Uzumaki Naruto selalu terperangkap dalam ruang gelap yang dia ciptakan sendiri, hingga seseorang mendobrak masuk dalam garis wilayahnya: memaksanya untuk keluar. Seseorang yang tak pernah dia bayangkan dalam seumur hidupnya.

.

.

The Beautiful Mess

.

.

Pagi hari di kota Ame, Naruto terbangun saat mendengar suara pecahan keras di luar kamarnya. Kelopak matanya terbuka perlahan, menampakkan netra safirnya yang terlihat redup. Dia akhirnya memilih bangun dan berjalan dengan lunglai ke luar kamar.

"Kaa-san?" Suara seraknya bergema dalam ruang tamu yang berantakan.

Naruto melangkah dengan hati-hati melewati pecahan botol minuman keras di dekat meja. Kakinya bergerak membawanya dalam sebuah kamar di dekat ruang tamu. Tatapan pemuda itu terpaku pada pintu kayu yang terbuka lebar. Ia berhenti. Perasaan ragu menyerbu rongga dadanya. Naruto menghela nafas berat sebelum akhirnya memutuskan melangkah maju mendekati pintu kayu itu.

"Okaa-san?" panggilnya pelan.

Naruto menemukan wanita berambut merah yang duduk di samping kasur. Gorden kamar menahan laju cahaya matahari hingga membuat ruangan itu tampak gelap.

"Kau baik-baik saja?" tanya Naruto cemas.

Ini sudah lebih dari dua minggu saat ibunya meninggalkan rumah terakhir kali. Waktu yang sangat lama bagi Naruto dan membuatnya khawatir.

Ia melangkah semakin dekat. Bau alkohol menyeruak menusuk hidungnya ketika Naruto menginjakkan kaki ke kamar ibunya. Beberapa lembar pakaian kotor tergeletak di penjuru lantai membuat ia harus memungutnya dan memindahkannya ke keranjang pakaian. Mata Naruto berpindah, lantas jatuh pada barang di atas meja samping tempat tidur. Dia hanya dapat menatap nanar pada berbotol-botol alkohol di atas meja tersebut.

"Kaa-san? Kau baik-baik saja?" tanyanya kembali.

Rambut merah yang menjuntai ke bawah perlahan bergerak pelan. Kushina mengangkat wajahnya dan menatap Naruto nyalang. Sebersit kemarahan dalam tatapannya yang gelap menatap pemuda pirang yang berjalan mondar-mandir membersihkan barang-barangnya.

"Keluar!" desis Kushina tajam.

Tangan Naruto terhenti sejenak ketika ia memungut sebotol alkohol kosong di kaki tempat tidur. Ia menarik senyum cerah dan berkata, "Apa Kaa-san sudah makan?" tanya Naruto tak memedulikan penolakan keras Kushina pada dirinya dan kembali melakukan aktivitasnya membersihkan kamar Kushina. Ia memindahkan berbagai barang ke tempat yang seharusnya, dan membuang botol-botol alkohol itu ke dalam tempat sampah di kamar.

Tatapan Kushina semakin menajam melihat pemuda berambut pirang itu. Giginya mengatup rapat saat Naruto justru melempar senyum padanya. Melihat Naruto hanya akan membuatnya semakin dipenuhi emosi rumit.

"Kubilang keluar, Keparat!!!" teriak Kushina.

"Aku akan memasakkan Kaa-san omelet," balas Naruto tenang. Seolah tak mendengar sama sekali perkataan yang dilemparkan padanya.

Dada Kushina naik turun menahan amarah. "Kau, Anak Sialan! Aku menyesal melahirkanmu!!!" raungnya dengan marah. Ia berdiri dan meraih botol alkohol berisi sisa seperempat di dekatnya lantas melemparnya ke arah Naruto.

Naruto tak menghindar. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan ibunya melampiaskan emosinya. Bahkan hinga botol alkohol itu melayang, ia tetap tak berkutik. Botol kaca itu tidak tepat mengenainya dan hanya menabrak dinding di belakangnya. Hanya pecahan kecilnya yang menggores pipi Naruto dan cipratan airnya yang membasahi lengan baju kemejanya.

"Aku harusnya membunuhmu sejak dulu!" raung Kushina frustasi. "Ini semua karenamu!!!"

Nafas Kushina tersengal. Jemarinya bergetar, sedangkan kedua matanya menatap penuh kebencian pada pemuda yang ia lahirkan dan besarkan di hadapannya.

"Enyah dari hadapanku!!!" seru Kushina meraih apa pun yang ada di dekatnya.

Ketika Kushina hendak melempar sebuah bingkai foto yang ia raih secara acak di atas meja, Naruto akhirnya mulai beranjak pergi.

"Aku akan pergi dan tidak muncul lagi di hadapanmu, jangan khawatir," ucapnya nyaris berbisik. Ada nada getir yang terselip jelas dalam kalimatnya.

Naruto beranjak masuk ke kamarnya, ia meraih tas punggungnya di atas meja dan memasukkan baju dan celananya secara acak, lalu berjalan ke luar dari rumahnya.

The Beautiful Mess

"Kau tidak seharusnya pergi dari rumahmu, Naruto." Iruka memandang pemuda yang berdiri di depannya dengan helaan napas panjang.

"Aku hanya pergi sementara," balas Naruto tak acuh. Ia meletakkan tas punggungnya di kaki rak terdekat.

"Kau harus berhenti pergi saat ibumu ada di rumah! Jangan pulang saat dia pergi. Itu hanya akan memperburuk hubungan kalian."

"Hei, Paman, apa kau punya makanan? Aku lapar," ucap Naruto menatap bosan pria di hadapannya.

Iruka kembali menghela napas lelah. Naruto sama sekali tidak pernah bisa mendengarkannya. "Ada ramen di dapur, di laci ketiga dari kiri," jawab Iruka pada akhirnya.

"Kau memang yang paling mengerti aku!" Naruto melempar senyum lebar sebelum menghilang di balik pintu yang menghubungkan toko milik Iruka dan kediamannya.

"Makanlah lalu segera pergi ke sekolah!" teriak Iruka dari luar.

Naruto tak menjawab. Sedangkan Iruka hanya bisa menatapnya dengan gelengan pelan.

Naruto sedang menyeruput ramennya di meja ketika Iruka datang dan melemparkan sepasang lengkap baju dan celana ke kepalanya.

"Apa yang paman laku-" Perkataan Naruto tersendat ketika meraih baju yang dilemparkan Iruka padanya. "Ini …."

"Jangan sampai terlambat di hari pertamamu sekolah," kata Iruka.

Naruto terkesiap. Tangannya memegang blazer hitam dengan lambang sekolah Ame di dadanya.

"Paman, kau …?"

Iruka tersenyum. "Aku tahu kau mendapatkan rekomendasi sekolah di sana."

Naruto berdecak kesal. "Kurenai-sensei pasti yang mengatakannya."

"Jangan buat aku sia-sia membuang uangku," kata Iruka berbalik pergi. "Oh iya, tas sekolah dan perlengkapanmu lainnya kutaruh di kamarmu," kata Iruka kemudian.

Iruka tak menunggu respon Naruto dan segera beranjak pergi. Dia sengaja tak mengatakan pada Naruto tentang niatnya sebelumnya, karena jika Naruto tahu Iruka membelikannya perlengkapan sekolah, anak itu pasti akan menolak mati-matian. Iruka tidak ingin menyia-nyiakan nilai sekolah Naruto yang sangat memuaskan. Baginya, Naruto adalah anak yang berpotensi dan dia punya kesempatan untuk hidup yang lebih baik.

The Beautiful Mess

Naruto berdiri di depan gerbang SMA Ame. Jemarinya menarik-narik dasi merah yang ia kenakan dengan tidak nyaman. Awalnya, Naruto tidak ingin melanjutkan sekolah, tapi Kurenai-wali kelasnya justru mendaftarkannya diam-diam. Nilainya yang tidak pernah tergoyahkan dalam juara umum sekolah membuatnya diterima dengan mudah di SMA mana saja, bahkan tanpa perlu melewati tes ujian masuk.

Naruto melangkahkan kakinya masuk ke sekolah. Suara bising percakapan terdengar di setiap jalan yang Naruto lewati. Beberapa siswa baru seperti dirinya mulai menjalin pertemanan dengan siswa lainnya. Naruto berdiri canggung di antara kerumunan siswa baru di dalam aula. Ia menatap ke sekeliling, mencari kursi yang bisa ia tempati.

"Naruto-kun."

Naruto menoleh ke arah suara lembut yang memanggilnya. Ia melempar senyum cerah melihat gadis muda berambut ungu yang berjalan ke arahnya.

"Kita bertemu lagi, Hinata," ujar Naruto pada gadis itu.

Hinata mengulum senyum lembut, semburat merah di kedua pipi putihnya menyerbu dengan cepat. "A … aku tidak menyangka Naruto-kun akan masuk ke sekolah ini," kata Hinata dengan terbata.

Gadis itu terlihat begitu salah tingkah di hadapan pemuda berambut pirang tersebut.

"Aku juga," lirih Naruto. "Ah, maafkan aku, tapi aku harus pergi," kata Naruto kemudian. Ia tidak tahan dengan keramaian dan tatapan-tatapan aneh yang dilemparkan padanya.

Naruto tak pernah sadar tatapan yang dilemparkan padanya diisi rasa cemburu tiap pemuda seusianya. Bagi Naruto, Hyuga Hinata tidak lebih dari gadis pemalu yang baik hati. Naruto tak pernah tahu atau pun mau mencari tahu identitas gadis itu yang sebenarnya membawa status putri sulung klan Hyuga-salah satu klan terpandang. Kecantikan dan keanggunan Hinata selalu melekat di hati setiap pemujanya, dan hanya Naruto seorang yang bisa berbincang dengan Hinata. Selama ini, putri sulung klan Hyuga itu selalu menolak setiap pemuda yang datang padanya, hanya Naruto satu-satunya yang berhasil meraih hati gadis pemalu itu.

Naruto melangkah ke luar dari aula diikuti tatapan dingin laki-laki di sekitarnya. Ia tak acuh berjalan melewati kerumunan dan pergi tanpa arah. Naruto hanya membiarkan kakinya menuntunnya.

Langkah Naruto berhenti di dekat sebuah gudang olahraga di sebelah Timur sekolah. Bola mata safirnya menajam saat menatap sekelompok pemuda yang berjalan ke arahnya. Dia baru saja berbalik dan hendak berjalan pergi ketika suara yang dibentuknya justru menggema menghentikan laju langkahnya.

"Oh, lihat, siapa ini?" Seorang pemuda menarik senyum lebar ke arah Naruto. Ia berjalan mendekati Naruto bersama dua temannya yang lain. "Uzumaki Naruto, di mana ibumu menjual dirinya lagi kali ini hingga dia memasukkanmu ke sekolah ini?" tanyanya dengan tawa yang memecah.

Naruto menggertakkan gigi di balik bibirnya yang mengatup rapat.

Naruto kembali berbalik cepat. "Suigetsu, aku tidak akan peduli jika kau menghinaku, tapi aku tidak akan pernah memaafkanmu kalau kau berani menghina ibuku!" desisnya tajam.

Tawa Suigetsu sontak mereda. Tatapannya berkilat. "Oh?"

Bibir Suigetsu perlahan menyinggungkan seringai tipis. Ia berjalan ke arah Naruto hingga berhenti tepat di depan pemuda itu. "Aku hanya berbicara kenyataan. Apa yang perlu kau permasalahkan soal itu?" Suigetsu mengedikkan bahunya. "semua orang tentu tahu, ibumu memang pelacur," tandasnya tajam.

Di luar kesadaran, tangan Naruto yang sedari tadi terkepal sontak melayang menghantam wajah Suigetsu.

"Tutup mulutmu!" raungnya dengan napas terengah. "Jangan berani sebut ibuku seperti itu!!!"

Naruto lepas kendali. Dia memukul Suigetsu terus-menerus secara membabi buta. Tubuhnya berada di atas Suigetsu, melayangkan satu demi satu pukulan.

Kedua teman Suigetsu lainnya akhirnya tersadar akan keterkejutan mereka. Hidan yang pertama kali pulih segera menarik Naruto menjauh dari tubuh Suigetsu.

Deidara turut membantu Suigetsu berdiri. Ia menatap tajam pada Naruto. "Kau!" Deidara menggertakkan giginya penuh amarah. "Aku tak menyakitimu karena aku menghormati Nona Hyuga!" Netra Deidara menatap Naruto jijik. Ia kembali berkata dengan sinis, "Anak di luar nikah sepertimu hanya merusak mata. Aku bahkan yakin ibumu sendiri jijik padamu."

Naruto yang berada dalam kuncian tangan Hidan tertawa keras. "Anak pejabat korup tak pantas berkata seperti itu padaku!" serunya balas menatap Deidara tak kalah merendahkan.

Sebelum Deidara sempat melayangkan pukulannya pada Naruto, Hidan segera menendang lutut Naruto keras dan membanting tubuh pemuda itu ke depan hingga tersungkur ke tanah. Tangannya menarik rambut pirang Naruto dengan keras, sedangkan lututnya menekan punggung Naruto agar tetap rebah di tanah.

"Berengsek! Tutup mulutmu!" teriak Hidan sembari kembali memukulkan kepala Naruto pada tanah dengan keras. Ia melakukannya beberapa kali sebelum berdiri dan menginjak kepala pemuda di bawahnya.

Deidara maju, didorongnya tubuh Hidan mundur dan membalik tubuh Naruto. Matanya menatap tajam wajah Naruto yang masih menyunggingkan senyum sinis-walau rasa sakit jelas menusuk kepalanya.

Deidara melayangkan pukulannya pada wajah Naruto hingga membuat hidung pemuda itu mulai mengalirkan darah.

Naruto tahu, walau ia melawan pun percuma. Hal itu hanya akan membawa penyiksaan yang lebih sakit. Selama ini, dia selalu bertahan. Tak peduli seberapa pedas kalimat celaan yang dilemparkan padanya, atau pun seberapa banyak penindasan dan perlakuan tak adil yang didapatkannya. Ia tak pernah peduli. Sebab, melawan hanya akan membuat segalanya makin buruk. Namun, Naruto lepas kendali. Dia mungkin bisa menahan seberapa pun penindasan yang dilakukan terhadapnya, namun tidak dengan hal yang bersangkutan pada ibunya. Dan Suigetsu telah menyentuh area tabu dalam dirinya.

Tangan Deidara segera terhenti di udara ketika ia mendengar suara jeritan feminim. Ia menoleh cepat pada seorang gadis yang berdiri tidak jauh dari mereka.

Tersadar dia baru saja telah menarik perhatian, gadis itu segera berlari pergi dengan ketakutan.

"Sial!" Deidara mengumpat pelan. Ia sadar posisinya sebagai siswa baru tak akan menguntungkan jika ketahuan berkelahi di hari pertama sekolah.

"Uzumaki Naruto, aku bersumpah kau akan membayar hal ini lain kali!" kata Suigetsu tajam sebelum berbalik pergi bersama Hidan.

"Jangan berharap kau bisa tenang selama aku masih bernapas!" ancam Deidara. Ia menginjakkan keras kakinya ke dada dan perut Naruto beberapa kali sebelum pergi menyusul kedua temannya.

Naruto menghembuskan napas berat sepeninggal ketiga orang tadi. Dia mencoba bangun lantas merasakan sakit yang amat menusuk pada sekujur tubuhnya. Deidara dan Hidan sama sekali tak memberinya belas kasih. Naruto meringis pelan. Beruntung ada orang lain yang melihat mereka, jika tidak, Naruto hanya dapat terus bertahan mengalami penyiksaan yang ia dapatkan.

The Beautiful Mess

Dengan bantuan dinding, Naruto melangkah tertatih. Seragamnya kotor dan penampilannya kini terlihat amat kacau.

"Akh," ringisnya pelan.

Naruto merasakan kepalanya berdenyut hebat. Ditambah nyeri di perut dan punggungnya.

Bruk

Pemuda itu terjungkal ke belakang ketika seseorang baru saja menyenggol bahunya dengan cukup keras. Naruto menggertakkan giginya sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Dia perlahan mendongak dan mendapati tiga orang laki-laki berseragam yang sama dengannya.

"Kau Uzumaki Naruto?" Salah seorang berbadan kekar yang berdiri di tengah bertanya dingin.

Naruto berdiri dan mengernyitkan dahinya. Dia tidak mengenal siapa pemuda asing itu, selain pemuda itu berasal dari sekolah yang sama dengannya. "Siapa kau?"

"Jadi, kau …." Senyuman lebar merekah di wajah pemuda berbadan kekar tersebut.

Senyuman yang sontak membuat tubuh Naruto bergidik dibuatnya. Perasaan tidak enak mulai menjalar di hati Naruto.

Ketika pemuda asing itu menatap teman di sebelahnya dan mengarahkan dagunya ke arah Naruto, Naruto kemudian segera berbalik dan berlari pergi.

"Bocah berengsek, kejar dia!" seru Kakuzu mengumpat kesal. "Sial! Deidara tidak akan senang jika dia lolos," gumamnya dan berlari mengejar langkah Naruto yang jauh lebih cepat dari perkiraannya.

Seluruh tubuhnya terasa nyeri, namun Naruto sebisa mungkin memaksa kedua tungkainya berlari. Instingnya berkata pemuda asing itu tidak datang dengan niat baik.

Sesekali, Naruto menoleh ke belakang, namun sepertinya mereka pun tidak menyerah mengejarnya.

Kakuzu menggertakkan giginya geram. Napasnya terengah. Dia menarik kerah salah satu temannya kemudian mendorongnya.

"Kau! Pergi lewat sana dan hadang dia di depan!" serunya dengan mata melotot tajam.

Pemuda itu tidak ingin membuat Kakuzu marah, jadi dia mengangguk cepat dan berlari ke arah lorong di sebelah mereka yang ditunjuk Kakuzu.

Sedangkan Naruto terus berlari dan berlari. Untung saja, sejak SMP hal ini sudah jadi rutinitasnya sehingga stamina milik Naruto cukup meringankan penderitaannya saat ini.

Langkah Naruto terhenti tatkala dia menyadari jalur yang dilewatinya justru menuju ke arah tempat Iruka.

Ah, dia akan mendapat masalah lebih jika Iruka tahu keadaannya sekarang.

Naruto bimbang. Dia kembali menoleh ke belakang dan menemukan pemuda berbadan kekar itu masih tidak menyerah mengejarnya. Naruto berpaling cepat ke arah depan lantas terkejut ketika salah seorang yang diingatnya mendampingi pemuda berbadan kekar itu muncul menghadang langkahnya dari depan.

Naruto baru hendak menyeberang jalan dan berbelok, namun dari arah belakang kerahnya ditarik paksa.

"Bocah sialan!" Kakuzu menarik rambut pirang Naruto keras.

"Kakuzu!" Salah seorang pemuda berbadan tinggi yang berdiri di sebelah Kakuzu menahan tangannya. "Kita akan dapat masalah jika seseorang melihat," ujarnya saat Kakuzu meraung marah padanya.

Kakuzu mengetatkan rahangnya kemudian menyeret Naruto ke seberang dan berjalan menuju salah satu gang sempit di seberang.

Dia melemparkan tubuh Naruto ke tanah kemudian menginjak perut dan dadanya dengan kemarahan yang memuncak.

"Keparat! Kau berani lari dariku?!"

Naruto hanya dapat menahan setiap siksaan yang dijatuhkan padanya. Kepalanya terasa semakin pusing dan seluruh tubuhnya terasa berdenyut hebat. Pandangan Naruto mulai terasa semakin kabur.

Naruto hanya dapat mendengar suara samar umpatan yang dilemparkan padanya. Pandangannya semakin kabur ketika dia mendengar semakin samar suara dingin yang menyahut memotong tendangan Kakuzu pada tubuhnya. Lalu, semuanya terlihat gelap.

To Be Continued ….

Halooo

Ini cerita pertama yang aku publish di akun ini. Sebenarnya ini file lama banget di laptop. Daripada tenggelam begitu saja, aku memutuskan untuk berbagi dengan kalian semua

Enjoy with my story!

With love, Sei-sama