The Affair
.
BTS fanfiction by soonshimie
BTS is GOD'S, BIG HIT'S, THEIR PARENT'S, ARMIES, BUT THIS STORY IS MINE
HOPE U LIKE IT!
.
.
"Love is a smoke made with the fume of sighs, Being purged, a fire sparkling in lovers' eyes, Being vexed, a sea nourished with lovers' tears. What is it else? A madness most discreet, A choking gall and a preserving sweet." -William Shakespeare
/
Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi namun apartemen luas yang mewah itu masih lengang alih-alih dipenuhi kesibukan pagi hari. Hanya satu jendela tinggi di dekat televisi yang terbuka, namun tidak juga membuat aroma pengap memualkan pasca-seks berganti dengan udara pagi Seoul.
Di dalam kamar, seorang wanita muda berusia 25 tahun terbangun karena sinar matahari pagi menerpa wajahnya yang cantik. Matanya yang belo mengerjap-ngerjap lucu, mencoba menyadarkan dirinya sendiri dan sebuah dengkuran halus disisinya benar-benar membuatnya terjaga.
Wanita itu menoleh dan seulas senyum lembut muncul di wajahnya. Seorang pria yang lebih tua dua tahun darinya masih tertidur pulas, suara dengkurannya yang lembut memenuhi kamar. Si wanita tertawa kecil, mengelus pipi si pria, menyingkirkan rambut cokelat gelap yang jatuh menutupi kening tegas pria itu. Perlakuannya sarat dengan kasih sayang, seolah lupa siapa dirinya dan siapa pria disisinya.
Tidak berniat untuk membangunkan prianya, si wanita beringsut perlahan sehalus kucing. Meraih dress malamnya dan mengenakannya dengan cepat. Merasa hari jauh lebih dingin daripada biasanya, tangannya menyambar mantel yang tergantung di kapstok dan mengikat talinya seraya turun ke bawah untuk membuat sarapan. Ia harus menyiapkan makan pagi secepat mungkin. Atau kalau tidak, ia bisa terlambat pergi ke kantor.
Pancake selalu jadi makanan instan yang paling sehat yang pernah ada. Adonannya tidak memerlukan bahan-bahan yang rumit dan cara membuatnya juga mudah. Ia sedang membalik pancake di pan khusus ketika sepasang lengan melingkar di perutnya. Wajahnya yang putih merona dengan cepat, secepat senyumnya terbit.
"Sudah bangun? Apa aku membangunkanmu?" tanya si wanita dengan lembut.
Si pria bergumam di bahunya. "Kau tidak ada di sisiku ketika aku terbangun, jadi kupikir ada alien yang menculikmu atau apa."
Si wanita tertawa. Pancake-nya sudah jadi. Dimatikannya kompor lalu berbalik menatap si pria, mengalungkan kedua lengannya di leher si pria. "Satu-satunya alien yang berhasil menculikku kurasa hanya kau," jawabnya sambil tertawa, menampilkan gigi kelincinya yang membuat wajahnya jauh lebih manis. Si pria tersenyum gemas dan mendaratkan sebuah ciuman kecil selamat pagi di hidung bangir si wanita.
"Sayang, kau ada jadwal hari ini?".
"Tentu saja. Aku kebagian headline news jam dua belas siang nanti dan berita sore,".
Si pria menggumam, mengangguk-angguk. "Bagus, aku bisa memandangi wajahmu saat makan siang dan minum teh."
Si wanita tertawa, namun tawanya hanya bertahan beberapa detik. Ekspresi cerah di wajahnya menghilang secepat tawanya pergi, berganti mendung yang menggantung di kedua matanya yang selalu dipenuhi binar-binar.
Melihat perubahan ekspresi wanitanya yang terlalu cepat, si pria bertanya dengan nada khawatir. "Kenapa, Sayang? Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya lembut, berusaha menyugesti wanitanya untuk bercerita.
Si wanita terdiam sejenak. Kepalanya menunduk, menarik napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian untuk menyuarakan isi hatinya. "Aku…" suaranya menggantung cukup lama di udara, "aku… aku hanya penasaran. Sampai kapan kita akan terus seperti ini, Tae?".
"Sampai kapan kita membohonginya? Setiap kali aku bertemu dengannya di kantor, hatiku selalu remuk. Dia terlalu rapuh, terlalu lembut hingga aku selalu menjadi orang yang paling berdosa di muka bumi. Aku tidak tahan lagi untuk bersikap tidak terjadi apapun dihadapannya."
Kalimat-kalimat itu jelas menohok perasaan Kim Taehyung. Pria itu merasakan dadanya mencelos menatap wajah wanita dihadapannya, juga kata-katanya. Taehyung mendesah, memejamkan matanya dan memegang kedua tangan si wanita.
"Jungkook-ah, dengarkan aku,"
Jeon Jungkook mendongak, menatap Taehyung tepat di mata.
"Aku akan menyelesaikannya secepat mungkin. Kau tidak perlu khawatir; pernikahan kami bukanlah sesuatu yang seharusnya terjadi. Ketika saatnya tiba, kau hanya perlu berdiri disisiku dan menggenggam tanganku. Kau mengerti?".
Jungkook masih menatap kedua iris gelap Taehyung, mencari kebohongan yang ada disana, sekecil apapun. Namun tidak ada; pria itu dipenuhi kesungguhan luar biasa dan Jungkook tidak kuasa untuk menahan air matanya lagi.
"Baiklah. Aku mengerti. Aku percaya padamu."
Taehyung mengangguk dan tersenyum lega. Diraihnya tubuh Jungkook kemudian dipeluknya erat. "Terima kasih karena sudah mempercayaiku."
###
"Selamat pagi, Min PD-nim."
"Ne, selamat pagi."
Min—satu tahun yang lalu resmi merubah marga menjadi Kim—Yoongi tersenyum seraya balas menganggukkan kepala, hangat membalas sapaan bawahannya. Sebagai salah satu jajaran produser acara di stasiun televisi paling tersohor di Korea, Yoongi punya segudang kode etik, salah satunya adalah tersenyum setiap kali junior-nya menyapa, seburuk apapun perasaannya hari itu.
Yoongi melangkah tegas menyusuri UG. Ketukan stiletto Louboutin-nya yang setinggi lima senti menambah kesan anggun dan elegan pada wanita 27 tahun itu. Sesekali tersenyum membalas sapaan rekan-rekan kerjanya, Yoongi berusaha secepat mungkin meraih lift. Sebentar lagi acara obrolan pagi yang menjadi tanggungjawabnya akan segera dimulai. Ia harus memastikan semuanya berjalan lancar dan tidak cacat sekecil apapun. Karena ia hapal di luar kepala, Direktur Redaksi yang baru tidak suka dengan segala bentuk kecacatan, sekecil apapun kecacatan itu.
Yoongi mendesah ketika pintu lift tertutup sesaat setelah ia sampai. Lift sudah penuh dan ia tidak mungkin berdesak-desakan lagi atas nama Min PD-nim-nya. Jadi yang ia lakukan adalah berdiri dengan tangan terlipat angkuh di depan dada, lima detik sekali mengecek jam Alexander Christie yang melingkar anggun di pergelangan tangannya, mengetuk-ngetukkan kaki ke lantai marmer dengan tidak sabaran. Lift-nya lama sekali, gerutunya kesal.
"Ketinggalan lift ya, Nona Cantik?"
Yoongi memutar bola matanya bosan, hapal sekali siapa yang memanggilnya dengan sebutan sok ABG sejenis itu. "Kalau kau menghampiriku cuma buat mengusikku, pintu lobi terbuka lebar untukmu, Kim Namjoon."
Si pelaku tertawa; Kim Namjoon, sahabat Yoongi sejak SD hingga sekarang. Keduanya tinggal di kompleks yang sama setelah Namjoon pindah dari Ilsan ke Daegu, dan sejak saat itu keduanya terlihat seperti kembar dempet. Kembar dempet yang terkutuk, begitu ejek teman-teman mereka. Terkutuk karena Namjoon yang wajahnya pas-pasan sangat beruntung bisa mengenal dekat seseorang secantik Min Yoongi, sedekat urat nadi di lehernya. Tapi Namjoon tidak masalah diejek wajahnya pas-pasan; buktinya saat ini ia punya istri cantik yang sabar dan pintar memasak. Namjoon membanggakan dirinya sebagai manusia yang selalu dikelingi keajaiban sejak ia lahir.
"Astaga, judes banget," seloroh Namjoon iseng. Yoongi mencibir. Kalau Namjoon bukan seseorang yang berjasa menariknya dari kehidupan kelam gadis cupu, Yoongi sudah menancapkan stiletto-nya di kepala Namjoon yang katanya isinya otak ber-IQ 145. "Kau lagi PMS?".
Yoongi menggeleng, menyandarkan punggungnya di dinding lift. "Baru mengantar Seokjin?" tanyanya balik.
"Ya. Dan dewan redaksi acara meminta bertemu denganku dan judicator lainnya jam sepuluh nanti," jawab Namjoon.
Yoongi mengangguk-angguk paham. Tumbuh dengan insting bermusik yang mengagumkan membuat Namjoon menjadi produser musik sekaligus songwriter paling tersohor di Korea. Baru-baru ini Namjoon menghadiri ajang pencari bakat, menjadi salah satu juri disana.
"Bagaimana kabar Taehyung?"
Tubuh Yoongi yang tadinya rileks bersandar di dinding marmer berubah tegang sepersekian detik kemudian. Wajah wanita itu terlihat enggan. "Baik-baik saja. Dia sering lembur, jadi jarang pulang ke rumah," jawab Yoongi enggan.
Mendengar nada bicara Yoongi yang aneh, kening Namjoon terlipat tiga belas. "Hei, kenapa nada bicaramu begitu? Kau bertengkar dengannya?" tanya Namjoon heran.
"Tidak, kok. Kami tidak bertengkar. Semuanya baik-baik saja,".
Namjoon menaikkan alisnya tidak percaya. Hidup berdampingan dengan Yoongi selama lebih dari 15 tahun lamanya membuat pria itu hapal semua ekspresi dan gaya bicara Yoongi. Ia yakin seratus persen bahwa Yoongi sedang tidak baik-baik saja. "Kau tahu kita sudah bersama lebih dari 15 tahun dan teman-teman sampai menjuluki kita sebagai kembar dempet yang terkutuk—kau pikir aku percaya begitu saja dengan jawabanmu? Ceritakan padaku apa yang terjadi," desak Namjoon.
Yoongi menggeleng, dan bersamaan dengan itu pintu lift terbuka. Beberapa orang melangkah keluar dari dalamnya. "Tidak apa-apa. Serius," jawabnya, "ah, aku harus segera ke ruanganku, Namjoon-ah. See ya."
Namjoon mengangguk. "Kau punya aku yang bisa kau percaya, oke?" pesan Namjoon yang hanya dibalas acungan jempol oleh Yoongi. Setelah itu, pintu lift tertutup dan membawa Yoongi ke ruang kerjanya di lantai 14. Sendirian.
Mendesah berat, Yoongi menutup wajahnya dengan telapak tangan. Kalau ia bisa, ia ingin menjerit untuk melepaskan semua frustrasinya. Sekarang juga.
Karena Namjoon benar. Yoongi jelas tidak sedang baik-baik saja.
###
"Nona Jeon Jungkook! Bagus sekali Anda tiba di kantor pukul sembilan—sangat tepat waktu!"
Park Jimin menoleh dari kegiatan random-nya mengamati orang-orang yang bekerja di balik televisi, pandangannya terpaku pada seorang wanita muda yang menunduk penuh rasa bersalah karena seorang pria bersetelan konservatif yang mahal sedang mendampratnya habis-habisan. Pria itu menggeleng-geleng prihatin; dimarahi atasan memang tidak enak.
Lalu Jimin mengalihkan pandangannya lagi, mengamati orang-orang dengan sangat tidak kerjaan—berdiri di dekat pintu control room dengan kotak bekal di tangan. Dengan sabar pria itu menunggu, sesekali mengecek jam di pergelangan tangannya. Mungkin sebentar lagi dia muncul, pikirnya, menghibur diri sendiri.
Kedatangan Jimin disini bukan karena dia salah satu pegawai televisi atau atasan yang sedang mengamati pekerjaan anak buahnya. Insinyur muda itu berencana untuk memberikan makan siang buatannya; itu sebabnya ia tidak tahu malu membawa kotak bekal terbungkus kain di tangannya. Tapi tidak ada yang mempermasalahkannya—anak pemilik juga punya otoritas di kantor ini, begitu seloroh seorang kawannya yang bekerja di stasiun televisi yang sama.
Kemudian, penantiannya tidak sia-sia.
Sosok wanita yang ditunggu Jimin akhirnya muncul dari sebuah ruangan. Wajah wanita itu tampak lelah, namun tidak juga mengganggu kecantikannya. Dengan kemeja peach yang dipadukan dengan rok lipit putih, wanita itu berhasil membuat lelaki manapun terengah di kakinya.
Senyum Jimin mengembang secerah matahari. "Yoongi-ah!" serunya riang.
Si wanita yang sedang mengurut pangkal hidungnya terkejut, menurunkan tangannya dan jauh lebih terkejut melihat Jimin mengangkat sebelah tangan, tersenyum lebar menyapa. "Ji-Jimin-ssi?" cicitnya kaget. Langkah kakinya berubah lebar-lebar dan konstan, dan secepat mungkin menarik Jimin keluar dari daerah kerjanya. Membawa pria itu ke lobi lantai 14. "Astaga! Kenapa Anda bisa ada disini?" serunya tidak percaya, matanya melirik kesana-kemari dengan panik.
"Mengantarkan makan siangmu," jawab Jimin enteng sambil mengacungkan kotak bekalnya di depan wajah Yoongi, "aku membuatnya sendiri, lho. Salad sayur yang lezat, ebi furai yang digoreng dengan minyak low cholesterol—"
"—Dasar gila!" desis Yoongi memotong penjelasan Jimin, mencoba membuat suaranya serendah mungkin dan mengubah gaya bicaranya, "kita sedang berada di lingkungan kantor! Kau anak pemilik stasiun ini, aku pegawai yang bekerja disini yang kebetulan sudah menikah dan kau memberiku makan siang? Sudah berapa lama kau berdiri di dekat pintu itu seperti orang bodoh?".
"Hm… satu jam, mungkin?".
"Tidak waras," tukas Yoongi pedas kemudian menormalkan suaranya, "saya tidak bisa menerima bekal dari Anda, Jimin-ssi. Tapi saya sangat berterima kasih karena kebaikan hati Anda."
Jimin melongo karena perubahan gaya bicara Yoongi yang tadinya informal menjadi sangat formal. "E-eh, tapi aku sudah membuatkanmu bekal ini."
Yoongi menggeleng, tersenyum pada Jimin seraya mendorong bekal yang diacungkan Jimin padanya. Jenis senyum yang membuat lelaki manapun tunduk di kakinya, termasuk Jimin yang kini disorientasi sejenak. "Ini di lingkungan kantor. Akan tidak pantas apabila bawahan mendapatkan perhatian yang berlebih dari atasannya, terlebih apabila bawahan itu sudah menikah. Bisa menimbulkan isu yang tidak sedap. Jadi saya tidak bisa menerima bekal dari Anda, Jimin-ssi. Saya mohon maaf dan saya sangat berterima kasih atas—"
"—kebaikan hati Anda, oke, terserah," Jimin tiba-tiba mengibaskan sebelah tangannya yang bebas, "kuletakkan saja bekal ini di meja kerjamu. Aku yakin kau tidak akan tega membuangnya." Lanjut laki-lak itu keras kepala, dan melenggang santai menuju ruang kerja Yoongi.
Yoongi membelalak, lalu mendesah keras.
Jimin sama keras kepalanya seperti saat sekolah dulu. Dan tidak akan pernah berubah.
"Argh, lupakan!" gerutu Yoongi, melempar kedua tangannya ke udara. Ia tidak peduli dengan semua tatapan yang diberikan orang-orang padanya, untuk sementara ini. Kalau ada isu-isu jelek tentangnya yang bersangkut-paut dengan nama Park Jimin, Yoongi tidak akan segan-segan menancapkan Louboutin-nya ke kepala orang yang menyebarkan isu.
Berbalik dan berencana membuat kopi di dapur, langkah kaki Yoongi terhenti melihat Direktur Pelaksana sedang marah-marah hebat pada seorang wanita muda, yang Yoongi kenal sebagai newscaster kebanggaan stasiun televisi tempatnya bekerja. Jeon Jungkook, baru setengah tahun bekerja sebagai pembawa berita tapi ia sama mahirnya dengan newscaster senior.
"Jangan karena sudah mendapatkan posisi yang diinginkan akhirnya Anda bisa seenaknya sendiri melanggar peraturan kantor!" amuk Direktur Pelaksana, "datang ke kantor pukul sembilan! Hah! Kenapa tidak sekalian bolos saja kalau begitu?".
"Ma-maafkan saya, sajangnim," bisik Jungkook lirih, "saya bangun terlambat karena lupa memasang alarm. Jalanan juga sangat macet…"
Melihat bawahannya tersudutkan seperti tikus yang akan dimangsa kucing, Yoongi segera melangkah menghampiri. Berusaha meredam amukan Direktur Pelaksana. "Permisi, Kim sajangnim," senyum Yoongi berhasil membuat Direktur Pelaksana menghentikan raungannya. Yoongi berdiri tepat disebelah Jungkook, membuat wanita yang lebih muda semakin ciut ditempatnya.
"Ah ne, Yoongi-ssi, ada apa?" senyum Direktur Pelaksana mengembang selebar kain perahu layar. Oke, siapa yang tidak mengenal Min Yoongi dengan segala kecemerlangannya dan kecantikannya?
"Maaf menginterupsi Anda, Kim sajangnim, tapi saya ingin membela Jungkook-ssi bahwa—" Yoongi melirik wanita di sebelahnya; ada bercak merah yang Yoongi tahu apa tersembunyi di balik kerah ruffles yang dipakai Jungkook, Yoongi tersenyum geli karenanya, "—alasan atas kelalaian Jungkook-ssi masih bisa ditolerir dan Anda tidak perlu membuang-buang energi untuk memarahinya. Jadwal Jungkook-ssi hari ini adalah headline news jam dua belas siang dan berita sore, jadi Jungkook-ssi bisa tiba di kantor sekurangnya jam sembilan pagi. Kecuali jadwalnya adalah berita pagi, maka hal itu sama sekali tidak ada toleransi."
Direktur Pelaksana terdiam, ekspresinya tak terbaca. Pria tambun itu berdeham untuk mempertahankan wibawanya yang nyaris runtuh karena kalimat-kalimat cemerlang Yoongi. "Ya intinya," ujar Direktur Pelaksana tanpa menatap Yoongi maupun Jungkook, "saya tidak ingin Jungkook-ssi terlambat masuk kantor lagi. Juga yang lainnya." Lanjutnya berusaha tegas dan berlalu pergi.
Yoongi tersenyum ringan. Ditolehnya Jungkook yang menarik napas panjang karena diliputi rasa kelegaan. "Yah, begitulah Direktur Pelaksana," kata Yoongi sambil mengedikkan bahu, "suka marah-marah dan pecinta ketertiban. Jadi camkan saja untuk dirimu; selalu pasang alarm dan datang ke kantor tepat waktu." Dirangkulnya bahu Jungkook, membuat Jungkook terhenyak di tempatnya. Hatinya disergap rasa bersalah, membuatnya gugup dan gelisah.
"Kembalilah ke mejamu, aku yakin kakimu kesemutan karena lama berdiri," kata Yoongi ramah, "dan anyway, sebenarnya alasanmu bukan hanya lupa-pasang-alarm dan jalanan-sangat-macet," sebelah matanya dikedipkan, bersinar-sinar jenaka, "kau pengantin baru, ya? Selamat," selorohnya ringan sambil tertawa, menepuk-nepuk bahu Jungkook dan berlalu pergi.
Tanpa menyadari bahwa Jungkook tengah menatap punggungnya dengan mata redup.
###
Ruangan selua meter itu mungkin jadi ruang kerja idaman semua pegawai kantoran manapun. Curve desk dengan komputer layar lebar, pen tablet besar di dekatnya, kursi kerja yang empuk, satu set sofa beludru, lantai yang dilapisi karpet halus. Sebuah buffet berukuran sedang yang jika kau buka lacinya kau akan menemukan jenis-jenis teh sekelas Darjeeling dan Matcha Gemmaicha dan kopi Robusta dalam bentuk bubuk. Penghuninya hanya perlu menggunakan coffee maker untuk membuat kopi lezat dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Juga jendela besar dengan tirai bergaya Perancis yang menyuguhkan pemandangan Seoul yang apik. Aroma citrus segar memenuhi ruangan ber-AC yang damai itu dan sayangnya, penghuninya tidak sedamai ruangannya.
Kim Taehyung dikenal sebagai arsitek muda yang berbakat. Di usianya yang baru 27 tahun, ia sudah terlibat banyak proyek besar dan membuatnya semakin bersinar dan cemerlang. Ia sukses menjadi arsitek yang patut diperhitungkan. Beberapa bangunan pencakar langit di Seoul dan opera house yang baru-baru ini dibangun membutuhkan kemampuan otaknya.
Dihadapannya, berlembar-lembar kertas berisi proyek pembangunan tower 3 gedung stasiun televisi terhampar tanpa disentuh. Taehyung hanya cukup memeriksanya, memastikan apakah semua komposisi dan hitungannya benar dan 60 juta dolar ada di tangan. Bagi arsitek cemerlang sepertinya, hal itu bukan hal yang sulit; menemukan kecacatan diantara kesempurnaan hitungan gedung sama mudahnya dengan menjentikkan jari. Otaknya sudah terlatih untuk menghitung cepat.
Namun saat ini, ia sudah berkali-kali memeriksa sketsa tower itu namun otaknya serasa mati.
Bukan tanpa alasan tiba-tiba arsitek secerdas Kim Taehyung merasa otaknya tidak berfungsi sejenak. Pertama, pihak yang mengajukan kerja sama dengan perusahaan tempatnya bernaung adalah stasiun televisi tempat istrinya dan—oke, kalian bisa menampar Taehyung sepuasnya setelah ini—selingkuhannya bekerja. Ia akan bertemu dengan keduanya secara otomatis, meskipun stasiun televisinya sangat besar, setidaknya ia dan istrinya pasti akan berangkat bersama ketika proyek pembangunan dimulai. Kedua, ia tidak bisa berpikir karena ada banyak masalah seruwet benang jahit ibunya yang susah sekali untuk diurai dan yang ketiga, masalah besar yang membuat otaknya mati adalah perselingkuhannya.
Taehyung menggeram rendah, mengacak rambutnya frustrasi. Ini gila, batinnya menjerit. Ia tahu tidak seharusnya hal ini terjadi namun ia sudah kehilangan akal sehatnya. Pernikahannya dengan Min Yoongi terjadi atas nama perjodohan ayahnya. Kalau saja ayahnya tidak sekarat dan keinginan terakhirnya bukan menikahkan Taehyung dengan Yoongi, Taehyung yakin masalahnya tidak akan serumit ini.
Namun yang terjadi diluar kuasanya. Taehyung dan Yoongi menikah satu tahun yang lalu, dalam pesta yang mewah di kapal pesiar. Yoongi adalah wanita yang cerdas, sama cemerlangnya dengan Taehyung, juga berparas secantik peri. Tapi bagi Taehyung yang hatinya mati saat itu, ia tidak peduli. Ia tidak pernah menginginkan pernikahan itu. Ia tidak pernah sepenuh hati mengatakan "ya, saya bersedia" ketika prosesi pemberkatan di gereja.
Taehyung tertekan. Ia menikah tidak karena cinta. Ia sudah memiliki seseorang dalam hatinya, jauh sebelum ia mengenal Yoongi. Seseorang bernama Jeon Jungkook, yang seharusnya saat ini menjadi istrinya, bukan selingkuhannya.
Mengingat segala masalah yang berjubel di otaknya, Taehyung menggerung marah dan kini menggebrak meja. "Sial," gerungnya, kedua tangannya terkepal hingga buku-buku jemarinya memutih. Apa yang harus dilakukannya supaya masalah ini cepat selesai? Ia tidak mungkin tiba-tiba datang pada Yoongi dan menceraikan wanita itu dengan alasan tidak cocok. Bah, klasik sekali.
Atau membiarkan semuanya mengalir begitu saja tanpa perlu tahu apa yang terjadi selanjutnya. Kemudian Yoongi sendiri yang akan menceraikannya setelah dia tahu suaminya selingkuh sejak lama, bahkan sejak awal pernikahan mereka. Taehyung pikir awalnya itu oke, namun ia jelas tidak bisa memasang topeng terlalu lama.
Ponselnya yang tergeletak di atas sofa berbunyi. Taehyung bangkit, meraih ponselnya dan tertegun. Nama Yoongi tertera jelas di layarnya. Dan Taehyung tidak mungkin untuk menolak panggilan.
"Halo?" sapanya dengan nada sebiasa mungkin.
"Tae," suara lembut Yoongi menyapa gendang telinganya, "kau sudah makan siang?".
"Ya," Taehyung melirik jam, pukul dua belas siang rupanya, "sebentar lagi aku akan keluar cari makan. Kau sendiri sudah makan siang?".
"Mm-hm. Aku membawa bekal," jawab Yoongi, "kau berencana keluar dengan siapa?".
"Mungkin sendiri."
"Perlu kutemani?" tawar Yoongi, seketika membuat Taehyung terperenyak dan mencelos, "kita sudah lama tidak makan siang bersama. Aku tidak ada pekerjaan sampai jam tiga sore, jadi aku bisa menemanimu makan siang dan setelahnya sibuk lagi. Apa kau keberatan?"
Taehyung terdiam sejenak. "Yah… bukannya aku tidak ingin kautemani. Tapi kau datang ke kantorku dengan siapa?".
Yoongi tertawa di ujung telepon. Suaranya sama menenangkannya dengan musim semi, cukup membuat Taehyung sedikit terhibur. "Aku bawa mobil, suamiku sayang. Kau terlalu sering menginap di kantormu sampai lupa kalau di rumah masih ada mobilku."
Suamiku sayang.
Mendengarnya, hati Taehyung terasa nyeri hingga ke ulu. Setelah berbohong sebanyak dan sejahat ini pada Yoongi, pantaskah Taehyung menerima panggilan seperti itu?
"Kalau begitu, call," kata Taehyung sambil tersenyum, "aku menunggumu. Cepatlah kemari, oke?".
"Baiklah. Tunggu di lobi, aku akan sampai disana 15 menit lagi."
Panggilan diputus. Taehyung menghempaskan tubuhnya ke kursi, memejamkan mata lalu mengurut pangkal hidungnya.
Kim Taehyung, arsitek cemerlang di usianya yang menginjak 27 tahun, adalah bajingan keparat yang tidak bisa dimaafkan.
-To Be Continued-
author's note: another fanfics for y'all! setelah ini, kayaknya saya agak lama nge-post yang lain. nggak tahu kapan pastinya, karena assignments dan exams yang numpuk-numpuk. yah temanya masih sama, chicklit-chicklit gajadi gitu wkwkwk :D
terimakasih sebesar-besarnya untuk kalian yang udah review di ff saya yang lain^^ author itu seneng banget loh kalo readersnya ninggalin jejak setelah baca karyanya. bukannya saya gila review, tapi agak-agak curhat dikitlah sebagai author yang dapet review dari pembaca itu gimana rasanya :D nggak cuma review, saya buka selebar-lebarnya buat kritik dan saran kok :)
and there's Yoongi, Taehyung, Jimin and Jungkook with their love story yang nemenin kalian akhir minggu ini :) semoga suka semuanya yaaa happy weekend, all!
Last, your review?
