Haikyuu!!! belongs to Haruichi Furudate
(Tsukki!Senpai x Yama!Kouhai slight TsukkiHina)
——
Kei menggoyang-goyangkan pulpennya, untuk beberapa saat terhanyut dalam lamunan. Ia tidak terlalu peduli saat guru matematika menjelaskan trigonometri. Lagipula ia sudah menguasai materi itu. Dan si guru pun hanya menjelaskan ulang kepada beberapa temannya yang terlalu bodoh untuk mengerti.
Mungkin temannya itu harus pergi ke bimbingan belajar. Kenyataan bahwa mereka akan segera menyelesaikan jenjang sekolah menengah atas dan menuju universitas harusnya mendorong orang-orang itu untuk lebih getol berusaha agar guru tidak perlu mengulang-ulang materi.
Kalau diulang begitu terus menerus, mau sampai mampus juga tidak ada habisnya materi yang harus mereka kejar, pikir Kei.
Ketika bel berbunyi, Kei menaruh alat tulisnya di meja. Membereskannya sebentar lalu melenggang keluar kelas untuk membeli jus stroberi karena tenggorokannya terasa begitu kering.
Sampai.
Kei sampai di koridor sepi, tempat vending machine yang tidak terjamah. Beberapa orang memang berlalu lalang, koridor ini berhubungan dengan taman. Namun, jarang ada orang yang nongkrong di sini. Mungkin lebih memilih kantin.
Si pirang--meski warna itu kelihatan lebih kalem dari Hinata Shoyo (teman sekelas Kei yang warna rambutnya seperti jeruk mandarin), memasukkan koin dan menekan tombol. Kemudian keluarlah jus yang bisa menghilangkan dahaganya.
Sedotan terapit di kedua belah bibirnya, Kei menyesap jus. Ah, sungguh siang hari yang panas. Helaan napas terdengar setelahnya.
Kei menengok ke arah taman, mungkin mencari angin segar tidak buruk. Tungkainya melangkah, tidak sampai keluar koridor, hanya di perbatasan antara lantai gedung dan aspal taman.
Dan, tentu itu bukan hal buruk.
"To-tolong!" Suara itu mencicit seperti tikus yang terjepit. Tepat di depannya--meski agak menyerong sedikit sehingga sejak tadi Kei menengok dari dalam koridor; ia tidak menyadarinya, dua orang berbadan besar mengapit satu orang yang fisiknya ringkih. Oh, sungguh hiburan gratis dengan aksi klise yang sering ada di drama-drama televisi.
"Oh, sayang sekali. Tidak ada yang akan menolongmu, jadi serahkan uang jajanmu pada kami!"
Sepertinya anak kelas satu yang tidak beruntung, Kei mencoba melengos. Tidak sampai membiarkan dirinya terlibat dengan orang-orang itu. Hanya saja, mata mereka sudah bertemu. Matanya dan mata anak yang jadi bahan bully itu.
Kei bisa melihat tatapan memohon dari pemuda yang kelihatannya lebih pendek darinya itu. Bahkan dari sini ia bisa melihat bintik-bintik di wajah si pemuda, seperti bintang.
Lantas hatinya tergerak dan sebisa mungkin otaknya menolak.
Tiga detik berjalan terasa lambat, pengendalian otaknya sudah musnah entah kemana. Kei meremas karton jus lalu melemparnya ke tempat sampah kemudian menghampiri dua orang berbadan besar, tapi lebih kecil darinya itu.
"Oi, apa yang kalian lakukan?" Tidak berteriak, si surai kuning berantakan itu mengucapkannya dengan nada rendah, cukup dalam.
Menengok, dua pemuda itu sepertinya hanya orang bodoh lainnya yang pamer fisik. Padahal Kei yakin sekali diajak adu jotos juga kalah duluan.
"Heh, apa yang kau lakukan?! Kau sadar tidak? Kau mengganggu pesta kami!" Suara salah satu pemuda yang sok berandalan terdengar dibuat-buat. Ada celah di sana, Kei bisa mendengar getaran di suara itu. Terima kasih pada pendengarannya yang cukup tajam.
"Hanya melihat-lihat saja. Dan sepertinya keberadaan kalian di sini menganggu penglihatan, terlihat seperti sampah."
Kerah kemeja Kei ditarik. Tentu saja siapa pun yang mendengar itu pasti marah. Lantas Kei melingkupi pergelangan tangan pemuda yang menjadi tersangka utama dalam kasus bully ini dengan tangannya. Erat, sampai dirasa darah si pemuda itu tidak mengalir, nadinya berdetak dengan lemah. Kei sebenarnya tidak mau melakukan ini, tapi terpaksa. Orang seperti ini tidak puas jika tidak dikalahkan.
"Argh!" Mencoba melepas tangannya, si pemuda mengerang kesakitan. Kei terbahak setelahnya.
"Oh, gomen. Padahal aku hanya menggenggam pergelangan tanganmu. Tak kusangka sesakit itu." Nada jenaka begitu jelas terselip dalam ucapan Kei. Kemudian seringaian tipis terpatri di wajahnya.
Yang satu memberi sinyal ke temannya untuk lari. Pandangannya seakan berkata bahwa 'orang ini berbahaya' kemudian seperti orang tolol, mereka terbirit.
Kei menatap lagi si pemuda yang menjadi korban. Ia menghela napas.
"Lain kali jangan hanya mengandalkan pertolongan orang. Kau terlihat menyedihkan."
Anggukan, pemuda itu mengangguk sebagai tanggapan. Kemudian jatuh terduduk, mungkin lututnya sudah melunak seperti jeli karena ketakutan.
Kei menghela napas. Astaga, mau merepotkan dirinya sampai bagaimana lagi orang ini?
"Te-terima kasih Senpai!" Ujar si pemuda. Kei sepertinya sedikit menganggap bahwa pemuda di depannya ini cukup manis saat memanggil dirinya 'senpai'.
Ditepisnya pikiran itu, Kei kemudian berjongkok. Tumben sekali ia sampai repot-repot melakukan hal seperti menyamakan tingginya dengan pemuda di depannya ini.
"Namamu siapa?" Bukan berarti Kei ingin mengenal lebih jauh, hanya saja ia ingin tahu siapa nama pecundang satu ini.
"E-eh? Yamaguchi Tadashi..." Surai pemuda itu hitam. Kei menggumamkan nama itu. Tadashi ya? Tadashi.
Nama yang lucu.
"Yamaguchi, jangan mau tertindas terus. Masa sekolahmu masih panjang."
Kei bangkit dan berbalik. Memasukkan tangannya ke dalam saku celana dan melangkahkan kaki meninggalkan taman tempat pertemuan dirinya dan korban bully.
Bel berbunyi lagi.
Terdengar suara langkah, lebih tepatnya seperti orang berlari. Kei baru saja masuk koridor dan sepertinya Tadashi mengejarnya.
"Ano! Kalau boleh tahu namamu siapa, ugh Senpai?"
"Tsukishima Kei." Jawabnya singkat.
"Ah, ugh terima--"
'Bruk'
"Oi, oi! Yamaguchi?"
——
Kei membenarkan kacamatanya yang melorot. Jam pelajaran terakhir adalah sejarah. Bolos sekali-sekali tidak apa, 'kan?
Dirinya masih di UKS sekarang. Nyatanya Tadashi ini merepotkan Kei lagi dan Kei pun rela direpotkan. Mungkin si pirang sedang kesambet.
Si pemilik wajah berbintik seperti konstelasi bintang--menurut Kei, menderita anemia. Sungguh malang, jadi bahan bully dan juga terjangkit penyakit darah rendah adalah sesuatu yang buruk--setidaknya menurut Kei.
Kei mengeluarkan ponselnya, ada pesan masuk sepertinya satu jam yang lalu. Namun dirinya belum sempat membalas.
From : Hinata Shoyo
Sub : Kemana?!
Oi! Tsukishima kau kemana?! Ini sudah jam guru sejarah yang galak itu, bisa-bisanya kau bolos!
Si pirang menyeringai. Temannya yang mirip jeruk mandarin ini ternyata peduli juga dengannya.
To : Hinata Shoyo
Sub : Berisik
Aku juga tahu, memangnya aku pelupa sepertimu. Ah, atau kau khawatir denganku, ya?
Aku sedang di UKS, ada adik kelas yang tiba-tiba pingsan tadi. Karena aku baik, jadi kutolong.
Mungkin Shoyo langsung muntah karena tidak biasanya Kei menjawab seperti itu. Biarkan saja, sekali-kali Kei membalasnya tidak singkat-singkat. Ingatkan Kei untuk tidak membalas pesan temannya itu jika dia membalas lagi karena rasanya Kei sudah mengeluarkan seluruh kuota kalimatnya dalam sehari.
"Ugh,"
Kei menoleh, memastikan apakah adik kelasnya itu baik-baik saja dalam diamnya. Ini semua karena penjaga UKS pergi dan meminta tolong untuk memberikan penjagaan pada Tadashi.
"Sudah lebih baik?" Tanya Kei. Bukan berniat basa-basi, tapi memang benar-benar memastikan adik kelasnya dalam keadaan baik-baik saja.
"Su-sudah." Pipi Tadashi agak merona meski sedikit. Entah kenapa Kei merasa jantungnya seperti dihantam. "Et-etto, maaf sudah merepotkanmu, Senpai."
Sebenarnya Kei agak risih dipanggil begitu, tapi terlalu malas untuk protes.
"Kau kelas berapa memangnya?" Kei bertanya, siapa tahu dugaannya kalau Tadashi anak kelas satu salah.
"Aku kelas dua, hehe. Dan tadi itu adalah anak yang berbeda kelas denganku." Tadashi meringis ketika kepalanya sakit lagi.
"Oh."
Kei ber-oh ria. Membiarkan itu menjadi jawaban terakhirnya lalu mereka berdua terombang-ambing dalam kesunyian.
Bel berbunyi, kali ini diiringi sorak sorai. Tanda bahwa mereka sudah boleh pulang dari sekolah.
Kei belum mengambil tasnya dari kelas. Mungkin kalau Shoyo peka sedikit, si boncel itu bisa mengantarkan tasnya ke sini.
"Kau mau pulang?" Kei kembali membuka pembicaraan yang terputus karenanya tadi.
"Mungkin nanti, kepalaku masih pusing." Tadashi kedengaran seperti berkelit, padahal memang sakit sekali.
"Kalau begitu aku temani."
Shit, apa yang kukatakan tadi?
Kei merasa jadi bodoh. Harusnya tidak ada di kamusnya rasa empati itu. Kenapa sekarang muncul tiba-tiba.
"Eh?! Tidak usah, Senpai. Kau tidak perlu mengantarku. Hari ini aku sudah cukup merepotkanmu."
Nah, itu kau sadar. Dalam batin Kei merutuk, tapi toh dirinya bersikap kebalikannya.
Kei menoleh ke arah tembok UKS. Mencari kata-kata yang bagus sebagai alibi.
"Aku diberikan tanggung jawab untuk menjagamu. Nanti aku bisa dimarahi penjaga UKS." Tuturnya, tidak sama sekali menatap Tadashi.
"Aku akan mengantarmu pulang juga."
"Eh?!"
"Kau tuli, ya? Aku akan mengantarmu pulang, Yamaguchi."
Dan Kei merasa ia bodoh. Sama dengan teman-temannya yang berulang kali bertanya tentang materi trigonometri.
Padahal baru pertama kali ketemu, kenapa aku ingin lebih lama bersamanya?
-to be continue-
Hello! Kali ini saya mencoba menulis multichapter, mohon bantuannya /bow/
Sebelumnya saya ingin berterimakasih pada readers yang mengetuk tombol fav dan mengetik review untuk saya.
Yang mendorong saya untuk membuat fanfiksi ini adalah kalian! Silakan dinikmati dan semoga kalian suka.
Mohon maaf jika terdapat typo(s) dan kesalahan dalam penempatan kata. Saya mencoba sekeras mungkin untuk menghadirkan tokoh Kei dan Tadashi.
