歌うたいのバラッド: Regret
—o0o—
Sesshomaru – Kagome Higurashi
Disclaimer: Cerita ini milik saya, semua karakter Inuyasha milik Rumiko Takahashi, saya hanya meminjam nama mereka. Saya tidak mengambil keuntungan dari penulisan cerita ini, tulisan ini hanya sebagai hiburan semata.
Warn! Typo(s) ‖ gaje ‖ ide yang mainstream ‖ OOC ‖ AU ‖ diksi tidak tepat ‖ dll.
Author : Emma Griselda ‖ Editor : Sky Yuu
—o0o—
If you let me, I will give my heart to you
So that I can feel you, what else can I do?
Can you hold on just a little longer still?
In your heart if you believe it then you will
—o0o—
(Can I) call you my own, and can I call you my lover
Call you my one and only girl
(Can I) call you my everything, call you my baby
You're the only one who runs my world
—o0o—
Aku berjalan menembus dinginnya malam kota London. Salju mulai turun dengan tenangnya di seluruh kota. Syal rajut berwarna ungu telah melingkar dengan indahnya di leherku. Aku bisa merasakan rambutku mengayun ke sana kemari senada dengan irama berjalanku. Mantel tebal telah membungkus kulitku untuk mencegah udara dingin menusuk tubuhku. Aku tersenyum. Dengan senyuman indah itu, aku berjalan melewati Sungai Thames dengan membawa sebuah bingkisan kado dengan bunga untuk seseorang. Tertulis "untuk Inuyasha" dan beberapa jarak dari tulisan itu tertulis "Kagome H." di bagian bawah pada atas bingkisan itu. Hari ini memang bukan hari ulang tahunnya. Hanya saja aku ingin memberikan kado karena Natal akan datang sebentar lagi, walaupun saat Natal nanti aku ingin memberikannya kado yang lebih spesial daripada ini. Aku menaikkan sedikit lengan mantel yang menutui pergelangan tanganku, dan melihat jam tangan melingkar pada tangan yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Aku mempercepat langkahku agar aku bisa sampai di kantor Inuyasha sebelum pukul delapan malam. Aku tahu hari ini dia lembur karena banyak pekerjaan yang belum ia selesaikan sebagai CEO. Inuyasha merupakan sahabat lama onee-san sejak SMP. Aku dan onee-san bekerja di kantor miliknya, onee-san mendapatkan sebuah jabatan sebagai manajer, sedangkan aku hanyalah karyawan yang bekerja sebagai tour guide. Sebelum bekerja di sini, pertama kali aku bertemu dengan Inuyasha adalah saat onee-san mengundangnya dalam pesta kelulusanku. Saat itulah aku jatuh cinta padanya. Kau benar! Aku jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Hei, Kagome!" Seseorang menyapaku dengan lantang. Seorang pemuda seumuranku tengah duduk di kap mobil audi berwarna hitam. Dia tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Aku mendekat ke arahnya. Dia sahabatku sejak kecil, namanya Sesshomaru. Aku tahu dia sebenarnya meledekku.
"Jarang sekali kau berpenampilan menarik seperti ini. Kau mau kemana? Kau mau kencan ya?" Aku menggodanya dengan menyenggol siku tangannya dan tersenyum lebar. Dia menarik lenganku dan jarak wajah kami sangat dekat satu sama lain.
Dia langsung tersenyum padaku, dengan cepat dia menarik lenganku dan aku pun terduduk pada kap mobilnya. Aku duduk tepat di sampingnya. Dia menyeruput kopinya yang kepulan uap hangatnya masih terlihat dengan jelas.
"Menurutmu?" Dia menoleh ke arahku dan setelah bertanya seperti itu dia kembali menyeruput kopi itu.
"Hahaha ... Kau pasti berkencanlah. Kau kan terkenal sangat mudah mendapatkan wanita." Aku tertawa dan aku menoleh ke arahnya. Hal ini tidak lucu. Aku pun langsung terdiam karena aku merasa gurauanku sangat tidak sopan padanya.
"Tidak." Jawabnya singkat.
"Lalu?"
"Kau mau kemana?" Dia malah balik bertanya padaku.
"Eh?" Tiba-tiba aku sedikit gugup ketika dia menatapku seperti itu. Tatapan matanya berbeda dengan yang tadi, kali ini tatapannya menjadi lebih tajam. Dia semakin mendekat padaku, dan aku menjadi semakin gugup.
"K-ka-kantor," jawabku dengan gugup.
Dia tersenyum sambil membenahi syalku. Kepalanya berada di samping kepalaku.
"Kau pasti ingin bertemu dengan Inuyasha." Dia masih membenahi syalku dengan hati-hati, menurutku terkadang dia lebih fashionista daripada aku. Dia mengetahui semua tentangku, termasuk laki-laki yang kusuka, Inuyasha.
"Selesai." Dia tersenyum manis. Dia memandangku lagi, tatapan yang teduh dan aku melihatnya dia menahan air matanya agar tidak keluar.
"Kenapa?" aku bertanya padanya, aku penasaran dengan apa yang telah terjadi padanya, "apa kau baru saja bertengkar dengan paman?" Aku bertanya penuh selidik padanya.
Sesshomaru adalah sahabat terbaik yang pernah aku kenal. Kita sudah berteman sejak di Taman Kanak-kanak. Dia sangat baik, dan kami sudah seperti saudara sendiri. Dia merupakan anak tunggal dari keluarga yang tak bisa dibilang sederhana itu. Keluarganya juga sudah menganggapku sebagai anak mereka sendiri karena keakraban kami. Bahkan ibu Sesshomaru tak jarang membelikanku sesuatu ketika beliau habis dari luar kota bersama paman. Paman memang terkadang sedikit keras pada Sesshomaru. Aku rasa hal itu dikarenakan Sesshomaru yang merupakan pewaris tunggal. Terkadang aku iri dengan Sesshomaru, karena kedua orang tuanya sangat menyayanginya, berbeda dengan diriku yang ditinggal oleh kedua orang tuaku untuk selamanya ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar dan sekarang aku hanya tinggal bersama onee-san. Akan tetapi, aku merasa beruntung mempunyai sahabat seperti Sesshomaru, karena dialah yang mampu membuatku bangkit dari keterpurukan bahkan dia lebih mengerti tentangku daripada aku sendiri dan juga kedua orang tuanya sangat menyayangiku layaknya mereka memberikan kasih sayangnya pada Sesshomaru.
Bukannya menjawab apa yang aku tanyakan, dia hanya menggeleng dan tersenyum ke arahku sambil berkata, "Ayo."
Dengan cepat dia kembali menarik lenganku dan dia membukakan pintu mobil untukku. Aku yang masih linglung melihat sifat Sesshomaru, langsung memasuki mobilnya. Entah kenapa aku merasa ada yang berbeda dengannya malam ini. Aku melihat ke arahnya sampai akhirnya ia masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin mobilnya. Sepanjang perjalanan, kami hanya terdiam. Ia begitu fokus saat mengemudi, aku tak berani mengusiknya saat ia mengemudi. Aku hanya menatapnya, hingga tanpa terasa kami sudah sampai di depan kantorku.
"Sudah sampai." Dia masih fokus menghadap ke depan dan dia kembali tersenyum padaku yang masih membeku sambil membawa sebuah buket bunga dan bingkisan kado.
Melihatku yang tak beranjak dari mobil, dia menoleh ke arahku, "Kenapa? Kau tak mau turun? Kau ingin di sini denganku?" Alisnya sedikit terangkat saat dia bertanya seperti itu padaku.
"Huh?" Aku tersadar dari lamunan sesaatku tentangnya yang berbeda hari ini. Entah kenapa aku justru ingin di sini untuk beberapa saat. Aku merasa tidak ingin turun dari sini.
Aku meletakkan buket bunga di atas bingkisan kado yang ada di pangkuanku. Aku menoleh ke arahnya. Aku memegang tangannya dan menutup mata perlahan, saat mataku hampir tertutup penuh, aku melihatnya menoleh ke arahku. Aku yakin dia merasa bingung dengan apa yang baru saja aku lakukan.
"Sebentar saja. Aku ingin kita seperti ini untuk beberapa saat." Dia menurut. Saat mataku tertutup entah kenapa rasanya air mataku ingin tertumpah tak tertahankan.
Dengan sadar, aku membuka mataku perlahan dan saat itulah dia menoleh ke arahku —aku tidak tahu apakah dia baru saja menoleh atau telah mengamatiku sejak tadi— dan dia langsung memelukku dengan hangat. Aku malah tidak ingin melepaskan pelukan hangatnya itu. Aku menikmati bagaimana cara ia memelukku. Aku merasakan kehangatan ini, dan aku tidak ingin masuk ke kantor dengan harus menerjang dinginnya malam. Aku menyandarkan kepalaku pada bahunya dan kami terdiam. Aku mendengar dengan jelas irama detak jantung kami yang saling beradu satu sama lain.
"Apa kau ingin terus seperti ini?" Dia bertanya saat aku masih menikmati pelukan hangatnya.
"Sebentar saja." Aku mengulangi perkataanku, "kumohon," lanjutku.
"Baiklah."
"Entah kenapa aku tidak ingin masuk ke dalam kantor. Tapi, otakku berkata aku harus ke sana."
"Kenapa?" ia bertanya padaku.
"Aku tidak tahu. Biarkanlah kita berpelukan seperti ini." Aku menutup mataku untuk kembali merasakan kehangatan pelukannya.
"Aku berharap, kau akan memelukku kembali ketika aku tengah membutuhkan kehangatan. Kau adalah orang yang berhasil membuatku bangkit dari keterpurukan. Apa kau bisa memberikan pelukan hangatmu kembali ketika aku membutuhkan nanti?" Aku melepaskan pelukannya dan menatap lekuk wajahnya dengan teliti.
"Apa kau perlu aku antar untuk masuk ke dalam?" Dia terlihat bingung dengan maksud ucapanku.
"Apa kau bisa memberikan pelukan hangatmu kembali ketika aku membutuhkan nanti?" Aku kembali bertanya padanya.
"Tentu." Dia tersenyum padaku. Aku lega mendengar jawabannya.
"Arigatō."
"Jangan katakan itu. Kau tahu aku sangat membencinya."
Aku membuka pintu mobilnya, perlahan aku keluar dari mobil dan kepalaku menyembul keluar dari mobil. Dia mengikutiku keluar dari mobilnya.
"Aku akan menunggumu di sini." Katanya saat aku mulai melangkahkan kakiku ini perlahan.
"Tak usah." Aku menolaknya untuk menungguku. Aku tak ingin membebaninya dengan menungguku.
"Daijoubu." Dia tersenyum. Jangan tersenyum seperti itu. terasa menyedihkan kala aku melihatnya.
Aku berjalan menuju kantor yang letaknya tak jauh. Letaknya tepat di depanku. Aku berjalan memasuki area kantor dan seorang satpam menyambutku dengan senyuman hangatnya di malam yang dingin ini.
"Hai Kagome!" Dia menyapaku sambil melambaikan tangannya.
"Halo Tuan. Selamat Malam."
"Kau mau lembur lagi?" Tanyanya padaku. Dia sangat hapal denganku yang sering melakukan lembur di setiap malam.
"Tidak, Tuan. Aku hanya ingin bertemu dengan CEO. Ada sesuatu yang harus aku sampaikan." Aku tersenyum. Aku memang berniat mengutarakan perasaanku pada Inuyasha. Entah kenapa hatiku serasa enggan beranjak dari tempatku tadi —mobil milik Sesshomaru.
"Oh begitu rupanya."
"Iya. Permisi." Aku membungkuk sedikit memberikan penghormatan padanya. Dia kembali bekerja.
Aku berjalan perlahan, tapi rasanya ingin kembali. Samar-samar aku mendengar seseorang memanggil namaku.
"Kagome!" Aku menoleh ke belakang mencari sumber suara itu. Ternyata Sesshomaru.
"Kenapa, Sesshomaru?"
Napasnya terengah-engah. Aku tahu dia habis berlari dengan keras hanya untuk menemuiku kembali.
"Pakailah ini." Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong mantelnya.
"Apa itu?"
Dia hanya diam sambil memakaikan sesuatu di tanganku. Aku sadar bahwa itu kaos tangan yang terbuat dari kulit berwarna hitam. Tanganku yang rasanya hampir membeku itu digosok-gosokkannya dengan tangannya. Dia memakaikan kaos tangan itu padaku dan ketika tangannya menyentuh tanganku, aku merasakan rasa dingin yang menerpaku dari tadi, kini menjalar pada tubuh Sesshomaru.
"Masuklah. Semoga berhasil."
"Eh?"
"Aku tahu yang akan kau katakan padanya. Semoga berhasil." Dia mengacak-acak rambutku lalu merapikannya kembali.
Aku tersenyum kepadanya dan berjalan meninggalkannya. Sesampainya di lobi, aku langsung menuju lift terdekat. Suasana lobi yang sudah mulai sepi ini membuatku merasa sendirian walaupun aku tahu Sesshomaru tengah menungguku di bawah untaian salju. Di dalam lift, rasa gugupku kembali menjalari tubuhku. Buket bunga dan bingkisan itu terlihat sedikit bergetar. Aku memencet tombol yang terdapat pada lift untuk menuju lantai dimana kantor Inuyasha berada. Lift mulai berjalan dengan pelan. Karena rasa gugupku, aku mulai mengatupkan bibirku dan mengatur napasku. Lift berhenti tepat pada lantai yang ingin kutuju.
Detak jantungku rasanya makin tak karuan. Aku berjalan tak karuan. Pintu kantor Inuyasha sudah berada di depanku. Ketika aku sudah berada tepat di depan pintu tersebut, tanganku terasa kaku untuk mengetuk pintu itu. Aku menunduk dan memejamkan mata, berharap keberanianku terkumpul hanya untuk mengungkapkan perasaan yang sudah menggangguku selama ini, perasaan konyol yang aku pendam.
Aku mengangkat kepalaku dan mengambil napas dalam-dalam sebelum memasuki kantor Inuyasha. Aku memilih untuk membuka pintunya langsung. Pintu terbuka lumayan lebar. Saat hendak masuk, aku mendengar Inuyasha tengah berbicara dengan seseorang. namun, dia tak ada di tempat duduknya.
"Sayang, hentikan." Suara perempuan terdengar. Aku memilih terdiam tepat di tengah pintu.
"Sst. Diamlah." Inuyasha membalas apa yang dikatakan perempuan itu. Aku masih berdiri mematung di depan pintu dan suara perempuan yang tadi kudengar terasa begitu tak asing denganku.
Inuyasha kini terlihat. Dia berada di belakang tempat duduknya dan pemandangan itu tak seharusnya kulihat. Dia tengah berciuman dengan seseorang dengan mesra. Halilintar dengan tegangan tinggi serasa menyambarku. Air mata yang mati-matian aku tahan agar tak tumpah saat bersama Sesshomaru tadi, kini akhirnya tumpah juga dengan mudah. Buket bunga yang ada di genggamanku terjatuh perlahan disertai dengan bingkisan kado yang telah kupersiapkan. Tanganku berusaha menutup mulutku agar tak bersuara. Perempuan yang bersama Inuyasha terlihat merayu dengan nada manja, dia memang tak asing buatku. Baju itu ...
Baju yang dipakai perempuan itu sangat mirip dengan baju yang dipakai oleh onee-san. Mereka melepaskan tautan bibir mereka dan Inuyasha terlihat seakan-akan ingin menanggalkan pakaian yang dikenakan oleh perempuan itu. Perempuan itu mendongak dan memegang tangan Inuyasha. Aku bisa melihat wajah perempuan itu. Setelah melihat wajah perempuan itu, aku semakin tak bisa mengungkapkan kata-kata, aku memutuskan untuk pergi meninggalkan ruangan itu dan berbalik menuju lift untuk menuju lantai dasar kantor.
Di dalam lift aku hanya bisa menangis terduduk. Aku tak bisa menggambarkan bagaimana perasaanku saat ini. Tentu aja hal ini membuatku sangat terpukul. Orang yang aku suka adalah tunangan onee-san yang sangat aku sayangi. Aku ingat kejadian natal tahun lalu dimana kita sedang makan malam. Pantulan sosokku di dalam lift seakan menyeretku menuju masa lalu saat di mana kami sedang makan malam saat natal.
"Makanlah ini." Dia mengambilkan daging yang sudah ia masak itu di piringku sambil tersenyum lebar.
"Kenapa?" Tanyaku penuh selidik saat menyadari senyum lebarnya itu.
"Tak apa-apa." Dia masih tersenyum.
"Bohong." Aku masih menuntut kebenarannya.
"Sebenarnya, aku baru saja dilamar oleh seorang laki-laki." Dia tersipu malu mengutarakannnya.
"Hah? Benarkah?!" Aku bahagia mendengarnya.
Dia mengangguk bahagia dan menggenggam erat tanganku berusaha meyakinkan apa yang sudah ia lontarkan.
"Lalu kau jawab apa?"
Dia terdiam.
"Apa kau mengiyakan lamarannya?" Aku menjadi semakin cerewet.
"Tentu saja iya." Dia beranjak dari kursi dan menarik tanganku ke arah ruang tamu.
"AAAAAHHH~~~" kami berteriak bersama merayakan hal itu -onee-sanku yang sudah berusia hampir 34 tahun itu dilamar oleh seorang pria.
"Onee-san, kau tahu?"
"Apa apa?"
"Aku ingin mengenalkan seseorang yang aku suka padamu suatu saat nanti ketika waktunya sudah tepat."
"Kenapa begitu? Kenalkan sekarang padaku."
"Nanti."
"Sekarang."
"Nanti. Kubilang nanti ya nanti."
"Siapa laki-laki itu? Sesshomaru ya?" Dia meledekku.
"Nanti." Aku berbisik padanya.
Suara lift yang terbuka tiba-tiba membuyarkan lamunanku yang mengingat masa lalu itu. Aku beranjak berdiri dan membenahi bajuku, menunduk dan melihat apakah bajuku sudah rapi seperti sedia kala. Aku merasakan air mataku turun perlahan, menghapusnya dengan cepat dan segera berlari keluar dari kantor tanpa menyapa seorang satpam yang tadinya aku sapa ketika akan memasuki ke dalam kantor. Ketika aku berlari melewati kantor pos penjagaan satpam, aku melihatnya menoleh ke arahku dengan heran saat mengetahui diriku keluar dari kantor dengan cepat sambil menutupi mulut dengan tangan kiriku serta air mata yang bercucuran.
Semakin aku menahan air mata ini untuk tidak keluar, yang ada malah sebaliknya. Ia malah keluar dengan derasnya layaknya luapan sebuah sungai ketika hujan deras mengguyurnya dengan tenang. Aku melihat sosok itu —Sesshomaru—berdiri di dekat mobilnya. Ia memainkan ponselnya.
Aku memperlambat langkah kakiku supaya ia tak mendengar. Begitu menyedihkan ketika aku berhadapan dengannya dalam kondisi seperti ini. Rencanaku gagal. Dia menyadari kedatanganku sebelum aku sempat mendekat dan menyapanya penuh kebohongan.
Dia langsung menghambur ke arahku. Dia terlihat panik saat melihatku kembali dengan wajah penuh tangisan ini.
"Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi?" dia bertanya padaku sambil melihat wajahku, berusaha mengahapus air mataku yang terus membasahi pipiku.
Aku diam. Aku tidak tahu harus menjawab apa, bagaimana aku harus menjelaskannya apa yang terjadi tadi padanya. Aku bingung.
"Katakan sesuatu!" dia sedikit menaikkan nada suaranya. Dia khawatir.
"Apa mungkin Inuyasha ...." Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Aku bisa menebak apa yang hendak ia katakan padaku.
Aku hanya mengangguk dan menangis sejadi-jadinya.
"Aku paham. Kemarilah ..." dia menyuruhku mendekat ke arahnya. Aku menurut apa katanya. Dia langsung memelukku dengan hangat. Aku menyukai pelukan ini. Aku menyesal tadi. Tak seharusnya aku melepaskan pelukan hangat ini untuk memilih jalan yang dingin dan menuju kepada seseorang yang aku cintai itu.
Sesshomaru benar-benar tahu bagaimana caranya memelukku dengan hangat dan membuatku nyaman berada di dalam pelukannya.
"Seharusnya aku tidak masuk ke kantor." Aku menjelaskan padanya dengan menangis
"Tak apa. Itu akan membuatmu lebih kuat. Agar kau mengetahui apakah dia pantas untukmu atau tidak. Itu salah satu cara Tuhan untuk menunjukkannya padamu." Dia berkata bijak untuk menenangkanku.
"Aku tak seharusnya mempunyai perasaan konyol itu terhadap kekasih onee-sanku." Aku masih sesunggukan dan terbenam dalam dada bidang Sesshomaru.
"Cinta tidak pernah salah."
"Apa kau sudah pernah mengalami hal semacam ini?" aku mendongak untuk melihatnya secara langsung menjawab.
"Belum." Dia menggeleng dan memamerkan senyumannya itu.
"Tentu saja kau belum pernah. Kau selalu menyukai wanita yang akhirnya wanita itu jatuh hati padamu juga." Aku melepaskan pelukannya.
"Tidak juga. Yang kau dengar dari orang-orang itu bohong."
"Apa maksudmu bohong? Selama ini kau belum pernah berkencan?"
"Masuklah ke mobil. Aku akan menceritakan semuanya." Dia membuka pintu mobilnya untukku.
Ia menyalakan mesin pada mobilnya dan mengendarainya. Aku menatap ke depan sambil sesekali menoleh ke arahnya.
"Jawab pertanyaanku tadi!" aku memaksanya untuk menjawab pertanyaanku.
"Aku belum pernah berkencan sama sekali."
Deg.
Aku tak pernah menyangka hal ini.
Dia dulunya terkenal playboy dan terkenal sebagai 'heartbreaker' dalam tiga detik. Tapi ini? Apa maksudnya?
"Bohong."
"Tidak."
"Lalu semua wanita yang pernah kau ceritakan padaku itu?" aku bertanya dengan pensaran.
Belum sempat ia menjawab, aku melanjutkan perkataanku. "Jangan-jangan mereka semua menolakmu setelah kau menyatakan perasaanmu pada mereka?"
"Tidak juga."
"Lalu?"
Ssst~
Dia melakukan pengereman secara tiba-tiba hingga membuat tubuhku memantul ke depan.
"Sampai." Dia menoleh ke arahku.
Aku melihat ke arah samping. Kawasan rumahku. Aku tidak ingin pulang malam ini.
"Kenapa di sini?" Aku bertanya padanya.
"Kau tidak ingin turun?" tanyanya padaku. Aku terdiam.
"Kau tidak ingin masuk rumah? Masuk dan istirahat bisa membantumu untuk melupakan masalah ini perlahan."
"Kenapa kau tidak menjawabku?" ia bertanya padaku, menatapku keheranan.
"Aku tidak ingin pulang."
"Kenapa?"
"Bawa aku pergi ke mana saja asal tidak ke rumah dan pastikan bahwa Inuyasha maupun Kikyo onee-san tidak bisa menemukanku." Jawabku sebal.
"Jika aku pulang, aku tidak bisa melupakan kejadian yang terjadi di kantor tadi. Bawa aku pergi ke manapun yang kau mau." Lanjutku.
Dia terdengar mendengus heran dengan sifatku. Dia melajukan mobilnya kembali. Sesekali aku melihatnya menoleh ke arahku, mencoba menebak ada apa denganku hari ini. Aku menutup mataku perlahan. Perlahan-perlahan, aku merasakan masuk ke dalam sebuah mimpi yang terasa nyata bagiku, tapi aku menikmatinya.
—o0o—
Aku merasakan sinar matahari mulai menjamah tubuhku secara menyeluruh. Mataku tak bisa berbohong lagi, sinar matahari mengintipku dibalik senyuman cerah langit. Perlahan aku membuka mataku. Aku tak tahu berada di mana aku sekarang. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi semalam.
Hal terakhir yang aku ingat semalam adalah aku meminta Sesshomaru untuk membawaku pergi ke mana pun yang dia suka asal jangan ke rumahku. Aku melihat ke sisi kanan dan kiri, ruangan ini nampak tak asing bagiku.
Aku melihat sebuah secarik kertas kecil yang ditaruh di dekat lampu ranjang. Aku meraihnya. Membaca perlahan secarik memo yang ditulis tangan dengan rapi.
Jika kau mencariku sekarang, aku sedang berenang. Sesshomaru.
Aku tersenyum sendiri melihat tulisannya, seakan-akan kami adalah sepasang kekasih yang takut kehilangan satu sama lain. Ckck~ yang benar saja! Aku mendengar suara seseorang bermain air di area kolam renang.
Cklek.
Pintu kamar terbuka diikuti dengan sesosok bibi masuk ke dalam kamar membawakan nampan berisi susu dan entah apa lagi, aku tak tahu.
"Eh! Nona ternyata kau sudah bangun. Tuan muda tadi memberi tahu saya agar mengantar sarapan ini untuk Anda, karena mereka belum lama juga sarapan," ujar perempuan itu.
"Begitukah?" aku tersenyum.
"Kau bisa menaruhnya di meja situ saja, bibi. Harusnya kau tak perlu repot melayaniku." Aku tersenyum lagi. Aku berpaling mencari ponsel untuk mengecek apakah ada orang yang menelepon atau mengirimiku sebuah pesan. Dan akhirnya ponsel itu ketemu. Kusentuh layarnya, dan nihil. Tak ada apa pun.
"Bibi?" aku memanggil bibi tadi yang hendak menutup pintunya. Ia kemabli menyembulkan kepalanya untuk masuk ke dalam.
"Ya?"
"Sekarang ini aku berada di mana?" aku bertanya seperti orag linglung yang lupa akan segalanya.
"Oh, Anda berada di rumah Tuan Muda Sesshomaru."
Aku mengangguk mengerti.
"Om dan tante di mana?"
"Baru saja pergi."
"Oh ... Arigatō, bibi." Dia tidak membalas ucapanku dan langsung menutup pintunya. Aku berdiri dan mengambil segelas susu itu dan menyeruputnya sedikit demi sedikit.
Aku berjalan mendekati jendela yang tirainya hanya dibuka sedikit —tidak semuanya yang dibuka. Aku membuka tirai itu perlahan. Aku melihat sesosok lelaki tengah berenang, dan aku terus mengawasinya. Tak berapa lama, dia bangkit dari dalam kolam renang dan berjalan menuju pinggir kolam renang. Ia hanya memakai boxer dan aku bisa dengan jelas melihat tatonya yang berada di dadanya itu. Perlahan-lahan aku mengeja apa yang tertulis di tato itu.
"Nihilism?" Aku mengejanya dengan perlahan, takut apa yang aku lontarkan salah.
Kata apa itu?
Dia berjalan perlahan ke pinggir kolam renang. Seorang pelayan menghampirinya membawakan sebuah minuman yang sudah tersaji di dalam gelas dan sebuah bathrobe di atas nampan. Dia berbincang-bincang dengan pelayan itu sebentar. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Yang jelas dia berbicara sambil menyeruput minuman itu perlahan hingga habis.
Ia memakai bathrobe-nya dan aku masih mengawasinya dari kamar ini sambil menikmati susu. Entah mengapa aku merasa susu yang aku minum ini tidak segera habis juga. Hufft. Aku melihat gelas yang aku pegang. Isinya masih banyak. Aku kembali menoleh ke arah Sesshomaru yang berada di pinggir kolam renang. Ia menoleh ke arahku.
Naniyo?
Deg deg. Deg deg.
Aku seketika gugup saat Sesshomaru memalingkan wajahnya ke arahku. Refleks karena kejadian itu, aku langsung bersembunyi di balik tirai sambil memegang gelas di depan dadaku. Dadaku masih berdegup kencang.
Kenapa aku menjadi seperti ini?
Aku berjalan perlahan ke arah jendela lagi untuk mengintip apakah ia sudah selesai berenang atau belum. Aku mencoba melihatnya perlahan seperti seorang maling yang datang mengendap-endap agar tidak diketahui oleh musuh. Aku mengintipnya perlahan dan jantungku mulai berdegup kencang lagi, gelas susu itu pun tetap menempel di dadaku. Dia tak ada di dekat kolam renang. Kemana perginya dia secepat itu? Aku tak bersembunyi lagi dibalik tembok maupun tirai, aku langsung menghadap ke jendela dan melihatnya langsung. Hasilnya sama, tak ada siapa pun di sana.
"Kau mencari siapa?" tanya seseorang dari arah belakang dengan menempelkan wajahnya di leherku yang membuatku kaget.
"Oh ... Tidak. Aku tidak mencari siapa-siapa," jawabku dengan menggeleng-gelengkan kepala tanpa melihat siapa yang ada di belakangku.
"Sepertinya kau sedang mencari seseorang." Kepalanya semakin mendekat ke leherku.
"Tidak," jawabku gugup dan aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah belakang.
Deg.
Deg. Deg.
Deg. Deg. Deg.
Hidung dan bibirku bersentuhan dengan bibir dan hidung seseorang yang berada di belakangku karena gerakan refleks yang aku sebabkan. Jantungku berdegup dengan kencang, rasanya ingin meloncat dari dalam dada. Kenapa seperti ini?
Aku terdiam.
Sesshomaru juga terdiam.
Badanku menempel pada tembok dan kami saling berhadapan satu sama lain. Sesshomaru memakai bathrobe yang diserahkan oleh pelayan di dekat kolam renang tadi. Sedikit bagian dari dadanya yang ada tatonya tadi terlihat, aku baru menyadarinya. Tanganku ingin membuka bathrobe yang menutupi tato itu. Refleks karena rasa ingin tahuku. Aku tahu ini tak sopan tapi aku rasa ia tak keberaatan jika aku ingin tahu segalanya tentangnya. Perlahan-lahan aku membuka bathrobe yang menutupi tato itu, dan entah kenapa detak jantungku semakin tak beraturan, malah semakin berpacu dengan cepat. Wajahnya semakin mendekat ke arahku hingga hanya terpaut beberapa senti meter dari wajahku, membuatku semakin gugup.
Cklek.
Pintu terbuka dan kepala seorang bibi menyembul dari balik pintu kamar. Kepala bibi yang menunduk itu pun mendongak sambil berkata, "Nona, air untuk mandi sudah saya siapkan."
Dia mengarahkan pandangannya ke arah kami berdua. Setelah melihat bagaimana posisi kami berdua ia sedikit kikuk dan langsung menutup pintu tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya.
Aku juga merasa kikuk. Kuturunkan tanganku dari dada Sesshomaru. Sesshomaru sendiri juga merasa kikuk setelah itu dan ia berdeham untuk memecahkan suasana canggung ini sambil melangkah mundur. Mataku beredar ke arah seluruh ruangan untuk menghindari tatapan matanya begitu pula dia.
"Gomen." Ujarku untuk memecah keheningan.
"Aku tak bermaksud untuk—" belum selesai aku mengucapkan perkataanku, ia telah memotongnya.
"Aku tahu. Kau pasti ingin tahu soal tatoku."
"Bagaimana kau tahu?"
"Itu hanya sekedar tato, tak ada makna dibalik pembuatannya," jawabnya ketika aku menuntut lebih, "bergegaslah mandi," lanjutnya dengan menyuruhku.
—o0o—
Aku tak tahu seberapa aku berharga bagi keluargaku —onee-sanku. Aku sudah beberapa hari menginap di rumah Sesshomaru, tapi rasanya ia tak begitu mempedulikan bagaimana aku makan, apakah aku baik-baik saja ataukah aku sakit. Aku merasa ia tak begitu membutuhkanku. Nyatanya ia tak mencari atau bahkan menghubungiku. Aku memandang surat yang tergeletak di meja samping ranjang. Aku hanya berdiri di sisi jendela dengan melipat tangan, memandang kosong ke arah kolam renang.
Aku ragu akan keputusan yang akan kuambil. Apakah aku bisa melakukannya? Apakah aku sanggup menerima resikonya? Apakah aku sanggup menghadapi semuanya? Semua pertanyaan berkecamuk dan terus terngiang-ngiang di kepalaku.
"Apa kau sudah siap?" seseorang bertanya padaku.
"Entahlah. Aku siap menyerahkannya, tapi aku tak siap untuk berhadapan apalagi berbicara dengannya."
"Jika kau tak yakin, kau tak harus melakukan ini." Sesshomaru menasihatiku.
Aku hanya mengangguk. Rasanya ingin menjerit dan menangis dalam pelukan Sesshomaru seperti malam itu lagi. Aku membalikkan badanku dan menghadap ke arahnya. Sesshomaru menyerahkan mantel hangat dan sebuah tas padaku. Kuambil apa yang telah ia ulurkan padaku dan segera kukenakan seraya mengambil sebuah surat yang sudah aku siapkan sejak semalaman.
Aku pandangi lagi sepucuk surat yang ada di genggamanku sekarang, aku terdiam mengamati lekuk surat itu dengan pasti, lalu kumasukkan ke dalam tas yang sudah menggantung di bahu.
"Ayo," ujarku dengan menggengam tangan Sesshomaru dengan erat.
—o0o—
Aku menyodorkan sepucuk surat yang masih terbungkus rapi dengan amplop berwarna putih itu dihadapan CEO tempatku bekerja yang tak lain adalah tunangan onee-sanku sendiri, seseorang yang dulunya kusuka hingga sekarang —Inuyasha. Dia memandangi surat itu dan mengalihkan pandangannya padaku. Mata kami saling beradu, aku ingin menghindari tatapan mata itu dengan mengalihkan tatapanku ke arah yang lain. Aku berharap dia mengambil surat itu daan berkata "Ya, aku setuju." Akan tetapi, apa yang aku harapkan tak segera terjadi.
"Aku tak bisa menyetujui ini."
Aku mendengus kesal mendengar perkataan itu. Apa yang dilontarkannya bukanlah suatu hal yang kuinginkan. Saat ini, aku hanya ingin menjauh dan pergi dari hadapannya saja dan juga onee-sanku. Kenapa ia tak menyetujuinya saja? Kenapa harus ia tolak surat pengunduran diriku?
"Kenapa?" tanyaku.
"Kenapa aku harus melepaskan seorang pegawai yang berbakat sepertimu?"
"Kenapa Anda tak membiarkanku saja pergi? Biarkan aku bebas."
"Apa karena masalah pribadi?"
Deg.
Kau tak seharusnya membahas itu. Jantungku rasanya berhenti berdetak untuk sesaat, pada saat yang sama pembuluh darah yang ada di kepalaku rasanya mulai berdenyut-denyut tak karuan.
Aku terdiam.
"Kau harusnya bisa profesional antara pekerjaan dan juga urusan pribadi," ujarnya sambil memainkan bolpoin sambil mengamati gerak-gerikku. Ia menatapku dengan tajam
"Kalau begitu saya permisi," ucapku tanpa menggubris apa yang ia katakan. Sekarang rasanya aku ingin berlari menuju Sesshomaru yang menungguku di luar ruangan ini.
Aku tidak peduli apakah ia akan mengabulkan pengunduran diriku atau tidak. Yang aku pikirkan sekarang adalah aku harus mendapatkan sebuah apartemen. Aku ingin memiliki tempat tinggal sendiri. Entah semenjak kejadian itu aku ingin sebisa mungkin untuk menghindari bertatap muka dengan onee-sanku secara langsung. Aku takut ketika bertatap muka dengannya akan membuat emosiku tambah bergejolak tak karuan. Aku masih tak bisa menerima kenyataan pada malam itu, walaupun onee-sanku belum menjelaskan secara langsung padaku. Jika ia memang menyayangiku seharusnya sudah sejak kemarin dia akan mengkhawatirkanku, tapi nyatanya dia tidak. Aku rasa dia sangat bahagia ketika aku tak ada. Akan kubuktikan bahwa aku juga bisa bahagia tanpa dia.
Pikiranku sedang tidak dalam keadaan baik, semuanya campur aduk menjadi satu. Kejadian malam itu, perlakuan Sesshomaru, pekerjaan, dan lainnya bercampur aduk menjadi satu. Semuanya sepertinya tidak mengerti diriku yang kelelahan. Ingin rasanya lari dari kenyataan, bahwa aku tak pernah mencintai tunangan onee-sanku, sehingga aku tak akan pernah mengalami sakit hati karenanya. Kepalaku rasanya berdenyut-denyut, aku hanya melangkahkan kakiku sesuai dengan naluriku. Kepalaku makin terasa pusing hingga perlahan-lahan aku tak dapat mendengar suara di sekitarku secara perlahan. Aku mencium aroma Sesshomaru dengan jelas, parfum kesukaannya sangat khas.
"Kita bicara sebentar." Suara seorang wanita yang menggandeng lenganku secara tiba-tiba. Kepalaku yang berdenyut-denyut dan ingin rasanya secepat mungkin tiba di hadapan Sesshomaru, aku ingin mengabaikan ini sekali saja. Aku sering terbodohi oleh sesuatu hal karena sering memperhatikan hal kecil yang seharusnya tak perlu aku perhatikan.
Aku melepaskan tangan itu yang memegangku cukup erat. "Nanti," ujarku lirih yang mungkin hampir tak bisa didengar oleh siapapun.
Wanita itu masih bergelayut padaku memohon, "Kumohon? Kita harus bicara. Hm?"
"Sudah kubilang, nanti! Apa kau tak dengar?" aku berteriak sambil melepaskan tangan wanita itu dengan keras. Kepalaku rasanya makin tak karuan.
"Kikyo, daijoubu?" Suara laki-laki yang sangat khas, aku belum lama keluar dari ruangan laki-laki itu. Itu suara Inuyasha. Aku yakin.
Apa aku tak salah dengar? Kikyo? Itu nama onee-sanku. Aku ingin segera lari dari situ. Aku ingin menghindarinya, aku sedang tak ingin bertemu dengannya. Rasanya keseimbangan tubuhku mulai tak stabil.
"Aku tak apa," jawab onee-san pada Inuyasha.
"Kagome-chan, daijoubu?" onee-san bertanya padaku.
Aku tak ingin meresponnya atau menjawabnya. Aku terus berjalan dengan sempoyongan menuju Sesshomaru yang berdiri tegap di depanku yang hanya berjarak beberapa langkah saja. Aroma itu. Entah kenapa aku melihat Sesshomaru menjadi berubah warna sedikit kekuningan, seperti warna kabur layaknya orang dengan gangguan mata astigmatisme. Aku menggelengkan kepalaku, untuk membuktikan apa yang aku lihat salah, Sesshomaru tak berwarna kuning. Aku berjalan kembali. Wajah Sesshomaru mulai mengabur.
"KAGOOMEEE!" Sayup-sayup aku mendengar suara seseorang yang berada di depanku berteriak, diiringi dengan derap langkah kaki yang terasa semakin dekat denganku. Dan semuanya menjadi gelap.
—o0o—
"Aku tidak yakin apakah dia besok bisa. Kalaupun bisa, pasti malam." Perlahan-lahan aku mendengar suara Sesshomaru yang berbicara sendiri.
"Baik. Akan aku sampaikan pada Kagome setelah keadaannya membaik." Aku mendengar dengan jelas apa yang diucapkan oleh Sesshomaru. Dia tidak berbicara sendiri. Dia sedang menerima telepon dengan posisi menghadap ke arah jendela.
"Dare?" Tanyaku padanya dengan suara yang serak.
Sesshomaru menoleh ke arahku. Dia tak segera menjawab pertanyaanku, dia tersenyum.
"Bukan siapa-siapa." Dia duduk di ranjang. Ia menempelkan tangannya pada keningku. Aku mendesah.
"Ada apa? Apa ada yang sakit? Di mana? Beritahu aku." Dia panik.
"Aku tak enak terus menerus menyusahkanmu." Suaraku serak.
"Tak apa. Tak seharusnya kau tadi ke kantor jika kau tak enak badan. Aku merasa akulah yang memaksamu untuk berbicara dengannya secara tidak langsung. Gomen."
"Tidak. Badanku tadi tak apa. Entah kenapa mendadak menjadi tak enak. Sepertinya aku terlalu banyak berpikir."
"Makanlah. Agar perutmu terisi dan keadaanmu menjadi lebih baik." Dia tersenyum kembali. Melihat senyum lebarnya aku ikut tersenyum untuknya. Dia membantuku bangun dan membuatkan sandaran dengan bantal yang diletakkan di belakang punggungku. Ia mengambil nampan yang berisi makan malam lengkap dengan segelas susu yang sudah tersaji di meja kecil di dekat ranjang. Dia membantuku untuk makan dengan menyuapiku perlahan.
—o0o—
Malam ini, sehari setelah kejadian di kantor itu, Sesshomaru mengajakku keluar untuk jalan-jalan. Entah kenapa aku merasa aku mempunyai kewajiban untuk berpenampilan yang mampu menyeimbanginya. Asal kau tahu bahwa Sesshomaru selalu tampil layaknya seorang bangsawan. Mungkin dari cara berpakainnya tak nampak, tapi entah bagaimana dari auranya itu sangat menonjol, dia penuh karisma. Mungkin itulah yang disukai oleh para wanita saat melihatnya. Aku menghadap kaca, membenahi penampilanku dengan menghadap kaca yang tingginya hampir sama denganku.
Tok. Tok. Tok.
Seseorang mengetuk pintu kamarku yang terbuka. Dari pantulan cermin yang ada di hadapanku, seseorang tersenyum manis ke arahku. Aku tersenyum dan membalikkan badanku ke arahnya. Sesshomaru.
"Apa kau sudah siap?" tanyanya lembut, dan mengumbar senyumannya kembali. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku mantelnya. Sebuah syal. Ia mengalungkan syal itu di leherku untuk menjaga suhu leherku tetap hangat, lalu membenahi mantel yang kugunakan agar terlihat lebih rapi.
Aku tak menjawab, hanya mengangguk pelan dan tersenyum. Mungkin senyumanku tak dapat dia lihat karena tertutup oleh syal yang ia lilitkan di leherku. Dia menggandeng tanganku dan mengajakku berjalan ke arah parkiran. Sepulang dari kantor waktu itu, Sesshomaru membawaku ke apartemen miliknya, bukan ke rumahnya. Sepertinya dia tahu bahwa aku membutuhkan apartemen karena aku tak ingin menyusahkan dia maupun keluarganya. Akan tetapi, rasanya aku sekali lagi menyusahkannya.
—o0o—
Tak terasa kami sudah sampai di sebuah restoran mewah. Ia membukakan sabuk pengaman yang masih menempel di tubuhku. Aku rasa Sesshomaru sering tersenyum saat berada di sampingku. Ia turun dari mobil dan bergerak ke arahku untuk membukakan pintu mobil. Pada saat yang bersamaan, aku menghembuskan napas yang terasa berat.
"Kenapa?" tanyanya padaku.
"Entah kenapa aku gugup. Seperti aku akan bertemu dengan seseorang yang sebenarnya tak ingin aku temui."
Dia tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku. Kugapai uluran tangannya itu, dan sesaat kemudian kepalaku menyembul keluar dari mobilnya. Aku berdiri di samping mobil dan membenahi baju supaya terlihat lebih rapi. Ia menutup pintunya lalu menoleh ke arahku. Aku tak paham maksud dari senyumannya kali ini.
"Ada apa?" tanyaku padanya.
"Kau tadi berkata bahwa kau merasa gugup. Apa aku perlu memberikan pelukan padamu?" tanyanya padaku.
Kenapa dia mengerti saat ini aku membutuhkan pelukan hangatnya. Aku hanya tersenyum padanya, kemudian ia mendekat ke arahku dan memberiku pelukan hangatnya. Aku merasa nyaman saat berada di pelukannya, entah kenapa aku juga tidak tahu alasannya. Tanpa berkata-kata lagi aku menghambur ke dalam pelukan hangatnya. Beberapa saat kemudian aku melepaskan pelukannya, dan menggandeng tangannya.
Kami berjalan bergandengan tangan layaknya orang yang sedang menjalin asmara untuk memasuki sebuah restoran mewah. Alasanku menggandeng tangannya adalah untuk meredakan kegugupanku. Aku menyadari akhir-akhir ini bahwa aku begitu tergantung pada Sesshomaru apa pun itu. Ketika kami memasuki restoran tersebut, seorang pelayan menghampiri kami dengan senyum ramah menyambut kami, tapi semakin aku melihat senyumannya semakin membuatku gugup.
"Untuk berapa orang?" pelayan itu bertanya pada Sesshomaru, aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan, berharap mendapatkan tempat yang nyaman.
"Tidak. Kami sudah melakukan reservasi atas nama IK."
"Oh, mari." Pelayan itu mengingat sebuah reservasi yang telah dibuat atas nama IK. Dia menunjukkan jalan kepada kami berdua. Kami mengekorinya sambil berbincang-bincang.
"Sesshomaru, aku rasa paman memintamu untuk melanjutkan studimu di bidang bisnis. Bagaimana? Apa kau akan kuliah kembali?"
"Hm, benarkah? Kapan ayah bilang padamu?" dia menolehku sebentar lalu pandangannnya berpaling lagi ke arah depan.
"Tidak. Paman tidak berbicara padaku. Hanya saja setiap aku melihatnya berbicara, tatapannya berkata seperti itu. Banyak harapan yang ia tumpukan padamu. Mungkin paman berpikir karena kau anak tunggal."
Dia mengangguk. "Menurutmu, aku bagaimana jika bergelut di bidang bisnis?"
Dia menghentikan langkah kakinya, yang otomatis membuatku menghentikan langkah kakiku juga. Dia menatapku tajam.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" bisikku padanya. Aku gugup kembali dengan caranya menatap itu.
Pelayan itu menyadari bahwa aku dan Sesshomaru tidak mengikutinya berjalan. Dia membalikkan badan dan berjalan menghampiri kami.
"Meja kalian berada di pojok nomor 13, mereka sudah menunggu."
"Ya," jawab Sesshomaru tanpa menoleh pada pelayan itu, ia tetap menatapku. Pelayan itu pergi meninggalkan kami berdua yang masih mematung di jalan menuju tempat reservasi yang telah ia buat.
"Bagaimana menurutmu?" ia kembali bertanya padaku.
"Ya, apa maksud pelayan tadi dengan kata 'mereka sudah menunggu'?" aku balik bertanya pada Sesshomaru.
"Kau akan tahu nanti," jawabnya singkat, "aku tidak cocok kan?" ia masih tidak menyerah untuk menanyakan hal itu padaku.
"Kau tidak sedang membohongiku, 'kan?" tanyaku ragu, aku gugup. Aku menghembuskan napas dengan hati-hati.
Aku benar-benar gugup, aku merasakan buliran keringatku mulai membasahi wajahku. "Kau sedang tidak membohongiku, 'kan dengan kata 'mereka'? Tidak mungkin kalau kata 'mereka' yang dimaksud oleh pelayan tadi adalah dua orang yang sedang tidak ingin aku temui, iya 'kan?" aku menatap Sesshomaru untuk membuktikan bahwa yang sedang menunggu kami bukanlah Inuyasha dan Kikyo —dua orang yang sedang tidak ingin aku temui saat ini.
"Kau benar, itu memang mereka."
"Bagaimana bisa? ... Maksudku, kau ... benar-benar ..." aku sudah kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan kemarahan dan kekesalanku.
"Inuyasha meminta pertolonganku untuk berbicara padamu secara langsung mengenai masalah pribadi antara dia, kau, dan onee-sanmu."
"Apa? Masalah pribadi? Memangnya aku mempunyai masalah pribadi dengannya? Semuanya sudah berakhir malam itu." aku melontarkan kata-kata dengan marah sambil berteriak kepada Sesshomaru.
"Aku tahu, aku paham."
"Aku tak habis pikir dengan apa yang ada di pikirannya. Lalu malam ini apa dia akan mengatakan padaku tentang pernikahannya dan memintaku untuk datang? Tidak, aku rasa tidak hanya memintaku sekedar datang saja, aku rasa dia memintaku untuk menjadi pengiring mempelai wanita."
Dia langsung menggenggam tanganku lebih erat, dia mencoba meredamkan amarahku yang sudah menjadi-jadi. Sesshomaru juga mencoba mengingatkanku bahwa sekarang bukanlah waktunya untuk meluapkan kemarahanku, semua orang sudah melihat kami berdua dari tadi.
"Kau bisa melampiaskan kemarahanmu padaku nanti, kita harus menemui mereka yang sudah lama menunggu kita." Dia berbisik pelan padaku.
Kami berjalan perlahan-lahan untuk menuju meja reservasi kami. Aku bisa melihat mereka dari kejauhan walau hanya punggung mereka saja. Sesshomaru terus menggenggam erat tanganku untuk meredakan kemarahanku. Bahkan saat kami tiba, mereka memamerkan betapa mesra dan romantisnya hubungan mereka padaku. Sesshomaru menarik sebuah bangku untukku, dan dia menarik bangkunya sendiri lalu duduk. Kami duduk berdampingan dan langsung berhadapan dengan dua penyihir. Tangan kananku masih digenggam oleh Sesshomaru, sedangkan tangan kiriku berada di pangkuanku.
"Kalian sudah datang," ujar onee-sanku ramah seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.
"Hm," jawabku sewot dengan mengalihkan pandangan ke samping.
Seorang pelayan datang menghampiri meja kami, ia menuangkan wine dan meninggalkan satu botol wine yang sudah terbuka di situ. Kemudian ia pergi.
"Sesshomaru, terima kasih kau sudah memahami adikku dengan baik."
Belum sempat Sesshomaru menjawab, aku menyerobot untuk menjawabnya. "Tentu saja. Dia memahamiku dengan sangat baik, bahkan ia tidak pernah mengkhianatiku sama sekali." Aku memberi tekanan pada setiap kata yang terlontar, mengalihkan pandanganku padanya, menatapnya tajam.
Onee-san menganggukkan kepalanya dan meminum segelas wine itu dengan anggunnya, "Benarkah?" ia melirik padaku dan memfokuskan pandangannya padaku, "Kagome, sepertinya aku harus mengatakan semuanya padamu agar kau tidak salah paham," lanjutnya.
"Katakanlah." Aku mengenggam tangan Sesshomaru lebih erat. Ia menoleh ke arahku, sedangkan diriku hanya fokus menatap sepasang kekasih yang sedang berbahagia.
"Sebenarnya, kami sudah cukup lama mempunyai hubungan ini. Beberapa malam yang lalu, kami berniat mengatakannya padamu tentang hubungan dan rencana kami ke depan. Tapi, belum sempat kami mengatakannya padamu, kau sudah mengetahuinya lebih dahulu. Inuyasha menemukan hadiah yang ingin kau berikan padamu tergeletak di lantai, kami berdua tak pernah menyangka bahwa kau akan memiliki perasaan itu."
"Lalu?"
"Apa?"
Aku menutup mataku dan menelan ludahku, membuka mataku dan menatapnya kembali, "Lalu, katakanlah apa yang kau inginkan dariku?"
"Kagome ..." bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah memasang wajah memelas di hadapanku.
Aku menarik napas dalam-dalam, aku ingin mengatakan sesuatu yang rasanya susah untuk kukatakan padanya, "katakan padaku bahwa kau ingin aku melakukan sesuatu untukmu."
"Bukan seperti itu—"
"Jika bukan seperti itu lalu apa?" aku sedikit menaikkan nada suaraku.
"Kita akan menikah minggu depan."
Aku meremas tangan Sesshomaru lebih erat. Ia membelai tanganku untuk menenangkanku. Seketika tubuhku terasa lemas, dan kepalaku berdenyut-denyut. Apa yang baru saja dikatakannya membuatku terkejut.
"Masih adakah yang ingin kau sampaikan? Jika tidak, aku ingin pulang." Aku langsung beranjak, memberikan isyarat pada Sesshomaru untuk mengikutiku. Aku ingin pergi dari sini untuk sekarang entah ke mana, aku ingin minum, berteriak dan menangis sekencang-kencangnya.
"Aku ingin kau menjadi pengiringku." Ujarnya, langkahku terhenti, "maukah kau?"
Notes:
Sejujurnya ini fic two-shoot, tapi karena sesuatu terpaksa hanya bisa posting chapter 1 saja. Chapter 2 saya usahakan untuk diposting bareng dengan "Nightwish: Treaseure" namun saya belum tahu kapan untuk memposting itu karena perkuliahan sudah sibuk dengan tugas akhir T.T
Ini fic saya persembahkan untuk kado ulang tahun Ame nee-san. Padahal belum lama kenal tapi udah banyak curhat kaya kakak sendiri tentang banyak hal, makasih banyak nee-sama untuk semua nasihatnya :* selamat ulang tahun, doaku yang terbaik aja untukmu XOXO kalau ada waktu aku nyanyiin lagu spesial untukmu kak hihihi
Salam hangat,
Emma Griselda
Surakarta, 28 April 2017
