Suatu saat Kau akan mengingat semuanya bukan? Saat-saat dimana kau menatap lembut mataku, saat ketika kau menggenggam tanganku, saat ketika kau erat memelukku, dan saat ketika kau lembut mengecup bibirku. Ya, kau akan mengingatnya, suatu saaat kau akan mengingatnya, ketika aku sudah pergi dari duniamu.
Bukan berarti aku menyalahkan takdir kita. Tidak, aku tidak menyalahkanmu karena rasa khawatirmu terhadapku, ketika kau tahu aku dirawat di rumah sakit karena kecerobohanku, sehingga takdir memutuskan untuk merebut ingatanmu karena kecelakaan yang menimpamu ketika kau hendak menjengukku. Aku ini bodoh bukan? Membiarkan kecerobohanku menjadi awal jurang pemisah di antara kita.
Aku tidak menyalahkan takdir, aku hanya menyalahkan diriku sendiri dan keegoisanku.
Aku tidak mengutuk perempuan bernama Zhen Luo itu, yang kau cintai setelah takdir merenggut ingatanmu. Tentang kita. Karena saat itu, aku sudah bukan siapa-siapa lagi bagimu.
Sampai saat ini kau mencintainya bukan? Lelaki mana yang tidak mencintainya dan memuja kecantikannya? Mungkin hanya aku, yang tetap bertahan dengan keegoisanku, mencintai dirimu tanpa menyadari bahwa aku bukan siapa-siapa lagi dalam hidupmu. Aku ini egois, belum bisa menerima kenyataan saat pertama kali kau sadar dan berkata "siapa kamu?" kepadaku yang saat itu menanti kesadaranmu. Aku ini egois, yang masih belum bisa menerima bahwa perempuan itu sudah menjadi milikmu, mengalami semua perlakuan yang sama seperti yang kau lakukan padaku dulu. Ya, Aku ini egois, karena masih meneteskan air mata saat mengingatmu. Mengingat kita.
Kumohon, maafkan aku. Aku masih bertahan dengan keegoisanku, hingga kini aku membiarkan diriku berdiri sendiri, mengambil takdir bahwa aku akan mengakhiri penderitaanku.
Aku tersenyum, dengan air mata yang terus mengalir. Mulai menggerakkan tanganku ke arah nadi di pergelangan tanganku, membiarkan benda tajam itu mengiris kulitku, mengalirkan darah sederas air mataku. Aku mengucapkan selamat tinggal pada penderitaanku. Aku mengucapkan selamat tinggal pada duniaku. Aku mengucapkan selamat tinggal padamu, Cao Pi. Orang yang kucintai sepenuh hati hingga aku mampu berbuat seperti ini.
Aku mulai ambruk seiring dengan darah yang terus mengalir, menggenang bercampur dengan airmataku. Aku masih tersenyum, entah karena bahagia atau karena menertawakan diriku sendiri yang memilih untuk seperti ini. Mati seiring dengan memudarnya kenanganku dengan dirimu.
Mataku mulai mengabur, dan masih berlinangkan air mata. Aku sudah tidak kuat untuk tetap terjaga, aku sudah tidak kuat untuk hidup. Dan saat mataku mulai terpejam, sayup-sayup kudengar kau memanggil namaku. "Lu Xun!" teriakmu begitu melihatku dengan keadaan seperti ini. Kau menyandarkanku dalam pelukanmu, tak peduli dengan pakaianmu yang penuh darah dariku. "Kumohon, jangan menangis Cao Pi..." kukerahkan seluruh tenagaku yang tersisa untuk menghapus airmatamu.
"Selamat tinggal..."
