Jika malaikat adalah makhluk yang berlimpah cahaya, maka iblis adalah makhluk yang tenggelam dalam kegelapan. Jika malaikat identik dengan kebaikan, maka iblis identik dengan keburukan. Jika malaikat adalah makhluk yang selalu berbelas kasihan, maka iblis adalah makhluk yang sangat kejam. Malaikat dan iblis selalu bertolak belakang, tak pernah sejalan. Jika memang demikian, dimanakah posisi manusia? Mampukah seorang manusia membuat Malaikat dan iblis berteman?

.

.

.

Disclaimer : Bleach bukan milikku… Aku sangat sedih karena Om tite telah membuat Ulquiorra jadi abu.. Hiks, hiks…

Genre : Romance, Fantasy

Rate : T

Pair : Ulquihime (main pair), and many more.

A/N : Yak, Relya Schiffer kembali dengan fic baru. Bukannya ngelarin 'where ever you are', tapi malah bikin proyek laen. Sungguh author yang tak bertanggung jawab! Gomenne minna-san…^^

Nah, daripada banyak cing-cong, lebih baik kita langsung saja…

Happy reading and semoga terhibur. Lets the story begun…


Moonlight Dance

by

Relya Schiffer

Chapter 1 : The Beginning

.

.

.

Suara pedang beradu memecahkan keheningan malam. Beberapa kilatan cahaya merah dan putih memancar, berusaha saling mengalahkan hingga menimbulkan dentuman yang cukup keras. Asap putih mengepul bersama butiran halus debu yang beterbangan.

Seorang pemuda berambut putih dengan kimono hitam dan haori putih terdesak. Ia harus mendarat di tanah demi menghindari serangan cahaya merah yang terarah padanya. Suara tawa melengking terdengar dari sosok lain yang berdiri di langit. Pemuda bertubuh pendek itu mengadahkan kepala, menghujamkan tatapan dingin pada lawannya yang masih tertawa. Angin bertiup pelan, menyibak rambut putih pemuda itu. Pedangnya yang memiliki rantai tergenggam dengan erat di tangannya yang kuat.

"Nee, Taichou-san. Senang berkenalan denganmu. Biar kuingat-ingat, siapa namamu tadi? Ah, iya, Hitsugaya Toushiro. Kapten divisi kesepuluh―benar,kan?" seringai kecil muncul di wajah itu. Sementara mata emasnya yang tersembunyi dalam helaian rambut hitam menyorot tak kalah tajam.

"Apa yang sebenarnya kau cari, arrancar?" pemuda berambut putih bertanya dengan nada dingin.

"Jangan berpura-pura. Bukankah kita mencari sesuatu yang sama? Ini akan menarik, seperti permainan. Kau harus setuju padaku, Taichou-san,"

Sosok berpakaian putih itu menggerakkan pedang pendek di tangannya―seperti gerakan merobek―hingga sebuah lubang hitam muncul di langit. Dia berbalik dan tersenyum mengejek pada lawannya di bawah sana.

"Sampai bertemu lagi, Taichou-san. Titip salam untuk teman-temanmu. Kami―akan mendapatkannya lebih dulu dari kalian."

Usai pernyataan itu terlontar, sosok berkepang pendek itu menghilang di balik lubang. Bekas robekan pun lenyap tak tersisa.

Pemuda berambut putih mengalihkan tatapannya pada sesosok tubuh yang terkapar tak jauh darinya. Ia tahu pasti bahwa sosok itu―manusia―sudah tak bisa di tolong lagi. Sudah tak ada tekanan roh yang terasa dari tubuh itu. Dia sudah mati. Dan kenyataan ini membuat pemuda berambut putih itu merasa bersalah. Sambil menundukkan kepala, tangannya yang tidak menggenggam pedang mengepal.

Selagi pemuda itu melangkah mendekati sosok yang terkapar, seorang wanita berkimono hitam muncul. Wanita itu memiliki rambut blonde panjang dan memakai selendang merah jambu di pundaknya.

"Hitsugaya-taichou!" serunya. Tak sampai semenit hingga mata kelabunya menatap apa yang tengah dipandangi atasannya itu.

Pemuda berambut putih itu mengangkat wajah. Dia menatap wanita yang baru saja datang dengan tatapan seperti biasa, hanya saja wanita itu bisa melihat sorot penuh penyesalan dalam mata hijau yang terarah padanya.

"Kita terlambat, Matsumoto,"

Tak ada sahutan. Keduanya tenggelam dalam keheningan yang sama. Keadaan seperti ini akan terus berlangsung, dan mungkin akan selalu ada korban berjatuhan. Tapi mereka mengerti, bahwa pertarungan masih terus berlanjut.


Dengan berjalan santai dan sesekali bersiul, sosok berpakaian putih itu melangkah di koridor tempat tinggalnya. Sebuah istana megah berdinding putih, dengan langit yang selalu sama. Malam―Las Noches.

Hitam dan putih adalah monokrom. Tapi ini adalah dunianya. Dunia yang telah memberinya kekuatan besar. Tak hanya itu, juga tingkatan yang lebih tinggi dari pada hollow-hollow tingkat rendah. Kedudukannya lebih tinggi dari mereka―dia adalah Arrancar.

"Senang sekali kau tampaknya, Ggio Vega?"

Sosok yang dipanggil Ggio Vega menoleh, menatap seorang laki-laki berambut pink cerah yang sedang tersenyum padanya. Pakaiannya juga putih. Ggio lansung menyadari posisinya yang lebih rendah dari golongan sosok berkaca mata itu dan menunduk hormat.

"Syazzel Apporo Granz-sama," dia memberi salam.

"Ah, kau tak perlu formal begitu, Ggio. Hanya karena kau fraccion dan aku Espada, bukan berarti kau harus menghormatiku sampai seperti itu,"

Sebuah pernyataan yang sangat rendah hati. Benarkah maksudnya memang demikian?

"Ngomong-ngomong, bagai mana kunjunganmu ke dunia manusia?" tanya Szayel sambil melangkah. Ggio mengikuti di sebelahnya.

"Saya hanya sempat berburu sekali, Szayel-sama,"

"Oh, dan apakah kau menemukan sesuatu yang menarik?"

"Belum," mereka terus melangkah di korodor panjang itu. Padahal mereka bisa menggunakan sonido untuk mempersingkat waktu menuju tempat yang ingin dituju. Ada saatnya sonido tidak menjadi pilihan utama para arrancar.

"Tapi saya bertemu dengan kapten divisi kesepuluh." Ggio melanjutkan.

"Sungguh?" Szayel tampak tertarik, "Apa dia kuat?"

"Saya tidak tahu," jawab Ggio singkat, "Pertarungan kami tidak berlangsung lama."

"Hmm, begitu rupanya."

Keduanya telah tiba di depan sebuah pintu besi berwarna kelabu yang menjulang tinggi. Segera, Szayel membuka pintu itu. Belasan sosok berpakaian putih―yang tampak seperti seragam―telah hadir di ruangan yang berada di balik pintu. Mereka semua memiliki topeng di salah satu bagian tubuh mereka. Dan pastinya, mereka juga dipersenjatai dengan sebilah pedang. Szayel dan Ggio melangkah masuk. Berpasang-pasang mata menatap keduanya.

Ggio menyingkir, menuju seorang laki-laki tua yang sedang duduk di kursi yang terbuat dari tulang. Sementara Szayel memilih posisi di sebelah sosok berambut hitam dan bermata emerald yang berdiri sendirian, tanpa fraccion. Szayel sebenarnya memiliki fraccion. Tapi ia enggan membawa mereka. Selain karena jumlahnya yang terlalu banyak, mereka juga merepotkan.

"Aku senang kau kembali, Ggio," ucap laki-laki tua itu saat Ggio telah berdiri di belakangnya.

Ggio menunduk, kali ini dengan sikap lebih hormat," Hai. Terima kasih, Barragan-sama."

Di sebuah kursi lain yang letaknya lebih tinggi, seorang pria berambut coklat duduk manis dengan tenang. Dia menopang dagunya sambil tersenyum. Ditatapnya sosok bermata emas itu dengan tatapan yang aneh―hangat, tapi juga berbahaya.

"Okaeri, Ggio Vega," suara baritonnya menggema di antara pilar-pilar pucat.

Ggio menatap sejenak ke arah lelaki tua yang menjadi tuannya―Barragan Luisenbarg. Dan setelah pria bertubuh besar itu menangguk, Ggio maju ke tengah ruangan. Ia bisa merasakan semua mata kini tertuju padanya. Arrancar berambut hitam itu menunduk hormat pada pria berambut coklat yang tak henti menatapnya.

"Arigatou, Sousuke Aizen-sama," salamnya.

Laki-laki berambut coklat itu, Aizen, menerima salam Ggio. Dia tak berkata apa-apa. Hanya terdiam sambil mempertontonkan senyuman yang begitu 'memabukkan'. Dalam arti tertentu pastinya. Sementara itu dua orang laki-laki berdiri di sebelahnya. Seorang berambut perak dan seorang lagi memakai penutup mata. Semua penghuni Las Noches mengenal mereka sebagai Ichimaru Gin dan Kaname Tousen―tangan kanan penguasa Hueco Mundo.

"Bisa kudengar laporanmu?" dia bertanya dengan nada manis.

"Belum ada tanda-tanda kemunculan sesuatu yang kita cari, Aizen-sama," Ggio mulai melapor,"Tapi saya bisa memastikan bahwa pertahanan Gotei 13 terhadap kota Karakura telah ditingkatkan."

Aizen tersenyum,"Ah, ciri khas Yamamoto Soutaicho," desisnya. Ia melirik satu dari tentara hollow yang berhasil ia ciptakan. Tepatnya pada sosok berkulit putih yang tidak normal. Putih pucat.

"Ada yang ingin kau katakan, Ulquiorra?"

Sosok berhakama putih yang ada di sebelah Szayel maju beberapa langkah. Ia berdiri di sebelah Ggio. Mata emeraldnya menyorot datar, sementara wajahnya yang pucat tak menyiratkan apapun. Sepasang garis hijau serupa tanda air mata tampak di bawah matanya. Sosok berambut hitam itu memberikan penghormatan ala butler di hadapan Aizen.

"Ada yang ingin saya sampaikan, Aizen-sama,"

Hening. Tak ada sahutan. Ini adalah pertanda bahwa Aizen mempersilahkannya untuk bicara lagi. Sosok bernama Ulquiorra pun kembali bersuara.

"Saya curiga, para shinigami telah menemukannya.Tak menutup kemungkinan mereka menyembunyikannya dari kita. Kenyataan bahwa pertahanan kota Karakura ditingkatkan adalah bukti yang cukup menegaskan bahwa mereka tengah melindungi sesuatu, bukan hanya bersiap menerima serangan kita."

Penjelasan singkat, tapi cukup meyakinkan. Aizen menyentuh dagunya perlahan.

"Hmm, penjelasanmu bisa diterima, Ulquiorra," gumamnya. Pria itu berdiri, dan maju beberapa langkah. Ditatapnya semua tentaranya yang hadir di ruangan itu.

"Baiklah, aku akan menempatkan beberapa Espada di dunia manusia untuk mencari tahu kebenaran yang sebenarnya. Aku harap dugaan Ulquiorra tidak meleset karena aku sudah tidak sabar untuk memulai perang ini. Bulan Desember segera tiba, dan Winter War akan segera dimulai. Untuk memenangkan perang ini, kita membutuhkannya,"

Semua mata terfokus pada pencipta mereka. Tak ada satu pun yang berani memalingkan pandangan.

"Espada keempat,Ulquiorra Schiffer; Espada keenam, Grimmjow Jeagerjaques; dan Espada kedelapan, Szayel Apporo Granz…"

Szayel dan sosok berambut biru langit―Grimmjow―maju ke tengah ruangan, lalu berdiri di sebelah Ulquiorra. Ggio telah mundur dan kembali ke belakang Barragan. Aizen menatap ketiga Espadanya masih sambil tersenyum.

"Kuperintahkan kalian untuk mencari informasi yang kita butuhkan. Kalian boleh membawa fraccion atau arrancar lain yang bisa diandalkan. Segera laporkan apa pun yang kalian dapati di dunia manusia. Terutama tentang pencarian kita."

Ulquiorra, Grimmjow, dan Szayel menunduk hormat sekali lagi.

"Hai, Aizen-sama,"

Aizen tersenyum puas,"Baiklah, dengan ini pertemuan kita selesai. Kembalilah ke ruangan kalian untuk beristirahat, para Espadaku. Dan ingatlah, selama kalian berdiri bersamaku, tak akan ada satu pun yang bisa mengalahkan kita."

Jawaban kompak pun langsung bergema.

"Hai, Aizen-sama,"

Hueco Mundo, tempat suram yang selalu beratapkan langit hitam. Tempat berkumpulnya jiwa yang telah mati dan tersesat, tak menemukan kedamaian. Hingga kemudian mereka berubah menjadi hollow―semacam iblis yang memakan jiwa manusia untuk terus hidup. Hanya ada satu penguasa yang berhasil membangun kekuatan di sana―dalam sebuah kastil putih bernama Las Noches.

Angin berhembus meniup pasir yang hampir melapisi seluruh wilayah Hueco mundo. Potensi badai pasir selalu bisa terjadi kapan pun. Jika arah angin dapat berubah dan badai pasir memiliki rentan waktu, maka hanya satu yang selalu sama di tempat itu.

Bulan sabit.


Gadis berambut orange tersenyum manis pada sosok yang baru saja keluar dari apertemen mungilnya. Ia melambaikan tangan sejenak dan terus menatap sosok remaja berambut pendek itu. Arisawa Tatsuki, itulah nama sahabatnya. Dan dia sendiri, Inoue Orihime. Si pemilik senyum cerah. Si Ramah yang baik hati. Si Cantik yang tak pernah punya musuh. Si Gadis Kuat yang tak pernah menangis.

Oh, yang terakhir tidak tepat. Mungkin lebih pantas dibilang 'berusaha untuk tidak menangis'. Ya, di hari kakaknya dimakamkan, ia berjanji pada dirinya untuk tidak menangis lagi. Ia tidak akan mengharapkan belas kasihan orang lain atas ketidakberuntungan hidupnya.

Orihime menghela nafas pelan. Yang tersisa sekarang adalah dirinya sendiri. Lagi, untuk yang kesekian kalinya, ia menemukan sesuatu di langit malam yang gelap. Ia tersenyum lebar.

"Bulan sabit…" desisnya pelan, "Indah, sayang warnanya pucat." ada semacam kesedihan dalam kata-kata itu.

Angin berhembus perlahan. Semilir yang dingin membuat Orihime sedikit gemetar. Ia pun memutuskan untuk masuk ke apartemen mungil tempat tinggalnya. Yah, paling tidak di dalam lebih hangat dari pada di luar, pikirnya.

Segera setelah pintu di tutup yang tersisa hanyalah keheningan. Gemerisik dedaunan tertiup angin menimbulkan bayangan, seakan membentuk tarian hitam. Bulan tetap tak bergerak. Sabit bersinar tanpa bintang.

Dan langit yang tampak damai sempurna tiba-tiba terusik oleh sebuah suara robekan. Tak ada seorang pun yang mendengar suara itu. Tak ada pula yang melihat ketika sesosok makhluk keluar dari lubang hitam yang muncul setelah suara robekan itu.

Makhluk tersebut bertubuh ramping dan tidak terlalu tinggi. Mata hijaunya benderang dalam kegelapan. Ada semacam topeng berwarna putih melekat di kepala kirinya. Hanya di kepala bagian kiri.

Di belakang makluk itu, keluar sosok lain. Tubuhnya lebih besar dan rambutnya berwarna biru terang, sewarna dengan matanya yang menyorotkan kejenuhan. Dia juga memiliki topeng di rahang kanan. Ada sebuah lubang di bagian perutnya.

Dan yang muncul terakhir adalah sosok laki-laki berambut merah jambu dan berkaca mata. Hanya dia yang tampak seperti manusia normal lantaran tak memiliki topeng seperti kedua rekannya.

Padahal sebenarnya, mereka bukanlah manusia.

"Jadi ini dunia manusia?"

"Araa… Grimmjow, kau tampak tidak senang. Kenapa?"

"Cih, diam kau, Szayel! Aku tidak akan datang ke tempat ini jika bukan karena perintah dari Aizen-sama,"

"Nee, kita sedang bertugas, jadi kendalikanlah emosimu itu,"

"Urusai!"

Szayel menggelengkan kepala. Ditatapnya sosok berambut hitam yang tampak menatap ke bawah, ke sebuah apartemen.

"Ada apa, Ulquiorra? Kau merasakan sesuatu?"

Ulquiorra tak menyahut. Ia segera mengalihkan tatapannya, memandangi seluruh kota yang tampak jelas dari tempat mereka berdiri sekarang. Tangan berada di dalam saku.

"Sebaiknya kita tidak membuang-buang waktu," ucapnya datar, membuat Grimmjow kembali berdecih muak, "Segera bertransformasi dan carilah apa yang seharusnya kita cari,"

Usai berucap, Ulquiorra tiba-tiba berubah menjadi seekor kelelawar hitam dan terbang melesat―menjauhi kedua rekannya. Grimmjow yang tak mau kalah pun berubah menjadi seekor panther kecil berwarna putih, hampir menyerupai kucing putih biasa. Dia melompat ke tanah dan menghilang begitu saja.

Szayel baru ingin bertindak ketika tiba-tiba ia merasakan sesuatu. Pemilik mata amber itu terdiam hingga beberapa saat kemudian ia bersuara.

"Ah, aku lapar. Sebaiknya aku cari makan dulu,"

Sama seperti kedua rekannya sesame Espada, Szayel pun lenyap seketika. Seiring dengan lubang hitam di langit yang lenyap bersama kepergiannya.


Pagi ini matahari bersinar dengan cerah. Seluruh kota Karakura diselebungi oleh kehangatan dari benda orange yang muncul dari ufuk timur itu. Memasuki akhir musim gugur, angin mulai terasa dingin. Membuat orang malas beraktivitas dan maringkuk di depan panghangat ruangan.

Tapi tidak bagi Orihime. Gadis manis itu tetap tersenyum ceria dalam manyambut awal harinya. Pagi-pagi begini―seperti biasa―ia telah memakai seragam sekolah lengkap dengan tas disandang di bahu. Sepasang jepit biru berbentuk bungan tampak menghiasi rambut panjangnya. Orihime menatap dua buah foto dalam pigura cantik yang terletak di sebuah tempat khusus. Ia tak mungkin melupakan 'kewajiban' kecilnya ini.

"Nee, Onii-san, Kurosaki-kun, aku berangkat sekolah dulu. Uhm, hari ini ada tes Matematika. Doakan aku agar mendapat nilai bagus,ya,"

Senyuman manis terkembang di wajah Orihime. Tanpa membuang waktu ia segera beranjak dan memakai sepatu. Tak lama kemudian gadis periang itu telah menyusuri jalan yang biasa dilaluinya menuju sekolah―Karakura Gakuen.

"Ohayou, minna-saaannn…"

Beberapa murid yang sudah datang menoleh ke arah pintu dengan kompak. Hanya ada satu orang sisiwi di kelas mereka yang sangat rajin mengucapkan salam dengan suara riang seperti itu―Inoue Orihime.

Dan benar saja. Yang datang itu memang Orihime.

"Ohayou, Tatsuki-chan, Ishida-kun, Sado-kun, Rangiku-san, Hitsugaya-kun, Abarai-kun…" sapa Orihime. Sekarang ini ia telah mengisi kursinya yang terletak di dekat jendela kelas.

Semua nama yang tadi disebutkan ber-sweat drop ria. Mereka 'takjub' dengan kebiasaan Orihime yang selalu mengabsen teman-temannya satu per satu.

"Ohayou mo, Orihime-chan,"

Tatsuki dan Rangiku lansung menghampiri Orihime. Sedangkan Sado, Ishida, Toushiro dan Renji tampak berdiskusi. Keseriusan mereka membuat kening Orihime berkerut. Ada apa ya dengan mereka berempat? Apa terjadi sesuatu yang aku tidak tahu?, pikirnya

"Bagaimana tidurmu tadi malam, Hime-chan?" tanya Tatsuki, sukses mengalihkan perhatian Orihime.

"Ah, nyenyak sekali, Tatsuki-chan. Kamu sendiri bagaimana?"

"Sama denganmu,"

"Oh,iya, ini untukmu, Hime-chan. Seperti biasa," Rangiku mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Semacam pil kecil berwarna bening. Dia mengedip penuh arti.

"Hei, apa itu?" cecar Tatsuki.

"Ah, mau tahu saja kau, Tatsuki." Rangiku mengerucutkan bibirnya.

"Berjanjilah bahwa benda itu tidak membahayakan Hime. Kalau tidak, kubabat habis rambut blondemu itu," Tatsuki mengancam.

Rangiku pura-pura terperangah,"AAAAHHHH, KAU KEJAM SEKALI, TATSUKI-CHAN!" jeritnya berlebihan, lalu tertawa terbahak bahak. Membuat Toushiro mendesah jengah sementara Renji cekikikan. Sado dan Ishida tak bereaksi.

Orihime yang melihat urat mencuat di dahi Tatsuki gara-gara sikap Rangiku hanya tersenyum. Ditelannya pil bening pemberian perempuan cantik itu dengan cepat.

Rangiku, Toushiro, dan Renji adalah murid baru di Karakura Gakuen. Mereka pindah tiga bulan yang lalu. Sikap Rangiku yang supel, Toushiro yang baik meskipun agak dingin, dan Renji yang terkadang konyol tapi suka menolong, membuat Orihime sangat senang berteman dengan mereka. Pada dasarnya ia memang senang berteman dengan siapa saja. Tapi yang dirasakannya terhadap tiga orang itu sedikit berbeda. Entah kenapa.

Soal pil tadi, itu hanya vitamin kecantikan. Rangiku yang pertama kali memberikan pil itu kepadanya .

"Kamu itu manis sekali, Orihime. Dan kecantikanmu itu harus selalu dijaga. Sayang sekali jika kau tidak merawatnya," begitulah kata Rangiku di hari pertama ia menawarkan vitamin miliknya kepada Orihime.

Sejujurnya, Orihime tidak terlalu peduli dengan perawatan diri selain yang bersifat standar. Tapi karena tidak mau mengecewakan teman, ia terima juga pemberian Rangiku. Dan sejak itulah, Rangiku mulai memberikan pil tersebut secara rutin, setiap hari. Lantaran tak menyebabkan efek negatif, Orihime pun tak menolak.

"Jangan khawatir, Tatsuki-chan. Itu cuma pil kecantikan, kok,"

Tatsuki menoleh,"Hah? Kecantikan?" ulangnya seperti tak percaya.

"Ahh, kau ini seperti bukan perempuan," Rangiku mengeluh, "Kita ini perlu menjaga kecantikan. Kalau tidak, bagaimana kita bisa mendapatkan pacar? Bukankah masa muda harus dimanfaatkan dengan baik?" mata perempuan itu berbinar saat ia mengucapkan semua kata-katanya.

"Hah?" Tatsuki tampak terkesiap. Rangiku mengangguk cepat sambil beberapa kali mengerjap. Orihime meringis kecil.

"Ya,ya,ya, terserah kau sajalah," Tatsuki akhirnya menyerah. Padahal sebenarnya ia masih tak bisa mengerti, mengapa teman barunya ini bisa…euh…genit? Ayolah, mereka baru 16 tahun. Bukan saatnya memikirkan perawatan kecantikan yang berlebihan. Setahu Tatsuki, hanya ibunya―yang berusia di atas 35 tahun―yang meminum pil seperti itu demi meminimalisir kerutan di wajah.

(A/N : Woyyy, kenapa jadi melenceng ke perawatan-perawatan segala? Melenceng parah! Ayo balik ke plot!)

Rangiku belum sempat menyahuti Tatsuki ketika bel tanda masuk berbunyi. Tanpa berlama-lama, seorang sensei perempuan masuk ke kelas dengan langkah cepat. Secepat ia mengambil keputusan saat telah berada di depan kelas, menatap seluruh muridnya yang masih sibuk mempersiapkan diri menyambut pelajaran.

"Baiklah, semuanya. Silahkan masukkan semua buku ke dalam kelas. Hanya ada alat tulis dan kertas jawaban di atas meja. Kita akan mulai tes hari ini sekarang juga."

Dan tanpa berlama-lama juga, keluhan pun langsung terdengar dari seluruh penjuru kelas.

Orihime menghela nafas lega. Akhirnya, semua soal tes bisa ia kerjakan dengan cukup baik. Beruntung juga dia sempat belajar bersama dengan Tatsuki tadi malam. Yah, berakibat tidur sedikit larut tak mengapa, yang penting nilainya tidak buruk.

Pelan, Orihime menyapukan pandangan ke seluruh kelas. Ia tersenyum-senyum sendiri melihat ekspresi teman-teman sekelasnya selepas tes 'maut' itu. Mizuhiro sibuk dengan ponsel, sementara disebelahnya Keigo tengah meratap. Renji sedang mengacak-acak rambut merahnya seperti orang frustasi. Sado hanya diam sambil menepuk-nepuk pundak si rambut merah itu, dan Ishida menyeringai kecil ke arahnya. Lalu juga ada Rangiku yang justru sibuk mematut diri di depan cermin, sedangkan Toushiro langsung membuka buku Fisika.

(A/N : ASTAGA, shiro-cahn? Jenius amat dirimu?)

Senyuman manis Orihime langsung pudar saat ia menatap ke arah meja kosong di sampingnya. Meja itu dulu diisi oleh orang yang sampai sekarang masih mengisi hatinya. Tapi tiga bulan yang lalu, melalui sebuah kecelakaan, orang itu pergi. Tak hanya meninggalkannya, tapi juga meninggalkan dunia ini.

"Kau masih mengingatnya, Hime-chan?"

Orihime tersentak. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menatap Tatsuki yang telah duduk di sebelah pemilik mata abu-abu itu.

"Ah, Tatsuki-chan, sejak kapan kamu disitu?" tanya Orihime, berusaha seceria mungkin.

Tatsuki menatap sahabatnya dengan pandangan mencecar yang lembut. Gadis tomboy itu menghela nafas pelan. Dia tau pasti semua tingkah polah Orihime. Mereka sudah berteman sejak kecil. Karena itulah Tatsuki tahu pasti seberapa sedih gadis berambut senja itu ketika kakak yang amat ia sayangi meninggal dunia dalam kecelakaan. Termasuk saat orang yang berhasil merebut hati Orihime juga pergi dengan cara yang sama.

"Jangan begitu, Orihime," ujarnya. "Ekspresikan saja apa yang sedang kau rasakan. Jika kau ingin menangis, maka menangis saja. Tak akan ada yang menyalahkanmu."

"Ahahaha, kamu itu bicara apa, Tatsuki-chan? Kurosaki-kun pasti akan marah jika aku menangisinya, bukan?" suara Orihime melemah. Ekspresi di wajahnya berubah lebih sendu,"Karena itu―aku tidak akan menangisinya."

Tatsuki tak menjawab. Dia tak ingin memaksa sahabatnya yang memiliki hati selembut pualam ini. Sebab itulah ia tak berkata apa-apa, hanya berdiri dan menggenggam bahu Orihime lembut. Memberi semangat.

Orihime kembali mengulas senyum tipis di bibirnya. Ia melemparkan tatapannya ke luar jendela, berusaha menatap langit yang terhalang rimbunnya daun pohon yang tumbuh tepat di samping kelasnya.

"Sudah tiga bulan sejak kau pergi… Dan aku tetap merindukanmu, Kurosaki-kun…"

Suara lirih Orihime tak bisa di dengar siapa pun selain dirinya sendiri. Ia hampir meneteskan air mata kalau saja permata kelabunya tidak menangkap sesuatu di salah satu cabang pohon. Tersembunyi di antara lebatnya dedaunan.

Orihime mendekatkan wajahnya ke jendela, berusaha mendapatkan akses penglihatan yang lebih jelas. Matanya menyipit, sepasang alisnya bertaut. Gadis manis itu tampak heran.

Hei, yang sedang hinggap di cabang dahan pohon itu kelelawar, kan? Aneh! Siang hari seperti ini, binatang malam seperti kelelawar seharusnya tidur di tempat-tempat gelap, kan?

Cukup lama Orihime tersedot oleh fenomena langka yang sedang disaksikannya. Matanya terus memperhatikan binatang kecil berwarna hitam tersebut. Hingga kemudian kelelawar itu menelengkan kepala―seperti menoleh―dan menatapnya.

Orihime tersentak. Bukan hanya karena gerakan binatang malam itu yang mengagetkan, tapi juga tatapan kelelawar itu. Dipandangi oleh mata kuning yang tajam, Orihime seperti membeku. Tatapan itu… lebih terasa sebagai tatapan manusia.

Oh, tidak mungkin! Ini tidak mungkin!

"Ah, aku sedang berkhayal," Orihime menepuk kening beberapa kali seraya memejamkan mata. Dan saat ia membuka matanya kembali, ternyata kelelawar tadi sudah tidak ada.

"Hahaha, ternyata aku memang berkhayal," bisik Orihime kemudian. Tak ingin lagi memikirkan yang lebih parah dari ini, Orihime segera memusatkan perhatian pada sensei pengganti yang telah memasuki kelas.


"Apa? Bagaimana mungkin? Apa maksudnya dengan hilang?"

Seorang perempuan berhaori putih tampak kaget dengan berita yang di bawa oleh salah satu rekannya. Pria berambut hitam panjang itu hanya memejamkan mata, bersikap elegan. Dia membawa pedang di balik haori putih yang melapisi kimono hitamnya. Ramput pria itu berhias oleh semacam jepit khusus bernama kenseikan. Dia juga memakai fingerless gloves di kedua telapak tangannya.

"Begitulah kabar terakhir yang kudengar. Jika kau tidak percaya, bisa mengeceknya sendiri."

Usai mengucapkan dua kalimat itu, pria tampan bertubuh tegap itu berbalik pergi. Menyisakan si perempuan berkepang tertegun dengan semua pemikirannya.

Tidak mungkin. Bagaimana bisa reiatsu mereka lenyap? Secara tiba-tiba? Padahal pertahanan kota Karakura telah ditingkatkan. Kenapa masih juga bisa tersusupi?

Seekor kupu-kupu berwarna hitam melintas. Perempuan berambut biru tua itu membiarkan kupu-kupu itu hinggap di jarinya. Dengan seksama ia dengarkan pesan yang dibawa binatang special itu. Dalam hati ia mencibir.

Bagus sekali, sekarang Soutaichou sudah tahu tentang kabar itu. Apa-apaan ini? Mana mungkin pasukan pertahanan semacam Gotei 13 bisa dikelabui oleh musuh? Terlebih dalam keadaan genting seperti saat ini.

Dengan sambil menggeram kecil, perempuan lincah itu pun meninggalkan tempatnya. Rapat yang panjang telah menantinya.

Tiga sosok berpakaian putih itu kembali berdiri di udara. Kota Karakura tampak meriah oleh gemerlap lampu yang menerangi tiap sudut. Malam telah kembali menggantikan sian. Dan kekuasaan langit telah dipegang kembali oleh bulan sabit.

"Seharian ini aku berkeliling kota Karakura, tapi tidak juga menemukannya. Bagaimana dengan pencarian kalian?" Syazel bertanya pada kedua rekannya, membuka pembicaraan. Dia tidak suka keheningan.

"Cih, aku tidak menemukan apa pun. Di mana shinigami-shinigami sial itu menyembunyikannya? Merepotkan!" umpatan seperti itu adalah hal yang biasa meluncur dari mulut Grimmjow.

"Kau, Ulquiorra?" Szayel menatap sosok di sebelah Grimmjow.

Ulquiorra memejamkan mata sejenak. Tangannya―seperti biasa―tenggelam di saku hakama. Ia mengabaikan pertanyaan Szayel dengan berkata,

"Malam ini kita harus mendapatkan informasi penting. Aizen-sama tidak akan senang jika kita kembali tanpa membawa hasil."

Ulquiorra sudah bersiap pergi ketika Szayel kembali bersuara.

"Eh? Kau tidak lelah, Ulquiorra? Tidak ingin mencari makan? Mencicipi manusia lumayan menyenangkan juga lho,"

"Tidak,"

Mendengar jawaban singkat Ulquiorra, Grimmjow menyeringai, "Eh? Benarkah? Matamu bilang, kau lapar, Kelelawar!" ejeknya.

"Jangan bersikap sok tahu. Itu hanya akan mempertegas kebodohanmu, Sexta!" balas Ulquiorra dingin.

"Hei, berani sekali kau membawa peringkat? Kau pikir dengan menjadi Cuatro kau lebih baik dariku? Ha, kau saja tidak bisa menyembunyikan kelaparanmu itu. Jangan munafik!"

"Jam makanku bukan urusanmu."

"Sial! Kubunuh kau," Grimmjow telah mengangkat sebelah tangannya, sementara Ulquiorra tetap bersikap acuh. Tak ingin situasi di antara kedua rekannya ini memburuk, Szayel pun menengahi.

"Sudahlah, kalian! Berhenti bertengkar. Ini memalukan," pemilik rambut berwarna pink cerah itu menatap Grimmjow yang tampak kesal, "Dan kau Grimmjow, kendalikan reiatsumu. Kita bisa ketahuan."

"Akan kuhabisi semua shinigami keparat itu, kau tahu? Aku tidak takut pada mereka!" cetus Grimmjow. Tanpa berlama-lama, ia segera berubah menjadi wujud binatang berwarna putih dan menghilang di antara rimbunan semak.

Szayel menghembuskan nafas pelan. Belum sempat ia berbicara, suara Ulquiorra terdengar.

"Aku bergerak,"

Dan saat Szayel menoleh, sosok berambut hitam itu telah lenyap. Untuk kedua kalinya ia harus menghela nafas. Persis seperti malam kemarin, ia kembali ditinggalkan.


"Haaahhhh… donatnya enak sekali Tatsuki-chan. Hontou ni arigatou,"

Tatsuki tersenyum melihat Orihime tersenyum lebar. Sudah lama sekali―mungkin sejak tiga bulan yang lalu―ia tak lagi melihat senyuman setulus ini dari sahabatnya itu.

"Sama-sama, Orihime. Aku senang kau menyukainya," sahut Tatsuki.

Orihime tersenyum lagi. Mereka melintasi jalan yang cukup sepi lantaran hari sudah cukup malam. Setibanya di sebuah tikungan, Orihime menatap Tatsuki dengan segenap senyum yang ia miliki. Ia tak ingin sahabatnya itu khawatir.

"Nee, Tasuki-chan, sekali lagi terima kasih. Kapan-kapan aku yang akan mentraktirmu makan di toko donat itu lagi,"

Tatsuki mengangguk," Ya, aku tunggu undanganmu. Hati-hati, Orihime," pesannya mewanti-wanti.

"Hum!" Orihime mengangguk mantap. Kedua remaja itu pun berpisah. Tatsuki bebelok ke kanan, dan Orihime memilih jalan lurus.

Detik berikutnya gadis berambut senja itu telah melangkah sendirian. Apartemen mungil tempat tinggalnya sudah tak jauh lagi, hanya tinggal melewati taman saja dan ia akan sampai. Sambil sesekali bersenandung kecil, Orihime terus berjalan. Pikirannya masih melayang pada sensasi rasa unik dari donat yang baru saja dinikmatinya bersama Tatsuki.

"Mungkin ada baiknya aku mengajak Rangiku-san, Hitsugaya-kun, dan Abarai-kun juga besok. Ah, tidak lupa mengajak Ishida-kun dan Sado-kun. Pasti menyenangkan sekali."

Orihime tampak senang. Namun ekspresi itu tidak bertahan lama saat sebuah pemikiran menyadarkannya.

"Seandainya saja… Kurosaki-kun masih ada…"

Jeritan seorang perempuan mengalihkan pemikiran Orihime. Gadis manis itu tersentak dan menoleh ke kanan dan ke kiri. Saking asyiknya berpikir, ia sampai tidak sadar bahwa sekarang ini ia tengah melintasi taman. Jika siang, taman ini memang menjadi tempat yang cocok untuk bersantai. Namun saat ini, kegelapan telah membuat taman ini menjadi lebih menyeramkan.

Suara jeritan kedua kembali terdengar. Kali ini lebih lemah. Orihime yakin suara itu berasal dari dalam taman. Sejenak ia ragu untuk bertindak. Satu sisi dirinya menyuruhnya untuk cepat berlari pulang. Dan sisi dirinya yang satu lagi mendesaknya untuk menolong siapa pun yang menjerit. Apalagi suara itu milik seorang perempuan.

Angin berdesir perlahan. Orihime masih terpaku. Sepasang mata kelabunya tampak gamang memilih. Ia pun menempuh keputusan yang cukup berani. Dengan meneguhkan hati, gadis manis itu pun berlari. Ia membawa langkahnya menuju ke dalam taman.

Deretan pepohonan cukup menciutkan nyali. Tapi Orihime terus berlari. Sesekali permata kelabunya berusaha menemukan pemilik jeritan itu. Mata indah ang dinaungi bulu mata lentik itu terus mencari. Hingga kemudian ia mendapati sebuah tas tangan seorang wanita tergeletak di tanah. Orihime memungutnya.

"Ini pasti tas orang yang menjerit. Tapi di mana dia?"

Keraguan Orhime kini telah berganti dengan rasa penasaran. Tak butuh waktu lama sampai ia menemukan pemilim tas itu. Dia berada di balik sebatang pohon besar bersama dengan sesosok… makhluk… bertaring?

Orihime terbelalak. Tanpa sadar ia menjatuhkan tas yang tadi dipegangnya. Tangan gadis itu membekap mulutnya sendiri agar ia tidak menjerit. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi. Ia hanya ingin sosok berpakaian putih itu tidak menyadari kehadirannya.

Sayang, harapan itu tidak terwujud.

Sosok itu menoleh. Mata emerald-nya bersinar di tengah gelap malam. Sepasang taringnya baru saja kembali ke bentuk semula. Makhluk itu kini menatap Orihime dengan tatapan tajam dan dingin.

Orihime terpaku. Seluruh tubuhnya membeku. Ia tak bisa bergerak, termasuk ketika makhluk berkulit pucat―dengan sesuatu yang aneh di kepalanya―itu melepaskan korbannya. Tubuh wanita itu pun terjatuh ke tanah.

"Rupanya kau bisa melihatku, Onna," suara datar sosok itu terdengar. Orihime bisa merasakan ketakutan menjalari seluruh tubuhnya saat makhluk itu menuju ke arahnya.

Siapa orang ini? Kenapa dia memiliki taring? Kenapa dia membunuh? Setan? Vampir? Atau… iblis?

"Cukup menarik,"

Sosok itu kini berada tepat di depan Orihime. Tatapan tajamnya terus menghujam gadis manis yang masih terpaku diam tanpa ampu. Satu tangannya meraih tubuh semampai Orihime dan menariknya mendekat.

Benak Orihime menjerit panik, tapi ia tetap tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa gemetar. Tak adakah yang bisa menolongnya? Apa dia akan mati malam ini?


Jemari yang dingin menyibak rambut panjang Orihime. Makhluk itu menurunkan kepala, mempososikan wajah di leher Orihime yang terekspos. Belum sempat ia menandaskan niatnya, sebuah suara terdengar.

"...Sakkaho!"

Sebuah bola api merah meluncur bersamaan dengan puluhan anak panah. Serangan dadakan yang bertubi-tubi berhasil membuat sososk berpakaian putih itu terpukul mundur. Dia melepaskan Orihime yang langsung terkulai lemah. Namun sebelum tubuh itu menghantam tanah, seorang pemuda berkaca mata menahannya. Orihime yang masih memiliki kesadaran mengenali orang yang telah menolongnya.

"I-ishida-kun?"

Ishida hanya tersenyum kecil.

Orihime mengalihkan pandangannya. Saat itulah ia sadar bahwa ia tidak sendirian. Ada Rangiku, Toushiro, Renji, dan Sado di sana. Mereka berdiri melindunginya. Tapi…

Tunggu! Kenapa Rangiku, Toushiro, dan Renji memakai kimono hitam? Bahkan Toushiro memakai sebuah rompi berwarna putih di atas kimononya. Dan lagi mereka membawa pedang? Ada apa ini? Apa yang terjadi sebenarnya?

"Tidak ada waktu untuk menjelaskan, Inoue-san," ujar Ishida, sepert9 bisa membaca pikiran Orihime. Ia kembali menatap lurus. Tangan kanannya terulur dan sebuah busur bercahaya muncul di tangan pemuda itu. Orihime terperangah.

Toushiro menatap sekilas ke arah sesosok tubuh yang terkapar di tanah. Tangan pemuda bertubuh pendek itu mengepal. Malam ini jatuh korban lagi.

"Katakan, siapa kau, Arrancar?" desis Toushiro. Terasa kemarahan dalam kata-katanya.

Perhatian Orihime teralihkan pada sosok berpakaian putih yang terkepung itu. Makhluk itu menurunkan resleting baju putihnya, hanya sebatas di bawah leher, sambil menjawab pertanyaan Toushiro dengan nada datar.

"Cuatro Espada, Ulquiorra Schiffer,"

Eh? Espada? Orihime mengerutkan kening. Jadi namanya Ulquiorra…

Toushiro mengangkat pedang di tangannya," Kapten Divisi kesepuluh, Hitsugaya Toushiro."

"Aku tahu," sahut Ulquiorra, "Aku sudah mengenal kalian, pasukan dari Gotei 13,"

"Kalu begitu, katakan apa tujuanmu?"

"Pertanyaan bodoh," Ulquiorra mengangkat tangan kanannya. Sebuah sinar berwarna kehijauan muncul di ujung jari telunjuknya.

Sadar akan bahaya yang mengintai, Toushiro, Sado dan Renji segera menghindar. Rangiku sendiri membawa Orihime ber-shunpo. Ishida berusaha menembaki Ulquiorra dengan panahnya, tapi hanya mengenai udara kosong. Dengan mudah Ulquiorra bisa menghindar.

"Panah Quincy lemah―hanya sampah,"ucapnya seraya kembali menembakkan cero bertubi-tubi. Sasarannya adalah Rangiku yang terus berpindah bersama Orihime. Sesekali ia menembaki Renji dan Sado serta Ishida dengan bola-bola merah bernama bala. Cara itu cukup efektif dalam menjauhkan ketiga pengganggu itu.

Shinigami perempuan itu lemah. Tapi kapten divisi kesepuluh cukup tangguh. Reiatsunya cukup kuat, sambil bertarung Ulquiorra menganalisis. Ia semakin memperkuat intensitas cero-nya dan melancarkan serangan gencar. Dia melompat ke udara, mengejar Rangiku.

Rangiku terdesak. Orihime bahkan sudah pingsan lantaran tak bisa menahan gejolak reiatsu mereka, ditambah arrancar itu. Sebuah cero kuat meluncur cepat ke arahnya. Rangiku tersentak.

"Unare, Haine―"

Namun sebelum cahaya itu melukainya, seorang pemuda berambut putih telah mematahkan serangan Ulquiorra. Ia berusaha melindungi bawahannya dengan menangkis kilatan cahaya merah menggunakan pedang.

"Menghindar, Matsumoto!" perintah Toushiro.

"Tapi, Taichou―"

"Ini perintah!" tegas Toushiro lagi.

Jika sudah menyertakan kata 'perintah', Rangiku hanya mengangguk. Ia bersiap ber-shunpo lagi ketika gerakannya terkunci oleh kehadiran pihak lain. Rangiku tersentak.

Seorang laki-laki berambut biru dan bermata sapphire. Dia menyeringai dengan pedang yang telah terhunus.

"Mau kemana, Shinigami?"

Belum sempat Rangiku mengelak, sebuah tendangan kuat menghantam perutnya. Wanita berambut blonde itu pun terpental. Tubuh Orihime terlempar. Beruntung Ishida yang berhasil menakhlukkan cero Ulquiorra berhasil menangkap tubuh itu untuk kedua kalinya sebelum membentur tanah.

"Matsumoto!" Toushiro berteriak.

"Jangan lengah saat bertarung," Ulquiorra ber-sonido ke belakang Toushiro. Telunjuknya telah terisi cero hijau,"Itu sangat tidak bijaksana bagi seorang kapten sepertimu."

Pancaran sinar hijau kembali menyorot di antara gelap malam. Di detik terakhir sebelum Ulquiorra menembakkan ceronya, Toushiro sempat menghindar. Jika tidak, kepala dan tubuhnya pasti telah dipisahkan oleh cero itu.

Pemuda berambut putih itu berdiri dengan nafas yang terengah. Ternyata, Espada dan Arrancar berbeda level. Saat melawan Ggio Vega kemarin, Toushiro tidak merasa selelah ini. Tapi sekarang, tenaganya seperti terkuras habis.

"Hee, sudah sampai batas, shinigami?" ejek Grimmjow dengan angkuh, "Aku baru saja mau ikut main-main. Kenapa malah sudah selesai?"

Toushiro tak menjawab. Ia bisa merasakan reiatsu Renji dan Sado yang sedang berhadapan dengan seorang arrancar lain. Sial, sebenarnya ada berapa arrancar yang berhasil menyusup masuk ke kota ini?

"Jangan lengah, Shinigami!" Grimmjow melancarkan tendangan yang disertai tebasan pedang. Toushiro mengelak. Pipinya sempat terkena pukulan. Tapi saat arrancar berambut biru itu mengayunkan pedang, ia telah menahahannya dengan zenpakutou miliknya.

"Hmm, kau cukup menarik," desis Grimmjow merasa terhibur.

"Diam!" sengat Toushiro. Reiatsunya yang meningkat tajam membuat Grimmjow mundur. Kapten divisi kesepuluh dalam jajaran Gotei 13 itu tak bisa lengah. Ia tahu Ulquiorra masih mengincar seseorang.

Mustahil. Jangan-jangan, dia sudah tahu?

"Aku tak punya waktu untuk bermain-main," tegas Toushiro.

Grimmjow berseringai. Ia memutar-mutar pedang di tangannya dan menanti tindakan apa yang akan dilakukan shinigami itu. Senyumnya melebar saat ia mendengar Toushiro mengucapkan mantera perobek segel zenpakuto-nya.

"Souten ni saze, Hyorinmaru…"

Grimmjow tertawa keras. Pertarungan ini akan menarik.


Sementara itu, Ulquiorra tak berminat dengan pertarungan yang tengah berlangsung di udara. Kapten divisi kesepuluh itu sudah ada yang menangani. Espada keempat itu pun menghampiri Ishida yang masih memeluk Orihime. Quincy berkaca mata itu tampak kesulitan menahan tubuh Orihime dengan tangannya yang terluka.

"Berikan padaku," ujar Ulquiorra memerintah. Ia telah berdiri di depan Ishida. Mata hijaunya terus melekat di wajah cantik yang tak sadarkan diri.

"Tidak!" tegas Ishida. Ia menggenggam busur panahnya erat-erat dan mengarahkan pada Ulquiorra. Ia tak tau sejauh mana ia mampu bertahan. Yang jelas, ia tak akan menyerahkan Orihime dengan mudah.

"Kalau begitu, akan kuambil dengan paksa," lanjut Ulquiorra dingin. Telunjuknya kembali bersinar. Terarah pada Ishida yang terbelalak.

"Cero!"

Namun sebelum cahaya hijau itu menghantam sasaran, cero Ulquiorra ditepiskan oleh serangan lain. Samar-samar ia bisa mendengar suara seseorang meneriakkan dua kata. Dengan gerakan perlahan, Ulquiorra menoleh. Saat itulah ia sadar bahwa dirinya telah kembali diserang.

"Getsuga―"

Sebuah cahaya putih dengan reiatsu besar hampir setingkat kapten membentuk sebuah serangan yang cukup kuat.

"―Tenshou!"

Ledakan besar terdengar. Butiran abu beterbangan di udara.

.

.

#TBC#


Nah, sampai di sini dulu chapter satu. Aiyaiya, ini pasti masih banyak kurangnya. Typo, EYD, battle yang nggak seru, dan masih banyak hal lain yang perlu diperbaiki. Kuucapkan terima kasih untuk semua yang sudah menyempatkan diri untuk membaca fic aneh ini. Hontou ni arigatou…

So, bagaimana readers? Haruskah aku lanjutkan atau kuhapus saja? Mohon pendapatnya…*nunduk dalem2*

Nee, mind to ripyu?^^