Gilbert Beilschmidt, pemuda Jerman dengan surai rambut silver dan iris rubi yang tampak menyala itu melangkahkan kaki di trotoar salah satu ruas jalan di Greenwich utara, Inggris. Hiruk pikuk keramaian bergelora dalam arus kehidupan, dengan beberapa bar, rangkaian obrolan yang menggantung di udara siang yang mendung itu, pemuda albino dengan seekor burung bulat bewarna kuning yang bertengger di kepalanya memperhatikan beberapa plakat pertokoan yang bergoyang oleh hembusan angin halus di pertengahan Agustus.
Ketika akhirnya ia menemukan sebuah flat dengan susunan batu bata yang tak rapi di pojokan jalan, ia menaiki tangga kecilnya. Membuka pintu kayu tua itu dengan enerjik seperti biasa. Senyum yang dianggapnya awesometerukir di wajah manisnya. Beberapa orang didalam mendongak, melihat siapa yang datang, sekedar memastikan bahwa yang datang bukan alien—apalagi sampai wanita jalang penawar seks. Ini era prostitusi dan Greenwich tidak kalah ramai oleh pekerja seks-nya seperti Chicago di seberang lautan sana.
"Lihat siapa yang datang." Seorang pria dengan iris violet, bertampang aristokrat menyindir sinis, "Kau tidak habis mengencani orang-orang di sebelah kan?"
Sang pemuda berkebangsaan Jerman yang baru saja tiba mendengus kesal, "Sialan kau, Roderich. Tentu tidak—lagipula hal itu tidak awesome sekali." Ia berjalan masuk, memilih duduk disalah satu sofa disana, di sebelah seorang pemuda dengan rambut cokelat susu dan iris hazel yang tampak jernih. Pemuda berkebangsaan Italia itu tampak sibuk mengobrak-abrik kumpulan kertas, map, fileyang tampak berdebu sekali. Sama sekali tak memperhatikan pemuda Jerman yang tengah memandanginya.
"Tomate, tomate" Pemuda Jerman itu mengguncang bahu sang Italia, keisengan merasuk dalam sang pemuda hiperaktif itu untuk mengganggu pemuda tsundere di sebelahnya. Sang Italia serta merta menjedotkan map cokelat kusam yang lumayan tebal di dahi Gilbert, sementara yang diserang mengaduh kesakitan, meringis dengan berkaca-kaca, sembari menatap orang disebelahnya yang mendadak berkedut kesal, "Potato bastard, Jangan ganggu aku, damn it!"
"Mon cheer~"Seseorang muncul tiba-tiba di samping Gilbert, France Bonnefoy menepuk bahu pemuda albino itu. "Jangan seperti itu, Gilbert~dia perlu bahu seseorang untuk menangis~"
Pemuda Italia yang dikenal sebagai Lovino Vargas berjengit kala menyadari ada orang Prancis itu dekatnya. Ia mulai mengambil jarak, seakan-akan khawatir kalau orang itu akan menjangkaunya dan melakukan sesuatu yang mengerikan. "Menjauh kau, wine bastard! Andere, andere!" Lovino mengumpat memperlihatkan gerakan pengusiran terhadap pria Prancis itu dari dirinya. Namun sang pria dewasa berkebangsaan Prancis itu seakan tak terpengaruh oleh sumpah serapah yang mirip dengan seorang pemuda Inggris beralis tebal di ujung sana. France tertawa dan malah semakin berani dengan gombalannya, "Aih, mon cheer~ tidak perlu bersikap seperti itu pada abang France ini~~" suara pria itu semakin terdengar sensual, membuat pemuda Italia semakin menatap ngeri. "Tentu abang akan dengan senang hati menemanimu sampai pagi~ ayo, sini, sini—"
DOR
Sebuah letusan senapan sukses membuat suasana flat itu semakin gaduh, Vash Zwingli si pemilik senapan mulai berkejaran ala Bollywood dengan pria Prancis itu. Sesaat France Bonnefoy mencuri kesempatan menawarkan puisi cinta untuk sang Italia yang katanya sedang patah hati karena cintanya dikhianati oleh kekasih yang membelot kepada kawanan gangster, pria dengan rambut bergelombang bewarna pirang itu segera disambut oleh lemparan kertas oleh pria Skotlandia yang mengisap cerutu dipojokan sembari membaca beberapa referensi hukum. France bersumpah ia akan menangis dan pulang memeluk boneka Teddy Bear, sebuah lelucon garing yang malah memperkeruh suasana dan membuat Lovino kembali mengumpat-umpat dengan bahasa kasar yang tak pantas diulang. Sementara Arthur Kirkland tak kalah sengit menyumpah ditengah keributan yang semakin ramai di siang ini.
Gilbert mendengus dan sesekali mengguman 'tidak awesome' untuk kegaduhan kelompok itu, kelompok konyol dengan personel paling gila se-markas kepolisian. Boleh dianggap seperti pencerah di tengah rutinitas profesi yang tampak monoton. Pemuda albino itu mencoba bersikap tenang dan 'awesome' . Matanya memandang meja kayu sang Italia dimana terdapat kertas, file dan map yang berserakan tak rapi. Merasa sedikit tertarik, ia membaca beberapa diantaranya. Alisnya bertautan kala menyadari apa yang tertera; beberapa salinan dari kantornya, Home Office Large Major Enquiry System—pusat sistem permintaan informasi utama yang kerap disingkat sebagai HOLMES, potongan koran yang memuat berita kriminal dari wilayah sekitar United Kingdom of Great Britain and Notherm Ireland, serta beberapa artikel tua dalam berbagai bahasa Eropa….
"Tomate, aku tidak tahu kau suka membuka kasus lama yang tidak awesome ini" Gilbert akhirnya nyeletuk. Lovino Vargas membalikan badan dan berkedut kesal, bersiap mencaci dengan melibatkan penghuni suaka marga satwa.
"Potato bastard! Jangan sentuh kerja—"
"Hahaha! Ngomong-ngomong soal kasus, HERO punya kasus yang lebih menarik nih!" Seorang pemuda Amerika yang enerjik memotong omongan Lovino tanpa rasa bersalah. Ia muncul begitu saja dari belakang sofa dimana Gilbert Beilschmidt dan Lovino Vargas duduk. Pemuda dengan rambut pirang dan iris saphire yang menyiratkan semangat membara itu tersenyum cerah, "Kasus yang dibicarakan dengan heboh di kantor Senior Investigation Office dan HERO—"
"Mon cheer~, apa yang kau maksud itu acara makan siang dengan gadis Divisi Lalu Lintas kencanannya Grand-Père, Alfred?"
"Gadis?"
Gilbert dan Lovino berkata hampir bersamaan, ekspresi keduanya memperlihatkan keterkejutan akan kabar si pria Prancis. Iris ruby merah Gilbert spontan terarah pada pemuda Amerika yang bernama lengkap Alfred F. Jones yang juga terkejut akan kehadiran pria mesum tidak diundang –Francis. Serta merta pemuda sok hero itu menyingkirkan pria besar itu dari dekat dua orang yang masih duduk di sofa usang.
"Abaikan orang itu, Lovino, Gilbert." Katanya dengan nada jengkel akibat diinterupsi oleh sebuah ocehan laknat barusan, "Aku tidak—HEI! Kenapa kalian menatap Hero seperti itu?" Alfred berseru ketika menyadari tatapan aneh dua orang yang menoleh kearahnya.
"Okay, okay, kuakui makan siang itu benar—tapi sumpah! Waktu itu Hero cuma mau ngambil jatah shift malam dengan Iggy dan tahu-tahu didalamnya ada kakeknya France bersama—"
"Stop, Hamburger Freak." Lovino menghentikan kisah Alfred yang sudah keluar topik pembicaraan dengan memutar bola mata, "Tidak perlu dilanjutkan yang itu."
"Sigh—"Alfred mendecih dengan ekspresi kecewa dibuat-buat, "Padahal Hero juga ingin menceritakan soal shift malam bersama Iggy itu~ baik, baik, soal kasus itu kebetulan sekali HERO yang menangani!"
"Git! Kita semua kan menanganinya bersama!" Pemuda alis tebal dengan logat Inggrisnya yang kental menyahut dengan suara nyaring, dirinya tengah meneguk segelas teh Earl Grey dan duduk bak gentleman disana, sepiring Bran Muffins tersaji hangat di dekatnya. Iris emerald jernih itu menatap tiga orang yang tengah bercakap beberapa meter darinya di sofa usang bewarna krem. Namun Alfred tak tampak tersinggung dengan umpatan yang telah menjadi khas sang pemuda alis tebal—Arthur Kirkland. Ia tertawa, dan sebelum sempat melanjutkan kisahnya, seseorang datang memasuki pintu tak terkunci itu. Seorang pemuda berpostur tubuh kecil yang pernah dilihat Gilbert di suatu tempat—apakah dia anak buah Inspektur Ivan Branginski? Entahlah. Anak itu berdiri, gemetaran sambil memegang selembar telegram. Iris mata violetnya memandangi penghuni flat dengan kurang percaya diri.
Sang pembawa pesan tampak kikuk berbicara, dengan logat Slavia yang kental, "Inspektur Ivan memanggil—EH! Menyuruh AMIP tim a-anda untuk me-menghadiri sesi postmortem se-sekarang—"
Gilbert melirik kawan-kawannya, kelompok terakhir—Tim E dalam AMIP (Area Major Investigation Pool). Kecuali dirinya. Ekspresi jijik terlihat sekilas di wajah pemuda Italia disebelahnya ketika mendengar kata postmortem; sesi pemeriksaan mayat yang menggelikan selama beberapa jam ditambah mendengar kuliah dadakan yang melibatkan deretan kosakata kedokteran oleh sang ahli forensik. Gilbert tak dapat mendengar kelanjutan kalimat selanjutnya karena ketua tim E, Alfred F. Jones, lebih dulu menghampiri sang pemuda cilik disana dan berbincang empat mata—hingga akhirnya beberapa menit kemudian keduanya bubar dan pintu tertutup. Saat Alfred meraih jaket kulitnya yang tergantung di dinding dan mengenakannya dengan cepat, orang-orang itu tampak mengerti bahwa ini panggilan tugas dan mereka bangkit dengan malas.
"Hah! Kau tampaknya tidak menyimpan Beeper milikmu dengan baik, Git." Arthur mencemooh dan mengangkat tinggi alat komunikasi milik Alfred—Pager atau biasa disebut sebagai Beeper dalam kepolisian yang ternyata tergeletak di antara tumpukan file yang tak tersusun rapi. Kesalahan yang sama seperti bulan lalu dimana pemuda Amerika itu—beserta timnya terlambat total dalam penangkapan pelaku pembunuhan berantai, membuat grup Territorial Support dan tim pendobrak Perimeter mengeluh kesal. Namun Alfred tertawa lebar sembari mengatakan, "Hahaha, walau begitu HERO akan menangkap pelakunya! Yeah! I'am the Hero!" Sebuah trademark yang merupakan ciri khasnya.
Kemudian, Alfred mulai membagi tugas antar personel. Dia, Arthur, Lovino yang menemui petugas forensik, sementara France dan Vash mengabarkan berita duka untuk kerabat korban, Scott—kakak Arthur diserahi tugas untuk menjaga markas mereka yang kecil itu, sembari memeriksa alibi dan data-data yang baru saja datang pagi tadi. Gilbert bangkit mengikuti kumpulan orang yang keluar flat, meninggalkan Scott sendirian di dalam, memasuki sebuah Toyota hitam yang terparkir di dekat markas tersebut.
"Well, kurasa tidak masalah jika kau ikut."Alfred berkata ketika hendak memasuki jok pengemudi, memandangi Gilbert yang hendak pulang. Keduanya berpandangan sesaat sebelum akhirnya Gilbert mengangguk, dengan senyum narsis miliknya, "Kesesesese~ memang diriku yang awesome ini tak boleh ketinggalan."
Lovino memutar bola mata dengan bosan. Ia duduk dengan Arthur di jok belakang, memandangi personel bagian informasi yang sebenarnya tidak diundang itu dengan gerutuan tsundere—menyadari bahwa hari ini akan semakin gaduh, dengan kicauan orang sok hero, orang sok awesome, serta sumpah serapah dari pemuda sok gentleman yang tak kalah tsundere darinya. Hari yang merupakan rutinitasnya sebagai personel kepolisian, mengusut rangkaian kasus bersama timnya.
Dan kasus kali ini pun adalah kasus pembunuhan….
WILLOW – on the Darkness
Hetalia Axis Power ©Hidekaz Himaruya
.
The Willow©Algernoon Blackwood. Inspirated
.
WILLOW – on the Darkness (c) Me
.
[Belgia – Bella Netfmmel. Netherlands – Etherland Netfmmel. Luxembourg – Luxie Netfmmel]
.
Happy Reading
Don't like don't read
[Chapter 00 : Memories on the Darkness]
4 Desember 1916
Dalam salah satu kamar penginapan usang di Dover, Bella Netfmmel berdiri di depan cermin besar kamarnya. Merapikan rambut pirang yang dibiarkannya tergerai bebas. Ditatapnya pantulan dirinya di sana… cukup oke.
.Tok.
Sebuah ketukan pintu menyentaknya, seorang perempuan tua memasuki ruangan sembari membawa nampan sarapan dan menyerahkan selembar telegram untuk sang wanita berkebangsaan Belgia dan berbasa-basi sejenak. "Kau akan pergi sekarang?" wanita tua itu bertanya, dijawab dengan anggukan pasti sang Belgia. "Ya, aku harus pulang."
"Hati-hati." pesan sang wanita tua sebelum akhirnya undur diri, menutup pintu. Suara langkahnya yang berat masih samar terdengar.
Bella menghembuskan nafas berat, ditatapnya beberapa lapis roti dan keju, serta segelas teh yang masih mengepulkan uap panas. Terduduk ia di pinggiran kasur bersprei kuning cerah, sesekali gorden biru tua yang menutup jendela bergoyang ditiup angin. Iris mata emerald-nya memandang keluar penginapan. Castle Hill Road masih sunyi untuk pagi ini. Baru pukul setengah tujuh pagi dan cuaca mendung, mungkin sebentar lagi akan hujan. Diperhatikannya kalender yang terpasang di dinding, 4 Desember.
Hari ini. Hari ini.
Sedikit tersenyum, ia mengelus perutnya. Dengan cepat ia melahap sarapan paginya sembari mengawang-awang ke langit-langit kamar. Sebentar lagi ia akan pulang—pertemuan setelah sekian lama.
Tapi apa yang akan dikatakan olehnya?
Bella terdiam sejenak, memikirkan —pikiran yang menggantung beberapa hari ini, tak mau pergi barang sejengkal. Sesekali membuat hati gadis itu gundah gulana, khawatir dengan kemungkinan terburuk. Digigitnya bibir bawahnya dengan pandangan cemas, memperlihatkan deretan gigi yang dirawat dengan baik.
Saat suara gemuruh angin mulai terdengar, dengan cepat sang gadis meneguk minuman, mengakhiri acara sarapannya yang tenang. Ia merapikan bando berwarna senada dengan iris matanya sebelum akhirnya membawa tas pergi bersamanya dan mengunci pintu kamarnya yang berada di lantai dua. Melintasi lorong yang dihiasi pajangan dinding—lukisan, sulaman bergambar pedesaan yang damai.
Bella Netfmmel melangkah pasti dengan bunyi derit kayu tua yang mengiringi tiap langkahnya.
Tenanglah. Tenanglah, Bella. Semuanya akan baik-baik saja.
"Ya." Gadis itu mencoba menguatkan hatinya. Ini adalah hari yang penting—pertemuan, ya, pertemuan.
Kau tidak boleh panik. Bersikap tenang, oke? Bella menenangkan dirinya.
Di pertengahan perjalanan, ia berpapasan dengan pemuda dengan rambut cokelat gelap dan beriris mata warna hijau jernih yang mengenakan mantel musim dingin dengan topi wol bergaya kasual yang berjalan dengan enerjik. Senyum lebar terukir di wajah muda itu. Seolah dirinya mampu melelehkan dunia dengan senyum terbaiknya.
Tapi Bella tak berpikir lebih jauh. Ketika menuruni tangga kayu dan berada di lantai dasar, dirogohnya saku mantelnya, menyerahkan beberapa poundsterling terhadap pemilik penginapan dan melenggang pergi. Sekali lagi, dipastikannya pergerakan awan di bentangan langit. Dari bahu jalan Castle Hill Road ia tidak menemukan sebuah Brougham pun. Kereta roda empat yang telah dimodifikasi dan ditarik oleh dua ekor kuda itu tak kunjung menyembul dari ujung pandangan wanita tersebut. Ia berpikir sejenak sebelum masuk sedikit ke dalam penginapannya, menanyakan apakah Dover Priory—Stasiun kota Dover jauh dari sini. Sang pemilik penginapan terdiam sejenak seolah pertanyaan itu perlu waktu untuk diproses dalam kepalanya, hingga akhirnya ia menggelengkan kepala.
"U-uh, tidak, sekitar 15 menit dari sini." katanya sambil menghitung uang di tangan, "Anda perlu jasa antar?"
Bella terdiam sejenak, kemudian menggelengkan kepala, isyarat menolak tawaran tersebut.
Dan Bella pun melangkah memasuki Maison Dieu Road. Jalanan masih sunyi hanya beberapa orang yang berpas-pasan dengannya di bahu jalan—semunya bergelut dalam mantel mereka. Beberapa anak dengan seragamnya menuju St. Mary's Church memasuki Ashen Tree Lane. Bella melanjutkan perjalanannya, berbelok ke Pencester Road. Dilihatnya sekilas St. Pauls RC Church—yang beridiri kokoh dalam hawa dingin. Pohon-pohon telanjang tanpa dedaunan hijaunya. Wanita Belgia itu merapatkan mantelnya. Layanan jasa tukang gigi, agen perjalanan, toko pakaian, beberapa toko roti yang baru buka. Menghiasi ruas kanan Priority Street dengan dinding bata menjulang di sisi kirinya.
Nyanyian melengking dengan suara kualitas pas-pasan dilontarkan oleh seorang anak kecil dengan pakaian penuh tambalan di depan toko pakaian yang masih tertutup. Topi bowler-nya diletakkan di depan—ia menatap pejalan kaki dengan murung. Simpatik, Bella melemparkan beberapa penny kepadanya. Anak itu tersenyum, namun Bella tak terlalu memperhatikannya. Ia melintasi bundaran, mengambil jalan Folkestone sebelum akhirnya berbelok sedikit ke kanan, dan bangunan Dover Priory Station mulai terlihat dalam pandangan.
21 Agustus 1913, seorang wanita berkebangsaan Belgia menghilang saat menjelajahi sebuah sungai di daerah Skotlandia. Kelompok penjelajah yang ikut dengannya tak dapat banyak membantu pihak Scotland Yard saat ditanyai. Menghilangnya sang gadis masih menjadi pertanyaan besar bagi publik—ada desas-desus mengenai keterkaitan hal tersebut dengan beragam mitos masyarakat. Namun sampai saat ini belum ada konfirmasi jelas dari pihak penyelidik—
…Dan akhirnya pada 4 juli 1914—nyaris seminggu setelah penembakan Archduke Franz Ferdinand di Bosnia. Kasus ini ditutup akibat kurangnya bukti dan ketidak jelasan kesaksian para kerabat yang ada di tempat kejadian perkara. Pihak keluarga masih berharap kerabat mereka ditemukan, dengan memberi imbalan besar terhadap siapapun yang menemukan kerabat mereka…
"Bella Netfmmel." Ia mengguman pelan namanya sendiri ketika dirinya memasuki bangunan itu, menyudahi memori yang terlintas di kutipan sebuah surat kabar yang dia temukan dalam perjalanan pulangnya menuju Inggris—lewat Prancis. Kembali ia merogoh uang, membeli tiket perjalanan menuju Skotlandia.
Bella memejamkan matanya, mengusap wajahnya dengan tangan berbalut sarung tangan hitam, mencoba mencari kehangatan. Ia terduduk di salah satu bangku di sana. Sunyi senyap stasiun itu menyeretnya untuk masuk ke dalam lubang hitam—terus dan terus….
20 Agustus 1913
Beberapa orang telah mengemasi barang-barang, memuatnya ke dalam perahu kano. Bella berdiri di sisi kanan sungai Annan, memandangi bentang langit biru di angkasa. Sang Surya menumpahkan cahaya hangatnya ke permukaan kehidupan dengan rasa sayang. Dipandanginya kelompok penjelajah itu, semua berkutat pada kesibukannya sendiri.
"Kau siap, Bella?" seorang pria dengan rambut jabrik melawan gravitasi dengan aksen Belanda yang kental menegurnya, menawarkan cokelat pada adiknya itu. Gadis itu memandangi kakaknya—Lord Etherland Nethfmmel dan akhirnya menolak tawaran tersebut, "Tidak, terima kasih," katanya sopan, "dan tentu aku sudah siap, Broer."
Sang pengusaha di perusahaan dagang Belanda itu terkekeh, dihisapnya kembali cerutu mahalnya. Syal biru putihnya berkibar dalam belaian angin. Sorot mata sang kakak tampak tajam, ekspresi yang tampaknya keras itu seakan mengisyaratkan bahwa orang tersebut telah banyak berekspedisi melintasi samudra maha luas.
"Kau tahu, Bella? Banyak hal menarik di sungai Annan."
"Benarkah, Broer?"
"Tentu, kau pasti suka perjalanannya. Mungkin kau akan mendapatkan ikan besar nanti."
(***)
Perjalanan pun dimulai 25 menit kemudian, Bella berada di tengah arus kelompok penjelajah itu. Kelompok itu sendiri sebenarnya hanya terdiri dari orang-orang tua kenalan keluarga Neftmmel yang gemar berjelajah (pengecualian untuk Bella yang paling muda di situ). Seperti biasa, perjalanan itu diselingi cerita-cerita nostalgia, sesekali sang gadis belia itu tertawa ramah, mengikuti arus pembicaraan—kakaknya hanya mendengus kasar, memilih untuk berdiam dengan sikap sok dingin di perahu kanonya sendiri. Mereka tidak mengungkit sama sekali pembicaraan mengenai sungai Annan, seolah menghindari topik itu. Bagi Bella itu tak masalah, sedikit terhibur juga dengan kisah lawas mereka—di tanah kolonial, perang, masa kesuksesan sampai akhirnya membicarakan berita terhangat. Bella mengikutinya dengan baik, namun diam-diam ia berfantasi sendirian.
Kedamaian di sebuah sungai yang damai—sungai yang seakan terpisah dari dunia—terlindungi, tak terlihat. Alangkah indah….
"Ayah, Ibu, bolehkah aku ke sana?" Bocah Kecil itu berlarian di sebuah padang bunga matahari di musim panas 1903. Ia tersenyum ria memetik bunga-bunga cantik itu, rok putihnya berkibar dalam kobaran angin, kelopak bunga berterbangan. "Ayah,Ibu, aku ingin muffin!", " Ibu, kapan Santa Claus datang?", "Ayah,Ibu!", "Ayah,Ibu!", "Ibu, Ibu, Ibu", "Ayah"….
Bella memejamkan mata, mengambil nafas dalam-dalam, merasakan dirinya yang menyatu dengan alam. Mengenang peristiwanya sendiri—segalanya bersama ayah, ibu, kakak—semua. Kedamaian. Kedamaian. Tenang. Terpisah.
Hingga semua suara di sekitarnya perlahan tersamarkan, menghilang, lenyap. Kosong. Hampa. Hilang. Hilang. Hilang….
Di saat itulah perasaan tidak enak tiba-tiba berkecamuk dalam dirinya. Ketika ia menyadari bahwa dirinya sendirian—dia nyaris menjerit.
(***)
Gadis itu memandang bentangan cakrawala yang menggelap—gumpalan awan hitam bergulat dalam deru angin. Kesunyian berpadu dengan hawa dingin. Dengan kekhawatiran, sang gadis membuka kembali peta kuno berkertas kusam. Membacanya berkali-kali, iris matanya yang bewarna hijau emerald bergerak lincah. Jari jemarinya yang mulus menelusuri gambar aliran sungai.
…Ada yang aneh.
Ini tidak biasa.
Sesekali di dengarnya gesekan pepohonan willow di sepanjang aliran sungai, tempat perahu kanonya yang kecil melintas. Dirasakannya aliran air yang mulai deras. Itu persoalan nanti, sekarang ini ia tersesat. Ada perasaan ganjil, seperti menantikan sesuatu dalam kengerian, sesuatu yang terasa tidak nyaman—seperti… seperti diawasi. Ya, diawasi oleh pepohonan willow. Semuanya seperti menatapnya, terpaku pada satu objek.
"Broer?"
Tak ada yang menjawab panggilannya, segalanya seakan bisu. Tak berusuara, enggan menanggapi pertanyaan sang gadis yang mulai merasa takut di perahu kanonya.
Ah, aku berpikir apa, sih?
Bella menghela nafas panjang. Kenapa aku harus takut? Aku adalah penjelajah. Aku adalah penjelajah. Alam adalah hidupku. Hidupku. Darah dagingku. Apa yang perlu kutakutkan? Ini hanyalah sungai dengan deretan pohon willow di sisi sungai—aku… aku tidak boleh takut, iya kan Broer?
Kresek
Kresek.
Sesuatu bergerak dibalik pepohonan willow di sana. Bergerak cepat. Untuk pertama kalinya Bella Netfmmel merasa takut akan sesuatu yang tak kasat mata. Sesuatu yang mengawasinya dari sana. Ia bisa saja mati disini. Ia takut.
(***)
Dengan susah payah, Bella menepikan perahu kanonya ke tepian. Hujan mulai turun deras, dan ia ragu untuk meneruskan perjalanan di tengah cuaca buruk—atau bisa dibilang seperti badai. Cuaca menggelap, membuat segala yang dipandang gadis itu semakin tak jelas. Hari sudah hampir malam dan Netfmmel muda belum bertemu dengan kelompoknya; tersesat seorang diri di sebuah sungai yang ditakhtai oleh willow yang nampak tidak pernah tersentuh manusia. Terduduk ia di bawah salah satu willow dengan tas di sampingnya. Ia mencoba menyalakan lentera, membuat sosoknya menjadi siluet samar di tengah kegelapan.
Kenapa bisa jadi seperti ini?
Bella memeluk kakinya, meringkuk di bawah pohon willow yang menjulang. Menatap cemas kearah kegelapan. Ia tak tahu apa-apa. Segalanya seperti mimpi, terjadi begitu saja dengan cepat—dan seolah tak ingin ia ikut campur. Hujan turun membawa hawa beku yang kelam, angin kencang bergemuruh dengan halilintar yang sesekali membelah cakrawala gelap. Bella nyaris tidak berani bergerak, ia diam seperti patung. Hanya nafasnya yang samar terdengar. Ia menunggu dan terus menunggu…, entah apa yang dinantikan di ujung kegelapan sana. Cahaya temaram dari lentera perlahan memudar dalam gelap, meredup, lalu kembali bersinar.
CTAAR!
Suara petir menggelegar, menyentak Bella yang tenggelam dalam pikirannya dan nyaris tertidur. Nyamuk-nyamuk menggigitnya, membuatnya sedikit meringis. Ia berusaha mencari arlojinya, dan ketika menemukan, waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam. Ya Tuhan…
Teng
Teng
Terdengar suara lonceng di saat hujan mulai mereda. Bella terkesiap ketika mendengar suara itu. Ia tolehkan kepalanya ke berbagai arah , mencari sumber suara. Namun tak dapat ia temukan karena keterbatasan pandangannya dalam kondisi gelap gulita begini.
Teng. Teng.
Suara samar—suara keramaian. Siapa di sana?
Bella menenteng tasnya. Dengan lentera, ia menyusuri area sekitar—mencari tanpa arah. Perasaannya tak enak, seolah mata hatinya melihat sesuatu yang mengerikan, seolah berhadapan dengan makhluk mengerikan, seolah mencium bau kematian yang mencekam, membuat tulang-tulang melemas. Lenteranya menari-nari dalam gelap, menggambarkan siluet tak jelas akan jalan yang kini ditempuhnya, memperlihatkan siluet pohon willow yang membentangkan ranting-rantingnya, seperti membentangkan jubah panjang…. Seperti boneka jerami yang mendongak melotot kearah Bella dengan leher panjang terjulur, membentuk seringai dalam pendar kegelapan, mengelilinginya, menolak untuk membiarkannya keluar. Melingkar, melingkar, bernyanyi sendu dalam malam—mengurung Bella dalam ketakutan.
Tiba-tiba, sesuatu jatuh mendarat ke lehernya. Membelit dengan erat, ia menjatuhkan lenteranya, berteriak kencang. Pohon willow tertawa, tertawa lebar, menarik seringai menyeramkan dari kematian. Licin-licin sekali—Bella terjerembab jatuh, tubuhnya menghempas tanah—darah merembes keluar dari pipinya. Jari jemari willow menggores wajahnya, lenteranya mati—mati dalam kegelapan, membuatnya menciut dalam ketakutan diantara willow bergoyang, menari dalam kegelapan, dan… mengadakan upacara pemakaman?
Untukku?
…Tidak, tidak, tidak!
TEP
"KYAAAAAA!"
Sesuatu yang lain menyentuh lehernya, sesuatu yang dingin—dingin sekali. Tak ada hawa kehidupan, Bella menepis tangan pucat yang seperti menyembul dari balik kegelapan. Ia bergerak mundur, tangan itu mendekatinya, ia menepis kuat-kuat. Gadis Belgia itu menjerit, ia nyaris menangis.
"TIDAAAK!" ia berteriak takut, mencari lenteranya yang baru saja padam, mencoba menyalakannya kembali. Tidak berhasil. Gagal. Ia masih dibalut histeria, dengan sekuat tenaga ia melemparkan lentera itu, melempar sembarang arah. Suara benturan samar terdengar, sesuatu roboh di depannya. Ia berjengit takut. Halilintar menyerang liar, menggagahi sang langit dengan cahayanya.
Saat terlihat sebuah badan, Bella berteriak lagi, tapi segera tergantikan oleh kesadarannya—ketika akhirnya pandangannya bisa membiasakan diri dalam kegelapan, ia melihat dengan samar, wajah itu. Wajah pucat seakan berlapis cat putih—benar-benar pucat, seperti tak memiliki pembuluh darah. Dengan pakaian hitam kelam yang sederhana, cukup membuat alisnya bertautan. Tubuhnya masih berguncang, gemetar takut. Jantungnya berdetak abnormal selama beberapa saat sebelum akhirnya mulai melentur, santai, berdetak dengan ritmis bersama sang waktu.
Ia menyadari apa yang membelitnya, seekor ular liar. Di lepaskannya dengan perlahan lalu ia mundur, bergeser ke bawah pohon willow lainnya setelah sebelumnya ia memandang takut-takut. Tak ada apapun. Semua normal. Segalanya seperti mimpi, sekali lagi—seperti sebuah ilusi yang fana. Ia mengantuk lalu tertidur, tertidur dengan tubuh misterius yang tidak meyakinkan di dekatnya, di sebuah tempat yang dihinggapi willow-willow…
Bella membuka matanya kembali. Dalam cuaca yang masih mendung, ia menyudahi ingatan itu dan memandang sendu jalur rel yang membentang di depannya. Itu adalah pertama kalinya ia bertemu dia.
Hati gadis itu menciut, seolah tak tahan dengan hawa dingin. Ada beberapa orang yang tahu-tahu telah ada di dekatnya, seseorang pria tua dengan rambut pirang yang memudar dalam usia. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian model Prancis yang modis—menggandeng putri kecilnya yang mengenakan mantel berbulu yang menutupi hingga pahanya, memperlihatkan siluet rok yang di perpendek bewarna putih susu. Seorang pemuda dengan topi Homburg dan setelan Norfolk berdiri di sana, berbicara dengan petugas stasiun yang sesekali tertawa, wajahnya tak terlalu jelas dalam pandangan Bella. Ia menerawang ke angkasa, ke batas pandangannya ke rel kereta api. Sebentar lagi keberangkatannya.
"Aku akan baik-baik saja, sungguh." Gadis itu berkata. Menyentuh permukaan perutnya yang dilapisi setelan jaket dan rok bewarna cerah. Dipandanginya pemuda itu dengan penuh pengertian, mengecup sejenak pipi pemuda itu, "Aku akan menjaga diriku baik-baik, tenang saja—aku akan segera kembali setelah memberitahukan soal ini." Bella memandang wajah yang sedikit bersemburat merah di pipinya, memandang gemas pemuda itu. "Sebentar saja, oke?"
Sebentar saja.
Perlahan asap kelam menyembul dari kejauhan, sebuah kereta Continental Express melaju di jalurnya dengan gagah, melawan hawa dingin bulan desember. Bella bangkit berdiri, menjinjing tasnya dan bersiap di peron. Menyudahi potongan demi potongan ingatan yang mulai bermunculan.
Tapi siapa yang menyangka, sebelum perjalanan gadis itu dimulai, sesuatu terjadi?
Netfmmell muda belum menyadarinya sebelum akhirnya merasakan desingan peluru melewati jenjang lehernya—well, nyaris.
DOR
DOR
Adu tembak terjadi secara tiba-tiba dan mengawali kepanikan massal. Suara bergemuruh menggetarkan rel-rel besi, semua lari pontang panting mencoba keluar dari stasiun itu. Sempat dilihatnya beberapa tubuh tergeletak tak berdaya, terjepit, darah segar menetes di mana-mana. Bella terpaku melihatnya. Terpaku—
"KYAAA!"
Plak.
Tamparan panas mendarat di pipi gadis muda itu, suasana ruang keluara sunyi senyap seketika. Air mata mendesak di pelupuk matanya. Bella memegang pipinya yang panas, kemudian menatap kakaknya, Lord Etherland dalam-dalam —dan di balasdengan tatapan garang; iris emerland itu terlihat begitu membara dalam amarah. Nyonya Kartini—istri Lord Etherland yang berkebangsaan Indonesia menutup mulutnya, topi tingginya bergeser sedikit sedangkan Luxie Netfmmel kakak Bella membentuk tanda salib dengan khusyuk. Menutup mata seolah enggan bertatapan dengan adiknya yang membatu disana.
"Pergi!"
"Tapi—"
"PERGI KAU, GADIS JALANG!" kakaknya mencaci maki, menghempaskan vas bunga di dekatnya dengan emosi. Suara pecahannya memekakan telinganya, membuat beberapa pria lain yang ada disana berdiri, mencoba menahan Lord Etherland yang dibalut emosi. "KAMI TIDAK AKAN MENGAKUIMU LAGI! TIDAK AKAN! JE UIT VAN DEZE FAMILIE!!"
Caci maki sang kakak membuat air mata itu kini benar-benar mengalir di pipi pemiliknya, Bella. Kotak bewarna cokelat tua jatuh—memperlihatkan secuil isinya. Sebuah cake kecil dengan krim kocok warna putih hancur sudah.
"KAMI TIDAK AKAN MENGAKUIMU! DEMI TUHAN, AKU BERSUMPAH! AKU BERSUMPAH—KAMU DAN DIA—"
Nyonya Etherland menangis melengking, terisak-isak mendengar pernyataan suaminya terhadap adik iparnya itu. Suaranya tercekat—
DOR
Tembakan kesekian, seorang pemuda dengan rambut cokelat gelap dan setelan Norfolk dilengkapi topi Homburg, melontarkan pelurunya dengan lincah. Satu persatu tubuh ambruk, Bella hanya berjarak sekitar beberapa meter ketika ia bisa melihat seperti apa rupa sang penembak. Pupil matanya mengecil…
Jari-jemari berpaut dalam tiap langkah bersama. Panas. Dingin. Dua hawa beradu, bercumbu erat. Sesekali willow-willow berdesis dalam lambaian angin. Burung-burung membentangkan sayapnya di angkasa, lepas landas—berpetualang dengan bebas di atmosfir.
Dan di saat itulah ia bisa melihat wajahnya dengan jelas. Iris itu memandang dengan penuh rasa kasih sayang—emerland dengan emerland. Persamaan yang cocok.
"Bella—"
…
"Fernando!"
Bella spontan berteriak, menarik pemuda itu ke arah kanan, menunduk di deretan bangku. Sebuah peluru yang seharusnya mengenai pemuda itu gagal menggencet target—pemuda itu pun tercekat. Ia menyadari dirinya hanya berjarak beberapa senti dari penyelamat-nya. Emerald bertemu dengan emerald, persamaan yang cocok. Ya, tentu saja—
"Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau membunuh orang?"
Sungguh, raut pemuda itu seolah berkata; Apa saja, singkirkan wanita tak diundang ini. Ia memandangi tanpa menjawab pertanyaan itu, mencoba menenali orang di depannya. Siapa? Siapa? Ia merasa…
Tunggu. Tampaknya, ia merasa familiar…
Pertemuan kembali?
DOR
.
Beberapa personel AMIP Tim E plus pemuda Jerman yang tidak seharusnya ikut ke sana berdiri beberapa yard dari posisi korban. Bau menyengat menusuk penciuman mereka, dan perut Gilbert Beilschmidt mulas tak karuan memandangi korban yang setengah membusuk itu—ia alihkan pandangan terhadap para petugas forensik yang mengiris permukaan kepala mayat wanita berambut pirang itu dengan pemotong kecil, membuka permukaan kepala bagian atas wanita malang itu, Lovino memuntahkan pasta yang dimakannya beberapa jam yang lalu dan wajahnya tampak pucat setelah kembali pada kawanannya di ruang forensik tersebut. Seorang pemuda berkebangsaan Yunani yang lamban membantu rekannya se-profesi berperawakan besar yang mengenalkan dirinya sebagai Sadiq Adnan, sesekali mereka saling berkelahi dalam tugasnya, menunjukan kurang akurnya mereka pada rombongan yang baru sampai sekitar pukul tiga sore tadi. Arthur tampak fokus memperhatikan mayat wanita yang pucat itu, mencoba mereka-reka siapa yang membunuhnya begini kejam…
"Korban merupakan seorang wanita Belgia, berambut pirang—perutnya terbelah dua dengan kasar, melihat pembusukan organ yang terjadi waktu kematiannya sudah cukup lama…" Pemuda Yunani yang beridentitas sebagai Heracles Karpussi itu mengguman lambat sambil membuka batok kepala jenazah itu dengan pemotong mesin, membuat pola kotak dan memasukan tangannya kedalamnya, mengambil otak bewarna keabuan dan menyerahkannya terhadap rekannya untuk ditimbang. Sadiq memperotes untuk bagian penjelasan yang seharusnya adalah bagiannya semua, keduanya hampir bertengkar lagi sebelum akhirnya Arthur memengahi dengan bersumpah serapah seperti biasa. Akhirnya suasana mulai tenang setelah akhirnya Heracles memutuskan untuk mengalah—walau dari ekspresinya terlihat kesal. Sadiq menjelaskan panjang lebar mengenai korban; wanita muda dengan perut terbelah dua secara kasar, tampaknya karena alat yang digunakan tak begitu bagus. Ditemukan dalam keadaan setengah telanjang, wanita yang idetintas lengkapnya masih tanda tanya itu sepertinya, kata Sadiq, orang asing yang bertandang ke tanah Inggris ini. Sudah menikah. Ada cincin pernikahan di jari manisnya, tewas akibat kehabisan darah.
Lovino menggigit bibir bawahnya, berpikir keras sembari mengamati wajah sang Jane Doe (Sebutan untuk korban perempuan yang tidak diketahui identitasnya), wajah beku yang pucat—menyiratkan tanda tanya, teka-teki dalam dirinya. Apa, bagaimana, siapa, kapan dan mengapa wanita ini dibunuh?
"Kalau menurutmu orang ini turis…"Arthur menyuarakan opininya, matanya menatap pria Turki yang menoleh kearahnya. Logat Inggrisnya terasa jelas dan ia berdiri angkuh, percaya diri sambil mengelilingi mayat tersebut, "Berarti ada waktu dimana dia menghilang—tenggat waktu, sampai akhirnya tewas."Matanya beralih terhadap pemuda albino yang terbengong menatap sekeliling, yang tengah mencatat-catat rangkaian informasi tersebut dikepalanya. "Mungkin ada berita hilangnya seorang wanita Belgia di koran-koran lama—ya kan, Gilbert?"
Semua mata tertuju pada pemuda albino berkebangsaan Jerman itu, yang ditatap bertingkah kesenangan. "Kesesesese~ sudah kuduga kalian akan membutuhkan diriku yang awesome dan hebat ini." Katanya bangga sembari menepuk dada.
Alfred memicingkan mata kala mendengar kata 'hebat' itu, memperotes dengan sengit bahwa ia yang HERO ini adalah yang terhebat. Sebelum sebuah perdebatan konyol meletus, Lovino menggerutu—cukup membuat keduanya tersadar akan situasi. Gilbert mengangguk dan meyakinkan bahwa dirinya akan membantu dengan awesome, sebagai personel bagian informasi yang kerap kali dimintai tolong oleh AMIP dalam penyelidikan itu akan berusaha sebaik dan sekeren mungkin dalam mencari data yang dimaksud.
Sebelum mereka akhirnya bubar, Lovino memandangi wajah korban itu agak lama—seolah ingin mengabadikan dalam ingatannya. Beragam pemikirannya bergelanyut dalam otaknya, membuatnya sesaat berhenti melangkah. Alisnya bertautan dan pemikiran-pemikiran itu berkesinambungan dalam alam pikirnya, namun pemikiran itu terhenti ketika pemuda Jerman itu kembali menggangguinya, dengan kejahilan tingkat akut yang membuatnya bersumpah serapah sepanjang menyusuri lorong gedung forensik. Keempatnya memasuki Toyota hitam yang terparkir dan melenggang pergi, singgah di sebuah café untuk makan siang yang terlambat.
To Be Continue
