I don't really understand the feeling of wanting to see someone…

My first Natsume Yuujinchou fanfic, Natsume x Tsubame. Fanfic ini saya buat dari cerita episode 6, Swallow at the Lake Bottom. Petrichor berarti aroma hujan di tanah yang kering.

Disclaimer : Natsume Yuujinchou milik Midorikawa Yuki.


Petrichor

"Natsume-sama, bolehkah kugenggam tanganmu?"

Untaian tutur dari gadis itu terasa lembut sekaligus lambat mengalir bersama teriknya siang musim panas itu, mengalun mencapai gendang telingaku bersama jeritan tonggeret yang melekat di pohon-pohon. Begitu lambatnya—entah pintanya, entah kecepatan nalarku mencerna—sehingga aku mengulurkan tanganku baru delapan langkah setelah kudengar pintanya itu.

"Natsume-sama sungguh baik," gadis itu tertawa senang.

"Tanganmu dingin," ujarku menuruti pendapat pertama yang muncul ke benakku.

Gadis itu tertawa lagi. Suara tawanya lembut. Semua yang dituturkannya padaku terdengar begitu lembut. Seperti tangannya dalam genggamanku… yang begitu dingin, namun secara aneh memberikan rasa tentram padaku di tengah teriknya musim ini. Gadis ini tidak membiarkanku berhenti berpikir dengan menanyakan hal yang belum pernah kudengar sebelumnya, yaitu apakah aku mempunyai saudara. Jawabanku bagi hal itu sudah pasti, sehingga aku mengembalikan pertanyaan itu padanya.

"Aku punya empat saudara. Tetapi mereka semua sudah mati karena aku."

Udara panas di musim itu terasa berhenti bergerak, menghentikan rasa nyaman yang tadi menyejukkanku. Tak bisa kubaca perasaan yang tergambar di matanya, sebab mata itu dibalut secarik penutup berbubuh kaligrafi indah. Yang bisa kusaksikan hanyalah tawanya yang polos.

"Ah, Natsume-sama, sebentar lagi hujan akan turun."

"Kau meramalkan datangnya hujan? Kau dulunya burung walet, ya?"

Gadis bernama Tsubame itu tidak pernah meninggalkan sisiku. Dalam sikapnya yang begitu tenang, dia menyembunyikan keinginannya untuk bertemu dengan seseorang yang sudah begitu lama dinantikannya. Tidak kuketahui bagaimana rasanya menginginkan bertemu dengan seseorang. Sama sekali tidak, sebab semua orang yang ingin kutemui telah menciptakan ketidaktahuan itu. Mereka tak ada lagi di dunia ini.

Keluarga Tsubame telah tiada. Raga Tsubame telah tiada ketika dia masih begitu kecil dan lemah, seperti saudara-saudaranya. Tempat tinggalnya pun musnah, ditelan oleh air bendungan. Tidak ada bedanya denganku. Aku nyaris hilang dalam dunia ini. Hanya satu hal yang tak sama di antara kami: Tsubame terus bertahan selama puluhan tahun di dasar bendungan sisa-sisa tempat tinggalnya. Sisa-sisa kenangan yang begitu berharga baginya. Sisa-sisa keinginannya yang begitu rapuh untuk menemui seseorang yang sangat berarti untuknya.

"Kumohon maafkan aku, Natsume-sama. Ada seorang manusia yang ingin kutemui, namun aku terlalu lemah untuk meninggalkan bendungan sendiri."

Ya, Tsubame hanyalah seorang youkai rendahan yang begitu lemah. Dia hanyalah seekor burung walet kecil. Dia bahkan tak mengetahui manusia mana yang begitu ingin ditemuinya… Seperti youkai-youkai lainnya, dia membutuhkan kemampuanku untuk menemukan orang itu, namun bila tanpa petunjuk seperti ini, bagaimana aku bisa menolong youkai yang begitu rapuh itu?

"Manusia itu selalu datang membawakanku makanan. Hari demi hari. Dia tak mengetahui bahwa aku telah berwujud arwah. Aku tak bisa melupakan aroma manusianya… Aroma itu mengingatkanku pada manusia yang mengembalikan sarangku yang jatuh dari dahan pohon ketika aku dan adik-adikku masih kecil."

Itu dua puluh tahun yang lalu, kuingat tutur Tsubame siang itu. Dan dua puluh tahun lalu bagi youkai berbeda dengan dua puluh tahun yang diukur dengan waktu manusia.

"Natsume-sama, aku akan merepotkanmu untuk beberapa saat," Tsubame membungkuk padaku dalam-dalam. "Aku harus menemuinya, meskipun hanya memandangnya dari jauh…"

Aku tak mampu melihat seperti apa ekspresi yang terlukis di mata Tsubame ketika kami telah mendapatkan alamat Taniozaki-san, manusia yang begitu ingin ditemuinya. Taniozaki-san telah sejak dua puluh tahun lalu meninggalkan desa Futaba, tempat Tsubame hidup dalam waktu singkat serta tempatnya menemukan kebahagiaan berwujud manusia yang begitu murah hati. Kenangan itu begitu kuatnya tergambar dalam langkah-langkah Tsubame mengejar Taniozaki-san senja itu.

"Aku bisa mencium aromanya!" seru Tsubame. "Dia telah dekat!"

Langkah-langkahnya melampauiku, semakin mendekatkan jaraknya dengan laki-laki separuh baya yang berjalan kembali ke rumah sepulang bekerja itu. Ketika aku berhenti untuk mengatur napasku, kulihat Tsubame telah mencapai sisi Taniozaki-san dan dengan bersemangat menuturkan untaian kata yang telah disimpannya selama berbagai musim. Untaian kata bagi manusia yang telah memberikan arti baginya,

Tanpa diketahui oleh manusia itu sendiri.

Tanpa bisa dilihat oleh manusia itu sendiri.

Betapa besar kerinduan Tsubame pada Taniozaki-san

…Taniozaki-san yang terus saja berjalan, tanpa sedetikpun memandang gadis yang telah begitu lama menantikan pertemuan itu.

"Taniozaki-san, saya adalah burung walet kecil di Futaba… Anda memberi saya makan setiap hari. Saya bukan anjing liar, saya hanyalah youkai lemah… Saya begitu berterimakasih meskipun saat itu saya telah mati…"

Mungkin itulah yang berusaha disampaikannya dengan bersemangat kepada Taniozaki-san. Berkali-kali Tsubame mendahului langkah pria itu, berhenti di depannya dan dengan bersemangat terus mengalirkan kata-kata agar Taniozaki-san bisa mengingatnya dan menggerak-gerakkan tangannya agar pria itu bisa melihatnya.

Namun setiap kali itu pula Taniozaki-san mengabaikan Tsubame…

Mengapa… hanya aku yang bisa melihat Tsubame?

"Aku ingin bertemu dengannya, meskipun hanya memandangnya dari jauh…"

Tapi kau tak mampu… Melambaikan tanganmu kepada Taniozaki-san yang sama sekali tidak mengacuhkanmu itu, kau tak mampu menutupi kesedihanmu. Tidak mampu menutupi kerapuhan hatimu. Kekecewaanmu.

Aku bisa melihatnya…

"Terima kasih, Natsume-sama," ucap Tsubame senja itu juga. "Rasanya bagaikan mimpi. Aku tidak lagi memiliki penyesalan. Aku akan kembali ke Futaba."

"Kalau kau begitu menyukai Taniozaki-san, kau tidak perlu kembali ke Futaba."

"Aku ingin bersemayam di tanah yang sama dengan adik-adikku. Terima kasih, Natsume-sama."

Aku bisa mendengar kepedihan dalam suaranya.

Kami telah menemukan orang yang paling ingin ditemuinya, namun rasanya keinginan Tsubame belum terwujud. Apakah rasa ini menandakan aku telah terikat padanya?

Tsubame duduk di atas dahan pohon, ditemani jeritan kumbang-kumbang musim panas yang tak bisa kulihat akibat terhalang ranting-ranting pohon. Gadis itu mengarahkan wajahnya ke arah langit. Entah dia memandang sesuatu atau memejamkan matanya. Kemudian aku tahu dia sedang menunggu sesuatu ketika tiba-tiba dia terpekik,

"Itu dia!" dengan semangat yang sama ketika kemarin dia mengejar Taniozaki-san. Tsubame melambaikan tangannya, seolah berharap dengan itu Taniozaki-san akan memalingkan wajahnya ke arah Tsubame. "Heeei! Heeei! Heeei!"

Aku tak mampu melihat kepedihan itu lagi, meskipun aku bisa mendengar dari suaranya.

"Natsume-sama, aku agak lelah. Bolehkah aku istirahat?"

Senja itu, untuk pertama kalinya Tsubame tidak berada di sisiku. Dia mungkin semakin lemah. Di pohon yang sama, keesokan siangnya, burung-burung walet hinggap di tubuh Tsubame. Di dahan yang sama Tsubame duduk, menengadahkan wajahnya ke langit. Cahaya mentari siang itu meleretkan cahayanya melalui sela-sela dedaunan.

"Hei, yukata yang bisa membuat youkai terlihat sebagai manusia itu benar-benar ada, kan?" tanyaku.

"Kenapa kau mau melakukannya untuk gadis itu? Tidak ada untungnya bagimu, kan?"

"Aku sudah terikat dengannya," balasku pada perkataan youkai Futaba itu. "Apa salahnya melakukan sesuatu untuk seorang teman?"

Malam itu, iring-iringan lentera melintasi aliran air yang masih tersisa di dasar bendungan bagai kunang-kunang. Para youkai berkumpul dalam festival di bekas desa Futaba. Mereka melakukan berbagai permainan yang pemenangnya akan mendapatkan yukata itu. Aku tidak seharusnya datang ke sana bila tidak ingin dimakan oleh youkai, tapi kini yukata itu lebih berharga daripada apapun bagiku.

Seperti Tsubame, para youkai penghuni Futaba tidak ingin meninggalkan desa itu meskipun sebentar lagi bendungan akan dipenuhi air dan Futaba akan tenggelam. Memang, selalu ada hal yang sulit ditinggalkan… Bila terus berada di luar Futaba, mungkin Tsubame akan menghilang bersama kenangan tentang Taniozaki-san yang terus disimpannya di dasar bendungan…

Taiko telah ditabuh bertalu-talu. Semua youkai berlomba mencapai pohon kering tempat yukata itu digantung. Aku ikut di dalamnya, dan nyaris tidak yakin bahwa aku bisa memenangkannya.

"Tsubame," panggilku. "Bangun, Tsubame. Aku sudah pulang."

Gadis itu mengangkat wajahnya. Dia tampak begitu letih.

"Natsume-sama, untunglah kau pulang cepat," balasnya. "Larut malam nanti hujan akan tu—"

"Tsubame," tukasku. "Taniozaki-san sedang menghadiri festival di desa sebelah. Pakailah ini, temui dia."

"Yukata ini…" Tsubame tampak terperangah menerima yukata berwarna biru dengan motif bunga krisan putih itu. Tampaknya yukata itu adalah benda yang terkenal di Futaba. Tsubame mungkin mengetahui festival Futaba, namun dia terlalu lemah untuk mengikuti perlombaan itu.

"Kau begitu lemah, Tsubame. Aku tidak yakin kau mampu berbicara kepadanya, namun bila kau tetap ingin melakukannya, pergilah."

"Natsume-sama…" Tsubame masih terperangah.

"Tsubame, terima kasih kau tidak membenci manusia," bisikku.

"Aku suka orang baik! Aku juga suka orang yang hangat! Itulah sebabnya aku suka manusia!"

Gadis bertutur sopan dan bersuara lembut itu merengkuh tubuhku. Tubuhnya tetap dingin, namun dalam dingin itu aku merasakan kehangatan harapan. Tidak ada yang kusesali. Tidak ada lagi beban dalam hatiku. Rasa seperti ini begitu asing namun begitu menentramkan.

"Terima kasih, Natsume-sama! Terima kasih! Aku akan ke festival sekarang!"

Kebahagiaan dan harapan dalam langkah itu tampak sama kuatnya dengan kali pertama dia melihat Taniozaki-san setelah dua puluh tahun. Namun malam ini, dengan yukata biru bermotif krisan membalut tubuhnya, aku yakin kekecewaan tak akan membayanginya lagi.

Larut malam itu, hujan turun. Seperti yang telah diramalkan Tsubame.

Mudah saja mereka yang terikat pada suatu tempat untuk kembali ke tempat itu. Tsubame mungkin telah kembali ke desa Futaba di dasar bendungan yang kini dipenuhi air, atau bahkan mungkin dia telah naik ke nirwana. Aku tidak pernah bertemu dengannya lagi sejak malam itu.

Kali itu, aku mengejar langkah Taniozaki-san. Dia berpaling mendengar salamku.

"Gadis yang memakai yukata bermotif bunga?" ulangnya, tampak memilah ingatannya.

"Ya, di festival di desa sebelah tempo hari," lanjutku.

"Oh, gadis itu. Aku bertemu dengannya, gadis pendiam yang memakai yukata biru."

"Syukurlah," kelegaan mengaliri diriku.

"Kau mau melihat fotonya? Aku baru saja mencetak foto dari festival kemarin."

Aku terperanjat. Taniozaki-san mengeluarkan selembar foto dari tas kerjanya. Tampak gambar Taniozaki-san bersama seorang gadis muda di sisinya. Gadis itu mengenakan kimono biru bermotif bunga krisan persis seperti yang kuberikan kepada Tsubame. Rambutnya pendek kecoklatan, persis seperti rambut Tsubame. Yang berbeda, wajahnya tidak tertutupi topeng kain seperti Tsubame. Dan parasnya yang tersenyum itu begitu cantik…

Senyum itu… senyum penuh kebahagiaan itu… begitu cantik.

Aku tahu, itulah Tsubame. Tanpa topeng yang menutupi kegelisahan, kekecewaan, kesendirian, kesepian, kesedihan… tanpa hal-hal buruk lainnya. Hanya ada kebahagiaan. Kebahagiaan yang mengobati kerinduannya. Urusannya di dunia ini telah selesai dengan kebahagiaan. Aku merasa begitu rapuh, begitu kecil, dibandingkan youkai walet yang menjadikan kerinduannya untuk tetap bertahan selama puluhan tahun.

Aku tidak bisa menahan air mataku berlinangan.

Aku juga menyukai mereka. Orang-orang yang baik. Orang-orang yang hangat.


26 Februari 2015