Character figure is mine.
BTS belonging to their parents and BigHit.
_ HELP! _
"TOLONG!"
Kedengarannya aneh. Melengking tinggi, tapi seakan-akan tersumbat.
"Tolong! Tolong!"
Bulu roma Kim Taehyung dibuat merinding setiap kali jeritan itu memecah kesunyian. Datangnya seperti dari gedung tua yang tak terurus di depan sana. Kemudian terhenti dengan tiba-tiba. Seperti tercekik. Dan justru semakin menyeramkan!
Remaja jangkung berambut coklat itu berdiri di balik sebatang pohon palem yang besar. Ia memberanikan diri untuk melangkah sedikit maju. Kemudian kembali ke tempat semula karena hawa dingin yang terlanjur mengikat tubuhnya. Takut.
Ia sedang berjalan tadi di sekitar sini bersama teman sejawatnya, Park Jimin. Ketika tiba-tiba terdengar suara jeritan, keduanya sontak berlindung di balik pohon di samping jalan aspal.
Di seberang tempat Taehyung, Jimin ikut berlindung. Saling menatap untuk menanyakan kondisi masing-masing.
"Itu tadi siapa?" Taehyung membuka suara. Berbisik lebih tepatnya. Keringat dingin mulai mengucur membasahi dahi luasnya.
"Entah." Jimin menggeleng. Ikut berbisik juga.
"Wanita? Pria?"
Kembali menggeleng. Tidak tahu.
Taehyung hanya bisa menatap nanar teman sejawatnya yang ikut berkeringat itu. Mereka terpatung. Sama-sama menelan ludah masing-masing.
Keduanya terus menunggu teriakan selanjutnya. Setidaknya mereka butuh kepastian bahwa itu manusia. Bukan apa yang mereka pikirkan.
Tidak ada suara lagi selama mereka menunggu. Hingga dengan segenap tenaga dan keberanian, keduanya keluar dari tempat perlindungan.
Jimin yang pertama memutuskan untuk melangkah, menyeberang jalan yang gelap. Menuju ke gedung tua itu.
Gedung tua yang sudah lama tak ditempati itu tampak berlumut. Dikelilingi pohon-pohon besar yang menutupi seperti atap. Semak belukar dan bunga-bunga tumbuh liar tak terawat. Terlihat seperti hutan.
Jimin melangkah tanpa ragu. Tangannya dikepal mati-matian hingga memerah. Sedang Taehyung, berjalan dengan kaki yang seperti batu. Tidak rela.
Belum juga mencapai halaman gedung, teriakan itu kembali terdengar. Membuat keduanya mematung di tempat. Taehyung bahkan hampir mengencingi celananya.
Jimin sontak menjatuhkan dirinya. Tenggelam di dalam semak-semak tinggi. Lalu menarik Taehyung untuk ikut menjatuhkan diri.
"Kita hanya berniat untuk pulang."
Taehyung memukul temannya itu. Ia berbicara berbisik-bisik, hampir terisak.
"Tapi kenapa kau malah berniat membuat kita tak pulang-pulang?"
Jimin bisa apa. Ia juga sangat ketakutan sekarang. Tapi rasa penasarannya membutakan dirinya.
"Kelihatannya sudah tenang lagi."
Jimin mendudukkan dirinya di semak-semak.
"Aku mau pulang, Jim."
Taehyung menarik tangan Jimin. Memaksanya untuk mundur.
Baru akan berniat berdiri, Jimin kembali mematung. Taehyung dibuat hampir terisak lagi melihat kelakuannya.
Park Jimin mematung. Dengan rahang yang mengatup rapat. Mata yang tak berani memandang ke depan serta bibir yang memucat.
Taehyung dibuat keheranan. Kemudian memutar badan untuk melihat apa yang membuat temannya seperti itu.
Ia terkejut. Mendapati seorang pria berbadan besar berdiri tepat di depan matanya. Tidak, bukan badan besarnya yang membuat mereka terpaku. Tapi benda di tangannya.
Sebuah senjata api potongan kuno. Siapa pun menghadapi senjata itu, pastilah dia akan kaget. Lalu apalah daya Jimin dan Taehyung?
"Oke," kata pria berbadan besar itu sambil memberi isyarat dengan senjatanya. "Sekarang kalian masuk ke rumah! Nanti akan kita lihat, mau berbuat apa kalian di sini. Ayo cepat!"
Jimin dan Taehyung dibuat berdiri dengan segera. Berjalan di depan ujung senjata itu dengan langkah segan, menyusuri sela-sela rerumputan lebat menuju gedung tua seram. Membuat kerongkongan mereka kering. Perih.
"Jangan mencoba melarikan diri!" menodongkan senjatanya lebih dekat. "Nanti menyesal sendiri!"
"Jangan mencoba melarikan diri, Jim." bisik Taehyung. "Aku ingin kembali hidup-hidup."
"Aku tidak berniat untuk itu." Jimin ikut berbisik. "Lagipula lututku lemas. Kayak baru belajar berjalan rasanya."
Gemerisik rerumputan yang terinjak-injak kaki mereka menemani. Sedang di belakang lebih berisik lagi, diakibatkan sepatu laras hitam yang dikenakan sang penodong. Semakin seram rasanya.
Karenanya, Jimin dan Taehyung bisa merasa lega ketika menginjakkan kaki mereka ke atas lantai semen bangunan. Mereka memasuki teras yang menyerupai sebuah beranda rumah. Terdapat pintu kembar di sana.
"Buka pintunya!" kata si penodong. "Dan langsung masuk. Ingat, jariku sudah gatal, ingin menarik pelatuk pistolku. Kemudian belok ke kanan. Masuk ke ruangan di sudut lorong. Lalu duduk di kursi yang dekat tembok sebelah sana pintu."
Jimin yang membuka pintu. Di baliknya nampak ruangan gelap. Namun ikut terbias cahaya dari lampu-lampu neon di ruangan lain. Ia mengangkat alis kebingunan. Ada cahaya rupanya. Ia meneguhkan hati. Kemudian melangkah masuk bersama Taehyung, membalikkan tubuh ke kanan dan memasuki ruangan yang dikatakan penodong tadi.
Ruangan itu cukup besar. Dengan lampu yang lebih terang. Dipenuhi dengan buku dan koran yang berserakan, serta perabot usang. Beberapa kursi besar berlapis kulit dijejerkan sepanjang dinding yang berhadapan dengan pintu. Mereka melintasi ruangan, lalu duduk seperti yang diperintahkan tadi.
Si penodong memerhatikan mereka. Kelihatannya puas. Ia meniup ujung laras senjatanya. Seolah-olah menyingkirkan debu yang bisa menganggu gerak peluru yang ditembakkan.
"Aku akan keluar sebentar. Tidak ada jalan keluar jika kalian mencari itu untuk kabur. Nikmati saja."
Ia berlalu. Meninggalkan dentuman keras dari gesekan lantai dan sol sepatu larasnya. Menghilang bersamaan suara pintu terkunci.
"Huftt..." Jimin bernapas panjang. Lega. Beralih menatap teman di sampingnya.
Taehyung duduk termangu. Matanya mengerja-ngerjap. Membuat bulu matanya naik turun dengan lembut.
"Apa kita akan mati?" ia berbalik menatap Jimin. Netra mereka bertemu. Jimin menggeleng.
"Aku masih merasa geli di langit-langit mulutku." melakukannya.
"Kata orang, jika kau tidak merasa geli ketika menyentuh langit-langit mulutmu, itu tandanya kau sudah dekat dengan kematian."
Sedetik setelah ucapan Jimin, Taehyung mempraktekannya. Lalu tersenyum dengan muka polosnya. Masih geli, katanya.
Krit...
Taehyung cepat-cepat mendekati Jimin ketika mendengar suara pintu terbuka. Suaranya sangat dekat. Seperti dari pintu samping ruangan ini. Ia takut kalau-kalau penodong itu datang dan langsung menembak mereka.
Saat itu suara dentuman lantai terdengar lagi. Kali ini sangat lembut. Tidak seperti pergesekan sepatu laras dengan lantai.
"Jungkook? Kau di mana?"
Keduanya menelan ludah. Suara itu mendekati mereka. Berada di balik pintu yang tertutup. Namun setelahnya terdengar suara pintu terbuka. Dan itu pintu di depan mereka.
Taehyung tidak dapat menahan untuk tidak menggenggam lengan Jimin. Ia ketakutan dengan sangat. Bibirnya bergetar.
"Ya Tuhan, lindungi kami." Taehyung bergumam.
"Eh? Kalian siapa?"
_ HELP! _
CONTINUED
Plis maafken kalau tulisannya jelek dan banyak typo. Mohon saran dan dukungannya yah. Terima kasihhhh
