What is life? Tell me it's like
Being on the lookout for truth everyday
.
.
Onion
Haikyuu © Furudate Haruichi
.::.
Kageyama x Hinata
College AU, Adulthood, Aged-up Characters
.::.
Warnings: Beberapa kejadian boleh jadi terlalu surreal | Kemungkinan besar ada beberapa fakta menyeleweng | (Future) Unsafe sex aka unprotected sex | More than one lemon scenes in the future. | Semakin banyak chapter-nya, semakin bertambah sedih-sedihnya. Jadi chapter awal belum ada apa-apanya. | Kageyama tidak berada di SMA Karasuno, jadi sifatnya masih nyebelin.
Enjoy!
.
.
First Layer: Dream
Jika masa-masa sekolah menengah adalah transisi dari remaja menuju kedewasaan, maka waktu setelah kau dilepas dan diluluskan dari SMA merupakan pijakan awal menuju kehidupan dewasa yang sesungguhnya. Yang berarti, kau harus memiliki tujuan yang jelas mengenai masa depan, sikap dan mental yang matang, dan yang lebih penting, kau harus melepaskan cangkang kekanakanmu. Mengucapkan selamat tinggal kepada segala perilaku emosional yang dimiliki setiap remaja pubertas. Mengedepankan rasionalitas untuk menentukan suatu pilihan.
Waktu usai upacara kelulusan sekolah menengah atas adalah waktu untuk mendaki anak tangga menuju kesuksesan. Menuju mimpi, cita-cita, apapun yang ingin kau gapai, apapun yang kau dambakan. Kau bebas melakukan apapun di sini. Mengeksplorasi bakat dan minat, berburu pengalaman, hingga meniti karir.
Cara setiap orang menggunakan waktunya berbeda. Sebagian besar ingin melanjutkan belajar di universitas, menimba ilmu lebih banyak lagi guna mendapat gelar. Sebagian kecil justru ingin segera bekerja, katanya percuma kuliah susah-susah jika tidak dapat pekerjaan.
Enam bulan sebelum kelulusan, Hinata Shouyou sempat bimbang—antara pekerjaan atau pendidikan.
Kebimbangannya ini bukan karena dia tidak punya tujuan. Dia punya mimpi, sebenarnya. Mimpi yang sangat besar. Bahkan jika orang di sekitar mendengarnya, dia akan ditertawakan saking tidak mungkinnya impian tersebut untuk terwujud. Padahal, apa salahnya bermimpi besar? Apa salahnya ingin menjadi pemain voli hebat seperti Little Giant?
Tentunya, dia tidak ingin melakukan hal lain kecuali terus bermain voli. Ingin berada di universitas dengan tim voli terkuat, kalau bisa dengan beasiswa guna meringankan beban orang tua. Mengambil jurusan apapun yang berkaitan dengan olahraga, asalkan dia bisa sedekat mungkin dengan voli. Bermain di klub voli dengan rekan-rekan kuat yang menjanjikan, yang bisa memancing kemampuannya seratus persen. Kemudian, jika dia bisa bermain dengan gemilang, dia akan direkrut oleh tim nasional, dan dia bisa menjadi seorang profesional.
Bah. Hinata jadi ingin memuntahkan isi perutnya akan delusinya yang terlalu jauh dari kenyataan itu.
Sebelum dia bisa mengalami semua itu, dia harus menghadapi kenyataan pelik. Keuangan keluarganya. Pada dasarnya, Hinata tidak terlahir dari keluarga yang kaya. Makmur, tapi tidak berlimpah uang. Rumahnya di pucuk gunung dan dia setiap hari memilih naik sepeda daripada bus, menghemat uang. Ketika sang ayah mendadak divonis dengan penyakit kanker yang cukup parah, sebagian besar uang mereka harus terkuras untuk membayar biaya rumah sakit. Daging yang setiap hari bisa hadir mendadak terus absen. Untuk makan saja harus berhemat.
Itu adalah alasan mengapa Hinata berhenti bermain voli selama hampir tiga tahun masa SMA. Persetan dengan janjinya kepada Ou-sama waktu SMP dulu. Masa bodoh dengan cita-citanya menjadi Little Giant.
Mau bagaimanapun, keluarganya adalah yang pertama. Cukup sudah hari-harinya melihat sang ibu berderai air mata, menyalahkan diri sendiri karena Hinata dan adiknya tidak bisa mereka bahagiakan. Hinata ingin berteriak saat itu juga, memeluk tubuh rapuh sang ibu, menegaskan bahwa kehadirannya sebagai ibu yang penuh kasih di dalam keluarga mereka sudah lebih dari cukup.
Karena itulah, Hinata mengorbankan voli demi bekerja paruh waktu, mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk membantu keluarganya menopang biaya rumah sakit dan kebutuhan pimer secara bersamaan.
Selama itu pula, Hinata tidak mengeluh. Tidak ketika dia hanya bisa melihat orang-orang bermain voli di gimnasium dari jauh. Tidak ketika dia memandangi poster Little Giant di kamarnya dengan secuil harapan hampa. Tidak pernah ada keluh kesah barang sekalipun.
Tapi baik ibu, bahkan adiknya yang polos pun tahu, Hinata mencintai voli lebih dari apapun. Mereka tahu dia diam-diam berlatih dengan bola voli usang yang kulit-kulitnya sobek dan warnanya kusam setiap pagi di halaman belakang. Melemparkannya pada dinding, dan bukan pada pemain sungguhan seperti yang seharusnya ada bersama Hinata.
Di tengah kebimbangannya untuk memilih salah satu di antara dua jalan bercabang di hadapannya, Hinata dihampiri sang ibu. Malam hari, ketika semua penghuni rumah harusnya sedang terlelap. Wanita lembut itu mengetuk pintu kamar Hinata. Ingin mengobrol dengan Hinata, katanya. Dan Hinata membiarkan dirinya digiring menuju meja makan, dua cangkir teh harum mengepul di atasnya.
Hinata tahu, dari gerak gerik dan raut sang ibu, bahwa pembicaraan akan mengarah kepada sesuatu yang serius. Dia bisa menduga topiknya, dan Hinata agak merasa lemas karenanya.
"Shouyou." Ada sedikit keraguan pada suara ibunya. Jemari meremas cangkir sekali, dua kali. "Kau sudah memutuskan?"
Ya, sama sekali bukan topik yang ingin kubicarakan tengah malam begini.
Hinata menggeleng. Menggumam pelan sebagai jawaban. Justru dia memilih untuk bertanya, "Bagaimana keadaan Tou-san?"
Ibunya sedikit kaget dengan pertanyaan itu. Namun sebentar kemudian, kedua bahunya melemas. "Ya, dia… baik-baik saja." Kata-kata 'untuk saat ini' dibiarkan terpendam di lubuk hati, dikubur di bawah optimisme yang dipaksakan. Tapi Hinata tahu. Dia sudah sering melihat sisi lemah ibunya untuk bisa membaca isi hatinya. "Daripada itu, Shouyou. Soal pilihanmu setelah ini…"
Hinata berjengit. Usaha mengalihkan topik menjadi percuma. Cangkirnya terangkat, uap air yang hangat membasahi bibir atasnya. Sengaja, agar sebagian wajahnya tertutup. Agar perasaannya tak terbaca melalui otot wajah. Ragu-ragu, dia membuka mulutnya, tapi suaranya baru datang beberapa detik setelahnya. "Aku sudah bilang kalau aku masih bingung, Kaa-san… Aku belum punya jawaban untuk diberikan."
"Kalau begitu, malah bagus." Ibunya menepuk kedua tangan, pergerakan yang tidak terduga dan mengagetkan. Suara tepukannya bergema satu kali di ruangan sepi itu. Hinata hampir menjatuhkan cangkirnya. "Kau tahu, Shouyou, Kaa-san mendapat… tawaran pekerjaan di sebuah kantor milik teman Kaa-san. Gajinya juga lumayan besar—tidak, mungkin jauh lebih besar jika dibanding hasil Kaa-san berjualan."
"Benarkah?" Suara Hinata meninggi, dan volumenya akan membesar kalau saja dia tidak ingat akan adik perempuannya yang sudah terlelap. "Bukankah itu—astaga… Wow. Itu kabar hebat, Kaa-san! Kapan Kaa-san mulai bekerja?"
Sang ibu tertawa renyah. Anaknya mulai melakukan gestur aneh dengan kedua tangannya, seperti ketika dia merasa luar biasa senang atau antisipatif. "Kira-kira seminggu mulai sekarang. Ada beberapa hal yang harus diurus, tapi bukan sesuatu yang sulit. Yang lebih penting, Shouyou, kau tahu apa artinya?" Hinata menghentikan pergerakannya demi mendengarkan dengan hati-hati. "Kau bisa kuliah di universitas manapun yang kau mau!"
Hinata menarik napas. "Kuliah…?"
"Benar. Sampai sekarang pun, kau masih suka bermain voli, kan? Dengar, Shouyou." Sang ibu meraih salah satu tangan anaknya, membungkusnya dengan kedua tangannya sendiri yang kasar ditempa berbagai macam pekerjaan. "Pilih universitas manapun yang ingin kau tuju. Belajarlah dengan keras agar bisa diterima. Lalu, kau bisa bermain voli tanpa harus bekerja demi kita lagi." Kedua mata ibunya menyipit karena senyum yang melebar. "Kau sudah lama memendam mimpi ini, bukan? Mimpi untuk menjadi pemain voli profesional. Menjadi sosok yang kau kagumi—Little Giant."
Ada begitu banyak hal yang membuat setetes air mata menganak sungai dari pelupuk mata. Perasaan haru karena ibunya bisa mengingat mimpi Hinata dengan baik, bahkan lebih baik dari Hinata sendiri yang sudah lama menyerah. Kemudian, kebahagian yang menyerbu seluruh kapiler darah akan kenyataan bahwa di hadapannya masih terdapat harapan. Kesempatan kedua. Tangga alternatif menuju impiannya.
Bohong kalau dia bilang dirinya benar-benar menyerah. Selama ini, dia habiskan waktunya setiap malam untuk berdoa dan berdoa. Berharap akan ada suatu kejadian di dalam hidupnya di mana dia bisa kembali bermain voli, berlatih menjadi lebih baik. Mengejar impian—menjadi seperti Little Giant—yang sering diremehkan orang lain.
Mungkin, dari semua manusia yang terjaga di alam mimpi, hanya ibunya yang mendengar bisikan doanya, diam-diam dari balik pintu. Bisa jadi pekerjaan ini bukan tawaran temannya, tapi karena sang ibu sendiri yang mengusahakannya.
Maka Hinata beranjak, merengkuh tubuh ibunya di seberang meja dalam sebuah pelukan, dan meluapkan setiap tetes dari air mata penuh rasa syukurnya dalam bahu wanita penyabar itu.
"A-Aku bisa… Akhirnya aku bisa bermain voli…" Kedua tangan Hinata yang bersarang pada lengan sang ibu mengepal. "Akhirnya… Aku bisa…"
"Maaf, Shouyou, telah membuatmu menunggu hingga sekian lama." Jemari lembut terselip pada helai oranye. Hinata menggeleng, ingin membantah, mengatakan seberapa menderitanya sang ibu selama tiga tahun ini. Semua bukan salahnya, atau salah siapapun. "Jangan lagi pikirkan masalah uang. Terbanglah, kejar apapun yang ingin kau capai."
Dan Hinata akan melakukan apa yang ibunya katakan.
Sekarang, dia bukan lagi burung yang terjebak dalam sangkar.
Dia akan terbang bebas, mengarungi langit biru yang luas hingga dia menemukan apa yang dicarinya—impian yang telah lama dilepasnya.
TO BE CONTINUED
Belum ada banyak hal yang terjadi di chapter ini, ya X3
Anyway, awalnya saya ingin publish ini sebagai oneshot, tapi entah kenapa rasanya lebih nyaman aja jika tiap 'layer' dipisah jadi chapter-chapter. Biar ngetik per layer bisa puas dan reader bisa istirahat mbaca (?).
Tema kali ini... seperti di summary: kedewasaan. Kedewasaan berarti mengeksplorasi hal-hal baru bagi berondong-berondong yang masih semangat. Iiiif you know what I mean... /pasang muka yaranaika
Rencana ada lima belas chapter dengan kisaran 1k-3k words. Mungkin lebih, jika plotnya agak berat.
Fic ini terinspirasi dari film Korea berjudul Twenty. Aspek-aspek 'dewasa' saya ambil dari sana, misalnya alkohol, kerja paruh waktu, masalah finansial, dan... err. Menggauli cewek. Sedangkan untuk konsep bawang diambil dari lagu Onion oleh One Ok Rock. Makasih inspirasinya ya, Bang Taka :* (digampar) Btw, penggalan-penggalan kalimat di awal chapter adalah bagian dari lirik lagu Onion.
Seperti biasa, terima kasih banyak untuk kalian yang sudah bersedia mampir dan membaca. Chapter dua di-post bersamaan dengan ini. So... see you real soon!
