenalan oleh perempuan yang tidak ia kenal, ia pasti akan mengakui statusnya sebagai seorang suami dan ayah.
Deg..! jantung ku agak berdetak lebih cepat saat ku temukan salah satu name-contact chat Shikamaru adalah Temari. Agak ragu, tapi akhirnya ku beranikan diri untuk membukanya juga.
Aku salah! Satu juta kali salah, semuanya tidak seperti tuduhan ku. mereka memang hanya membahas persoalan kerja. Bahkan sesekali, Temari mengundang Shikamaru untuk mengajak ku dan Shaka kerumahnya. Berkenalan dengan suami dan anak perempuannya. Baru kulihat pula profile picture Temari, ia memeluk lengan lelaki berambut merah, lelaki itu sendiri mengendong anak perempuan yang juga memiliki warna rambut yang sama dengannya . Status messanger 'my family is my spirit' milik Temari benar– benar membuat ku sepertinya harus mengucapkan maaf karena telah menuduhnya yang tidak-tidak.
"Liat foto kaa-saan..!" Pinta anak ku, tentunya langsung ku ikuti permintaannya. Aku beralih pada icon media dihandphone suami ku. Melihat-lihat foto yang ada dari kartu memori handphonenya.
Lucunya..! aku tak dapat menyembunyikan senyum ku saat kulihat foto Shikamaru dan sahabat – sahabat seperti Naruto, Chouji, Neji, Shino, Kiba, Lee berpose ala power ranger. Jijiknya..! itu pasti foto saat ia masih duduk dibangku SMA.
Ada lagi mereka berpose saling berhadapan, seolah menatap sang kekasih. Juga gaya sok cool, dengan pemandangan bunga sakura yang berjatuhan dari atas mereka. Dan aku sangat yakin, terlalu yakin bahwa pasti Sai lah yang menjadi juru foto mereka.
Poor Sai..!
Sedangkan foto – foto terbaru pastinya adalah fotonya Shaka, yang lebih mengejutkan buat ku, ia memiliki foto ku yang bahkan aku tidak tahu kapan ia memotretnya. Apa mungkin diam – diam, saat berlagak membaca pesan diponselnya ia memotret ku, saat berpura-pura melihat foto di kamera digital ia mengambilnya pose natural ku? Aku tidak tahu.
Lama juga aku mengexplorasi ponsel suami. Tahu – tahu aku menemukan putra ku dalam keadaan tergeletak, tertidur dengan kepala berpangku pada paha ku. Maklum, ini sudah hampir jam setengah sebeles, memang jadwal paling seret tidur untuk putra ku. Dia itu darah daging si tukang tidur Nara, mana mungkin bisa mengenal insomya, yang ada mungkin malah hypersomya. Ku angkat tubuh kecilnya, untuk kuantar kembali kekamarnya. Setelah meletakkanya dengan aman di kasurnya dan menutupi tubuh mungilnya dengan selimut bergambar rusa, aku mencium kening, pipi dan bibirnya, mengucapkan selamat malam dan berpesan padanya agar memiliki mimpi yang indah.
Good night,Shaka-kun..! have a nice dream, dear deer..!
To Be Continued...
Haloo minna..! perkenalkan, saya alleth. Ini fic pertama saya, jadi saya mohon dimaklumi banyak kesalahan disana sini. #tebar senyum khas sok polosnya alleth..!
Karena tidak bisa menentukan genre intinya, maka saya tulis saja apa yang saya pikir nyambung dengan ceritanya. Terimakasih banyak untuk para readers yang telah berbaik hati mau membaca fic amatiran ini. Saya berharap bisa menerima banyak kritik dan saran yang membangun. Jadi, review pleaseee...
