Summary: Suara lonceng, yang bergetar melambung ke angkasa, dan cerita seorang dewa dengan manusia persembahannya

Disclaimer: KnB cuma punya Fujimaki-sensei

Warning: AU, shounen ai, dark

Terinspirasi kerangka ceritanya dari Suijin no Ikenie karangan Toma-sensei dan plot dari isi otak saya yang ingin tulis fic ber-genre dark fantasy.


Sound of a Bell, Reverberating

by: Yakouseki

Chapter 1: Suijin


Ini adalah sebuah kisah, suatu kepercayaan yang terus menerus mendarah daging dalam benak tiap manusia yang hidup pada zaman itu sejak lama. Kemudian terkubur dari ingatan, menjadi nostalgia yang penuh duka.

Dahulu kala, ada seorang dewa, begitu dipuja dan dihormati oleh kalangan dewa lainnya. Dia sempurna, dia menakjubkan.

Dia adalah Dewa di antara para dewa.

Sampai ketika, arogansi menyelinap dan menyusupi hatinya. Membutakan matanya, mengiris kesucian dirinya. Ia berlaku seolah makhluk selain dirinya, baik itu dewa maupun manusia, rendah kastanya di hadapannya.

Karena dia adalah dewa yang terkuat di atas langit dan bumi.

Siapa yang dapat menandinginya? Para dewa lain saja mengiyakan klaimnya.

Meskipun begitu, adalah kewajiban mereka untuk menghentikan sang dewa, yang tak sadar terkungkung dalam bui kegelapannya sendiri.

Enggan, tapi demi kebaikan sang dewa arogan, bersepakat menghukum dia dengan menjatuhkannya ke dunia manusia. Berharap sang dewa yang dulunya adalah teman mereka, belajar dari kerendah-hatian manusia.

Namun, emosi gelap sang dewa arogan mengelabui mata batinnya, menganggap hukuman yang dikenakan pada entitasnya adalah sebagai hal mempermalukan dirinya.

Bagaimana mungkin seorang dewa yang berada pada posisi terpuncak seperti dirinya belajar pada makhluk rendahan, kalangan manusia?

Kecongkakan yang telah mencapai ubun-ubun.

Jadilah ia mendatangkan air bah, mengguyur dunia manusia tiada henti dengan amarah yang makin berlipat ganda.

Karena dia adalah dewa air. Suijin.

Para dewa lainnya, meratapi tangisan menyayat, jiwa para manusia tak berdosa yang satu demi satu memasuki nirwana.

Tetapi, apa yang mereka dapat perbuat? Bahwasanya menjerat sang dewa, teman mereka, dengan dunia manusia sebagai pengekang saja sudah sangat sulit dilakukan.

Namun, ketika itu, mukjizat datang dengan wujud pengorbanan yang diberikan oleh kalangan manusia. Mereka berhasil meredam kian amukan sang dewa arogan.

Lapisan kelabu nan kelam terbelah mendatangkan butiran-butiran hangat cahaya sang bintang raksasa. Nuansa awan malam sirna perlahan dari tabir langit.

Sang dewa arogan mengakhiri wujud kemarahannya.

Namun, tak hentinya ia meminta pengorbanan dari para manusia, tiap tiga puluh hari rentangnya, di malam bulan penuh yang menampilkan dirinya dari cermin antariksa.

Dan kali ini, Kuroko Tetsuya adalah tumbal ke seratus empat belas dari desanya yang terpilih.

Ralat, dia tak terpilih, tetapi mengajukan dirinya sendiri.

Karena ia tak tega satu-satunya keluarga yang tersisa, neneknya, dibawa jauh dari dirinya.

Jadilah dia yang mengusulkan dirinya saja. Terkesan egois, yang terselimuti lapisan manis pengorbanan diri.

Tetapi satu hal yang harus diketahui adalah dia sangat menyayangi nenek yang menjadi satu-satunya ikatan darah yang dimilikinya, setelah ayah dan ibunya yang pergi menjadi korban sang dewa.

Ia yang berdiri di atas tepi jurang, mengenakan hanya kimono polos putih yang cukup panjang, menjangkau lapisan bebatuan di bawah kedua kakinya yang tanpa beralaskan apapun. Sebuah kain tipis tembus pandang membingkai mahkota biru langit miliknya. Kedua tangan masing-masing dililitkan tali sutra merah, berornamen sebuah butir lonceng berwarna emas di akhir untainya.

Sementara, pergelangan kaki kanannya mengenakan gelang emas berantai.

Yang ujungnya adalah sebuah bongkahan batu besar, bertugas sebagai jangkar.

Kiri kanannya adalah seorang penjaga yang membawakan seuntai lampion, terpasang di ujung tongkat yang digenggam oleh tangan kanan mereka. Seorang miko membacakan rantaian doa di belakangnya, berdiri di tengah, membunyikan lonceng yang kian digerakan tiap jeda beberapa waktu.

Semilir angin pun berhembus pelan, menggoyahkan tudung kain tipis yang dikenakannya.

Sang pemuda bersurai untaian biru itu lalu memejamkan mata. Takut melihat ke belakang, yang diyakininya terdapat sorotan pasrah teman-teman dan neneknya di antara para warga yang berpeluang melunturkan tekad. Takut melihat ke depan, atau lebih tepatnya ke bawah, di mana sebuah jurang tinggi dengan bunyi ombak menghantam bebatuan di bawahnya-lah yang akan menyambut penglihatannya.

Yang ia yakini beratus-ratus meter dalamnya.

Kuroko meneguk ludah yang tak sadar terkumpul mencekat di kerongkongannya, menanti kapan sepasang tangan mendorongnya ke pelukan samudra, mengantarkan dirinya pada tempat ayah dan ibunya.

Suara lonceng berhenti, kedua lampion terang meredup.

Waktunya telah tiba.

"KUROKOOO!"

"TETSUUU!"

... Ah, suara Kagami-kun dan Aomine-kun rupanya.

Dan ia merasakan dirinya jatuh, jatuh, jatuh, lalu inersia membawanya ke dalam rengkuhan ombak.

Beban di kaki kanannya mengajak tubuhnya mengarungi ke lapisan terdalam lautan.

Kuroko hanya berharap bahwa ia bisa mati secepatnya.

...

Entah kenapa, bunyi lonceng di kedua tangan yang saling berdentang beradu dengan haluan air, dapat mencapai gendang telinganya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Detik berikutnya membuka mata, ia baru tahu bahwa dunia akhirat berwarna putih dan hampa.

Sepi.

Kosong.

Dingin.

Jika ia merasa takut, paras tenang andalannya itu tak sedikitpun menunjukkan gejolak emosi yang sedang dirasakannya.

Karena sejauh mata memandang, hanyalah hamparan ruangan putih yang ditemukannya.

Tidak ada jalan keluar, ujung pun tak dilihatnya.

Kuroko bergeridik, dingin menghampiri ke tulangnya.

Tapi, tunggu, bukankah ia sudah mati? Kenapa inderanya masih dapat menangkap rangsangan hawa ruangan–bukan, dimensi ini?

Kecuali ... dia belum mati?

Kedua kaki putih gading diperintahkannya bergerak, mungkin saja menemukan pintu keluar.

Berjam-jam rasanya sudah berjalan jauh, harapan kian terkikis melihat tidak ada apapun, barang sedikitpun, yang berhasil ditangkap oleh retinanya. Kecuali putih, putih, putih.

'Dan luas', tambahnya.

Kemudian ia menyerah, terduduk di lantai, menghela napas. Membawa kedua kakinya ke dada, memeluk lutut dan menaruh dagu di atas pelukan tangan. Sang pemilik iris biru langit terus terdiam dalam posisinya, memandangi satu titik di depannya, sampai suatu suara mengejutkan dirinya.

"Menarik."

Suara baritone, dalam, berat, maskulin.

Kuroko cepat-cepat mencari sumbernya.

Tetapi nihil ditemukan sosok apapun, sumber suara yang tadi didengarnya.

Dia mulai berpikir mungkin halunasi otaknya saja yang menginginkan sosok lai-

"Setiap manusia yang menjejakkan kakinya di sini, kebanyakan dari mereka sudah berteriak, menangis, atau bertingkah gila lainnya. Tapi, kau, hanya diam, berputar-putar saja, dan duduk tenang tanpa mengeluarkan suara apapun. Apa karena kau bisu?"

Jujur, Kuroko sangat tersinggung mendengar fitnahan yang dilontarkan si sumber suara.

"Tidak, aku tidak bisu," timpalnya datar, kedua alis bertaut. Ia berdiri, memandangi sekitarnya, mencoba lagi mencari si pembicara. "Bagaimana caraku keluar dari sini?"

Sang sumber suara, yang dia akhirnya tetap tak ketahui asalnya dari mana, menjawab dengan nada yang menurutnya ... seperti bosan. "Untuk apa kau ingin keluar?"

Yang dituju menaikan alisnya, bingung. Lalu, hipotesis menghampirinya.

Ingat kepada siapa dirinya dilempar ke dalam jurang yang di bawahnya adalah bentangan lautan?

"Kau Suijin."

"Kau tidak menjawab pertanyaanku. Mengapa aku harus menjawab milikmu?"

"Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan," lempar Kuroko sigap.

Tetapi si pihak lain menjawab lebih cerdik. "Pernyataanmu terdengar membutuhkan pembenaran, terkesan seperti pertanyaan menurutku."

Sang pemuda bersurai biru menebak jika si sosok apapun itu memiliki wajah, pasti ia akan menemukan bentuk senyuman meremehkan membentuk garis bibirnya.

Kuroko seperti ingin menghela napas yang panjang sekali.

Sampai akhirnya dia sadar akan posisinya, mencoba menyerah duluan (siapa tau kalau si sosok bisa luluh hati dan memberikannya informasi), membuka mulut dan menjawab, "Tentu saja aku ingin keluar untuk bertemu dengan keluarga dan teman-temanku."

"Kau adalah korban untuk dewa air. Kau dipersembahkan oleh orang-orang desamu, termasuk keluarga dan teman-teman yang kau sebutkan itu. Apa yang membuatmu berpikir kau diingini lagi oleh mereka?" Dan Tetsuya berani bertaruh lagi bahwa kini si sumber suara, Suijin atau siapapun dia, sedang meledeknya dengan tersirat.

Si pemuda persembahan tetap mempertahankan wajahnya sedatar mungkin.

"Karena mereka mencintaiku dan aku menyayangi mereka. Karena mereka berharga untukku dan aku pun berharga untuk mereka."

"Benarkah?" Di kepalanya, ia dapat mengimajinasikan si sosok menaikan salah satu alis, "Bagaimana kau tahu itu bukan sadiwara? Bagaimana kau tahu kalau mereka kini sudah melupakanmu, menganggap eksistensimu sudah sebagai angin lalu?"

Eksistensi bak angin lalu. Kata-kata haram untuk seorang Kuroko Tetsuya.

Kuroko yang memang memliki hawa keberadaan tipis kini benar-benar tersinggung dengan percakapan yang diembannya dengan orang (atau dewa) ini.

"Karena aku yang mengusulkan diriku sendiri untuk menjadi persembahan. Mereka tidak mengorbankanku! Dan aku tak terima kau berbicara buruk mengenai mereka di hadapanku!"

Cold fury.

Kuroko yakin si sumber suara mendengar tegurannya, tapi si lawan bicara tak bereaksi apapun. Sampai akhirnya ia mendengar suara tawa, bak irama, nada lepas, yang ia yakin seratus persen nilainya juga bersumber dari orang ('atau dewa,' batin Kuroko lagi sedikit kesal) yang sama.

"Aku sempat berpikir bahwa pembicaraan ini terjadi antara individualku dengan dinding yang bisa bicara. Kau bisa marah juga rupanya," suara tawa berhenti, "dan siapa memangnya yang kau gantikan sebagai korban untuk sang dewa air?"

"Kenapa aku harus menjawabmu?"

"Kau tidak ingin kuberitahu jalan keluar dari sini?"

"Kurasa kau juga tak mau menjawabnya, mendengarmu mengalihkan pembicaraan pada topik lain."

Dia, apapun itu, tertawa lagi.

Dan poin kesabaran Kuroko makin menurun drastis.

Namun, tiba-tiba tabir putih menghilang, luntur tergantikan oleh sebuah gelembung-gelembung tipis. Yang mana menghalau penglihatannya, hingga ia harus memejamkan mata dan menyilang kedua tangan di depan wajahnya.

Ketika ia mencoba membuka kedua kelopak matanya, Kuroko merasa seperti ia adalah makhluk yang memang hidup di bawah air. Dia bisa bernapas tanpa tersesak, laksana memiliki insang, menggantikan sepasang paru-paru yang ia punya sejak lahir.

Karena dia sedang berada di dunia laut, di bawah air.

Seperti mimpi.

Kedua iris mata lalu menelan pemandangan indah yang terhambur di depan matanya.

Air laut memang berwarna biru, tapi seingatnya tidak begitu seindah ... se-multiwarna seperti yang sedang ia saksikan saat ini.

Gradasi garis biru, ungu, sampai hijau. Membentang mengikuti horizon, melapisi kedalaman.

Mengunggah rasa euphoria, tak sadar berhasil membuat iris membulat seketika sang pemuda yang bersurai tak kalah biru itu.

Sebuah untaian senyum jarang menghampiri wajahnya.

Kawanan ikan, beratus-ratus paduan warna yang nyaris beberapa baru dikenalnya melaju, mengarungi aliran air. Menari mengikuti irama laut, menaati arahan sang direktor musik yang tak kasat mata.

Rumput laut melambai, anemon laut kuning tatkala ikut mengikuti gerakannya.

Terumbu karang, besar, kokoh, tersebar di berbagai penjuru.

Bebatuan, yang berwarna putih bagai keramik, sebagian terilustrasi cokelat amber, dan yang lain hitam, eboni gelap, beberapa meradiasikan warna kehijauan.

Emerald.

Kemudian, pasir putih bak mutiara dan permata kecil, kerang-kerang yang tak kalah berwarna-warni, dan terakhir–

Sosok manusia.

Atau dewa?

Suijin?

... yang duduk tenang di atas bebatuan, yang mana hanya berdiri sendiri tak seperti gerombolan bebatuan lainnya. Suatu distorsi aliran air, menyerupai wujud seekor ular, ralat, naga tanpa wajah, berputar mengelilingi entitasnya.

Dewa itu, yang kini diyakini dengan benar oleh Kuroko karena parasnya tidak seperti manusia biasa, terlalu ... sempurna, di luar nalar, sangat memikat. Sang sosok bersurai merah, helaiannya jatuh dan membingkai wajahnya dengan elegan. Dengan sepasang tanduk naga maroon dan mata yang menyorot intens pada dirinya, dan menurut Kuroko sangat aneh, karena iris matanya berbeda antara satu sama lain.

Yang satu berwarna merah, dan yang lainnya berwarna kuning benderang.

Ia bertopang dagu, menarik lututnya ke atas pangkuan, tumit bersandar di atas lutut tersebut. Mengenakan kimono hitam, hakama merah gelap seindah malam berornamen garis emas linear di ujung, dan obi yang tak kalah merahnya juga, menjulur hingga ke kaki.

Beralih ke wajah sang dewa kembali, iris hetero itu tak hentinya menelusuri jendela jiwa pemuda di hadapannya. Persona dingin, diwakili dengan garis lurus bibirnya yang menatap manusia di hadapannya.

Orang biasa mungkin akan langsung terganggu dengan tatapan entitas di depannya ini, tetapi tidak untuk Kuroko.

Karena dia juga sering melakukan itu. Tatapan observasi tapi, bukan menyelidik seperti ora– dewa di depannya ini.

Yang rasanya sedang meneliti dirinya, seperti melihat spesimen menarik untuk mengisi waktu luang.

Mengesalkan.

Ngomong-ngomong, ia boleh sedikit terpana tadi, tapi bibit-bibit amarahnya belum sirna sepenuhnya dari lubuk hati.

Kuroko membalas dengan sorotan datar, sedatar alas tungku perapian di rumah neneknya dan Kagami-kun.

Dan sang dewa mulai menarik sudut bibirnya ke atas, mengubah sedikit paras dingin yang dipasangnya semula.

Tangan kanan digerakan, dihempaskan ke daerah kirinya pelan, aba-aba untuk si naga air buatan untuk menghilang. Sosok itu pun bergerak, lagi-lagi sangat elegan di matanya, mengangkat tubuhnya untuk berdiri dan menuju ke arahnya.

Suijin berjalan, pelan, memutari dirinya, bak ular mempelajari mangsa sebelum menerkam. Tetap menatap kedua matanya, secercah kilatan (yang Kuroko pikir adalah halusinasi lagi) terlihat muncul dan menghilang sedetik kemudian, di manik permata kuning sang dewa.

"Sangat di luar dugaan," nada baritone itu lagi. "Mereka yang kuberikan kehormatan untuk melihat wujud sang dewa air akan jauh lebih terpana melihatnya dibandingkan dengan pemandangan teritori dewanya. Tapi kau lagi-lagi," melirik ke arah Kuroko, "sepertinya jauh lebih menyukai barisan ikan-ikan kecil yang berenang. Kenapa?"

Yang dituju mulai berpikir bahwa dewa air yang diketahuinya melalui cerita sang nenek ternyata tidak hanya arogan, tetapi juga sedikit narsis.

"Bagaimana kau tak tertarik dengan pemandangan di bawah air yang tak pernah bisa kau lihat dengan jelas sebelumnya, tanpa perlu menahan napas?" Pertanyaan retorik dari Kuroko. Sang dewa hanya memasang paras dingin kembali.

"Hm," kedua bibir merapat, "Tentu saja, karena kau manusia. Aku hampir lupa akan fakta itu."

Dan yang menjadi objek yang diindikasikan tidak tahu mengapa, tetapi ia merasa bahwa dirinya disinggung kembali dengan tersirat.

"Kau Suijin-sama?" Tanyanya dengan nada datar menyelimuti uratan kekesalan.

"Apakah itu pernyataan?" Seringai muncul menghias wajah, menghadap sang manusia persembahan dengan kedua tangan dimasukan ke dalam lengan hakama. "Dan apa yang berhasil kuperbuat sehingga memotivasi dirimu untuk tiba-tiba menjadi lebih sopan?"

Sang dewa air ini rupanya sedang mengetes kesabaran besar Kuroko Tetsuya.

Sayangnya, meskipun Kuroko bisa kesal, muka lurus tetap saja terpasang dengan sempurna.

"Semua penduduk desa memanggil sang dewa air dengan sebutan seperti itu."

"Tetapi tidak untukmu. Kecuali dirimu."

Iya, benar. "Tentu saja tidak, aku juga adalah salah satu penduduk desa. Aku sangat menghormatimu. Jika yang kau maksudkan adalah perlakuanku sebelumnya, aku mohon maaf karena aku sempat frustasi terkurung dalam ruangan putih tadi."

"Begitu?" Iris merah-kuning memandang Kuroko dengan sepucuk pesan tersembunyi.

Kau dan aku sama-sama tahu bahwa itu merupakan kebohongan.

Kuroko menelan ludah secara mental.

Kenyataan sebenarnya adalah sebelum mencalonkan diri jadi korban persembahan, Kuroko sangat membenci sang dewa yang sudah memakan nyawa orang tua dan beberapa penduduk desa yang dikenalnya.

Sangat benci sekali.

Sang dewa arogan yang diketahuinya dari cerita yang sering didengarnya sejak kecil selalu melihat orang dan dewa di sekitarnya lebih rendah daripadanya. Itu artinya, entitas di depannya ini sangat menyukai kontrol, posisi terunggul, kehormatan, dan pujian.

Jika Kuroko menginginkan sang dewa air menjawab pertanyaannya tanpa mengalihkan topik pembicaraan atau membuatnya kesal, dia harus mengubah taktik.

Mari kita mengesampingkan masalah personal dan membumbui percakapan dengan penghormatan seyogyanya.

"Jadi, apakah Anda Suijin-sama?"

Mendengar pertanyaannya, wajah sang dewa malah berubah tampak bosan. "Terakhir kali yang kuingat, para dewa dan manusia memanggilku dengan sebutan itu."

"Begitu." Kuroko membiarkan informasi itu tersimpan dan menahan dirinya untuk tak menyentakkan lidahnya. "Boleh saya tahu apa yang dimaksud dengan Suijin-sama sebagai 'mereka yang kauberikan kehormatan untuk melihat wujudmu'? Apakah itu artinya tidak semua orang Sujin-sama pilih untuk melihat Anda?"

Dan respon yang didapat oleh Kuroko adalah gerak samar terkejut sang dewa, yang kemudian bertingkah normal kembali sedetik kemudian.

Kuroko tapi mendeteksi pergeseran gerak-gerik itu berkat kemampuan observasi luar biasa yang sering diasahnya.

Skor!

Kini ia sedang menari-nari ria di dalam kepalanya.

"Observatif." Suijin membalikan tubuhnya, lalu duduk kembali di atas batu singgasananya. "Apa kau ingin mengetahui nasib mereka yang tak kuanggap menarik?"

"Mereka sudah mati," jawab Kuroko datar, kedua mata menyipit, menuduh dalam konotasi si lawan bicara.

"Benar." Balas sang dewa, seolah-olah mencoba menghumori sang pemuda. "Tanpa makan dan minum, mereka lama-kelamaan mati di dalam alam kosong tadi seperti bunga yang layu dan sirna tanpa mendapatkan sinar matahari dan air. Seperti itulah makhluk yang dinamakan manusia."

Koreksi, tak hanya sang dewa air itu arogan dan narsis, tetapi ternyata juga sangat brengsek.

"Dan untuk mereka yang terpilih seperti saya? Bagaimana nasib mereka?"

Kuroko hampir terkejut dengan seringaian menyeramkan yang menghiasi wajah sang dewa yang dijuluki Suijin itu.

Tiba-tiba, tanpa ada tanda apapun sebelumnya, lingkungan sekitarnya runtuh.

Seperti terdapat guncangan dari tsunami, suasana pun berubah menjadi kelam. Air laut berubah hitam, gelap, dan warna merah muncul perlahan, timbul bagaikan tetesan darah. Merembes melapisi permukaan, menjadikan nuansa baru lingkungan Kuroko yang tadinya adalah biru cerah mempesona.

Kuroko Tetsuya seperti tenggelam dalam kubangan lumpur dengan berton-ton darah pekat, amis, yang mengguyurnya dari permukaan.

Lalu ia melihat itu, sesuatu, itu.

Seekor ikan, entah itu benar-benar ikan karena hanya tulangnya saja yang kelihatan, berwarna biru neon keseluruhan berenang melewati dirinya.

Kepalanya besar, matanya tidak ada, kosong, bolong. Tubuhnya hanyalah terdiri atas rangkaian tulang dan sirip ekor yang biasa ditemukan pada ikan secara umumnya.

Mulutnya, apapun itu, menganga, gigi-gigi tajam terlihat dengan jelas.

Satu bertambah dua jumlahnya, tiga bertambah lima, dan berpuluh-puluh benda itu berenang melewatinya, lagi.

Berenang tanpa arah, tanpa tujuan.

Di dalam kungkungan kegelapan pekat, tanpa secercah cahaya terselip dalam tempat di mana ia berada sekarang.

Dan Kuroko tiba-tiba seperti tersadar dan berada kembali di tempat semulanya, biota laut yang dikagumi sebelumnya, dengan sosok sang Suijin-sama yang tengah tersenyum simpul ke arahnya.

Sensasi aneh yang dirasakannya ketika benda itu berenang melewatinya masih terasa hingga ke tulang-tulangnya. Tubuhnya masih sedikit bergetar, bergeridik, takut.

Dia bergeming.

"Yang tadi itu ... apa?" Suaranya terdengar keluar dari mulut, refleks bertanya tanpa bisa ia cegah.

"Roh manusia," jawab sang dewa itu, lalu ia tertawa, menganggap lucu pertanyaan Kuroko. "Manusia persembahan yang kalian berikan untukku, mati di sini, di wilayah teritoriku. Terjebak dalam pusaran teritori 'nirwana' sang dewa air, tanpa dapat masuk lagi ke nirwana sesungguhnya."

Mendengar itu, Kuroko merasa batu karang tempatnya berpijak tiba-tiba menghilang dan membuatnya ingin roboh, berangsur-angsur ke bawah.

Benda itu tadi, itu, yang menyerupai tulang ikan yang dilihatnya ... manusia?

... dan apakah ... apakah ... dia juga akan bernasib sama seperti itu?

Kedua iris biru laut menatap horor wajah sang dewa air yang memasang senyuman mengerikan di wajahnya.

"Mengapa kau melakukannya?" Bisiknya, pelan.

"Karena kekuasaanku," jawab sang dewa ('bukan! Monster,' batin Kuroko menimpali) ringan, tak berdosa. "Jiwa yang diberikan padaku, adalah milikku. Lebih merupakan yurisdiksi sang dewa, bila kau memasuki teritori kekuasaannya. Bukankah wajar melakukan hal apapun terhadap barang milikmu?"

Kuroko tak membalas apapun.

Ia hanya diam, menatap kosong, syok, meskipun dagunya kini lalu disentuh oleh jari-jari dingin sosok di depannya.

Sang dewa air mendekatkan bibirnya ke arah daun telinga Kuroko, hampir menyentuhnya lembut.

Sensasi dingin mulai menjalari tengkuknya.

"Kau juga adalah milikku. Pikiran, tubuh, dan jiwamu ... milikku seorang," desis sang dewa yang bersuraikan helaian merah api menyala. "Takdirmu, tak lebih dan tak kurang, akan sama seperti mereka, para pendahulumu."

Detik itu, yang dituju mulai terlepas dari kerja otaknya yang sempat statis dengan kedekatan dirinya dan sang entitas lain, lalu berusaha melepaskan genggaman kuat pada dagunya.

Kepalan tangan mengambil ancang-ancang meninju sisi kiri sang dewa.

Namun, targetnya lenyap, memunculkan dirinya kembali sambil duduk di singgasananya dengan santai.

Kali ini, Kuroko Tetsuya sudah menanggalkan topeng datar dan menunjukkan amarahnya pada sang sosok yang dijuluki oleh orang-orang sebagai dewa.

Dan yang dituju memberikannya seulas garis senyuman, yang diterjemahkannya sebagai pandangan merendahkan.

"Apa kau ingin lari? Kau mau mencoba untuk kabur?" Eksistensi sang naga air buatan kembali menyelimuti raga sang Suijin yang masih terduduk di atas bebatuan. "Ah, aku ingat kau sempat menanyaiku pintu keluar dari sini."

Ia menyeringai, tangan kanan diayunkan dan sang naga air patuh mengikuti arah gerakannya. "Jawabannya adalah tentu saja ada, di suatu tempat di sekitar sini."

"Kau hanya perlu mencarinya sendiri," sambungnya masih dengan seringaian, dengan nada mempermainkan.

Si manusia persembahan tak bereaksi, menunggu kelanjutan ucapan sang pembicara.

"Tetapi, berhasil atau tidaknya kau menemukannya, itu tergantung pada batas waktu yang kau punya."

Kuroko tidak berbalik lagi melihat rupa sang sosok dewa yang ditinggalkan ketika kakinya membawa dirinya keluar dari area tempatnya berpijak tadi. Menelusuri pasir putih yang beberapa tempat didapatinya eksistensi kulit kerang, samar-samar ia mendengar suara maskulin khas sang dewa.

Tidak. Bukan dewa, tapi monster.

Aku agak terlambat mengatakan ini, tetapi, selamat datang di wilayah kekuasaan sang dewa air, Kuroko Tetsuya.


Salam kenal, boleh panggil saya dengan sebutan Yakou saja. Saya baru gabung FF beberapa hari yang lalu. Btw, dimaafkan kalau ada kesalahan penulisan di fic ini untuk para senpai dan para pembaca sekalian. Kalau ada yang ingin tau baju yang Kuroko pakai, bisa browsing baju Kaito yang nyanyi lagu "Kisei/Inori Koe" (minus bulu-bulu angsanya). Saya pun bikin setting-an Kuroko sebelum dicemplungin ke jurang sambil dengar tuh lagu, bahkan terinspirasi nama judul dari suara lonceng lagunya.

Saya tunggu feedback para pembaca di kotak review-nya. Terima kasih ;)