BYEONGARI & GULLIVER

Bagian 1

purely written by ayamkentaki

.

.

.

[A.N: Cerita ini berdasarkan pemikiran seorang ayamkentaki karena gabut liburan panjang.]

[A.N (lagi): GUANLIN SEONHO LUCU BANGEEEET!]

[A.N (terakhir deh): Bikin cerita ini setelah senyum-senyum baca FF GuanHo karya bikinakun yang judulnya 'Senpai, notice me please!' jangan lupa baca juga ya kawan-kawan~]

.

.

.

"Ho, bikin lagi dong."

"Hah?" Yoo Seonho, remaja lelaki berusia 15 tahun mengalihkan pandangannya dari buku Fisika di depan mata ke arah teman bulenya yang berambut hitam mix coklat karamel, Kim Samuel nama temannya itu.

"Hah hih huh heh hoh," kikik Samuel.

Seonho mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. Lho. Samuel ini bagaimana. Padahal tadi dia yang tadi berbicara tidak jelas. Sekarang malah cekikikan tidak jelas. Seonho menanggapi Samuel dengan beberapa kali gelengan kepala dan sekali hembusan napas. Mungkin Samuel sedang ingin menggangguku? Batin Seonho. Ia pun memutuskan untuk tidak memusingkan Samuel.

Sore itu, mereka berdua masih duduk anteng di kelas untuk belajar bersama. Dua hari ada ujian tengah semester. Itu artinya mereka harus mempersiapkan ilmu sematang mungkin. Ralat, mereka bukan berdua sih. Ada satu lagi, Justin. Tapi pria berdarah Cina itu kini sedang keluar kelas untuk membeli snack.

"Justin lama banget. Kan aku udah kepengin ayam goreng," keluh Seonho sambil meletakkan pensilnya di atas buku dan menempelkan dagunya di atas meja. Seonho lapar. Sangat lapar. Jika sudah begini kasusnya, dia tidak akan memedulikan hal lain kecuali makanan. Sesuka-sukanya Seonho dengan Fisika pun dia tidak akan nafsu belajar jika belum menerima makanan yang ia mau.

"Sabar kenapa. Lagian kayak nggak tahu aja Justin tuh badannya kecil! Ya kesusahanlah kalau dia harus beli ayam goreng buat kamu dengan badan sekecil biji padi begitu. Apalagi kamu minta ayam gorengnya empat kotak." Wow. Satu kata yang terlontar dari mulut Seonho begitu Kim Samuel menyelesaikan ucapannya. Tumben sekali Samuel berbicara banyak.

Seonho menempelkan pipinya di atas meja dan melirik Samuel dengan tatapan menggoda. "Sam, tumben kamu bicara banyak kepadaku. Uuuu ..." tanpa diminta, Seonho menusuk-nusuk lengan Samuel menggunakan ujung jari telunjuknya. Membuatnya terlihat lucu dan manis.

Jika Justin yang diperlakukan seperti itu pasti akan ikut tertawa, tapi tersangkanya kali ini beda, ini Kim Samuel, yang tak jarang terlihat galak dan mati-matian bertingkah cool bahkan di depan sahabatnya sendiri. Remaja yang lahir di Los Angeles itu menatap Seonho galak. "Sudah kubawelin malah begitu. Dasar anak ayam."

"Hehehe." Bukannya marah, Seonho malah kelewat senang begitu Samuel menyebutnya 'anak ayam'. Ini pertama kalinya Samuel memanggilnya seperti itu setelah 3 bulan mereka mengenal. Memang panggilan 'anak ayam' itu sudah melekat kepada diri Seonho saat awal-awal menjadi siswa SMU Haengbog. Mungkin karena Seonho mengoleksi pernak-pernik anak ayam? Atau mungkin karena kadang dia bertingkah lucu dan manja. Entahlah. Seonho sendiri tidak mempermasalahkan panggilan itu.

"Apa—"

"Hei kalian. Bukannya belajar malah asyik ngerumpi. Tahu begini mendingan kalian aja yang beli ayam gorengnya!" suara yang keluar dari mulut Justin Huang membuat Seonho dan Samuel langsung menoleh. Lihatlah bagaimana kagetnya Yoo Seonho. Ia langsung menegakkan punggungnya dengan kikuk dan memasang senyuman paling manis untuk meluluhkan hati Justin. Sementara Samuel, hanya menarik sudut bibirnya kecil dengan kaku.

"Apa? Gak usah sok manis. Berat nih," Justin menyodorkan dua kresek besar yang ia bawa.

"Ya ampun! Kamu bawa apa saja?!" seru Seonho heboh dan menerima satu kresek dari Justin. Ia lalu mengintip isinya. "Ayam goreng ukuran jumbo?! Ya ampun, aku tahu Justin kamu memang sahabatku yang paling baik dan paling mengerti kemauan perutku, makasih ya ..."

"Iya, sama-sama. Nggak usah mendramatisir begitu. Aku bakal minta uang penggantinya kok," balas Justin masih dengan nada sedikit kesal yang dibuat-buat. Mendengar itu, pundak Seonho dan Samuel langsung melemas.

"Padahal aku sudah capek-capek tersenyum supaya nggak usah bayar," dengus Samuel kesal dan memperbaiki letak dasinya.

"Sudahlah, hahaha. Kita kan memang harus mengganti uang Justin," Seonho tertawa kecil sambil menepuk-nepuk bahu Samuel walaupun sebenarnya ia sendiri juga menyayangkan uang yang tersisa di dompet anak ayam miliknya.

"Kita makan, lalu belajar lagi setengah jam, dan pulang bersama. Bagaimana?" usul Justin membuat Seonho semangat lagi. Setidaknya Justin masih sangat mengerti dirinya yang membutuhkan makanan.

"Setuju!"

oooOoooOooo

"Aku kenyang ..." keluh Seonho sambil mengusap-usap perutnya yang sudah membludak. Sepertinya isinya akan keluar sebentar lagi. Ups.

"Oh kumohon jangan bersendawa sehabis ini—"

"Rggggh."

Suara yang lebih mirip erangan jika ditulis itu terdengar bahkan sebelum Justin menyelesaikan omongannya. Seonho cengengesan. Justin menepuk keningnya seraya menghela napas. Samuel menoleh ke arah lain.

"Capek deh. Untung cuma kita yang tahu kebiasaan burukmu, Ho," Justin menggeleng-geleng heran.

Yang dipanggil 'Ho' malah tidak menurunkan cengirannya sedikitpun. "Justin bawel. Padahal kamu pernah bilang suaraku jadi seksi pas aku bersendawa."

"Aku ngomong itu pas aku ngelindur. Kamu tahu kan?" balas Justin tertawa kecil. "Sudah ah, aku capek. Mau tidur. Bus kapan sampainya sih?"

Sekarang ketiga sahabat itu sedang menunggu bus yang dapat membawa mereka pulang. Mereka menunggu di halte dekat sekolah. Biasanya sih, ramai. Sampai mereka harus rela menunggu bus selanjutnya untuk pulang. Tapi sore ini tidak begitu. Mungkin karena sebentar lagi sudah pukul enam, dan mengingat mereka "kelewat rajin" sampai belajar bersama di sekolah hingga petang begini.

Begitu bus akhirnya datang, raut wajah ketiganya berubah semangat. Mereka pun bangkit dari duduk dan bersiap masuk ke dalam bus. "Tunggu!" tiba-tiba Samuel berseru membuat Justin dan Seonho yang sudah berjalan duluan langsung menghentikan langkah dan menoleh ke arah Samuel bersamaan.

"Ada apa, Muel?" tanya Seonho memasang wajah bingung.

"Eomma ku telepon," ucap Samuel. Tanpa berbicara apa-apa lagi, ia langsung menekan tombol hijau di layar dan mendekatkan benda canggih itu ke telinganya. "Annyeong, eomma. Ne, aku baru saja selesai belajar dan akan segera pulang. Eh? Apa? Kita akan ke restoran Italia di dekat sini? Tapi ... ah tidak-tidak. Aku tidak akan menolak. Aku akan sampai sebentar lagi."

Samuel memutus panggilan telepon lalu menatap kedua sahabatnya dengan raut wajah ceria. "Maafkan aku, tapi aku harus ke restoran Italia di dekat sini. Berjalan kaki lima menit pun sampai. Kalian saja duluan."

"Sepertinya terdengar menyenangkan," komentar Justin.

"Iya, aku juga ingin ..." tanggap Seonho. Tentu saja ia hanya bercanda.

Sebelum sempat Samuel menjawab, ketiga sahabat itu mendapat klakson dari supir. Seonho langsung berujar. "Sudah, sana kau pergi saja. DAH SAMUEL HATI-HATI!"

Setelah itu, dengan cekikikan, Justin dan Seonho masuk ke dalam bus. Mereka harus rela berdiri karena tidak ada satupun tempat duduk yang kosong. Well, tidak masalah untuk Seonho. Meskipun kadang bertingkah imut nan menggemaskan, Seonho masih seorang laki-laki yang kuat dan tidak merengek ketika harus berdiri.

Beberapa menit kemudian bus berhenti di halte terdekat dari halte sekolah. Disitu tempat pemberhentian Justin. Setelah bertos ria dengan Seonho dan berjanji akan mengobrol di grup LINE, Justin pun turun dengan langkah riang. Tinggallah Seonho sendiri. Tidak sih. Bus itu masih cukup ramai, cuma rasanya beda saja tanpa Samuel dan Justin.

Tiba-tiba bus berhenti lagi membuat Seonho hampir terjatuh. Untung saja ia mengendalikan diri dengan baik sehingga hidungnya tak harus bercicipan dengan lantai bus. Dalam hati ia mengutuk supir yang mengerem mendadak.

Beragam macam orang keluar dari bus bergantian dengan penumpang lain yang hendak duduk. Meskipun jadi ada tempat kosong, Seonho tidak duduk, ia tetap akan menyisakan tempat kosong itu untuk orang tua atau anak kecil yang lebih membutuhkan. Ah, lagipula dia punya dua kaki jangkung yang siap menopang dirinya kapanpun.

Benar saja, beberapa saat kemudian seorang wanita paruh baya yang menggendong dua anak masuk ke dalam bus. Ia kelihatannya kesusahan dan dengan tampang riang nan konyol, Seonho menunjuk-nunjuk bangku kosong di dekatnya. Ibu itu tampak lega dan langsung duduk di kursi itu. Tapi ternyata penderitaan si Ibu tidak berakhir setelah ia mendapatkan kursi.

oooOoooOooo

OEK OEK OEK!

"Aduh, adik manis, jangan nangis lagi dong? Cup cup cup," Seonho, dengan polosnya mengusap-usap pipi anak bayi yang terus menangis di gendongan ibunya. Tidak ada maksud terselubung. Ia juga kasihan melihat si Ibu yang kerepotan dan tidak enak hati karena tangisan anaknya mengganggu penumpang lain.

"Duh ... gimana ya caranya, Bu, bentar ya, saya mikir dulu, gak akan sampai lima menit!" cerocos Seonho. Tidak peduli bagaimana si Ibu itu merespon, Seonho sudah mulai berpikir apa yang harus ia lakukan. Hmmm, apa anak ini suka digendong dan dielus-elus? Ah, daritadi si Ibu sudah melakukannya tapi ia tetap menangis meraung-raung. Atau anak ini mau minum susu? Tapi Seonho tidak punya minuman apapun sekarang. Atau anak ini suka yang menggemaskan?

Benar! Anak kecil di belahan dunia manapun pasti akan tertawa melihat hal menggemaskan, bukan?

Seonho langsung merogoh ponsel dari sakunya dan menyetel sebuah lagu yang terdengar memalukan jika mereka tahu anak SMU sepertinya mengoleksi lagu sejenis ini. Namun Seonho tidak terlalu peduli asalkan anak ini berhenti menangis.

Opening lagu yang terdengar menyenangkan dan fresh di telinga siapapun ternyata ikut menyihir kedua anak yang menangis itu. Lihatlah tangisan mereka yang sedikit mereda.

Ppiyak~ ppiyak~ byeongari~

Seonho meletakkan kedua tangan di pinggangnya. Ini memalukan. Seonho tidak menampik hal itu. Tapi sejak kecil, kedua orangtuanya mengajarkan Seonho untuk menomorsatukan keperluan orang lain dibandingkan ego-nya sendiri. Jadi, Seonho lebih memilih untuk melakukan hal ini serileks mungkin.

"Wah ... dia berhenti menangis," ujar si Ibu begitu menyadari kedua anaknya berhenti menangis, bahkan perlahan-lahan tersenyum karena tingkah lucu Seonho. Walaupun Seonho hanya terus menggerak-gerakkan pinggangnya ke depan tanpa ada perubahan gerakan meskipun lagu itu terus berjalan, tapi berterimakasihlah kepada Tuhan Yang Maha Esa telah mengaruniakan Seonho wajah imut yang mendukung.

"Sekali lagi ya?" kikik Seonho sambil mengusap lembut pipi kedua anak itu. Tadinya ia malu sekali, tapi kini tergantikan dengan perasaan senang karena berhasil menghibur kedua anak itu. Ia lalu mengklik tombol replay dan meletakkan kedua tangan di pinggang lagi.

"Ppiyak ppiyak, byeonga—"

CKIIIIT.

Tiba-tiba supir bus mengerem mendadak membuat para penumpang kaget dan terlonjak ke depan. Tak terkecuali Yoo Seonho. Ia tidak memegang pegangan di atas dan membuat tubuhnya ikut bergeser. Tapi tertahan begitu seseorang memegang kedua lengannya dengan kuat.

"Eh?" Seonho mengerjap-ngerjapkan matanya kaget begitu sadar siapa yang menahan lengannya.

Dihadapan Seonho kini seorang laki-laki berwajah asing berbibir tebal dengan kedua manik yang dilapisi kacamata transparan. Ekspresi laki-laki itu tidak kalah terkejutnya. Setelah meneguk air liurnya dengan susah payah, laki-laki itu berkata dengan suara beratnya. "G-gwenchana?"

Seonho terdiam beberapa saat. Ia sedang sibuk menata ritme jantungnya yang berantakan karena laki-laki ini. "N-ne."

Secara fisik, Seonho mungkin baik-baik saja, tapi sungguh, jantungnya tidak baik-baik saja!

.

.

To be continued.

.

.

Annyeong~ ini pertama kali bikin cerita Guanlin x Seonho karena mereka unyu banget ; _ ; mohon review nya ya karena aku masih perlu banyak masukan. Makasih!