Tittle : Facade
Author : Little Evil
Genre : Brothership, Family
Main Cast :
Cho Kyuhyun
Lee Donghae
Rated : T
Blog : littleevil19 . wordpress . com
Hay.. Silahkan tabok saya xD
FF lama belum lanjut malah bikin FF baru..
FF lama masih dalam tahap pengembalian mood and feeling, so.. just enjoy ~
Awas, cerita mainstream! xD
-o0o-
PROLOG
Ia hanyalah seorang bocah lelaki berusia sebelas tahun.
Yang harus kembali menelan rasa pahit yang menghujam hatinya untuk yang ke-sekian kalinya dalam sebelas tahun kehidupannya. Iris matanya yang kelam menatap lirih sosok appa, eomma dan hyungnya yang tengah bercengkerama ringan sembari menyantap sarapan paginya. Sungguh keluarga yang bahagia, jika salah satu sosok bocah lelaki yang terduduk di kursinya ikut tertawa bersama mereka. Suara tawa yang mengalun di ruang makan yang luas itu terdengar riang dan penuh dengan kebahagiaan, namun tidak di telinganya. Baginya, tawa mereka bagai angin panas yang memaksa menerobos indera pendengarannya. Tak ada yang memperhatikan senyuman pahit yang ia ukir di wajah letihnya.
Rasanya seperti tengah berada di luar lingkaran, padahal ia-lah bagian dari lingkaran itu. Seperti ada pembatas tak kasat mata yang tercipta, terbentang di antara ia dan keluarganya. Bukan, lebih tepatnya kedua orang tuanya. Entah sejak kapan bermula, namun yang terpatri dalam ingatannya, selama ini ia tak pernah sekalipun merasakan belaian kasih sayang dari tangan lembut milik eommanya, atau dekapan hangat dalam lengan kokoh milik appanya. Tak pernah ia rasakan kecupan selamat malam yang selalu mereka hadirkan menjelang tidur untuk hyungnya. Tak ada yang memberinya nasihat saat nilai sekolahnya menurun, tak ada yang menenangkannya kala mimpi buruk menghampirinya di malam hari. Pun, tak ada tempatnya untuk berkeluh kesah, tak seperti hyungnya.
Tidak, ia tak pernah membenci mereka, apalagi membenci hyungnya yang dua tahun lebih tua darinya. Ia bisa merasakan ketulusannya pada dirinya. Hyungnya adalah anak yang baik, sangat baik. Selama ini, ia juga merasa telah menjadi anak yang baik. Namun, mengapa hanya hyungnya itu yang mendapat perhatian penuh dari kedua orang tuanya? Bukankah disini, ia yang berposisi sebagai anak bungsu? Bahkan jika hyungnya itu jatuh sakit sedikit saja, appa dan eommanya akan dilanda cemas yang berlebihan dan segera mendatangkan ahli medis terbaik pilihan keluarganya.
Ia hanyalah seorang bocah berusia sebelas tahun.
Yang belum mengerti akan pahitnya kehidupan, namun ia kerap kali merasakannya. Ia tak mengerti, apakah dirinya adalah anak pungut di keluarganya? Atau bahkan anak haram? Wajar jika kedua orang tuanya memperlakukannya berbeda dengan hyungnya. Namun, suara dengan nada tajam-lah yang menjadi jawaban atas pertanyaan yang pernah ia lontarkan dari mulut kecilnya itu.
"Apa mungkin aku adalah anak haram, Eomma? Mengapa eomma tak pernah sudi untuk menemaniku tidur seperti yang selalu eomma lakukan pada hyung? Aku takut tidur sendirian, eomma.."
Garis-garis tipis tergurat di kening eommanya, kedua iris matanya melebar dan sedetik kemudian melemparkan tatapan penuh selidik pada putra bungsunya yang masih berdiri kikuk di samping meja riasnya, meminta perhatian darinya.
"Siapa yang mengajarimu berkata seperti itu?! Jaga ucapanmu. Eomma tak suka!" Eommanya berucap dengan nada yang meninggi.
"Tapi kenapa eomma dan appa tak menyayangiku seperti hyung?"
"Suatu saat nanti kau akan mengerti." Lagi. Ia harus puas dengan jawaban yang eommanya berikan padanya. Jawaban yang sama ia dapatkan ketika ia menanyakan hal itu pada appanya.
-o0o-
Iris mata kelam itu bersembunyi erat di balik kelopak mata. Menahan buliran kristal bening yang kian mendesak untuk keluar dari tempatnya. Tubuh kecilnya meringkuk di bawah tempat tidur milik hyungnya. Ini adalah kegiatan rutinnya beberapa hari terakhir. Ia rela, rasa dingin menyergap tubuhnya yang hanya berbalut piyama tipis. Ia rela, menanti waktu untuk menunggu kehadiran eommanya yang selalu memberikan kecupan selamat malam pada hyungnya. Hanya dengan mendengar suara lembut eommanya, ia membayangkan seolah dirinya-lah yang terbaring di atas tempat tidur itu, menerima kecupan selamat malam dari bibir lembut milik eommanya.
Tapi, ia hanyalah seorang bocah berusia sebelas tahun.
Sekuat apapun ia menahannya, buliran bening itu meluncur juga dari kedua sudut matanya. Tubuhnya semakin meringkuk dalam gelapnya kolong tempat tidur milik hyungnya, menahan hawa dingin yang menyelusup pori-pori kulitnya. Juga rasa nyeri di ulu hatinya yang kian terasa nyata. Sesak.
-o0o-
"Mau temani hyung bersepeda ke taman kota?" suara hyungnya menginterupsi kegiatannya yang tengah membaca komik Detective Conan kesukaannya. Iris mata kelamnya memancarkan binar mendengar ajakan hyungnya. Dengan cepat ia menganggukkan kepalanya dengan semangat, membuahkan senyuman lebar di bibir hyungnya.
Kakak beradik itu tampak begitu semangat mengayuh pedal sepeda masing-masing, saat si bungsu memutuskan untuk mengadakan balapan sepeda dadakan, yang hanya diikuti oleh dua orang peserta. Tentu saja dirinya sendiri dan hyungnya. Mereka berdua melesat di jalanan yang cukup ramai, meliuk di antara kendaraan yang melintas. Di bawah terpaan sinar mentari yang mulai menyembunyikan dirinya di balik mega, semangat mereka tak pernah goyah.
Dan ia hanyalah seorang bocah berusia sebelas tahun.
Untuk sejenak, ia melupakan semua kesedihan yang ia simpan dalam hatinya. Hatinya yang kesepian, dahaga akan kasih sayang. Untuk sejenak, ia ingin bebas dari rasa menyakitkan itu, mengabaikan himbauan kedua orang tuanya untuk menjaga hyung lelakinya. Hyungnya itu tak boleh terlalu lelah, kata mereka. Seharusnya disini, ialah yang dijaga oleh hyungnya. Namun sejak masih kecil, ia telah menerima doktrin bahwa ia harus senantiasa menjaga hyungnya. Bahkan ia harus mengikuti kelas akselerasi agar ia bisa satu kelas dengan hyungnya, sehingga ia bisa memantau keadaannya jika sewaktu-waktu menurun. Namun kali ini, ia ingin sekali saja mengabaikan perintah kedua orang tuanya.
Karena ia hanyalah seoarang bocah berusia sebelas tahun.
Yang masih ingin menikmati masa-masa kecilnya untuk bermain bersama hyungnya. Kini dirinya memimpin balapan sepeda dadakannya, dengan kakinya yang kian semangat untuk mengayuh pedal sepeda merahnya. Menyisakan jarak yang cukup jauh dengan hyungnya. Ia tertawa riang, hatinya menghangat dengan sendirinya saat bisa merasakan sebuah kebersamaan walau hanya berdua dengan hyungnya.
Namun tawa itu tak bertahan lama. Ia menge-rem sepedanya mendadak saat telinganya mendengar suara kegaduhan yang berjarak cukup jauh darinya, namun masih bisa terjangkau oleh penglihatannya. Firasat buruk mulai merayap dalam perasaannya. Dengan segera ia mengayuh sepedanya menuju kerumunan di ujung persimpangan. Semakin dekat, semakin jantungnya berpacu lebih cepat. Begitu sampai, diletakan sepedanya secara sembarang, dan berlari kecil menerobos kerumunan orang dewasa yang berjejal di hadapannya. Setelah berhasil melewatinya, iris matanya membulat, melihat tubuh hyungnya berada dalam dekapan salah seorang lelaki paruh baya. Hyungnya itu terlihat memejamkan matanya, namun kernyitan di dahinya tak kunjung pudar. Seolah menahan rasa sakit yang besar dengan tangan kanan yang mencengkeram erat jantungnya.
-o0o-
Ia menggigit bibir bawahnya. Merutuki air mata bodoh yang tak hentinya menerobos pertahanannya. Kepalanya menunduk dalam, tak berani menatap sepasang mata yang tengah menatapnya tajam di balik kacamata minusnya. Ia bisa mendengar appanya yang menghela nafas berat.
"Kau mengerti?! Sudah appa katakan, jangan pernah membuat hyungmu kelelahan. Kau lihat sekarang akibatnya? Apa kau senang melihat keadaan hyungmu sekarang?!"
Sakit. Hatinya sungguh sakit mendengar nada sarkatis yang terlontar dari mulut appanya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya kuat. Mana mungkin ia senang melihat keadaan hyungnya yang seperti ini? Yang benar saja. Lagi pula, hyungnya itu hanya kelelahan, bukan? Kenapa appa dan eommanya terlihat begitu panik? Seolah sesuatu berbahaya menimpa diri hyungnya. Ia sungguh tak mengerti.
"Sekarang masuk ke kamarmu. Kau appa hukum karena lalai menjaga hyungmu."
-o0o-
Wanita paruh baya itu tak henti mengusap surai lembut milik putra sulungnya yang tengah terlelap setelah dokter memberikannya penanganan. Penyakit jantung bawaan lahir yang diderita putra sulungnya, membuat ia dan suaminya memutuskan untuk memberikan perhatian penuh padanya. Mencurahkan seluruh kasih sayang padanya, takut-takut ia akan meninggalkan mereka dengan cepat. Dan secara tak sadar, perlakuannya menimbulkan luka mendalam di hati putra bungsunya.
"Ia sudah aku hukum untuk tidak keluar kamar. Semoga yang ini bisa membuatnya jera. Aku hanya tak ingin kejadian seperti ini terulang lagi." Pria paruh baya itu mendudukkan tubuh tegapnya di samping istrinya yang masih setia menatap putra sulungnya. Wanita itu mengalihkan atensinya pada suaminya.
"Tapi, apa kita tidak keterlaluan? Ia juga putra kita. Putra bungsu kita yang tampan. Apa kita telah menyakitinya?" Iris matanya tertutup embun tipis saat mengingat putra bungsunya.
"Kau tak perlu khawatir. Suatu saat nanti ia akan mengerti." Lagi. Kalimat itulah yang menjadi pamungkas percakapannya dengan istrinya tiap kali istrinya itu membicarakan mengenai keputusan mereka. Bagaimanapun, ia tetaplah seorang eomma yang memiliki naluri. Mereka hanya bisa terus berharap, putra bungsu mereka akan mengerti keadaannya suatu saat nanti.
Tapi, ia hanyalah seorang bocah berusia sebelas tahun.
Kapan ia akan mengerti dengan keadaan yang terjadi di keluarganya? Keadaan yang memaksa dirinya untuk dewasa lebih cepat. Ia akan mengerti suatu saat nanti, kata eomma dan appanya. Tapi, kapan saat itu akan datang?
To Be Continued
What's on your mind?
Just say it on the review box..
Thank you, everyone!
