Hate That I Saw You

Disclaimer : Sudah pasti Masashi Kishimoto sensei (semoga beliau ga marah atas kelakuan kurang ajar saya terhadap tokoh2 ciptaannya)

Summary : Sasuke terjebak dalam sebuah perjanjian yang menghadapkannya pada situasi hidup atau mati...

Notes : Bukan kisah berbahaya. Saya cuma mau melampiaskan kecintaan saya pada hubungan unik yang terjalin antara SasuNaru dan NaruSasu, ga tahan mau ngampet dan akhirnya lega juga. Fanfic pertama saya. Reviews, sarans and kritiks are totally encouraged, kalau ga keberatan meluangkan waktu sebentar... Arigatou!

Enjoy! ^_^

Matahari bergerak malas ke atas ubun-ubunnya.

"Hn…"

Sinar terik itu mulai menyakiti sel-sel kulitnya yang, nyaris, dikira orang tak berpigmen. Penyebabnya sudah jelas. Tidak ada satu orang—atau bahkan cewek—mana pun yang memiliki kulit seputih, sehalus dan semulus miliknya. Yeah…miliknya yang berharga.

"Hmph…"

Jarum stainless tipis sebuah jam tangan Quartz ternama berdetak penuh irama.

TIK-TAK-TIK

Dia mengerling tidak sabar. Bahkan ketika udara terasa tengah dipenuhi kerumunan celoteh berisik gadis-gadis muda nan sensual, suara jarum jamnya terdengar begitu keras. Entah karena otaknya sedang—dalam seratus tahun—tidak beres atau memang jamnya yang tidak beres, dia bahkan bisa mendengar suara detak-detak itu sedang bergema. Bergaung, memantul-mantul di setiap tembok yang ada di kompleks sekolah.

"Ngh…"

Ayolah! Menit-menit berlalu lambat, selambat makhluk paling lambat yang masih bisa bersliweran di otaknya yang kian memanas. Apa cewek-cewek bego ini tidak sadar kalau mereka sedang, secara tidak langsung, mengekspos objek paling mempesona di seluruh jagad raya di bawah sorotan sinar matahari yang super menyengat? Apa mereka tidak pernah belajar proses evaporasi cairan tubuh yang bahkan bisa terjadi melalui celah pori paling kecil sekali pun?

"Rrrgh…"

'Oke, cewek-cewek, kalian sudah memanggangku selama sepuluh menit lamanya. Sebentar lagi aku matang,' batinnya geram. Kalau perlu bisa ditambah garam dan merica, tapi dia tidak berniat terus berdiri kaku bak tiang jemuran di tengah lautan wanita haus kehangatan—yang jelas betul tidak akan pernah bisa dia berikan. Dia adalah balok es super segar yang baru diimpor dari kutub utara.

"Grrr…"

Tidak kuat lagi. Tidak tahan. Desir-desir emosi yang tersumbat seakan nyaris meluap dari ubun-ubunnya, yang sekarang mendidih. Dia bersiap untuk berteriak. Dan berhenti. Kalau dia berteriak, apa kata cewek-cewek ini nanti? Kalau dia menolak, akankah mereka masih memujanya dan menceburkan diri mereka sendiri ke sumur hanya demi menatap ketampanan dan keindahaannya yang nyaris sempurna? Apa mereka masih akan tetap merengek-rengek membabi buta demi lima menit Belajar Bersama Pria Paling Ganteng Se-dunia?

Dia tidak bisa memilih. Ini terlalu sulit. Pikirannya gelap. Dia tidak bisa berkonsentrasi. Pandanganya ikut-ikutan menggelap. Tunggu, kenapa tubuhnya juga ikut-ikutan jadi lemas? Ini tidak benar. Ini tidak beres. Apa jangan-jangan dia sudah berdiri terlalu lama, terlambat mikir, dan sekarang terancam ambruk karena alergi akut sinar matahari?

Sial. Sekarang energinya terasa tengah menguap, menguar-nguar di udara. Bibirnya tidak mampu lagi membisikkan bahkan hanya sepatah kata. Biru warna langit dan kegelapan berpusar-pusar di kepalanya tepat seperti sebuah iklan kopi susu yang dia tonton pagi tadi sebelum berangkat sekolah. Tidak, tolong, jangan kopi. Jangan barang haram memuakkan itu. 'Please, jangan ikon aniki tak tahu malu itu,' batinnya suram.

BRRM…BRRRM…

Terdengar suara sepeda motor, kasar, dan sepertinya tengah dipacu dalam kecepatan super tinggi.

Tercium aroma pekat khas yang menguar begitu kuat. Aroma yang dibencinya.

KYAAAAA!

Terdengar suara jeritan dan cicit gadis-gadis yang kini tengah berhamburan panik. Sepertinya mereka sedang mencoba menghindari sesuatu. Sesuatu yang mengerikan, seperti yang mungkin akan segera muncul dalam 5…4…3…2…

"Minggir! Minggir! MINGGIR SANA, DASAR PENGGANGGU KENIKMATAN ORANG! PULANG SANA! SHOO! SHOO!"

Dan begitulah, sebuah suara menggelegar datang beriringan dengan suara sepeda motor yang berdecit liar, menggila di tengah lapangan voli yang kini kering dan berdebu.

'Orang ini bego sekali,' batinnya emosi, 'sudah muncul dengan hebohnya, sekarang menyemburkan debu tanah ke wajahku lagi. Sial!'

Tapi dia tidak pernah bisa mengungkapkan ungkapan super sebalnya itu kepada siapa pun yang baru datang itu. Sisa-sisa energinya melayang ke udara, meninggalkannya terhuyung-huyung lunglai. Dia akan jatuh. Kepalanya berpusing tidak beraturan.

"Hei, hei, ka-kau kenapa?" seru sang pemilik sepeda motor yang spontan melaju cepat ke arah siswa SMA yang kini tengah tersaruk-saruk di hadapannya, mencoba tetap berdiri dengan percuma. Dengan gesit, dia menangkap sang siswa yang kini nyaris tak sadarkan diri tersebut. Tepat sebelum tubuh sempurnanya tersebut terhempas ke tanah.

"Gotcha! Ah..untung masih sempat. Hei…jangan pingsan di sini dong, Honey, hei…Honey, kau kenapa…Honey…" Sang pengendara mencoba menggoncang tubuh lemas yang terkulai dalam dekapannya.

"Ho…Honey?"

Hanya kata itu yang kini melenggang janggal dalam otaknya. Matanya yang kian memburam tidak sempat melihat siapa sang mysterious rider tersebut. Matanya yang nyaris gelap total kian berkunang-kunang. Tubuhnya tidak mau digerakkan. Putus asa, akhirnya dia menyerah dan membiarkan kesadarannya hilang di hadapan sang penunggang motor misterius tersebut.

Perlahan dia membuka mata. Meski masih agak kabur, paling tidak pemandangan di hadapannya kini berangsur pulih. Putih malah. Otak jeniusnya segera bekerja. Tidak akan pernah ada tempat lain yang lebih putih di komplek sekolah selain ruang UKS. Dan tidak ada ruangan mana pun yang selalu memiliki aroma kuat—tunggu, bukan obat-obatan?

"Hei, bangun juga akhirnya. Kau nggak apa-apa, Honey?" Tanya sebuah suara yang sudah pasti milik sang mysterious rider.

Cepat-cepat dia mengusap matanya dan mencoba duduk. Benar dugaannya. Kini dia bisa melihat dengan jelas profil utuh sang rider. Sedang duduk dengan santai di hadapannya seorang pemuda berambut jabrik yang—entah natural maupun tidak natural—berwarna kuning cerah. Nyaris seperti warna pirang, tapi jauh lebih terang, sangat kontras dengan kulitnya yang coklat emas terbakar sinar matahari. Mata sang rider yang berwarna biru langit terlihat begitu bening, nyaris sebening mata onyxnya sendiri. Tidak, tidak mungkin ada mata yang bisa menyaingi matanya. Ehm…mungkin tidak. Seharusnya tidak.

"Jiaaaaaaaaah, belum-belum sudah terpana. Mingkem deh. Tolong di-lap tuh liur. Perkenalkan—aku nggak akan mengulangnya dua kali, jadi dengarkan baik-baik—namaku Naruto, Naruto Uzumaki. Salam penuh cinta…"

Naruto mengedipkan sebelah mata. Dia tersenyum dengan intensitas luar biasa silau.

"Honey," ucap Naruto lembut seraya menggenggam kedua tangannya yang putih bersih tanpa cacat, "akhirnya kita bisa bertemu lagi, My Honey Sakura-chaaaaa—"

BUAK

Naruto tidak mengantisipasi sebuah bogem mentah yang spontan menghajarnya dahsyat tepat di muka.

"ENAK SAJA PANGGIL-PANGGIL AKU PAKAI NAMA CEWEK PASARAN BEGITU!" serunya murka, "dan aku ini COWOK. C-O-W-O-K tulen, 100% tanpa kesalahan gen lahiriah maupun batiniah. Dilihat dari sudut manapun juga sudah jelas, kan?"

Naruto melongo dengan hidung penuh darah.

"Dengar," ujarnya geram sambil menarik kerah baju Naruto, "aku juga tidak akan mengulang dua kali. Ingat ini baik-baik. Aku Sasuke Uchiha, cowok nomor satu, paling top, paling jenius, paling ganteng dan paling mempesona seantero sekolah. Cari Honey-mu di tempat lain. Enyah sana!"

Sasuke berbalik. Dia berniat meninggalkan UKS terkutuk itu secepatnya, sebelum firasat buruknya menjadi kenyataan. Tanpa diduga, Naruto mengulurkan tangannya ke bahu Sasuke, mencengkeramnya dengan intensitas seekor godzila. Wajahnya yang berhiaskan tiga coretan samar di kedua pipi tersebut menatap Sasuke dengan ekspresi datar namun mengancam.

"Enak saja kau mau kabur setelah kuselamatkan dengan begitu indahnya," bisik Naruto dingin, "dasar es batu tak tahu berterima kasih. Heh, mau ke mana kau, Dude?"

Sedikit terkejut, Sasuke menjawab, "Ap-apa-apaan sih? Kau ini maniak, ya?"

"Maniak kepalamu botak," raung Naruto. Sambil menepuk dada, mencoba menyabarkan diri, Naruto mendesis. Kali ini dengan nada tinggi yang menusuk. "Wah, wah, aku tidak pernah menyangka kalau cowok paling populer di sekolah ini ternyata super narsis dan agak…ehm…pengecut."

Alis Sasuke terangkat tinggi. Darahnya terasa mendidih, bahkan tanpa bantuan sinar matahari.

Naruto menyeringai. "Satu lagi…menurutmu apa jadinya kalau aku menyebarkan aibmu ke seluruh penjuru sekolah?"

"A…aib?" Sasuke tergagap.

Naruto tersenyum nakal. "Yep, aib kalau sang Sasuke the-almost-almighty ternyata cowok super ringkih yang dengan begitu gampangnya teler cuma gara-gara kepanasan?"

"KAU…." Sasuke nyaris melayangkan bogem lain, tapi kali ini dia menahan diri. Naruto menyeringai penuh kemenangan.

"Apa maumu?" dengus Sasuke. Orang ini ternyata sangat berbahaya. Naruto bisa saja menghancurkan imej yang telah dibangunnya dari nol itu dalam hitungan menit. Dia menyerah.

"Kau gunakan popularitas dan pengaruhmu ke seluruh elemen sekolah. Hal itu pasti mudah," kedua mata biru Naruto menyipit licik, menyisakan celah kecil yang terfokus pada Sasuke semata, "bantu aku mencari My Honey."

Sasuke mundur ke pojok, tidak kuat menerima tatapan intens tersebut. Sekarang dia tidak punya pilihan. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan hanya membantu pemuda sinting ini mencari Sakura-chan-nya atau siapa pun itu sampai dapat. Segera sesudahnya dia bisa menyingkirkan hama ini dari hadapannya kalau perlu bersama Honey-nya itu sekalian.

Sasuke menatap Naruto singkat kemudian menyeringai.

Dia bisa berpura-pura baik untuk sekarang saja dan ketika waktunya tiba nanti, Sasuke bisa membalas dendam dengan sepuas hati. Blonde gila ini harus menerima sedikit pelajaran nanti. Sabar. Hiburan tersebut bisa ditunda untuk sementara.

Yang terpenting status kebanggaannya selamat. Setidaknya untuk saat ini.

"Tunggu apa lagi, Dude? My Honey tidak bisa menunggu!" seru Naruto dengan semangat meluap-luap. Dia menarik lengan Sasuke dan spontan menariknya keluar dari UKS.

Sambil mendesah menahan jengkel, Sasuke menurut. Dalam hatinya, dia bergumam licik, 'Kau bisa memperlakukanku sesuka hati sekarang. Lihat saja nanti, apa yang bisa dilakukan seorang Uchiha Sasuke sebagai pembalasan dendam.'

to be continued...