Shall We Skate
by vanderwood

.

Neo Culture Technology is a brand associated with SM Entertainment

Cerita ini hanya fiksi belaka dan tidak ada keuntungan yang diambil dari penulisan cerita ini.

.

.

You could step like a feather on the ice;

Let yourself go with music spinning around like a dice.

(Matsushiba Taku; Shall We Skate)

.

.

.

Chapter 1: Muertovivo

.

Resolusi Jaemin untuk tahun ini hanya ada satu: mencoret Taereung Ice Rink dari daftar tempat yang harus dikunjunginya setiap hari. Jika hal itu terpenuhi, Jaemin merasa bahwa ia akan lahir kembali menjadi seorang manusia yang paling bahagia sedunia.

Pelatih Seo tidak akan merestui hal itu seumur hidup, tapi Jaemin tidak mau tahu. Masa bodoh. Pelatih Seo tidak memiliki hidup Jaemin, meskipun lelaki tinggi itu sudah jadi bagian hidupnya selama belasan tahun. Bagian hidup yang lebih banyak tidak senangnya dibandingkan senangnya. Bagian hidup yang dipenuhi oleh omelan-omelan panjang (duh, bahkan Mama Jaemin tidak pernah mengomel sepanjang Pelatih Seo), memar-memar di dagu dan bagian tubuh lain, serta beban pikiran yang seolah tidak ada habisnya. Sudah cukup, Jaemin selalu berpikir seperti itu. Aku akan segera berhenti dari dunia figure skating, menyelesaikan kuliahku dengan nilai-nilai bagus dan membuka usaha sendiri. Mungkin aku akan membuka toko bunga, atau pindah ke daerah pinggiran kota dan membuat peternakan. Apapun asal bukan figure skating.

"Kamu nggak serius mau keluar, Jaemin," ungkap Jeno, dan Jaemin berjengit karena ucapan Jeno barusan adalah sebuah pernyataan. Memangnya siapa Jeno? Apa dia pikir ia lebih paham Jaemin dibanding diri Jaemin sendiri? Sok tahu sekali. Jaemin hanya bisa mendengus sambil memasukkan sepatu skating-nya dengan kasar ke dalam rak. Pelatih Seo selalu mengancam akan memecat semua atlet yang memperlakukan peralatan skating-nya dengan sembarangan (tentu saja Jaemin sangat mengharapkan hal ini) hanya saja meskipun sudah beberapa kali ia memergoki Jaemin melempar sepatunya sembarangan, Jaemin tak juga dipecat. Pelatih Seo memang jago bicara omong kosong.

"Dengar aku, kau sudah mulai skating sejak umur tujuh ta—"

"Delapan." Jaemin meralat. Jeno mendengus.

"Baiklah, delapan tahun. Yang berarti tahun ini kau sudah masuk ke tahun keduabelas. Kalau kau berhenti begitu saja, kau sudah menyia-nyiakan masa mudamu," ceramah Jeno. Jaemin tidak bisa untuk tidak memberikan balasan nyinyir terhadap kalimat Jeno barusan.

"Kata siapa. Aku masih muda. Masa mudaku baru saja dimulai. Kau tahu, di dunia ini ada profesi lain selain menjadi atlet figure skating." Jaemin menarik sepatu sneakers-nya dari loker dan memakainya cepat-cepat, seolah ingin segera pergi dari ruangan ini. "Justru aku bodoh kalau aku lebih memilih untuk mendedikasikan tahun-tahun berikutnya dalam hidupku untuk mengejar medali dari atas es. Dua belas tahun tanpa pencapaian mengagumkan? Ha. Lebih baik aku buka peternakan saja."

Jeno terdiam, memperhatikan ekspresi wajah Jaemin yang berubah masam. Ini bukan hari pertama Jeno mendengar keluhan Jaemin soal pencapaiannya yang terlampau biasa saja—dibandingkan dengan Jisung, misalnya, yang lebih muda darinya namun sudah menjuarai lebih banyak kompetisi dibanding Jaemin. Menurut Jeno, wajar kalau Jaemin merasa frustrasi soal itu, tapi tak lantas Jaemin harus menyerah begitu saja. Selama ini, salah satu faktor yang mencegah Jaemin pergi, salah satunya adalah Jeno, yang sudah berlatih bersamanya selama sepuluh tahun. Rasanya sayang saja melihat sang sahabat menyerah dalam sesuatu yang sebetulnya ia lakukan dengan sangat bagus.

"Kamu berjanji padaku, lho," tuntut Jeno.

"Apa?"

"Kalau kita akan tampil bersama-sama di Gangneung Ice Arena."

Jaemin mendesis. Gangneung Ice Arena, stadion kompetisi figure skating paling bergengsi di Korea, kini bukanlah apa-apa baginya. Ia sudah berhenti berharap bisa tampil di sana sejak entah kapan. "Sama Jisung saja."

"Nah, nah, tuh kan!" Jeno nyaris berteriak. "Kau ini selalu saja jadi menyebalkan kalau sedang negatif begini."

"Kau juga menyebalkan kalau sedang sok tahu," gumam Jaemin sambil menjulurkan lidahnya sekilas. Kalau sedang beradu pendapat begini, keduanya terlihat seperti anak kecil. Tidak ada seorangpun yang mau mengalah.

"Si-siapa yang sok tahu?"

"Hih, sudah ah! Aku pulang!" Secepat kilat Jaemin menyambar tas ranselnya dan melangkah menuju pintu keluar ruang ganti, meninggalkan Jeno yang mengikat tali sepatunya dengan wajah gusar.

"Oi! Nana, sarung tangan! Sarung tanganmu ketinggalan!"

Untuk kali ini, Jaemin lebih memprioritaskan gengsi dibanding tangannya yang dingin. Ia mengabaikan panggilan Jeno, dan akhirnya menghilang di balik pintu.

.

.

.

Sebetulnya, jika bukan karena sarung tangannya yang ketinggalan (ralat: sengaja ditinggal), Jaemin tidak akan datang ke tempat latihannya di Taereung Ice Rink hari ini. Mengingat di rumah tidak ada persediaan sarung tangan yang senyaman sarung tangannya itu, mau tak mau Jaemin harus mengambilnya hari ini.

Jaemin melirik jam sambil mengendap-endap masuk ke dalam kompleks bangunan ice rink indoor tempatnya latihan, lewat gerbang belakang. Meskipun latihan sudah dimulai, ia tidak mau mengambil resiko ketahuan oleh teman-temannya, apalagi mengingat Jisung juga sering datang terlambat karena jadwal kuliahnya sedikit bertabrakan dengan jadwal latihan. Beruntungnya Jaemin sudah akrab dengan pihak satpam di tempatnya latihan sehingga Jaemin bisa mudah meminta tolong mereka untuk tidak mencurigai dirinya yang datang terlambat dan lewat pintu belakang.

Di bagian belakang gedung tempat ice rink tempatnya biasa berlatih, ada sebuah pintu yang terhubung dengan ruang staf. Dari ruang staf, Jaemin bisa mengakses ruang ganti nomor tiga—ruangan yang selalu dipakai oleh timnya—dengan mudah, dan mengingat seluruh anggota timnya sedang berlatih resiko ketahuan akan lebih sedikit. Sebelumnya Jaemin sudah meminta izin pada staf yang berjaga hari ini untuk membukakan pintu ruang staf untuknya; beruntungnya, Minseok-hyung tidak bertanya apa-apa lagi dan hanya mengiyakan. Ia bahkan tidak mengomentari tentang bolosnya Jaemin hari ini. Jaemin merasa sangat beruntung karena ia senantiasa menjaga komunikasinya dengan para staf di tempat latihannya.

Kakinya tengah melangkah pelan sambil mendekati pintu gudang ketika tiba-tiba ia merasakan bahu kirinya disentuh oleh sesuatu—atau seseorang? Nyaris saja Jaemin terlonjak dan berteriak kaget karena sentuhan yang terlalu tiba-tiba itu. Untung saja ia masih bisa mengontrol mulutnya. Dengan kesal, Jaemin langsung menoleh ke kiri dengan mata mendelik.

"A-anu … excuse me—permisi?"

Oknum yang barusan mengagetkan Jaemin adalah seorang pemuda—sepertinya seusia dengan dirinya, lebih tinggi sedikit, dengan rambut pirang hasil cat yang disisir rapi ke belakang dan dilindungi oleh topi beret warna hitam. Dagunya sedikit tertutup oleh syal dan ia membawa tas ransel yang cukup besar. Jaemin belum pernah bertemu dengan orang ini, sehingga ekspresi galak yang ditampilkannya barusan perlahan-lahan berubah menjadi ekspresi bingung. Sang pemuda asing mundur selangkah, mungkin karena kikuk melihat Jaemin yang barusan terlihat begitu galak.

"… Ya?"

"Anu, di sini Taereung Ice Rink, benar?" Pemuda itu mengeluarkan secarik kertas dari saku jaketnya dan menunjukkannya pada Jaemin, yang melirik ke arahnya dengan setengah hati. "Masuk, sini lewat mana?"

"Maksudnya bisa masuk lewat mana, begitu?" Jaemin mengernyitkan alisnya, berusaha mengerti bahasa Korea sang orang asing yang cukup belepotan. Mungkin ia turis?

"Ah, iya." Sang pemuda pirang mengangguk-angguk bersemangat, padahal tadi Jaemin hanya mengoreksi pertanyaannya. "Sudah tanya satpam tadi, tapi mereka menjelaskan terlalu cepat …."

"Lewat situ saja, lurus terus sampai ketemu pintu utama." Jaemin menunjuk sebuah jalan lebar yang mengarah ke pintu utama Taereung Ice Rink. "Pintu utama itu … yang dekat meja resepsionis dan banyak orang yang masuk lewat sana. Kalau lihat pintu lain tapi tidak ada meja resepsionis, lewati saja."

Jaemin sengaja memberikan instruksi yang cukup detail agar pemuda asing malang ini tidak kebingungan. Sang pemuda asing masih membeku beberapa detik setelah Jaemin menyelesaikan kalimatnya, tapi tak lama kemudian akhirnya ia mengangguk-angguk mengerti.

"Ah, begitu, terima kasih, ya!" Ia membungkuk canggung ke arah Jaemin sebelum akhirnya berjalan cepat menuju jalan yang baru saja ditunjukkan kepadanya. Jaemin mengangguk sekilas, meskipun mungkin orang itu tidak sempat melihat anggukannya karena ia berlalu dengan begitu cepat seolah sedang terburu-buru. Atau memang sedang terburu-buru. Langkahnya cepat sekali seperti tengah dikejar setan. Mungkin ia ada janji dengan seseorang yang sangat galak dan tidak akan ragu untuk menendang pantatnya apabila datang terlambat.

Jaemin mengangkat bahu, kemudian segera kembali berkonsentrasi. Ia masih punya misi yang lebih penting; ia tidak datang kemari hanya untuk memberikan petunjuk arah pada orang asing. Jaemin mulai berjalan berjingkat mendekati pintu ruang staf, lalu mengetuknya pelan. Tidak perlu waktu lama sampai ia bisa mendengar suara ceklik pelan dari balik pintu sebelum pintu tersebut akhirnya terbuka setengah. Wajah Minseok-hyung menyembul dari balik pintu, dihiasi senyuman maklum ketika melihat Jaemin.

"Hehe, Hyung." Jaemin menyapa tanpa malu-malu. "Terima kasih, ya."

"Sudah, ayo cepat masuk." Minseok-hyung mengisyaratkan untuk Jaemin agar segera masuk. "Tampaknya pelatihmu itu sedang sangat bad mood."

"Oh ya?" Jaemin bertanya selagi melangkah masuk, dan Minseok menutup pintu. "Dia marah-marah?"

"Begitulah." Minseok mengangkat bahunya sekilas. "Kau pasti tidak akan mau dekat-dekat dengannya hari ini."

"Maka dari itu doakan aku agar tidak ketahuan, Hyung," kikik Jaemin sambil melangkah cepat ke arah pintu ruang staf yang kedua. "Aku pergi dulu, ya! Terima kasih banyak, Minseok-hyung!"

Jaemin tidak sempat melihat Minseok mengangguk dan menghela napasnya karena ia sudah menghilang di balik pintu kedua saat Minseok melakukannya. Setelah ini ia harus mentraktir Minseok kue, mengingat jasanya hari ini yang tidak akan bisa Jaemin lupakan. Ia memikirkan kue apa yang kira-kira bisa ia belikan untuk Minseok selagi melangkah dengan hati-hati menuju ruang ganti, memastikan bahwa tidak ada orang yang memergokinya. Jaemin mengangkat syal yang melingkar di lehernya sampai menutupi setengah wajahnya. Kepalanya sudah dari awal ditutupi oleh beanie, mencegah orang lain mengenalinya lewat potongan rambut.

Beruntung, Jaemin akhirnya dapat mencapai ruang gantinya dengan selamat. Dengan hati-hati (ia tidak bisa membiarkan dirinya lengah) ia membuka pintu, kemudian memastikan bahwa tidak ada orang di sana. Syukurlah ruang ganti itu memang tengah kosong. Ia menutup pintu lagi perlahan, lalu berjalan berjingkat-jingkat menuju lokernya yang terletak di pojok ruangan. Loker Jeno di sebelahnya tampak tidak tertutup dengan rapat—mungkin anak itu lupa menguncinya, atau tidak sempat karena terburu-buru. Khas Lee Jeno. Jaemin menghembuskan napas singkat sebelum memutuskan untuk menutup pintu loker Jeno terlebih dahulu, baru membuka lokernya.

Sepasang sarung tangan berwarna hitam itu masih ada di dalamnya, tergeletak bersama dengan setumpuk kostum yang sebulan lalu Jaemin gunakan untuk sebuah kompetisi—ia selalu lupa untuk membawanya ke binatu. Biarlah, Jaemin membatin, toh aku juga tidak akan ikut kompetisi lagi. Tangannya menjulur untuk meraih sarung tangan kesayangannya ketika tiba-tiba pintu ruang ganti menjeblak terbuka, disusul dengan suara yang sukses memunculkan ekspresi horor di wajah Jaemin.

"Helloo, Na Jaemin! Ke mana saja dirimu, hm?"

Uh-oh.

.

.

.

Jaemin memasang sepatu skating-nya dengan setengah hati sementara Pelatih Seo mengawasinya dengan tajam, macam ibu tiri yang sedang mengawasi Cinderella bekerja. Kenyataannya sekarang memang Jaemin merasa dirinya lebih naas dibanding Cinderella. Bagaimana bisa Pelatih Seo tiba-tiba masuk ke ruang ganti dan langsung memergoki dirinya yang berada di situ? Dewi Fortuna tampaknya sedang gemar sekali bercanda. Pada akhirnya, Pelatih Seo berhasil membuatnya mengenakan kostum kompetisinya bulan lalu (meskipun tentu saja Jaemin tidak sepenuhnya ikhlas) dan memaksanya untuk menampilkan sebuah program singkat. Diliput oleh majalah, katanya.

"Kenapa harus aku, sih?" gerutu Jaemin kesal usai kedua sepatunya terpasang dengan baik. "Kan ada Renjun, ada Jisung! Mereka yang menang di kompetisi bulan lalu, kenapa harus aku yang harus tampil?"

"Justru karena kau tidak menang, kucing nakal, kau yang harus tampil di bawah lampu sorot dan membuktikan pada dunia kalau kau punya potensi yang sama seperti Renjun dan Jisung!" Pelatih Seo menjawab dengan berapi-api. "Dunia harus tahu kalau Korea punya calon bintang di atas es lainnya, yang tidak berhenti berusaha untuk meraih prestasi!"

Konyol sekali. Jaemin berjengit. "Astaga. Berhenti mendorongku seperti ini, Pelatih. Kita sama-sama tahu kalau ini tidak akan berhasil."

"Justru bukankah dorongan yang paling kau perlukan, eh?" Pelatih Seo menatap Jaemin penuh penilaian.

"Tidak, aku tidak perlu. Aku sudah mau berhenti, kok. Kuanggap saja ini hanyalah usahamu untuk menaikkan citramu sebagai pelatih."

"Sinis sekali," gumam Pelatih Seo, tak kalah sinisnya dengan Jaemin barusan. "Dan tidak, kau tidak akan gantung sepatu sebelum dapat gelar The Next Kim Yuna."

"Jangan jadi delusional," dengus Jaemin. Apa? Kim Yuna? Pelatih Seo senang sekali bercanda.

"Aku tidak delusional. Aku berharap."

"Harapan kalau tidak rasional juga sama saja delusional."

"Terserah kau sajalah, kucing nakal." Pelatih Seo melemparkan sebuah lip balm kepada Jaemin sebelum ia akhirnya bangkit berdiri, kemudian berteriak pada seorang pemuda yang tengah memegang sebuah kamera profesional. "Mark! Kemari."

Begitu sang fotografer menoleh, Jaemin langsung mencelos. Ia kenal wajah itu—pemuda asing dengan bahasa Korea belepotan yang ia temui barusan. Meskipun kini ia mengenakan kacamata lensa bundar dan topi beretnya dilepas, Jaemin masih bisa mengenali wajah orang itu. Pemuda itu melangkah mendekati Pelatih Seo dengan senyum canggung terulas di wajahnya.

"Mark, ini Jaemin, yang akan menampilkan program andalannya hari ini." Pelatih Seo menepuk bahu pemuda yang dipanggilnya Mark itu sambil tersenyum bangga. Sayangnya Jaemin tidak tahu barus berkata apa untuk memprotes kalimat Pelatih Seo barusan. "Jaemin, ini Mark, fotografer yang akan memotret programmu. Nanti juga kau akan diwawancara oleh Donghyuk—mana orangnya, hm?"

"Ah, tadi sedang ke toilet sebentar." Mark menjawab singkat. Pelatih Seo mengangguk-angguk. Jaemin memasang ekspresi masam.

"Baiklah kalau begitu, beritahu saja kalau kalian sudah siap. Jaemin siap turun kapan saja, kok." Pelatih Seo mengedipkan sebelah matanya ke arah Jaemin, membuat pemuda itu bergidik. "Oh, dan aku benar-benar berterima kasih padamu, Mark, karena berkat dirimu aku bisa menemukan kucing nakal ini."

"Menemukanku?" Kening Jaemin seketika berkerut mendengar perkataan Pelatih Seo barusan. "Tunggu, sebenarnya apa yang terjadi?"

"Eh … itu, begitu aku sampai dan menemuinya, Johnny-hyung bertanya apakah aku … melihatmu …." Giliran Mark yang menjawab dengan pelan dan intonasi penuh kehati-hatian. Jaemin ternganga. "Ia menunjukkan fotomu, dan kubilang saja aku bertemu denganmu di pintu belakang—"

"Semua orang dan kucing peliharaannya juga tahu kalau setiap kali kau muncul di pintu belakang, kau datang kemari bukan untuk berlatih," potong Pelatih Seo dengan nada bicara jumawa. "Kupikir ada baiknya aku mengecek ruang ganti terlebih dahulu dan voila, instingku ternyata tepat. Kau ada di sana."

Jaemin ternganga. Tentu saja ia kesal, tapi toh kekesalannya juga tidak bisa mengubah apa-apa. Ia mendengus kesal, kemudian berlalu untuk masuk ke dalam rink yang sudah dikosongkan untuk penampilan Jaemin hari ini. Rekan-rekannya bahkan sudah melepas sepatu skate dan duduk di bangku penonton untuk melihat program Jaemin. Dalam hati Jaemin mengutuki sang pelatih, semoga Seo Johnny sulit dapat pacar dan menjadi bujangan tua.

Program Jaemin belum bisa dimulai tanpa kehadiran Donghyuk sang reporter, jadi Jaemin menggunakan waktu menunggunya untuk mengoleskan lip balm pada bibirnya. Ia terlalu kesal hari ini sehingga tidak menyadari bahwa Mark berdiri menunggu di sebelahnya; berkali-kali membuka tutup bibirnya seolah ingin mengajak Jaemin berbicara, tapi tidak jadi. Baru akhirnya ia berhasil mengutarakan satu kalimat setelah Jaemin selesai mengenakan lip balm-nya.

"Aku tidak tahu kalau kau hari ini tidak latihan," gumam Mark. Ia bisa saja menggunakan kata membolos, tapi Jaemin pikir ia sengaja menggunakan kata pengganti yang lebih halus. "Tadi Johnny-hyung seram sekali. Jadi kujawab saja apa adanya …."

Jaemin mendengus, antara kesal dan geli juga. "Sudah lama kenal dengan pelatihku?"

"Yeah, sort of." Mark menggaruk tengkuknya. "Dikenalkan oleh temanku yang suka meliput berita olahraga, terutama figure skating."

"Kurasa belum cukup lama untuk tahu kalau orang itu bisa galak di sekitar ice rink," ledek Jaemin, disambut kikikan kecil dari Mark.

"Kita belum berkenalan secara resmi, I guess?" Mark mengulurkan tangan kanannya kepada Jaemin, yang dibalas Jaemin dengan antusiasme rendah khas perkenalan penuh formalitas. "Mark Lee. Mark is okay."

"Jaemin. Na Jaemin," ujar Jaemin singkat sebelum melepas genggaman tangannya. Mark tersenyum.

"Aku sangat menantikan programmu," ungkap Mark dengan wajah berseri-seri. Kecanggungannya kini hilang.

"Jangan terlalu berharap," gumam Jaemin, tapi mungkin tidak begitu terdengar oleh Mark karena suara berisik dari sang reporter Donghyuk tiba-tiba terdengar dari belakang mereka, meminta maaf karena sudah menunggu lama atau semacam itu. Tanpa berbasa-basi lebih lama lagi, Donghyuk mempersilakan Jaemin untuk menampilkan program yang akan ia liput. Jaemin menarik napas panjang sebelum akhirnya menginjakkan kaki di atas lapisan es. Apakah ia masih ingat gerakan apa saja yang ditampilkannya pada program waktu itu? Entahlah. Jaemin sudah memutuskan untuk melupakan kompetisi itu sedetik setelah Renjun mengalahkan dirinya dan dua puluh kontestan lain.

Tidak apa-apa, toh ini hanya untuk majalah. Jaemin berusaha menenangkan dirinya sendiri. Kakinya meluncur tenang ke arah bagian tengah dari ice rink.

Dari pengeras suara mengalun nada pertama dari Creep, milik Radiohead. Tubuh Jaemin bereaksi dengan sendirinya, bagaikan refleks yang sudah dilatihnya sejak bertahun-tahun. Lapisan es sudah menjadi bumi baginya, dan nada musik membimbingnya bergerak selama bertahun-tahun. Jaemin melompat, berputar, juga melompat dan berputar. Tubuhnya meluncur dari ujung ke ujung rink diiringi musik dan kilasan lampu flash dari kamera Mark.

In a beautiful world, I wish I was special ….

.

.

.

Mark mengamati Jaemin dari balik jendela bidik kameranya. Jarinya menekan tombol shutter dengan dikomandoi oleh kata hatinya. Ini bukan kali pertama Mark menyaksikan program figure skating, tapi entah kenapa cabang olahraga ini selalu bisa menggetarkan hati Mark. Bagaimana para skater menari dengan anggun dan cantik di atas lapisan es yang licin, membawakan cerita yang penuh emosi hanya lewat gerak tubuh dan tanpa kata-kata, selalu bisa menerbitkan kekaguman dalam hati Mark. Berdiri tegak di atas lapisan es saja Mark tidak bisa.

Secara objektif, Mark menilai bahwa Jaemin tidak menampilkan programnya dengan baik. Wajar, mengingat Mark tahu betapa Jaemin tidak berlatih sama sekali dan hanya mengingat gerakan yang ditampilkannya sebulan lalu, dengan improvisasi. Pemuda itu terpeleset sekali ketika melakukan gerakan meluncur yang sedikit menukik, dan berkali-kali gagal mendarat dengan mulus ketika melompat. Dalam kompetisi formal, Jaemin pasti sudah mengalami banyak pengurangan nilai, tapi sekarang bukanlah kompetisi. Kekaguman Mark terhadap program yang ditampilkan Jaemin tidak berkurang sama sekali.

"Agak ceroboh, ya?" Donghyuk yang berdiri di sebelah Mark mengomentari. Yah, Mark tidak bisa tidak setuju dengan komentar Donghyuk barusan. Ia hanya mengangguk, kemudian memotret Jaemin yang tengah berputar dengan satu kaki. Gerakan yang cantik sekali.

"Memang agak ceroboh." Mark menanggapi. "Tapi … kurasa I get it, kenapa Johnny-hyung ingin kita bertemu dengan dia."

"Benarkah?" tanya Donghyuk sambil mengerutkan kening. "Katakan padaku. Kau tahu sendiri semua orang mengatai sense-ku tumpul."

"Dia berhasil membuatku tetap mengagumi programnya meskipun melakukan kesalahan berkali-kali. I think he got … something."

"What kind of thing?"

"Entahlah." Mark mengangkat bahunya. "Kau tahu sendiri semua orang bilang aku tidak pandai dalam berkata-kata."

.

.

.

Jaemin mengakhiri programnya dan keluar dari rink dengan wajah masam. Dagu dan lututnya berdenyut akibat terjatuh, pergelangan kakinya juga terasa sedikit nyeri karena beberapa pendaratan yang tidak berakhir mulus. Bangku penonton kosong, mungkin Pelatih Seo sudah menyuruh rekan-rekannya untuk turun dan masuk rink untuk berlatih. Jaemin ingin pulang, tidak ingin melihat mereka beraksi dengan lebih bagus dibanding dirinya, namun tentu saja Pelatih Seo tidak akan mengizinkan; dasar ular.

"Kerja bagus."

Komentar pertama tentang programnya hari ini Jaemin dapat dari Mark, yang tersenyum puas sekali. Tampaknya ia berhasil mendapatkan beberapa gambar yang bagus dan layak untuk menghiasi majalah. Jaemin tersenyum kecut sambil terduduk di bangku samping rink, kemudian melepas sepatunya dengan kasar.

"I messed up, tho," ungkapnya sambil cemberut. Dalam hati ia ingin sekali menanyai Mark apakah ia benar-benar mengamati programnya dengan baik, tapi Jaemin mengurungkan niatnya untuk menanyakan hal itu. Ia akhirnya memilih untuk balas berkomentar. "Aku tidak tahu bagaimana kau bisa menyebutnya sebagai kerja yang bagus."

Mark tersenyum kikuk. Tampaknya ia masih belum terbiasa dengan kesinisan Jaemin—meskipun, yah, Mark bisa dibilang sebagai seseorang yang berkontribusi banyak terhadap kesinisan Jaemin hari ini.

"Kelihatannya kau sangat mencintai skating, ya."

Jaemin terdiam.

Kalimat Mark barusan bukan pujian, bukan celaan, bahkan lebih terkesan seperti dugaan. Ia menyampaikannya tanpa terdengar sok tahu (uhuk, tidak seperti Jeno) sehingga tak lantas membuat Jaemin tersinggung mendengarnya, tapi bukan hanya itu yang membuat Jaemin terpaku. Ada sesuatu dalam kalimat Mark barusan yang membuat hatinya mencelos; entah itu dari caranya bicara, atau dari isi kalimat itu sendiri. Namun sepertinya, jawaban yang paling dekat adalah isi kalimat itu.

Apakah Jaemin benar-benar mencintai skating?

"… Aku terlihat seperti itu?" tanya Jaemin pelan.

"… Maaf?" Mark mengerutkan keningnya, agaknya tidak mendengar pertanyaan Jaemin.

"Tidak, tidak apa-apa." Jaemin menggeleng setelah terdiam beberapa saat, kemudian bangkit berdiri sambil membawa sepatunya. "Kabari kalau majalahnya sudah terbit, ya."

Mark tak sempat mengatakan apa-apa. Jaemin sudah terlanjur berlalu menuju ruang ganti.


to be continued

a/n: kembali lagi dengan van yang (masih) kangen markmin :") tadinya ff ini mau kubuat oneshot aja, tapi ternyata alurnya lebih lambat dibanding dugaan jadi kayaknya akan lebih enak kalau dipisah jadi multi chapter hehe. Perkiraan saya sih mungkin akan selesai di 3 atau 4 chapter, doakan saja semoga bisa update cepat ^^

oh iya, gerakan-gerakan di figure skating itu biasanya ada istilahnya masing-masing (kayak quad, spin, salchow, lutz, gitu-gitu) cuma karena banyak banget istilahnya jadi saya pikir adegan figure skating-nya enggak usah terlalu detail aja dan pakai kalimat yang lebih sederhana (maafkan kemalasan saya). terus program skating Jaemin di sini terinspirasi dari programnya Johnny Weir, he skated to Creep once and it was beautiful!

terima kasih banyak sudah membaca sampai sini!

regards,

vanderwood.

ps: nct dream februari mau comeback rip van's wallet kalau beneran keluarin album