Drabble Scrabble
.
Screenplays!Kristao
.
Akai Momo (c) 2015
.
I don't own anything, except storyline
.
Yaoi/ Alternative Universe/ Typos
.
No Like, don't read!
.
Summary! : Kumpulan drabble dengan peran utama Wu Yifan dan Huang Zi Tao. Asam-kecut-pahit-manis dikombinasikan secara apik oleh pengkarakteran unik-berbeda tiap drabble-nya, Yifan dan Tao mengajak kalian untuk mengintip beberapa adegan kehidupan berdasarkan macam-macam genre.
1) Halo. Panggil aku Akai atau Momo.
2) Terinspirasi dari genre-genre yang disajikan ffnet.
3) Rnr!please for fast update soon.
.
.
[1.| Adventure]
[#Now playing: March Down – Kajiura Yuki]
[#Wordcount : 341 word]
Tugas Huang Zi Tao, sebagai salah seorang ksatria kerajaan yang dititahkan sang raja untuk menyelamatkan putrinya yang ditawan penyihir jahat, jika dipikir-pikir tidaklah memberatkan, itu adalah hal biasa dan itulah pekerjaannya.
Lelaki muda bermata persis seperti panda dan berbibir persis seperti bibir kucing tersebut hanya cukup melakukan hal-hal sama yang ia lakukan setiap pelatihannya sebagai trainee ksatria, entah itu berkelana melewati desa-desa kerajaan, melewati padang ilalang menawan-bukit berumput hijau mempesona-sungai berair cantik-gunung gagah perkasa hanya untuk menuju sebuah menara kuno tinggi menjulang untuk menyelamatkan sang putri malang (abaikan jenis kelamin aslinya yang seorang lelaki tulen, jika melihat wajah cantik sang putri bermata rusa tersebut) setelah mengalahkan penyihir jahat minim ekspresi dan naga raksasa peliharaannya.
Seharusnya seperti itu. Dan setahu Tao dari celoteh-celoteh para ksatria senior lain memang seharusnya seperti itu, datang-lawan-membawa pulang putri sang raja yang ditawan. Selanjutnya melakukan pesta perayaan akan keberhasilan semeriah mungkin.
Tetapi yang terjadi sangat-sangat-sangat jauh dari ekspetasinya.
Kala itu, saat ia sampai di halaman depan menara kuno tua tinggi, tiba-tiba ia dihadang oleh naga hitam besar bertanduk dan bersayap lebar, dengan mata menatap nyalang dan hidung yang mendengus-denguskan asap mengepul. Tak lama, naga bermata merah darah itu menyeringai lebar, memamerkan deretan gigi tajamnya yang dihias cantik oleh liur kental yang menetes menujam tanah berumput jarang. Dan ketika lelaki muda berambut hitam jelaga itu mengancungkan pedang tepat ke wajah sang naga, bersamaan mereka berlari ke satu arah yang sama—arah lurus untuk menjamah lawan tarungnya, lantas saat Tao hendak menebas pedangnya, hanya kegelapan yang ia temui sebelum tubuhnya ditiup dengan nafas naga yang berbau manis nan menggoda birahi.
Tak sadarkan diri, tubuh Tao yang dibalut baju zirah platina cantik dan jubah punggung berwarna hijau tua diboyong sang naga jauh-jauh-jauh dari jangkauan menara kuno tua.
Sehari setelahnya, ketika kelereng cantik bening berani memamerkan eksistensi pada dunia, sekejap Tao melotot hebat tatkala melihat kondisi dirinya yang tanpa sehelai benang dan terdapat bercak merah hampir-hampir di sekujur tubuh, selain mengetahui kondisi selangkangannya yang terdapat cairan kental mengering dan beberapa bercak darah segar yang mengalir patah-patah dari lubang analnya dan baju zirah sekaligus peralatan seperti pedang dan tameng yang berserakkan di segala arah.
Dan teriakan histeris penuh kekesalan teramat sangat tak pelak terdengar membahana menggaum di langit-langit gua tatkala menyadari ada seorang pria berambut merah api sedang meringkuk memeluk erat perutnya yang mulai membesar—persis seperti orang hamil lima bulan.
.
.
[2.| Drama]
[#Now playing: Total Eclips of The Heart – Bonnie Taylor]
[#Wordcount: 445 Words]
Air mata bening itu mengumpul di pelupuk mata cantik tersebut. Sirat kepolosan dan penuh kecintaan tergusur habis oleh sirat kesedihan dan kekecewaan.
Pria berambut pirang yang dilindungi oleh google rajut berwarna ungu pucat dengan mantel hangat berwarna hitam sewarna dengan kelereng wajahnya hanya diam berdiri di ujung jalan menuju jalan pulang rumahnya, terkejut dan terpaku di saat yang bersamaan. Dan dengan kedua tangannya yang semula membawa belanjaan bahan-bahan masakan untuk membuat makanan kesukaan pria yang ia cintai sepenuh hati, kini melemas dan membiarkan kantung karton berwarna coklat muda itu jatuh menghantam konblok trotoar, membiarkan isi-isinya menyentuh dinginnya salju yang sebagian menyelimuti jalan tempatnya berdiri. Bibirnya yang bergetar dan terbuka sedikit, perlahan tertutup rapat dan disembunyikan oleh punggung tangannya yang ikut bergetar juga.
Isak tangis penuh kekecewaan teralun di baliknya, dibawa angin musim dingin namun tak cukup mampu untuk mengalihkan pandangan objek pandang pria tiongkok tersebut menoleh kearahnya. Dua detik isak tangis itu tergopoh tersendat-sendat keluar, kepala pria berusia dua puluh tiga tahun itu menggeleng, semakin lama semakin cepat hingga membuatnya diserang pening amat sangat.
"Yifan-gege.." lirihnya. "Yifan-gege, siapa wanita yang keluar bersamamu dari hotel itu..?"
Hatinya semakin perih dan terlukai oleh pemandangan menyesakkan beberapa meter di sana sejak Tao—pria ber-google ungu pudar itu—menangkap basah tak sengaja sesosok pria yang menjadi suami sahnya sejak enam bulan lalu keluar dari hotel bintang tiga bersama seorang wanita cantik berpakaian minim, dan sekarang ketika ia melihat bahwa suaminya itu mencium penuh hasrat wanita asing tersebut dan membawanya masuk ke dalam mobil sedan klasik hanya untuk menjelajahi jalanan kota tanpa menyadari eksistensi dirinya di sana.
"Gege, kalau memang kamu tidak mencintaiku dan tidak menyukai kehidupan pernikahan kita, seharusnya kamu bilang padaku secara langsung," isak tangis semakin jelas saat ia mulai berlari menembus suhu musim salju menuju apartemen tempatnya dan Yifan—sang suami—tinggal bersama. Mengabaikan belanjaannya yang tergeletak malang di sudut belokan dan lemparan pandangan heran orang-orang. "tidak dengan seperti ini. Kau benar-benar jahat, gege, memberikanku harapan palsu sementara kamu bersenang-senang dengan wanita lain padahal aku masih sah menjadi istrimu." Pandangannya mulai buram.
Aliran air mata di wajahnya tidak lagi sederas beberapa menit yang lalu, "Baiklah, baiklah, Yifan-gege…," dihirupnya dan dibuangnya nafas sebanyak tiga kali untuk menenangkan hatinya yang berdenyut-denyut hebat. Maka, sambil mencengkram penuh kehati-hatian pada dadanya dan memeluk perutnya dengan penuh getaran tak berdaya, ia kembali melanjutkan ucapannya yang tersendat beberapa isak tangis dan menatap penuh keyakinan dibalik sirat kecewa mendalam.
"Jika kamu memang tidak menginginkan keadaan seperti ini, aku dengan sukarela akan pergi dari kehidupanmu.
Aku akan meminta cerai darimu tanpa persyaratan apapun yang kuminta, dan kudo'akan dari sekarang, semoga kamu bahagia setelah berpisah dari kami—dariku dan dari anak kita yang kukandung saat ini."
.
.
[3.| Friendship]
[#Now playing: Post Meredie – Kajiura Yuki]
[#Wordcount : 334 words]
Hari ini adalah hari bersejarah bagi Tao kecil, sebab diusianya yang menginjak dua setengah tahun, akhirnya ia menjadi salah seorang murid taman kanak-kanak di komplek perumahan tempatnya tinggal bersama ayah-ibu tersayang.
Memakai seragam taman kanak-kanak dengan kemeja lengan pendek berwarna putih dan celana kotak-kotak selutut berwarna biru-merah, sepatu boot kulit hitam semata kaki dengan kaus kaki putih menyembul mengintip, tas ransel lucu berbentuk kepala panda yang tersenyum ramah, botol minuman bergambar dua panda yang sedang berpelukan manis dan topi lebar berwarna biru melingkupi kepalanya. Tao kecil tersenyum lebar dan memamerkan wajah ramah yang menggemaskan kepada dunia, membuat orang-orang yang menangkap eksistensinya tersenyum dan memekik gemas, tak rela melepaskan pandangan pada tubuh mungil berisi yang berjalan lucu—termasuk seorang anak kecil yang dua tahun lebih tua dari Tao kecil, yang menatap tajam pada satu titik yang sejak pandangan pertama membuatnya tertarik sekali.
Namun tak lama kemudian, entah karena anak bermata setajam elang dan berambut pirang madu dibalik topi birunya itu terlampau gemas dengan gerak-gerik objek pandangnya atau karena penasaran dengan bentuk-rupa dari objek pandangnya, dengan lincah ia melepaskan genggaman tangan sang ibu yang sibuk bercengkrama dengan ibu-ibu lain yang ikut mengantarkan anaknya ke sekolah taman kanak-kanak yang sama, lalu berlari cukup cepat dan langsung mencengkrman polos pergelangan tangan Tao kecil, dan belum sempat Tao menyadari siapa gerangan yang mencengkram tangannya dengan lugu dan hangat, sebuah tangan menepuk dan meremas gemas salah satu bokong bulat yang ternyata menjadi objek pandang si anak berambut pirang tersebut.
Semua menjerit syok, dan karena jeritan syok orang-orang disekitar sekaligus gerakan remasan yang dilakukan lelaki kecil tak dikenal, Tao kecil langsung menjerit dan menangis terkejut seketika. Memanggil-manggil sang ayah yang saat itu sedang bekerja di kantor untuk meminta tolong dan menjauhkan lelaki kecil berambut pirang yang justru memeluk tubuhnya dari belakang, masih dengan sebelah tangannya yang meremas-remas bokong bulat tercinta.
"Bokong kamu bulat dan empuk, aku suka."
Tao kecil tidak menyangka, niatnya yang ingin mendapatkan teman-teman bermain baru di sekolahnya, justru ia mendapat seorang penggemar bokong bulatnya yang bahkan satu sekolah dan dua tahun lebih tua dari usianya.
.
.
[4.| Suspense]
[#Now playing: 24 – Jem]
[#Wordcount: 586 words]
Wanita cantik berambut gelombang dengan warna coklat kemerahan itu terlentang tak berdaya, setelah menyambut minuman berwarna bening dan meneguknya dengan anggun sampai habis. Entah dicampur zat apa hingga wanita tersebut mulai kejang dengan perlahan, nafasnya mulai terputus-putus dan tubuhnya lemas tak berdaya sekaligus sedikit mati rasa. Terjatuh dengan hebohnya sambil berteriak dan meracau-racau tak jelas di tengah ruangan remang tertutup. Ia bergerak gelisah dan menghentak-hentakan punggungnya ke lantai marmer yang dingin.
Sesekali ketika tubuhnya kuat untuk mengangkat sebelah tangannya ke udara, jari jemari itu akan bergerak seolah ingin meraih sesuatu,
... Atau meraih seseorang yang berdiri tak jauh dari hadapannya dengan seringai lebar dan kekeh-kekeh jahat.
Sosok itu berdiri tidak terlalu tegap, kedua tangan yang dilapisi plastik hitam dan menggenggam renggang sebuah revolver antiredam dan sebuah pisau lipat, mata panda yang tersembunyi dibalik poni rambut hitamnya berkilat-kilat sadis, dan sesekali tawa renyah penuh kesenangan mengerikan keluar dari bibir kucingnya juga sesekali lidahnya menari di permukaan bibir sensual pemuda tersebut seolah menikmati pemandangan mengenaskan di bawahnya.
Mata wanita yang mulai mengabur itu menatap nyalang sosok berjenis kelamin pemuda tersebut, lalu dengan terpatah-patah, ia mulai bertanya diselingi desis ketidakberdayaan, "A-a-aarrgghh! A-a-apa.. y-y-yang.. kamu la-la-lakukan p-padaku, brengseekkkhh..!"
Bibir kucing itu berdecak, maka sambil melangkah pelan, pemuda yang kini memakai serba hitam dan abu-abu pada tubuhnya itu tertawa kecil, dan begitu ia sampai tepat di sisi kanan sang wanita mengenaskan itu, ia mengusap-usap busa yang mulai menggumpal di sudut bibir bergincunya, walau tak tertarik untuk menghapus busa putih kekuningan itu barang sedikit saja. "Aku..? Aku hanya melakukan apa yang ingin kulakukan padamu sedari dulu, sayang." Jawabnya santai dan teramat tenang, membuat wanita itu merinding hebat.
"Ngomong-ngomong, kau tidak berhak mengataiku bajingan, kalau kau sendiri saja seperti itu, pelacur bajingan." Tawa mengalun di ruangan agak sempit, pengap dan bercahaya remang tempat mereka berdua berada sekarang. "Berani-beraninya kamu menggodai pria yang jelas-jelas milikku, tepat di depan mataku. Merayu-rayunya dengan ucapan vulgar yang bahkan tidak berhasil membuatnya terangsang sedikitpun. Kamu mengecewakan, pelacur murahan."
Pisau lipat itu terbuka, memamerkan matanya yang berkilat-kilat menandakan ketajamannya yang tak perlu diragukan. Sekejap, bola mata wanita itu melotot hebat dan bersamaan dengan ucapan terputusnya akan permohonan ampun terhadap ulahnya yang membuat pemuda itu berang, satu tusukan dalam menujam leher sang wanita.
Teriakan histeris tertahan bersumber dari bibir wanita itu, dan tak lama pemuda bernama Huang Zi Tao tersebut kembali menujam-nujam penuh nafsu pada tubuh tinggi semampai yang mengejang-ngejang tiap menerima tusukannya.
Tidak hanya menusuknya berkali-kali, terkadang Tao menusuk salah satu permukaan tubuh dan setelahnya merobek-robek hingga gumpalan daging terbawa keluar saat pisau itu ditariknya. Mengabaikan cipratan darah yang membelai wajah cantik nan rupawan Tao yang berekspresi persis seperti psikopat yang kambuhan. Hampir seluruh permukaan tubuh berhasil ia tujam dan koyak-koyak, dan sasarannya kini menuju kedua pipi dan mulutnya, lalu salah satu matanya yang telah melotot hebat, hingga sebagai sentuhan akhir, Tao menujam daerah selangkangan sang wanita yang terbalutkan rok mini denim.
Hening sesaat.
Lantas Tao berdiri dan menembak brutal ke tubuh wanita yang telah dijemput malaikat maut. Tatapan nyalang, jijik, dan penuh kebencian terpancar di kelereng pemuda tiongkok tersebut untuk mayat mengenaskan wanita korbannya, bahkan ia masih menatap seperti itu ketika menyiramkan sederigen penuh minyak tanah dan menyulutkan api, mempersilahkan si jago merah untuk melahap ganas semua eksistensi yang terdiam manis di ruangan tersebut: mayat, pisau lipat, dan revolver antiredam sekali pakai—dengan Tao yang telah keluar dan menikmati pertunjukan dari halaman rumah tak berpenghuni jauh dari pusat kota.
"Itu yang terjadi jika kamu berani menyentuh seujung kuku dan menggoda Wu Yifan—kekasihku, wanita jalang. Sama persis seperti dua wanita lainnya sebelum kau."
.
.
[5.| Humor]
[#Now playing: If You Wanna Be My Lover – Spice Girls]
[#Wordcount: 445 words]
Ketika status berteman berubah menjadi berpacaran, mau tidak mau salah seorang diantara dua pasangan yang sedang di madu cinta itu pasti menginginkan adanya pengalaman berkencan, pengalaman nge-date, atau Saturday-Night bahasa gaulnya. Kalau simpanan dompetnya lagi minim, cukup jalan-jalan di taman saat malam hari sambil makan es krim, dan kalau simpanan dompetnya lagi maksimal luar biasa—sampai-sampai tebalnya harus diukur pakai penggaris saking makmurnya isi dompet, pasti dengan gagah perkasa akan mengajak yang tersayang makan malam di restoran mewah berbintang.
Namun dibalik isi dompet, ada beberapa poin lain bagi para pasangan (atau salah satu pasangan yang ingin memberikan kejutan dalam dating-nya) untuk merasakan sensasi First Saturday-Night: perhatikan penampilan dan perhatikan juga sempatkan diri untuk membuat situasi romantis luar biasa, entah itu dengan perbuatan kecil yang mengundang pekikan ataupun lirihan manis 'aw, so sweet~' maupun rayuan-rayuan maut. Agar yang tersayang semakin cinta dan klepek-klepek dengan pasangannya.
Intinya, jadilah pribadi yang sedikit berbeda dari yang biasanya saat kau di dalam masa-masa menjomblo.
Dan itulah yang dilakukan Wu Yifan, pria yang setelah semasa hidup remajanya menjomblo hingga pada akhirnya ia mendapatkan first boyfriend saat bertabrakan ala sinetron di lorong kampus, hari ini di depan pasangannya. Merubah tampilan menjadi lebih rapi dan menarik daripada sebelum-sebelumnya, merubah gaya rambut yang semula awut-awutan tak terurus telah terpotong rapi ala member boyband terkenal masa kini, dan setelah menabung uang kuliah plus part-time mati-matian, akhirnya ia berhasil membawa sang pacar ucul bin cantik ke restoran mewah bintang tiga. Dengan alunan musik instrumental kolaborasi piano, biola, harpa, bahkan hingga saxophone, suasana romantispun mulai tercipta diantara mereka.
"Yifan-gege~"
"Hm..?" mencoba untuk terlihat cool, padahal di benak Yifan ia menjerit tak tahan mendengar suara sang pacar yang mendayu-dayu seperti itu. Maka, untuk mengurangi kegugupannya karena ditatap selekat itu, ia membenahi letak kacamata minus kunonya yang agak turun dari pangkal hidung. "Ada apa, Tao-er~?"
Niatnya ingin mengeluarkan suara bernada mendayu juga, namun apa boleh buat, yang keluar justru suara bernada om-om hidung belang merayu anak gadis untuk mencari tahu toilet terdekat karena kebelet buang air kecil—mengenaskan.
"Terima kasih sudah mengajakku makan malam di sini. Makanannya enak dan musiknya romantis. Terus, Gege juga terlihat… hm.., berbeda dari biasanya." Si panda lugu itu menjawab malu-malu, sesekali mencuri lirik pada Yifan yang mulai merasa bahwa First Sat-Night-nya sukses besar.
"Berbeda bagaimana, Tao-er~?"
"A-a-anu.. ta-tapi gege jangan marah, ya..?"
"Iya, deh, gege tidak marah, janji, suwer tak kewer-kewer." Yifan menjawab dengan selipan kosakata ambigu.
"Uh, itu," telunjuk ramping Tao mengarah pada wajah Yifan, tepatnya pada mulutnya yang sedang memamerkan senyum ala model.
"…. I-i-itu, di gigi sama gusi gege ada tiga kulit cabe. Tadi sebelum kita mulai dating, gege makan apa sih, sampai ada cabe terselip di sana..?"
"….."
"Ge-gege..? Gege tidak marah padaku, 'kan..?"
… Terkadang, harapan itu tidak sesuai kenyataan.
.
.
[6.| Fantasy]
[#Now playing: Fairyland – Kajiura Yuki]
[#Wordcount: 489 Words]
Yifan melempar jauh benda itu ke balik semak-semak di halaman belakang sekolah.
Kedua tangan yang beberapa menit lalu memegang benda berbentuk bulat tersebut gemetar, tak lama mendarat di kedua sisi kepala berambut hitam pendeknya dan diremas helai-helainya yang terasa agak kasar. Matanya melotot dan berkaca-kaca, bibirnya yang beberapa detik lalu menjerit tertahan kini membuka-menutup secara bergantian, bingung hendak mengeluarkan kosakata macam apa, nafasnya terpatah-patah seperti orang asma yang kambuh, dan keringat dingin mulai membasahi beberapa bagian seragam sekolahnya.
"A-a-apa itu..?!" ia berbisik sendiri. Bangkit dari posisi duduknya, setelah meyakinkan diri atas keputusannya untuk menghampiri benda yang ia temui di lubang pohon tua halaman belakang sekolah, yang terselimuti kain biru dongker penuh untaian tulisan latin aneh dan tersamarkan oleh banyak guguran daun berwarna coklat-kuning emas, ia membawa tubuhnya untuk mendekati benda yang kini tergeletak tak jauh dari akar salah satu pohon di sana. "k-ke-kenapa benda itu bisa ada di tempat seperti ini..?!"
Kini, kembali kelereng sipit Yifan menatap benda yang membuatnya takut sekaligus penasaran—sebuah kepala lelaki muda berambut pirang, berbibir kucing yang terbuka sedikit dan terdapat rona di kedua kantung matanya, kepala itu tampak seperti sedang tertidur dan Yifan masih ingat dengan sensasi hangat selayaknya manusia yang masih hidup ketika kulit mereka saling bersentuhan. Berjongkok, dan kembali meraih kepala lelaki berwajah cantik yang membuat Yifan terpesona.
Mengelus canggung helai rambut sehalus sutra dan mengusap kulit pipinya yang sehalus bulu malaikat, Yifan berdecak dan membawa dekat wajah cantik yang persis seperti orang tertidur alih-alih mati tersebut sejajar dengan wajah blasterannya.
"Aku tahu dia seorang pria, sama sepertiku," sebelah tangan Yifan yang mengelus pipi kepala pemuda itu turun menuju leher, menekan-nekan pelan sesuatu yang sedikit menonjol di tengahnya. "tapi sungguh, dia benar-benar cantik."
Sekejap, bulu kuduk Yifan berdiri. Suhu di halaman belakang sekolahpun menurun drastis, dengan langit cerah yang ditindih oleh awan kelabu dan angin-angin liar berlarian membuat keributan. Menampar-nampar kasar dedaunan pohon-pohon hingga menimbulkan suara gemerisik penuh sensasi mencekam. Guntur ikut pamer eksistensi, membuat suasana di halaman belakang sekolah saat itu tampak seperti pertanda akan ada sesuatu yang buruk datang menghampiri.
Samar-samar, bahkan pemuda Wu tersebut mendengar suara derap dan lengkingan kuda, menggema masuk melalui indera pendengarannya. Suara yang menghipnotisnya, seakan tidak memperbolehkan dirinya bergerak seincipun.
Cepat, sebuah potongan kepala pemuda berambut pirang pucat yang sejajar dengan wajah Yifan berjarak beberapa senti itu membuka matanya, memamerkan bola mata hitam yang berpendar menakjubkan dengan senyum kecil melengkung cantik pada bibir cat-lips merah muda. Tawa polos dan penuh suka cita mengalun perlahan dari baliknya, membelai gendang telinga Yifan yang berhasil terbuai sesaat.
Dan belum sempat Yifan menjerit histeris, punggung kokohnya yang terbalutkan blazer sekolah tempatnya merampok ilmu cuma-cuma ditubruk lembut oleh dada datar seseorang yang memeluk mesra tubuhnya dari belakang, kedua tangan sosok melingkar sensual lehernya—bahkan beberapa jemari lentik yang cukup dingin menusuk kulitnya tersebut membelai manja dagu lancip Yifan.
Bersamaan dengan kedua bola mata yang membelalak dan berkaca-kaca hebat, pemuda siswa SMA kelas tiga itu spontan melihat-mengeja-membaca untaian kata yang terbentuk oleh asap tipis hitam legam berbau menyengat yang bersumber dari leher sosok misterius di belakang tubuh:
"Bisa kamu berikan kepala itu..? Sudah 100 tahun aku mencari-carinya."
.
.
[7.| Romance]
[#Now playing: Love – Kajiura Yuki]
[#Wordcount: 370 words]
Lawan kata dari persamaan adalah perbedaan.
Banyak macam sesuatu-sesuatu yang selalu dibandingkan dan dinilai-nilai akan persamaan dan perbedaannya satu sama lain, entah itu dari segi sesuatu yang penilaiannya dengan pasti, maupun dari sesuatu yang penilaiannya hanya bisa dikira-kira atau dirasakan, bahkan menyangkut pautkan dengan hati nurani. Namun perbedaan yang tercipta diantara keduanya bisa saling menyatu, bukan untuk mendominasi melainkan untuk menyempurnakan dan membentuk sesuatu yang baru yang menyenangkan dan menyentuh benak.
Dan yang berjasa atas penyatuan ajaib itu adalah cinta.
Cintalah yang bisa menyatukan perbedaan yang membuatnya tampak menakjubkan.
Cintalah yang membuat Wu Yifan, sang eksekutif muda dengan wajah minim ekspresi, dan Huang Zi Tao, pemuda polos-manja-sedikit ceriwis namun memiliki sifat loyalitas yang tinggi pada sesuatu yang ia sukai (benda maupun orang), bertemu satu sama lain di situasi-kondisi ajaib dan membuat mereka merasakan sensasi menggelitik di lubuk hati terdalam.
Cintalah yang membuat hati dingin Yifan mencair perlahan-lahan dan yang membuat kepribadian kekanakan Tao mulai pudar tergantikan pribadi yang lebih dewasa sesuai usia.
Cintahlah yang membuat mereka akhirnya meresmikan diri sebagai pasangan kekasih, hingga waktu demi waktu kehidupan asmara mereka diterpa goncangan berkali-kali, bahkan hampir saja merengut hal yang berharga salah satu dari mereka: sebuah nyawa, akibat dari perseteruan hebat yang nyaris berujung bertermunya dengan malaikat maut.
Cintalah yang membuat mereka saling berintropeksi diri, mengakui kesalahan fatal masing-masing, dan saling mengucapkan kata maaf disertai senyum kecil cantik, yang mampu membenahi benang kusut diantara mereka—merapikannya kembali meskipun butuh waktu yang lama.
Cintahlah yang membuat mereka bangkit dan menuangkan kesabaran hati untuk mencoba melangkah bersama kembali perlahan-lahan, menuju masa dimana mereka berjanji sehidup semati diatas pelaminan sederhana namun membahagiakan banyak pihak—terutama mereka sendiri.
Cintalah yang melengkapi kehidupan rumah tangga mereka, meskipun terkadang dibumbui perbedaan pendapat hingga menimbulkan pertengkaran kecil yang bahkan paling lama hanya dua hari penuh. Itupun keduanya kembali tersenyum kecil cantik yang sedikit canggung dan tetap membuat mereka semakin cinta dengan pasangannya.
Cintalah yang membuat kehadiran sang buah hati diantara mereka semakin berwarna, dengan canda dan tawa, keluarga kecil idaman semua orang telah mereka genggam dan mereka jaga. Tersimpan rapat-rapat pada kotak bewarna merah muda yang indah dalam pikiran dan hati.
Dan cintalah yang akan turut menyertai perjalanan panjang mereka, sehidup-semati, sejiwa-seraga, dan sehati hingga tubuh mereka menua-berkeriput-melemah. Terbaring dalam peti yang terkubur dalam tanah, bersama-sama. Bersama-sama.
.
.
(Bersambung)
