Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
Akashi Seijuurou x OC/Reader
Romance/Drama
Don't Like Don't Read! xD
Rinai hujan masih menerpa selasar jendela nun jauh di belakang sibakan belasan–puluhan tubuh yang sedang berlalu lalang. Jam pulang kerja menjadikan tempat ini ramai seutuhnya oleh banyak kaum dari kalangan usia. Alunan musik klasik di dalam kafe ini adalah dekorasi pelengkap yang menjadi bumbu utama dalam kontribusinya membangkitkan suasana eksotis kala penat menyergap.
Dan disini, aku melipat tangan gelisah. Mengetuk-ngetukkan jari ke meja tak bersalah sembari menatap tak nafsu pada kepulan asap pancake madu beraroma menggoda saraf olfaktori. Menanti rangkaian verbal yang akan meluncur dari mulut seorang jelmaan bara api yang sedang tersulut di hadapanku–Akashi Seijuurou.
Ibaratnya sedetik ia membuka mulut, sama halnya satu langkahku mendekati jurang kegelapan yang terjal tanpa berbekal sebatang korek pun untuk penerangan. Kalau bisa, tentu saja siapapun ingin sekali menghindari Akashi Seijuurou yang sedang murka.
"Kutanya, siapa kau ini?" –getaran pita suara Akashi yang sebenarnya hanya beberapa desibel terdengar seperti bunyi lengking iblis yang meroma sekujur tubuhku. "Bunga milikku atau miliknya?"
Serebrum di kepalaku seolah mengalami kerusakan parsial, hanya mampu memerintah kata maaf untuk membalas tudingan pemuda merah itu. Genangan air sudah sejak beberapa menit lalu menghuni pelupuk mata.
Mata Akashi semakin menyipit, pertanda kemarahannya yang semakin mendekati puncak ubun-ubun. Ia remas smartphone milikku yang masih menampilkan percakapanku dengan Mayuzumi Chihiro.
(Aku seharusnya adalah orang yang paling mengenal Akashi Seijuurou melebihi siapapun. Bahwa ia tidak suka segala bentuk interaksiku dengan kaum adam manapun, termasuk jikalau itu adalah salah satu kawannya sendiri. Apapun alasannya. Seterdesak apapun.)
Dan dari sini, aku hanya bisa menatap miris penuh penyesalan. Berpasrah pada tatapan angkuh dari sepasang kelereng dwiwarna cemerlang itu. Kebodohan. Yang secara tidak sadar kulakukan dan menyebabkan seekor singa bangkit dari tidurnya.
"Kau yang putuskan, atau aku yang putuskan?" Getar alto penuh penekanan itu kembali membelai lembut pendengaranku. Ya, lembut, namun kurasa mampu menyayat sebagian besar selaput gendang setiap orang yang mendengarnya.
Aku masih berdiam. Bibirku membuka dan menutup tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Seolah di dalam kerongkonganku berargumen akan mengeluarkan jawaban atas pertanyaannya ataukah terus memaksa mengeluarkan lisan maaf–entahlah, aku mendadak tidak mengerti dengan diriku sendiri.
"… Kau diam, berarti aku yang putuskan."
Sepuluh detik berlalu begitu saja tanpa ada pemecahan dariku. Dan ia menghela napas panjang sembari bangkit dari duduk. Menatapku dengan intimidasi mendalam dari interval ketinggian pandangan kami. Tersenyum simpul sambil berkata, "Aku pergi. Selamat tinggal. Carilah kebahagiaanmu sendiri, dear."
–Berbalik meninggalkanku yang masih terpaku menatap punggungnya yang semakin tertelan kerumunan. Hingga tinggal menunggu waktu sampai ia tak bisa lagi kucapai.
.
– I see the sky –
.
Malam menyapa hari, namun hujan tak jua pergi. Intensitas pengunjung sudah sejak lama berkurang. Hanya menyisakan tiga meja yang terisi–termasuk aku sendiri. Ya, sendirian.
Kelenjar airmata tak bosan-bosannya mencipta, seolah sedang berkolaborasi dengan deru air yang terus berjatuhan di luar ruangan sana. Tak ada tindak pencegahan dariku, dan tak ada niatannya sama sekali. Biarlah. Untuk apa kupedulikan jika Akashi pun tak peduli.
Hei, dia bahkan sudah menghilang dari sisiku sejak beberapa jam yang lalu. Dan pancake yang ia pesankan untukku sudah berangsur mendingin dengan keadaan rapi tak tersentuh.
Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang …?
Bodoh, tentu saja pulang! Aku sudah tidak ada urusan lagi disini! Hubunganku dengan Akashi sudah selesai. Menguap meninggalkan bekas samar yang terasa perih. Akashi tidak peduli. Pria itu sudah tidak peduli!
"… Dan pemikiran seperti itulah yang membuat otakmu tidak bisa berpikir jernih, dear."
Aku terdiam secara refleks ketika suara itu terdengar menyertai bunyi nyaring lonceng di pintu kafe yang melantun singkat. Menutup mulutku dengan kedua tangan kala sepasang lengan protektif milik seseorang yang sangat kukenal melingkari bahuku melewati punggung. Mataku semakin mengerjap takjub ketika lengan itu semakin membawaku ke dalam peluk tubuh pemiliknya. Aroma mint melesak menuju hidungku, memberi efek dingin disertai hangat yang bersatu padu membentuk suatu perasaan bernama rasa nyaman.
"Kaupikir tadi aku sungguh-sungguh?"
Hembusan napasnya semakin kentara menerpa leherku. Menghirup dan menciuminya dengan penuh rasa rindu mendalam–sisi lain seorang Akashi Seijuurou yang amat kucintai.
"Kau adalah duniaku. Napas yang kubutuhkan tiap detik kehidupanku. Selamanya, kau adalah milikku."
"Akashi-kun …" Airmataku merembes semakin deras–airmata bahagia. Aku bahagia. "Just say you'll be mine, just say that you're never gonna go away …"
"I'll be yours, and I'll never gonna go away."
–Sebuah pernyataan sederhana yang mampu membuatku menangis lega bercampur bahagia tiada tara, ditutup dengan sebuah kecupan lembut di bibir. Berbagi kehangatan. Dan segalanya akan baik-baik saja asalkan kami berdua terus bersama.
.
Owari~
.
[A/N]
Terinspirasi dari salah satu lagu Pump It Up yang judulnya Till the End of Time, meskipun kayaknya ga ada nyambung-nyambungnya dengan si plot hahaha ^w^v /digiles
Dan terimakasih sudah mampir dan membaca!
