Disclaimer: Hingga saat ini Naruto masih milik Masashi Kishimoto. Mungkin suatu saat akan jadi milik saya B) *mengkhayal ketinggian*

Summary: Hati Sakura begitu mendung, pasca Sasuke, kekasih yang sungguh dicintainya pergi jauh dan dengan terpaksa memutuskannya. Siapa sangka, yang akan membuat hatinya cerah kembali ada Naruto? Pemuda yang sejak SMP sering dibully olehnya dan sahabat-sahabatnya itu!

Warning:OOC, Romance abal, Gaje, Typo(s), dll.

Pairing: NaruSaku, slight SasuSaku, very slight SaiIno & NejiTen

A/N: Tadinya fic ini mau dibikin oneshot. Tapi karena kayaknya udah kepanjangan dan tanganku udah pegel, jadi dijadiin oneshot, deh..

Ini fic kedua yang kutulis. (readers: ga nanya!) Aku author baru di sini. Jadi mohon maaf kalau ada fic yang tema/idenya sama.

.

.

.

Enjoy it! RnR, please!


Pangeran Kedua-ku

Matahari tersenyum hangat. Burung-burung berkicau ria. Di sepanjang jalan, para pedagang dan anak-anak sekolah yang melintasi jalan pun Nampak tersenyum hangat. Nampaknya cuaca memang begitu cerah pagi ini. Namun begitu, suasana di dalam hati gadis berambut pink ini sungguh berbeda. Mendung dan sendu masih menyelimuti hatinya. Ya, pasca kekasihnya meninggalkannya tepat seminggu yang lalu, ia terus saja murung di kamarnya. Mengunci diri sepanjang hari. Paling-paling ia hanya membuka pintu saat makan malam. Itu pun, tak lebih dari 10 menit. Dan kini, jika saja ini bukan hari pertama masuk sekolah, mungkin ia pun masih meringkuk di atas kasurnya.

"Haii. Sakura!" Seorang gadis blonde menyapanya dengan riang, begitu ia sampai di pintu bertuliskan kelas XI IPA 4.

"Hai, Ino..," balas Sakura tanpa semangat. Ia sedang masih terlalu bad mood untuk melakukan apapun hari ini. Bahkan hanya untuk mengobrol dengan sahabat kecilnya.

"Sakura, kenapa lesu begitu? Ayolah, ini hari baru! Mulai semuanya dengan baru!" Kali ini gadis blonde yang bernama Ino itu merangkulnya. Mata blue sky-nya Nampak jelas menampakan kekecewaan, karena melihat sahabatnya sejak kecil itu masih murung.

Sakura hanya memberikan seulas senyum kecil –yang ia paksakan– pada Ino. Ia sebenarnya tak ingin membuat sahabatnya itu khawatir. Ino begitu baik padanya. Selalu memberi semangat padanya. Sejak mengetahui bahwa ia dan Sasuke, kekasihnya atau lebih tepat mantan kekasihnya, telah putus hubungan, Ino tak pernah absen untuk meneleponnya setiap hari. Selama pekan terakhir liburan sekolah mereka, Ino pun sering menyempatkan diri ke rumah Sakura, untuk menasihati atau sekadar menjadi teman curhat untuknya. Padahal, sudah bukan rahasia lagi, bahwa tiap kali pekan terakhir, anggota OSIS selalu sibuk. Dan Ino tak pernah mengeluh, meski di samping rapat dan kegiatan OSIS lainnya yang panjang, ia harus menyita sebagian besar waktunya lagi untuk Sakura. Ingin rasanya Sakura berbuat lebih dari sekadar mengucapkan kata "terimakasih". Namun apa boleh buat? Perjuangan Ino nampaknya sia-sia, karena hingga saat ini pun, pemuda berambut raven yang telah 4 tahun menjadi kekasihnya itu masih menyita pikirannya.

Bel masuk berbunyi, segera membuyarkan lamunan Sakura.

"Ino, aku masuk dulu, ya..," ucap Sakura seraya melangkah lesu ke dalam kelas.

Ino mengangguk. "Kau akan sebangku denganku, kan? Bangkuku ada di barisan kedua, Sakura!," ujarnya tanpa bergerak dari tempat ia berdiri, sembari memperhatikan punggung sahabatnya itu.

Sakura hanya menoleh dan memberikan seulas senyum singkat.

Ino menghela napas panjang. Ia sungguh prihatin pada Sakura. Baru kali ini, ia melihat Sakura betul-betul kehilangan semangatnya, kehilangan seluruh mood cerianya. Tapi Ino memang maklum. Sakura baru saja kehilangan kekasihnya. Ia tahu, bahwa Sakura sangat mencintainya. Tidak! Lebih dari itu! Sakura sungguh sangat mencintai dan menyayangi pemuda berambut raven itu. Dan lebih dari itu pula, pemuda itu adalah cinta pertamanya Sakura. Cintanya selama lebih dari 3 tahun belakangan ini. Dan pemuda itu adalah pemuda yang hampir kehilangan nyawanya, demi menyelamatkan Sakura. Ia masih ingat kejadian 4 tahun lalu itu…..

.

.

.

Flashback Memory….

.

.

"Kyaa, Ino! Aku senaaangg sekali! Aku tak sabar menunjukan raporku ini pada ayah! Ia pasti sangat senang, karena aku berhasil mendapatkan peringkat pertama di tahun ajaran pertama ini!," ujar gadis berambut pink itu berapi-api, pada sahabatnya yang berambut pirang. Raut wajah dari pemilik iris emerald itu jelas menampakan kebahagiaan. Gadis itu bahkan sudah tak peduli lagi pada seragam putih-birunya yang ternoda oleh lumpur-lumpur cipratan kendaraan bermotor yang melaju kencang.

"Aaaa, iyaa iyaa! Kau sudah mengatakan hal itu berulang kali, Sakura!," sungut sahabatnya yang berambut pirang itu.

Gadis yang bernama Sakura mengkerut. "Uuh, memangnya kau tidak ikut senang dengan keberhasilanku?"

"Kalau aku jawab 'tidak', bagaimana?" Ino nyengir innocent dan langsung berlari ke seberang jalan, meinggalkan Sakura.

"Uuuhh…. Ino-chaaan!," pekik Sakura.

Siswi SMP berambut pink itu segera berlari mengejar sahabatnya. Namun tanpa disangka, saat itu juga dari persimpangan jalan, sebuah truk dengan kecepatan kencang, tiba-tiba melaju ke arah Sakura. Dan lebih parahnya lagi, sepertinya remnya blong. Sakura berteriak histeris. Ino ingin menolong, tapi ia tak berani. Ia terus saja meneriakan nama 'Sakura' berharap sahabatnya itu mendengar dan langsung berlari ke arahnya.

"Kyaaaaaaaa!" Sakura memejamkan matanya. Ia sudah tak dapat berpikir jernih lagi. Tubuhnya kaku di tengah jalan yang entah mengapa, hari ini sunyi, itu. Sempat didengarnya bunyi klakson mobil melengking jelas. Namun detik-detik berikutnya, Sakura merasakan ada hal yang janggal. Tubuhnya sama sekali tak terlempar ke mana-mana. Bunyi klakson mobil telah tak terdengar. Begitu pula dengan teriakan Ino, sahabatnya itu. Sakura perlahan memberanikan diri membuka mata. Hal pertama yang dilakukannya adalah menoleh pada Ino. Namun ada satu hal janggal lagi. Ekspresi Ino begitu aneh. Bola matanya membulat. Mukanya pucat, seakan baru saja melihat penampakan hantu. Penasaran dengan apa yang terjadi, Sakura pun segera memutar kepalanya, untuk melihat apa yang dilihat Ino. Sedetik kemudian, ekspresinya pun tak jauh beda dengan Ino. Ia terperangah melihat apa yang dilihatnya itu.

Tepat di tengah-tengah jalanan sepi yang baru sedang ditapaki Sakura dan Ino itu, sesosok pemuda berambut raven yang sangat familiar bagi mereka, tengah tergeletak tak berdaya. Bersamaan dengan itu, darah segar tak hentinya mengalir dari tubuh pemuda itu. Tak ada yang dapat dilakukan kedua gadis berseragam putih-biru itu selain histeris. Apalagi, yang ada di hadapan mereka bukanlah sosok asing. Ia… Uchiha Sasuke. Ya, Uchiha Sasuke! Teman sekelas mereka yang terkenal sangat cuek itu. Namun begitu, Ino baru saja melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa Uchiha muda itu baru saja dengan SENGAJA menabrakan motornya ke depan truk itu untuk melindungi Sakura. Sedetik kemudian, pemuda itu melompat dari motornya. Namun gaya dorong yang tercipta dari tabrakan tersebut, membuatnya terlontar lebih jauh dari apa yang ia kira.

Beberapa saat kemudian, sang sopir truk yang terkena luka ringan itu pun, menelepon seseorang untuk bantuan. Sasuke segera mendapat perawatan dari tim medis dan dilarikan ke rumah sakit terdekat. Ino dan Sakura ikut serta dalam perjalanan ke rumah sakit itu. Dalam diam, Sakura menangis. Matanya tak henti-hentinya mengeluarkan butiran air mata ketika ia melihat Sasuke yang tengah tak sadarkan diri di dalam ambulan.

Sasuke sempat dirawat selama seminggu. Dan selama seminggu penuh itu pula, Sakura dengan rajinnya menuliskan catatan dari beberapa pelajaran untuk Sasuke. Ia pun tak lupa untuk selalu menjenguk pemuda itu selepas sekolah. Awalnya memang karena rasa bersalah dan penyesalan yang amat dalam. Namun lama kelamaan, kebersamaan mengubah rasa itu menjadi sesuatu yang indah. Rasa lain yang tak dapat dilukiskan dengan kata.

"Ino! Ino!"

"Ada apa, Sakura?"

"Aku… aku…," Sakura mengatur napasnya. Ia nampaknya kelelahan karena berlari dan berteriak–teriak memanggil Ino, saking senangnya. "Aku…" Sakura melanjutkan kata – katanya. "Aku jadian, Ino!"

"Wah! Hebat! Dengan siapa?"

"Dengan… dengan Sasuke.." Semburat merah tipis Nampak timbul kala gadis berambut pink itu menyebutkan nama kekasih yang jadi pacar pertamanya itu. Ia menunduk agak malu, dan suaranya agak memelan. Namun begitu, kebahagiaan Nampak sangat jelas terlukis dari binary mata emerladnya.

"Waaa! Selamat Sakura!" Ino memekik riang, ikut bahagia dengan sahabatnya. Detik itu juga gadis blonde tersebut memeluk gadis pinky yang ada di hadapannya.

.

.

Flashback End….

.

.

.

"Heii, Inoo!"

"Kyaa!," jerit Ino yang tersentak kaget. Suara pekikan seorang gadis mampir tepat di gendang telingannya itu, membuat lamunan Ino buyar seketika. Ketika menoleh, dilihatnya gadis berambut coklat yang bercepol dua itu tengah terkikik geli.

"Uuh, Tenten!" Ino mengerucutkan bibirnya, kesal.

"Hei! Wajahmu makin jelek, kalau begitu tahu!" Tenten masih terkikik. "Sudahlah. Ayo kita masuk! Ini sudah bel, Nona! Jika Bu Anko mendapatimu masih melamun di pintu seperti ini, kau bisa dihadiahi perintah push up!"

Tenten pun berlari masuk, meninggalkannya. Ino mengikuti dari belakang. Dalam hati ia berterimakasih pada Tenten. Karena selang beberapa detik setelah ia mendudukan diri di bangkunya, Bu Anko pun muncul dengan tumpukan soal latihan matematika di tangannya.

.

.

.

Di taman, jam istirahat…..

Suasana sekolah hari ini tampak cukup ramai. Namun Sakura sama sekali tidak tertarik. Ia yang biasanya sering berisik menggosip di kantin bersama kedua sahabat baiknya, Ino dan Tenten, kini hanya memilih duduk sendiri di bawah pohon besar di taman sekolah. Wajahnya masih tampak sendu. Kembali terlintas di memorinya, peristiwa seminggu yang lalu.

.

.

.

Flashback Memory….

.

.

"Sakura! Cepat turun! Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu!"

"Iya, Ayah!"

Sakura pun segera merapihkan rambut dan bajunya yang kusut karena sendari tadi membaca novel sambil berguling – guling di kasur.

"Hum… siapa yah, kira-kira?," gumam Sakura ketika menuruni anak tangga. "Mungkin Tenten yang ingin meminjam novelku. Ahh, tidak! Ia kan sedang berlibur ke rumah neneknya… atau mungkin Ino yang ingin mengajakku jalan-jalan? Tidak mungkin! Ia bilang Neji, ketua OSIS itu, meminta bantuannya untuk mengetik sebuah proposal hari ini. Lalu, siapa?"

Sakura nampaknya tidak memerlukan waktu lama untuk menjawab pertanyaannya sendiri itu. Matanya langsung berbinar kala mendapati sosok berambut raven yang begitu familiar itu di ruang tamu.

"Sasuke!," pekiknya. Ia langsung menghambur dan memeluknya kekanak-kanakan. Padahal baru tidak bertemu selama 2 minggu, namun rasanya lama sekali bagi Sakura.

Sasuke pun membalas pelukan gadis yang telah menjadi kekasihnya selama 4 tahun itu.

"Well, Sasuke… bagaimana liburanmu bersama kak Itachi selama 2 minggu ini?," tanya Sakura, membuka pembicaraan. Ia mulai melepas pelukannya pada Sasuke. Namun tanpa disangka, Sasuke malah mengeratkan pelukannya dan membelai helaian rambut pink Sakura.

Sakura tertegun. "Ada apa, Sasuke?"

Sasuke menghentikan belaiannya. Ia melepaskan pelukannya. Ia lalu memegang kedua pundak Sakura seraya menatap Sakura lekat – lekat.

"Sakura, ada suatu hal yang harus aku katakana padamu…"

"A-apa itu?"

"Aku… aku… aku akan pindah, Sakura..."

"A-apa? Kemana? Kenapa?"

"Ke Amerika. Aku mendapat beasiswa di Orochi High School. Maafkan aku, Sakura. Tapi, ini adalah sebuah kesempatan besar. Aku tidak perlu membebani kedua orang tuaku lagi. Kau tahu bukan, bulan lalu perusahaan ayahku baru saja bangkrut? Ini adalah kesempatanku untuk mengurangi beban mereka, membantu mereka. Lagi pula, aku jadi dapat lebih dekat dengan kak Itachi, karena lokasi Orochi High School berdekatan dengan Akatsuki University, tempat kuliah kak Itachi. Sekali lagi, aku minta maaf Sakura…"

"Ta-tapi, bagaimana dengan hubungan kita? A-apa itu berarti…" Sakura kini tak dapat menahan isak tangisnya lagi.

Sasuke menunduk, tak ingin melihat air mata Sakura. "Maafkan aku, Sakura… Aku benar-benar minta maaf… Tampaknya, hubungan kita cukup sampai di sini saja…"

"Ta-tapi…"

Sasuke pun segera beranjak untuk meninggalkan ruangan itu. Sebelum membuka pintu ruangan itu, ia berbalik dan menatap Sakura.

"Itu hadiah kenang-kenangan dariku, Sakura." Tatapan Sasuke tertuju pada sebuah kotak berlapis bungkus pink dengan pita merah di atas meja yang ada di hadapan Sakura. "Aku harap kau tidak membenciku. Maafkan aku, Sakura… Aku yakin kau akan mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dariku, dan dapat membahagiakanmu," ujarnya sebelum sepenuhnya menutup pintu, dan meninggalkan Sakura yang masih menangis tersendu-sendu.

.

.

Flashback End….

.

.

.

BUGH!

Sebuah bola berhasil terlempar tepat mengenai kepala Sakura, membuat lamunannya tentang Sasuke buyar seketika.

"Huh! Siapa sih, yang menendang bola ini?!," gerutu Sakura sambil mengusap helaian-helaian rambut pinknya yang terkena bola.

Seorang siswa berambut pirang jabrik dengan berlari ke arah Sakura. Nampaknya ia begitu kaget, ketika melihat siapa yang jadi korban tendangannya yang 'nyasar' tadi.

"Sa-sakura.. maaf.. kau terkena bola itu ya, tadi?," tanya siswa tersebut dengan nada grogi seraya memungut bolanya.

Sakura menoleh. Ia tampak terkejut sekaligus marah. Irirs green-emerald miliknya menatap tajam ke arah iris blue-sapphire yang ada di hadapannya.

Pemilik iris blue-sapphire itu tak bergeming. Ia hanya menunduk, menunggu apa yang akan dilakukan Sakura.

Sakura menghela napas. 'Oh Tuhan! Kenapa harus ada dia? Kenapa bocah ini menggangguku di saat seperti ini?!,' batin Sakura dalam hati. Air mukanya masih mengukir kejengkelan. Tak ia sangka ia bertemu dengan bocah ini lagi –yang telah hampir setahun tak ditemuinya– dan di sekolah lagi, dengan keadaan yang persis sama dengan 3 tahun lalu.

Siswa itu menunduk. "Ma-maafkan aku… Aku benar-benar tidak sengaja, Sakura.."

"Huh!" Sakura melengos pergi begitu saja. Jika dahulu, ia pasti akan membentak-bentak siswa di hadapannya ini, mendorongnya, memukulnya, atau apalah. Namun kali ini, moodnya sedang terlalu buruk untuk bicara dengan siapa apalagi melakukan apa pun.

"Kau beruntung kali ini. Aku sedang tidak bersemangat, bahkan untuk meladeni bocah sepertimu," ujar gadis pemilik rambut pink tersebut tanpa menoleh sedikit pun.

Siswa pemilik rambut pirang itu terperangah. Sedetik kemudian, senyum terukir di wajahnya. "Hmpft… ternyata masih sama seperti yang dulu…," gumamnya.

Siswa tersebut masih belum juga beranjak dari tempatnya. Ia memperhatikan Sakura dari belakang, yang semakin menjauh.

"Hoi, Naruto!" Seorang siswa yang mempunyai tato merah di pipinya, tampak berlari terengah menghampirinya. "Shikamaru dan Chouji menunggumu, tahu! Kenapa kau lama sekali?," tanya siswa tersebut.

Mendengar namanya dipanggil, siswa berambut pirang yang tengah berdiri memegang bola tersebut menoleh. Tatapan sendu dari kedua iris blue-sapphire miliknya itu, kini langsung berubah menjadi tatapan usil pada kawan berambut coklat jabriknya itu.

"Hehe, maaf!," ujar siswa yang dipanggil Naruto itu sambil nyengir.

"Huh! Jangan menyengir innocent begitu!," gerutu kawannya yang bernama Kiba itu.

Keduanya pun segera beranjak dari tempat itu.

Kiba membiarkan Naruto berjalan lebih dulu di depannya. Diam-diam ia tersenyum. 'Kau memang pandai memakai topeng, Naruto!,' gumammnya dalam hati. Sebetulnya ia tadi menyaksikan seluruh 'adegan' Naruto bersama Sakura. Hanya saja, ia sengaja bersembunyi dibalik pohon. Ia jadi teringat kejadian 3 tahun lalu, saat ia pertama kali mengenal Naruto….

.

.

.

Flashback Memory….

.

.

Tiga tahun lalu, di taman belakang Konoha Junior High School, jam istirahat…

BUGH!

"Kyaa! Ittai..! Siapa sih, yang menendang bola ini?!," gerutu seorang siswi berambut pink yang tadi kepalanya terkena tendangan bola 'nyasar.'

"Kau tak apa kan, Sakura?," tanya siswi lain berambut pirang yang merupakan sahabatnya.

Siswi bernama Sakura itu hanya mengusap kepalanya.

"Ah… bolaku mengenaimu, ya? Maaf…," ujar seorang siswa berambut pirang, yang baju dan rambutnya terlihat acak-acakan seraya memungut bola itu.

Siswa itu mengulurkan tangan. "Ayo kita ke UKS! Akan kuantar kau. Sebagai permintaan maafku juga.."

Namun siswi berambut pink itu justru menepis tangannya kasar. "Huh! Siapa juga yang mau diantar olehmu!"

Siswa berambut pirang tadi terperangah. "Sebegitu marahnya kah kau, padaku?," tanyanya.

"Bukan hanya karena itu," kini siswi berambut pirang itu yang angkat bicara, "tapi juga karena kau anak sampah! Anak jalanan! Kalangan rendah! Lihat penampilanmu itu! Begitu kotor dan berantakan! Huh, betul-betul kalangan rendah! Sampah!," ejeknya dengan tatapan tajam, yang membuat wajah siswa tersebut langsung merah, menahan marah. Sementara sahabatnya yang masih meringgis sakit itu pun ikut tertawa.

Kedua gadis berseragam putih-biru itu pun segera beranjak pergi. Namun tiba-tiba siswa tersebut menarik tangan dari salah satu gadis tersebut. Sang gadis berambut merah muda itu, tepatnya.

"Hei! Mau apa kau dengan Sakura, bocah sampah!," bentak sahabat gadis itu yang berada disampingnya, dan otomatis melihat tindakannya.

"Bukan mau apa-apa," jawabnya tenang, mencoba meredam segala emosi yang bergejolak di hatinya. Bagaimana pun, kali ini ia berada dalam posisi salah. Ia yang telah berbuat salah duluan. "Aku lihat tadi, jalanmu agak terhuyung. Apa tidak sebaiknya kau kuantar ke UKS?," tanyanya lagi. Kali ini pandangannya tertuju ke arah gadis yang tangannya tengah ia tahan,.

Sakura, gadis itu, mengangkat salah satu ujung bibirnya perlahan. Kedua iris emerladnya menatap sosok di hadapannya dengan tatapan tajam. Dengan sekali gerakan, ia menepis lengan siswa pirang tersebut sekaligus memukul wajahnya, hingga siswa tersebut terhuyung.

Kedua iris blue-sapphire pemilik rambut jabrik tersebut menatap sang pemilik iris emerald dengan tatapan yang sungguh tak percaya. 'Bukankah biasanya anak perempuan hanya menampar?,' batinnya dalam hati. Ia memegani pipinya yang sakit dan mengusap sedikit darah di sudut bibirnya. Darah? Ah, ia begitu benci darah! Belum sempat keterkejutannya hilang, tiba-tiba tubuhnya terjungkal ke belakang. Ya, seseorang mendorong tubuhnya dengan keras. Gadis berambut pirang itu.

"Makannya, jangan cari gara-gara dengan kami!," ujar gadis yiang tadi mendorongnya itu.

Kedua gadis itu pun segera berlari pergi meninggalkan Naruto yang masih meringgis.

"Hai!" Tiba-tiba seorang siswa lain yang juga berambut jabrik menghampirinya. Siswa tersebut mengulurkan tangannya. "Kau tidak apa-apa? Sebaiknya kau tidak mencari masalah dengan mereka. Meski perempuan, mereka siswi yang ditakuti di sekolah."

"Yang berambut pink itu, namanya siapa?"

"Namanya Sakura. Kalau yang pirang, itu sahabatnya, Ino. Akh, aku jarang melihat kau keluar kelas. Kau pastinya juga jarang mengobrol dengan murid-murid lain, bukan? Pantas saja kau tak mengenal mereka."

"Haha, memangnya siapa yang mau mengobrol denganku? Siapa juga yang mau berteman dengan anak jalanan, sepertiku?"

"Aku mau."

"Maksudmu?"

"Aku mau jadi temanmu."

"Ta-tapi… kau yakin? Bukankah kau juga sudah tahu kalau aku kalangan rendah. Anak jalanan. Bocah sampah!"

"Hei! Aku tak peduli! Kalau aku tak mau, mana mungkin aku menghampiri dan menolongmu.. iya, kan?"

"Eh?"

"Namaku Kiba. Inuzuka Kiba. Cukup kau panggil Kiba."

"Terimakasih. Namaku…"

"Naruto. Ya, bukan?"

"Eh? Dari mana kau tahu? Aku rasa kita tidalk sekelas."

"Ayolah… semua orang di sekolah ini mengenalmu!"

"Haha, sepertinya julukan 'Bocah Sampah' itu setidaknya membuatku tenar!"

"Hahahaha…."

.

.

Flashback End….

.

.

.

'Humpft, Naruto… Kau masih sama seperti dulu! Kehidupan jalanan yang keras tidak membuat dirimu juga keras. Selalu membiarkan dirimu diejek, dibully, disakiti.. Selalu mengalah! Aku heran, padamu!' Kiba bergumam dalam hati seraya memperhatikan punggung sahabatnya itu…

.

.

.

Jam pulang sekolah…..

"Sakuraaa!"

Seseorang meneriaki namanya. Tidak! Dua orang, tepatnya. Merasa dirinya dipanggil, gadis itu pun menoleh. Tampaknya kedua sahabatnya, Ino dan Tenten, tengah berlari menghampirinya. Sakura pun mau tidak mau tersenyjum –yang lagi-lagi senyum yang dipaksakan– pada mereka.

"Hei! Kenapa kau meninggalkan kami, forehead! Biasanya kan, kita selalu pulang bareng!," tukas Ino to the point langsung.

"Aku rasa sebaiknya aku pulang sendiri hari ini," jawab Sakura dengan nada lesu serta senyum buatannya. 'Akh, kenapa aku jadi seperti Sai yang sering tersenyum palsu begini?,' gerutu Sakura dalam hati.

"Tapi Sakura…"

Belum sempat Tenten menyelesaikan kata-katanya, Sakura telah memotong. "Lagipula, kurasa Neji dan Sai telah menunggu kalian," ujarnya.

"Tapi bagaimana denganmu? Sendiri? Jalan kaki?," Ino tampaknya betul-betul cemas dengan sahabatnya. Apalagi dengan keadaan Sakura yang masih bad mood seperti ini.

"Aku bukan anak kecil lagi, Ino-pig! Jangan berpikir aku tak dapat pulang sendiri ke rumahku! Lagi pula, jarak rumahku tak lebih dari 1 kilo dari sini," tukas Sakura dengan nada mencoba bergurau.

"Humpft… yasudah jika itu maumu. Sudahlah Ino! Kau sendiri tahu, jika Sakura itu maksluk paling susah untuk dibujuk. Kepalanya keras seperti batu!"

Sakura hanya tersenyum geli, diejek Tenten. Sementara Ino mengerucutkan bibirnya. Ia tetap tak tega, jika Sakura pulang sendiri. Yaa, meski sebenarnya Sai memang mengajaknya kencan sepulang sekolah. Begitu pula dengan Neji yang mengajak Tenten.

"Hei lihat! Itu Neji dan Sai, bukan?," Sakura menunjuk ke arah gerbang sekolah. "Pangeran-pangeran kalian telah menunggu! Cepatlah!" Sakura mendorong kedua sahabatnya dan segera berlari meninggalkan mereka.

.

.

"Cuaca hari ini panas sekaliii!," keluh Sakura. Ia mengibaskan helaian rambut pinknya karena gerah.

"Apa mungkin aku melalui jalan tembusan saja, ya?," gumamnya. Dilangkahkan kakinya menuju sebuah belokan yang menuju gang kecil. Sebetulnya ia sudah lama tak melewati jalan itu. Namun ia yakin masih hapal jalurnya. Lagi pula, jalur itu tak terlalu berbelit. Kecil kemungkinannya untuk tersasar. Dan lagi, banyak pepohonan di wilayah tersebut, menjadikan jalur tersebut cukup sejuk untuk dilewati.

Tiba-tiba Sakura terhenti. Ia merasa ada yang mengikutinya. Ia pun menoleh ke belakang, namun tak mendapati siapa pun. Namun pandangan kembali tertoleh ke depan, bola matanya langsung membulat. Tubuhnya mulai gemetar.

'Tenang, Sakura! Tenang!,' pikirnya dalam hati, mencoba menenangkan diri. Namun itu jelas tidak berhasil. Terbukti dari tubuhnya yang masih gemetar.

'Satu, dua, tiga, empat..,' Sakura menghitung dalam hati. Sementara keempat preman di hadapannya menyeringai kecil ke arah Sakura. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Ya, sebab tiba-tiba ia teringat cerita ayahnya. Cerita bahwa pernah ada beberapa wanita yang diperkosa di jalan ini. 'Ah! Betapa bodohnya aku melupakan cerita itu!,' sesalnya dalam hati.

Keempat preman itu mulai maju mendekatinya.

"A-apa yang kalian i-inginkan..?," tanya Sakura tergagap.

"Serahkan barang berhargamu, Nona!," perintah salah satu preman tersebut.

'Ini gila! Tak berpikirkah mereka bahwa aku anak sekolah, yang tak mungkin membawa barang berharga?,' piker Sakura dalam hati.

Sakura makin takut. Ia pun menggeleng. "A-aku tak memiliki barang berharga..," ucapnya gemetar.

Salah satu dari preman tersebut merebut paksa tas Sakura, dan membongkar isinya. "Huh! Ia payah! Isi tasnya hanya buku dan alat tulis. Bahkan handphone pun tak ada!," tukas prema tersebut.

Preman yang tadi menanyainya tampak gusar. "Huh! Baiklah, Nona! Karena kau tak dapat memberikan barang berharga apa pun untuk kami, maka kau harus member kami sesuatu berharga yang lain!," ucapnya sambil menyeringai.

"Sesuatu berharga yang lain?," ulang Sakura, tak mengerti. Namun sesaat kemudian ia pun mengerti apa maksud ucapan preman tersebut. Tatapan-tatapan itu… Keempat preman itu tampak menatap Sakura dengna tatapan penuh nafsu. Dalam hati Sakura merutuki dirinya yang tadi pagi lupa memasukan handphone ke tasnya. Bahkan netbook yang biasa dibawanya setiap hari itu pun tertinggal di meja belajar.

Sakura mundur selangkah.

"Jangan mencoba kabur, Nona!," seru salah satu preman tersebut.

Sakura bergetar lebih hebat. Namun ia sudah pasrah. Semangat dan keberaniannya menguap entah kemana. Ia merasa sebagai gadis tak berdaya. Sampai tiba-tiba sesuatu mengejeutkan terjadi di depan matanya. Ya, salah satu preman tersebut jatuh tersungkur tak berdaya. Dan yang lebih membuatnya terkejut adalah…..

"Na-naruto?!" Sakura tidak percaya. Benar-benar tak percaya. Naruto yang sering dibully olehnya itu? Mau susah-suah menolongnya?

BUGH! BUGH! DUAK!

Sakura tak mampu berkedip. Ia serasa berada di batas antara dunia mimpi dan dunia nyata. Ia masih bisa merasakan sakit saat ia mencubit lengannya. Namun ia pun tak mengerti, bagaimana seorang Naruto mampu melawan preman-preman itu. Masalahnya adalah, ini seorang Naruto! Ya, seorang NARUTO! Naruto yang sejak SMP sering dibully OLEH Ino dan dirinya? Naruto yang sering diejek sebagai anak kalangan rendah itu? Yang sering ia lihat tergeletak tak berdaya ketika dibully teman-teman di SMP dulu? Naruto yang sering dijuluki si 'bocah sampah yang lemah'? Tunggu dulu! LEMAH? Dan kini, dengan mata kepalanya sendiri ia melihat Naruto sebagai seorang yang KUAT? Akh, ada apa, ini? Kepalanya pusing. Begitu pusing memikirkan dan melihat semua ini. Sampai-sampai ia pun tak sadar saat Naruto tiba-tiba menarik lengannya dan membawanya lari….


.

.

Sekali lagi, gomennasai kalau ada (atau mungkin banyak) typo(s) yang bertebaran di mana-mana. Juga gomen untuk alur cerita yang gaje ini..

Review-nya, please! *pasang puppy eyes*