Disclaimer : Masashi Kishimoto
Warning : AU. OOC. Multichapter. Lemon?
###
SAKURA POV—
"Bisa nggak berhenti nyusahin orang sekali aja?" dia terdengar sangat kesal.
"Dan bisa nggak kamu berhenti bersikap kayak kakek-kakek ambeien sekali aja?" balasku sembari meletakan tas ranselku di samping tempat tidur, kemudian bersidekap dan berbalik untuk menatapnya.
Menma mendelik, dia mendengus lalu mengusap wajahnya frustrasi. "Kenapa nyusul aku datang ke Konoha?"
"Aku datang ke sini buat ngelanjutin kuliah S2-ku di kampus tempat kamu kuliah, dan aku janji aku nggak akan ikut campur urusan pribadi kamu." Ya Tuhan, mahluk yang satu ini benar-benar menjengkelkan. Ayah sama Ibu saja nggak ada masalah soal aku ngelanjutin S2-ku di Konoha, tapi malah dia yang ngomel.
"Ini bukan tentang urusan pribadi! Ini tentang ...," Menma kembali menghela napas berat lalu maju mendekatiku, dia kemudian berbisik. "Pergaulan di lingkungan ini." Menma tinggal di Rumah BTN yang dibeli Ayah dua tahun yang lalu, saat dia pertama kali datang ke kota ini untuk menuntut ilmu.
"Kalau soal pergaulan aku bisa ..."
"Laki-laki di sekitar sini dan di lingkungan tempatku kuliah banyak yang kurang ajar!" Dia. Berkata gusar.
"Jangan khawatir soal laki-laki, aku bisa jaga diri," aku mencoba menenangkannya. Menma ini adikku, beda umur kami tiga tahun, tapi tingkahnya benar-benar seperti seorang Ayah protektif yang menyebalkan.
"Mbak Sakura ..." Menma mendesah putus asa sambil menepuk jidatnya sendiri.
"Lagian aku datang ke sini buat kuliah, bukan buat nyari cowok. Jadi kamu tenang saja."
"Mbak. Mending Mbak pulang sekarang deh."
"Apa?" Aku melotot. Kampret nih anak, seenaknya maen ngusir orang yang lebih tua. Dia nggak tahu apa. Perjuanganku harus mabuk laut. Kelimpungan di atas kapal, selama tiga hari dua malam, buat nyebrang pulau datang ke kota ini?
"Aku benar-benar nggak punya waktu buat jagain Mbak. Kegiatan kuliah sama kerjaan sampinganku benar-benar menyita waktu!" Menma bolak-balik emosi sambil sesekali menghela nafas frustrasi.
"Aku bukan anak kecil, Menma!" bentakku kesal. "Aku lahir tiga tahun lebih dulu dari kamu, dan aku nggak minta dijagain! Aku datang ke sini buat kuliah bukan buat nyari cowok, bisa nggak sih kamu hapus pikiran negatif kamu tentang aku?!"
Menma memejamkan mata. Dia berhenti tepat di depanku kemudian menarik napas berat, seolah dia sedang menghitung dalam hati untuk menenangkan diri. Setelah itu dia membuka matanya, raut wajahnya tampak lelah dan serius.
"Aku percaya sama Mbak. Aku percaya Mbak bukan perempuan nakal yang bertingkah macam-macam. Tapi Mbak, aku nggak percaya sama pergaulan anak-anak muda di lingkungan sini," kesedihan yang tersirat dalam suara Menma membuatku terdiam, apa terjadi sesuatu padanya? "Hampir semua teman perempuan yang satu sekolah sama aku waktu di SMA, dan merantau kuliah ke tempat ini ...," Dia menggantung kalimatnya dan enggan menatapku, "hamil di luar nikah."
Aku mendesah. Rumor jelek tentang mahasiswi perantau yang pergi ke kota lain untuk menuntut ilmu, memang sudah beredar sejak dulu. Dan kenyataannya memang lumayan banyak mahasiswi di daerahku yang pulang kampung dengan perut yang sudah isi. Jadi aku tidak akan kaget dengan pergaulan bebas yang dikhawatirkan adikku Menma.
Memang sih, sejak dulu aku selalu berada dalam lingkungan yang 'jinak'. Tidak seperti teman-teman lain yang selepas SMA akan pergi merantau ke luar daerah untuk melanjutkan kuliah, aku lebih memilih melanjutkan kuliahku di sebuah universitas swasta di kota kecil tempatku tinggal—hingga aku mendapat gelar sarjana. Dan sekarang aku memutuskan untuk pergi merantau untuk menambah pengalaman hidup.
Karena Menma kuliah di Konoha, Ayah dan Ibu berpikir lebih aman bagiku melanjutkan kuliah di sana, ada Menma yang bisa menjaga.
"Kamu nggak perlu khawatir soal itu, Mbak nggak akan macam-macam." Aku nggak tahu lagi mesti ngomong apa, kalau Menma ngamuk bisa bahaya. Dia nggak akan segan nyeret aku ke bandara atau pelabuhan buat mulangin aku ke kampung halaman.
Kalau lagi marah Menma bisa lebih galak daripada Ayah. Haaah. Sebenarnya di sini siapa Kakaknya, siapa adiknya sih? Kok aku ngerasa kayak anak kecil bandel waktu diomelin sama Menma.
"Haaaah. Terserah Mbak deh." Dia akhirnya mengalah, setelah beberapa saat terdiam. Memikirkan sesuatu.
Horeee!
"Asalkan Mbak jangan keluar rumah."
Maksud lo? Aku cengo.
"Kalau mau ke kampus, biar aku atau Naruto yang antar, kami bakal nungguin Mbak sampai pulang."
Naruto itu sepupu kami, sekaligus roommate Menma. Mereka seumuran.
"Dan ... Jangan sembarangan dekat atau ngobrol sama laki-laki ..."
Kampret! Nih anak aturannya lebih parah dari Ayah. Ibuuuu kenapa kau memberiku adik laki-laki yang seperti ini? Huhuhuuu. Dia selalu sok galak dan sok ngatur, nggak nyadar diri statusnya cuma sebagai adik. Hiks. Tahu gini waktu pertama kali Menma lahir, aku bakal suruh Ibu masukin kembali Menma ke dalam perut Ibu. Nih anak nyebelin banget.
"Dan satu lagi ..." Menma yang hendak keluar berhenti di depan pintu kamar—yang baru menjadi kamar—ku, "... Kalau aku sama Naruto pergi ke kampus, Mbak kami kunci di dalam rumah. Kuncinya kami yang bawa," dia kemudian pergi sambil bersiul santai.
WHAT!
Aku melongo syok. Berasa jadi tahanan rumah tanpa catatan kriminal!
"Lho, Mbak Sakura?" Naruto tampak terkejut melihat penghuni rumah BTN tempat tinggalnya dan Menma bertambah satu orang.
Sepertinya dia baru pulang kuliah. Menma bilang Naruto mengambil jam kuliah sore.
"Hai Nar!" Sambil terus menikmati gado-gado yang tadi dibeli Menma, aku nyengir dan melambaikan tanganku padanya.
"Mbak kok bisa ada di sini?" Melepas sepatu dan meletakkannya di samping pintu masuk, Naruto kemudian menghampiri kami, lalu duduk di sofa di sampingku dan Menma.
"Mbak bakal tinggal di sini untuk sementara."
Dia tampak terkejut mendengar jawabanku, sekilas kulihat dia mengerling cemas ke arah Menma. "Buat apa Mbak?"
"Mbak mau ngelanjutin S2 di sini. Di kampus tempat kalian kuliah."
"Oh."
"Memangnya Mbak nggak boleh tinggal di sini ya?" Aku mulai kesal dengan reaksi berlebihan dua adik gantengku yang mau beranjak dewasa ini. Demi Tuhan, aku bukan bocah!
"Ya bolehlah Mbak, siapa sih yang bilang nggak boleh?" Naruto memamerkan cengiran tiga jarinya yang menawan padaku.
Hedeuh, untung udah kuanggap adik sendiri, kalau nggak kugebet juga nih anak. Untuk type cowok, Naruto termasuk dalam kategori GANTENG SANGAT! Walau dia bukan termasuk dalam kategori' percampuran darah bule' yang sedang diminati kaum hawa Asia. Seperti halnya Menma, Naruto memiliki tinggi dan proposi badan yang bagus, rambutnya pirang berantakan, kulitnya hitam manis, garis wajah yang tegas membingkai mata tajamnya, serta hidung mancung, dan bibir pas yang enak dipandang.
Kalau adik kesayanganku Menma, mempunyai sifat pendiam dan cendrung tempramen, maka Naruto kebalikannya, dia ceria, santai, dan menyenangkan.
"Tuh, Menma kayaknya nggak ikhlas Mbak tinggal di sini." Aku berkata sinis sambil menunjuk Menma dengan sendok gado-gadoku.
"Nggak ikhlas gimana, Mbak?" Naruto bolak-balik melirikku dan Menma yang masih sibuk cemberut.
"Mukanya ditekuk terus sejak Mbak tiba disini."
Mengalihkan pandangannya dari televisi yang sejak tadi dia tonton, Menma melirikku kesal.
"Oh, jangan khawatir Mbak. Menma emang biasa kok kayak gitu." Naruto mengibaskan tangannya dengan gaya kocak. "Sepertinya dia sedang menstruasi makanya ..." Tak menyelesaikan kalimatnya, Naruto buru-buru melompat kabur menghindari amukan Menma yang siap melemparnya dengan gelas minuman plastik di atas meja.
Satu minggu berlalu, tinggal bersama Menma dan Naruto rasanya seperti dipenjara. Menma sialan, dia terlalu over protektif padaku. Yang benar saja, aku tidak diijinkan keluar rumah kecuali hanya untuk pergi kuliah.
Aku tidak boleh jalan-jalan di sekitar rumah, bergaul dengan tetangga, dia atau Naruto akan mengunciku di dalam rumah kalau mereka sedang kuliah. Kampret! Dan yang lebih parahnya lagi, aku bahkan tidak boleh pergi ke warung depan untuk membeli pembalut. Jangan tanya siapa yang bertugas untuk membeli pembalut, karena jawabannya. Sudah jelas ... NARUTO! Menma menyuruh Naruto, dengan alasan kalau dia yang paling muda diantara kami, Naruto lebih muda beberapa bulan dibanding Menma. Dan aku masih bisa mengingat wajah merah-malu-marah Naruto, saat tiga hari yang lalu Menma menyuruhnya membeli pembalut untukku di warung Nenek Chiyo.
"Iya nih Bu, lagi masak," sambil membalik dan memeriksa kematangan tiga ekor lele gorengku di wajan di atas kompor, aku kemudian membuat sambal terasi untuk menemani si lele goreng gurih itu.
Pagi-pagi sekali Ibuku menelpon, dan ponsel kuletakan di pantry dan ku-loadspeaker, agar bisa bicara dengan beliau.
"Adik-adikmu mana, Sak?"
"Ah. Ibu kayak nggak tahu cowok aja," aku membungkuk untuk mengambil cobek kecil dan ulekan yang ada di rak piring paling bawah, "mereka masih tidur, Bu," beritahuku sembari membawa cobek itu ke pantry, meletakannya di sana, lalu beranjak menuju kulkas untuk mengambil tomat, cabe, dan segala macamnya.
"Masih tidur? Jam segini?" Ibu terdengar kaget, wajar sih ini udah hampir jam delapan. Dulu si Menma paling rajin bangun pagi, dan tidurnya gak kebo gini.
"Iya Bu, tapi nanti Sakura bangunin mereka kok, kalau makanannya udah selesai dimasak."
Lek-ulek-ulek. Lek-ulek-ulek. Ulek terusss sampai biji lombok sama tomatnya halus, biar nggak kena usus buntu. Buaaah! Bau terasinya nyungsep nusuk idung, benar-benar bikin mabuk. Mirip bau kaos kakinya Naruto, hahaha.
"Jagain adik-adikmu Sakura, bilang sama mereka jangan tidur terlalu larut dan jangan bangun kesiangan! Itu nggak baik," omel Ibu.
Aku tertawa. "Baik Bu."
"Ya udah lanjutin masaknya. Nanti Ibu telpon lagi."
Aku tersenyum mengetahui bahwa Ibu akan menelponku setidaknya tiga kali sehari. Aku tahu Ibu pasti kesepian tidak ada yang menemani. Ayah selalu sibuk dengan toko dan kos-kosan, jadi jarang ada di Rumah. Sementara Konohamaru, adik bungsuku yang tahun ini masuk SMA kelas satu, sedang nakal-nakalnya sekarang dan membuat orang tuaku kewalahan. Dia lebih suka bermain dengan teman-temannya daripada pulang ke Rumah.
"Iya Bu. Oh ya, sampein salam sayang Sakura buat Ayah, Bu."
"Hmmm. Oh ya, kamu sama Menma jangan lupa nelpon adikmu Konohamaru buat nasehatin dia. Udah dua hari dia nggak pulang ke rumah," Ibu mendesah sedih.
Aku terdiam, keningku berkerut. Apa Konohamaru sudah separah itu? Aku harus memberitahu Menma tentang kelakuan anak itu. Aku pikir Menma bisa menasihati si bungsu itu pelan-pelan, Konohamaru pasti mendengarkannya karena dia paling takut pada Menma.
Dulu, saat Konohamaru masih kelas satu SMP, dan dia ketahuan merokok di sekolah. Menma dengan sadis langsung melemparnya masuk ke dalam got depan Rumah orang tua kami. Adik imutku yang masih kinyis-kinyis itu, hampir saja mendapat hadiah bogem dari Abangnya, kalau saja Ibu tidak menangis menghentikan amukan Menma—yang malu pada kelakuan Konohamaru.
"Iya Bu, nanti aku suruh Menma ngomong sama Konohamaru," ucapku.
Ibu kemudian mengucapkan salam, lalu mematikan ponsel. Sementara aku melanjutkan kegiatan memasakku.
***
Aku baru saja selesai memasak dan hendak membangunkan Menma dan Naruto, ketika kudengar suara pintu depan diketuk.
Mengurungkan niatku membangunkan NaruMenma couple (jangan bilang pada mereka kalau aku menyebut mereka couple, mereka bisa menendangku pulang!) Aku segera pergi ke ruang tamu untuk membukakan pintu. Suara ketukan si tamu itu terdengar makin tidak sabaran. Aku menebak kalau tamunya lebih dari satu, laki-laki dan perempuan, karena aku mendengar pertengkaran kecil di balik pintu.
"Aku tahu kamu ada masalah dengan Menma, Bung. Tapi mengalahlah sedikit. Dia ketua kelompok untuk tugas kuliah Sejarahku, aku hanya memintamu mengantarku ke sini agar aku bisa menyerahkan bahan tugasku padanya. Berhenti mengomel" gadis tamu itu meninggikan suaranya di akhir kalimat.
"Tapi kemarin dia mukul aku, Karin," geram sebuah suara berat nan maskulin.
"Itu sih salah kamu sendiri, siapa suruh ngehamilin pacarnya dia!" Si gadis berkata sinis sambil terus mengetuk pintu rumah.
"Ceweknya dia aja yang gampangan. Aku kasih tahu ya, bukan sama aku aja si Sara tidur, tapi sama beberapa anak lain juga dari fakultas Ekonomi!" Bela si cowok bersuara berat.
Sebelah alisku terangkat mendengar pembicaraan mereka.
Pacarnya Menma hamil? Dan cowok yang ngehamilin pacar Menma ada di balik pintu ini? Kurang ajar! Aku menggertakan gigi Marah sembari membuka pintu. Dan ...
"Aduhhh!"
"Uh. Maaf!"
"Hati-hati dong kalau mau ngetuk pintu!" Bentakku mendelik sebal, menatap cewek berkacamata dengan rambut merah menyala. Berpenampilan modis dengan celana pinsil biru pudar super ketat, dan blouse tanpa lengan berbelahan dada rendah, ditambah aksesoris kalung-gelang dan anting bergaya minimalis. Dia memakai tas selempang lucu khas anak kuliahan yang sesuai dengan warna blousenya.
Si cewek rambut apel merah tampak terkejut melihatku. Begitu pula dengan dengan cowok berambut gelap acak-acakan, yang mengenakan t-shirt hitam dan jins biru, yang berdiri di sampingnya.
"M-maaf ...," Cewek itu tergagap kaku. Dia mengamatiku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Kata PENASARAN, dengan huruf kapital tertulis jelas di wajahnya, dan juga wajah si cowok muda ganteng itu.
"Hmm," responku mendadak jengah ketika teman cowok dari si cewek yang dipanggil 'Karin' itu menatapku intens, sebelah alisnya terangkat tinggi.
"M-Menma-nya ada?" Karin akhirnya bisa kembali bersuara.
"Masih tidur di kamar," jawabku.
"Bisa tolong panggilin? Aku teman kampusnya, mau ngumpulin bahan tugas kelompok." Cuma perasaanku aja, atau nada bicara Karin mendadak jadi sinis padaku.
"Oke. Tunggu disini," ucapku sembari masuk ke dalam rumah, lalu mengetuk pintu kamar Menma dan Naruto yang letaknya di dekat dapur.
Menma keluar dengan tampang kusut, rambut awut-awutan, bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana boxer puma hitamnya. Kayaknya nyawa tuh anak masih belum ngumpul semua. Tapi biarpun berantakan gitu, aku bisa bilang apa, adikku tetap keliatan ganteng dan hot kok. Haha. Kujamin cewek bohay di depan pasti mumpeng ngeliat si Menma toples. Jangan ngejek aku, muji adik sendiri nggak dosa kok. Kenyataannya adikku memang ganteng.
"Karin?" Sapa Menma pada si cewek bohay rambut apel.
"Hai Menma." Karin tampak ramah, beda sama si Cowok ganteng di belakangnya yang langsung melotot marah ngeliat Menma.
"Ngapain kamu ke sini?" Menma juga kelihatannya nggak suka sama tuh cowok.
"Aku nganterin Karin" balas si cowok itu jutek.
Menma menggeram. Beruntung aku bisa menenangkan adikku, dengan menyentuh lengannya. Dia menyadari kalau aku berdiri di belakangnya. Aku tahu kalau Menma tidak akan pernah berkelahi di depanku.
Karin menatapku sendu. Dia lalu menyerahkan bahan tugasnya pada Menma, kemudian mengajak cowok tampan yang bertengkar dengan Menma itu untuk pergi. Mereka datang ke rumah ini menggunakan motor sport ninja berwarna gelap.
Sebelum naik ke motor sportnya, cowok itu kembali menatapku intens, dia lalu menyeringai, kemudian menyuruh Karin untuk naik ke motornya, setelah itu mereka pergi.
"Siapa dia, Dik?" tanyaku penasaran pada cowok yang bersama Karin tadi.
"Bukan siapa-siapa!" Jawab Menma gusar.
