I'm just an umbrella holder.
My second Natsume Yuujinchou fanfic, Akagane x Asagi. Fanfic ini saya buat dari cerita episode 10, Asagi no Koto. Ito wa Kanashi atau Sorrowful Strings adalah theme song Natsume Yuujinchou bernuansa Jepang Kuno yang mengiringi episode 10 ini dengan sangat indah, menggambarkan permainan koto Asagi. Koto adalah alat musik sejenis gitar dengan empat senar.
Updated: Tokoh Akagane ada dalam animenya, namun tidak ada dalam database sehingga hanya bisa saya masukkan tokoh Asagi.
Disclaimer : Natsume Yuujinchou milik Midorikawa Yuki. Ito wa Kanashi milik Yoshimori Makoto.
Ito wa Kanashi
Seperti malam-malam yang telah berlalu, malam itu alunan musik mengalir indah di hutan Isozuki. Tak hanya Mibu-sama yang terhanyut dalam alunan nada-nada itu. Tak hanya beliau, seorang dewa agung, namun juga aku yang hanya seorang pemegang payung bagi rombongan sang dewa. Aku begitu terhanyut.
Di malam tenang yang berhias melodi itu, ada hawa tak menyenangkan yang mendadak menyergap. Sebuah bayang-bayang roh jahat mengintai para pemain musik. Segera saja aku melompat dan menebas roh jahat itu tepat saat dia menyerang gadis yang memainkan alat music koto.
Gadis itu terperanjat. Roh jahat itu hancur menjadi serpihan-serpihan merah, serupa dengan kelopak daun di musim gugur yang berhamburan tertiup angin. Kunaungi tubuh gadis itu dengan payungku, seperti aku selalu melindungi Mibu-sama. Gadis itu memandangiku, kemudian tertawa kecil. Tawanya menenangkan, seperti melodi yang dimainkannya.
Hutan Isozuki adalah tempat yang indah, bagaikan mimpi.
Asagi tidak memiliki siapa-siapa lagi. Meskipun begitu, dia diberkahi dengan kemampuan memainkan koto dengan sangat indah sehingga Mibu-sama mengambilnya untuk mengalunkan lagu yang bisa menenangkan hutan Isozuki. Aku pun tidak memiliki siapa-siapa. Aku tidak bisa memainkan musik seindah Asagi. Aku hanya seorang pemegang payung yang bertugas melindungi Mibu-sama dan rombongannya.
Malam itu, para pemain musik memainkan sebuah lagu yang terdengar sedih namun menenangkan. Isozuki begitu damai, hingga aku merasa ada kejanggalan dalam nada yang dimainkan Asagi. Aku, seseorang yang tidak terlalu pandai untuk memahami setiap nada dibandingkan seorang dewa agung seperti Mibu-sama. Tiba-tiba Mibu-sama dan semua orang memandang Asagi.
Permainan Asagi terhenti. Senyumannya sirna. Kotonya jatuh ke tanah, salah satu senarnya putus.
Aku melihat jari-jemarinya yang tadi memetik senar-senar koto hancur menjadi butiran-butiran pasir. Pipinya yang menghias senyum retak dan berjatuhan seperti tanah kering. Untuk meraih kembali kotonya pun dia tak sanggup. Aku hanya tertegun.
"Maafkan hamba, Mibu-sama… Maafkan hamba…"
Asagi selalu tersenyum ketika memainkan lagu bagi Mibu-sama yang sangat dihormatinya.
"Hamba tidak pantas berada di sini lagi…" Asagi meratap, kedua tangannya yang mulai remuk menutupi wajahnya.
Mibu-sama berdiri. Tanpa kata-kata, beliau meninggalkan Asagi diiringi dayang-dayang dan para pengikutnya.
Tak ada seorangpun yang tinggal untuk menolong Asagi yang menderita itu.
Hanya aku yang tinggal. Menaungkan payungku melindungi gadis yang selalu tersenyum untuk Mibu-sama itu.
"Akagane…" Asagi tersenyum padaku, meskipun penyakit itu terus menggerogotinya.
Tidak ada seorangpun yang kembali untuk menolong Asagi. Tubuhnya semakin hancur, namun Asagi tidak pernah mengeluh. Dia selalu tersenyum, selalu bertutur kata lembut. Aku tidak tahu harus meminta pertolongan kepada siapa lagi.
"Tubuhku tidak akan bisa kembali seperti semula," katanya. "Aku hanya ingin memainkan kotoku untuk Mibu-sama… tetapi tubuhku…"
"Kau akan memainkannya lagi!" tukasku.
Dalam sebuah guci labu, aku memasukkan jiwa Asagi dan mengembara ke dunia manusia. Dari hutan Isozuki ke dunia manusia tidaklah dekat, dan aku khawatir Asagi tidak bisa kembali ke tubuhnya bila terlalu jauh perjalanan yang kutempuh. Ketika jiwanya kutempatkan dalam guci, berbicara pun membuatnya kelelahan. Aku tidak punya pilihan lain. Manusia, meskipun mahluk rendahan, tubuhnya cukup kuat untuk kutempatkan Asagi di dalamnya.
Ketika aku tiba di dunia manusia, ada seorang anak yang memeiliki kemampuan untuk melihat wujudku. Meskipun begitu, anak manusia bernama Natsume itu tidak mau meminjamkan tubuhnya untuk Asagi. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengancam dan menggertaknya, namun Asagi selalu meminta maaf atas perbuatanku.
"Maafkan sikapnya yang kasar, anak manusia. Ini semua salahku. Maafkan aku, aku telah menyuruhnya berhenti, namun aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri."
"Asagi, jangan bicara apa-apa!" kataku. "Kau akan kelelahan!"
Setelah berbagai paksaan, Natsume mau meminjamkan tubuhnya bagi jiwa Asagi yang rapuh. Asagi melewatkan tidur yang panjang di dalam guci maupun di dalam tubuh Natsume. Meskipun gadis itu sudah berada dalam tubuh yang sehat, aku tidak mampu meninggalkannya barang sedetik. Aku harus tetap menjaga Asagi yang sekarang berwujud Natsume, terbaring di atas futon di dunia manusia. Dalam tidurnya di malam kedua setelah kedatanganku, Natsume tiba-tiba terbangun di tengah malam dengan terkejut. Natsume pasti terbangun karena memimpikan tubuhnya hancur seperti Asagi.
"Kau terbangun, Natsume."
"Ya, tetapi Asagi tertidur," jawabnya. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kau ingin menceritakannya?"
Aku mengerti, dengan pertolongannya kepada Asagi, aku tidak perlu lagi menjaga egoku. Manusia, meskipun hanya mahluk rendahan, telah melakukan sesuatu yang berarti bagi Asagi. Kepada Natsume kututurkan keadaan Asagi yang membuatku harus menempatkan jiwa gadis itu di tubuhnya.
"Penyakit Asagi akan melambat bila jiwanya kutempatkan di tubuh lain," ucapku, "Aku sangat berterimakasih padamu, Natsume. Asagi selalu tertawa… Terakhir kali kulihat dia tertawa adalah ketika dia bermain koto untuk Mibu-sama. Kemudian tiba-tiba tubuhnya…"
Kenangan itu terasa menyakitkan untuk diceritakan.
"Besok bulan purnama," ujarku. "Jalan menuju hutan Isozuki akan terbuka untuk sesaat. Aku ingin Asagi memainkan koto untuk Mibu-sama, meskipun hanya satu kali. Kumohon, tolonglah kami hingga saat itu tiba, Natsume-dono."
"Mengapa kau melakukan ini?" tanya Natsume. "Mengapa kau pergi begitu jauh?"
"Aku…" ingin kukatakan betapa aku mencintai Asagi namun yang kukatakan, "hanyalah seorang pemegang payung…"
Menuju bulan purnama, koto untuk Asagi harus segera diselesaikan. Anak manusia itu terus menemaniku, kadang kudengar dia bergumam sendiri... Atau mungkin itu suara Asagi berbicara dengannya? Ketika aku selesai membuat koto yang baru untuk Asagi, Natsume jatuh tertidur di dekatku. Penyakit Asagilah yang membuatnya terlelap begitu lama. Kegelapan sudah mulai turun di hutan itu, namun purnama cukup menerangi jalan bagi kami.
"Kita masih punya cukup waktu. Ayo kita berangkat!" kutarik Natsume bergegas.
"Akagane, ada apa? Apa yang terjadi?" Asagilah yang bertanya dengan kebingungan.
"Asagi, jalan ke Isozuki masih terbuka!"
Ketika itulah youkai rendahan menyerang Natsume dan Asagi di dalam tubuhnya. Aku menebas tangan youkai itu, namun dia menyerang Natsume lagi dan koto itu melayang ke arah tebing. Tanpa pikir panjang Natsume ikut melompat untuk meraih koto itu. Bila dia melakukannya, Asagi akan…
Purnama tentunya begitu sempurna malam ini, sebab cahayanya mampu menyinari dasar tebing tempat kubaringkan Natsume. Pikiranku mulai dipenuhi kegelisahan sebab Asagi tidak bersuara lagi sejak tadi. Ketakutanku seperti mengalir perlahan justru ketika Natsume membuka matanya.
"Natsume, bagaimana keadaanmu?" tanyaku . "Bila kau bisa berdiri, kita masih bisa bergegas. Kalau kau tidak kuat, aku akan menggendongmu."
"Tapi Akagane, kau tidak bisa pergi dengan luka separah itu."
"Ayo!" desakku.
Natsume memejamkan matanya sesaat. Ketika dibukanya matanya lagi, aku seperti melihat Asagi… Bukan sekadar jiwa Asagi dalam tubuh seorang anak manusia namun dalam tubuhnya yang rapuh. Kecantikannya, senyumnya…
"Kupikir, bila mungkin, aku ingin bermain koto sekali lagi…" kata Asagi, tanpa sedikitpun rasa sakit maupun rasa lelah dalam suaranya. "Selama ini aku bermain koto hanya bagi Mibu-sama. Bila aku bisa memainkannya sekali lagi, akan kumainkan untuk sahabat baikku yang berharga."
Asagi duduk dan meraih koto yang kubuatkan untuknya. Aku hanya tertegun.
"Aku ingin bermain koto untukmu," Asagi tersenyum, senyumnya menutupi retakan di wajahnya. "Maukah kau mendengarkannya, Akagane?"
Wajahnya tergerogoti penyakit, namun aku tetap bisa melihat betapa cantiknya dia…
Dalam sunyinya hutan di dunia manusia, air jernih mengalir dengan tenang di sungai yang memantulkan sempurnanya purnama malam itu. Udara bergetar, seperti yang terjadi di Isozuki ketika Asagi memainkan kotonya. Melodi yang begitu indah mengalun mengisi malam. Mengisi hatiku.
26 Februari 2015
