۞۩ ۩۞۩ ۩۞۩ ۩ AriKyu_ Presents ۩ ۩۞۩ ۩۞۩ ۩۞

Personable Persona Non Grata

Si Tampan yang Tidak Disukai

Laki-laki berjas hitam keluar dari mobil mewah yang ia kendarai. Melangkah tegas menuju bangunan yang menjadi tujuannya semenjak ia keluar dari kantornya. Membuka kancing jasnya kemudian mendorong pintu kaca membuat bel diatas pintu bangunan itu bersuara. Segera menuju bagian pemesanan untuk memesan apa yang ia inginkan untuk meringankan beban dikepalanya.

Segelas Espresso hangat.

Laki-laki itu tersenyum tipis ketika karyawan kedai itu melemparkan senyum menggodanya. Sudah terbiasa dengan hal semacam itu. Tak berapa lama pesanannya datang dan ia segera mengeluarkan dompetnya untuk membayar.

Setelahnya ia bergegas keluar dari kedai dan kembali menuju mobilnya. Tepat sebelum ia membuka pintu mobilnya, ia melihat beberapa berandalan mengganggu seorang pemuda di gang di seberang jalan. Laki-laki itu mengamati pemuda yang tampaknya tidak membalas ketika seorang dari mereka memukulnya berulang kali.

'Bodoh.'

Menghela nafas sejenak kemudian meletakkan kopinya di atap mobilnya. Berlari menuju gerombolan itu ketika jalanan sepi. Ia bisa melihat salah seorang dari berandalan itu mengeluarkan pisau dari balik jaketnya dan menodong pemuda dihadapannya.

"Jika aku jadi kau, aku tidak akan melakukan hal bodoh dengan pisau itu." Ucap laki-laki berjas itu dengan santai. Ia tahu dengan keahliannya, dia bisa menjatuhkan berandalan itu dengan mudah. Laki-laki berjas itu menatap pemuda yang menundukkan kepalanya.

Salah seorang dari berandalan itu tertawa meremehkan, "Kau ingin membela gay seperti dia?"

Laki-laki itu mengerutkan dahinya. Masalah orientasi rupanya. Dia benci topik ini. "Bukankah masalah seperti itu adalah masalah pribadi seseorang? Kau tidak bisa menghakimi mereka karena pilihan mereka berbeda."

Berandalan yang lain ikut tertawa, "Jadi kau sama saja dengannya? Cih! Hina sekali keberadaan kalian di dunia ini. Lebih baik kalian pergi ke neraka sekarang juga!"

Laki-laki berjas itu menghela nafasnya. Perkataan berandalan itu cukup membuat hatinya panas. Menatap kedua berandalan itu dengan tajam, "Jika sekali lagi kau mengatakan hal yang tidak menyenangkan, pisau itu akan berakhir di lehermu."

Berandalan yang memegang pisau itu mengayunkan pisaunya menuju laki-laki berjas itu yang dengan sigap ia hindari. Menarik pergelangan tangan berandal itu dan memutar tubuhnya. Menyikut perut berandal itu dengan keras kemudian ia kembali berputar. Mengarahkan tangan berandal itu mengitari lehernya sendiri. Berandal itu mengumpat.

Berandal lain mencoba membantu kawannya namun aksinya terhenti ketika laki-laki berjas itu menarik pisau itu mendekt ke leher berandal kawannya.

"Jika kalian tidak pergi dari sini aku akan menghubungi polisi sekarang juga." Laki-laki berjas itu mengeluarkan ponselnya. Menandakan ia tidak sedang main-main.

Kedua berandal itu segera berlari menjauh ketika laki-laki berjas itu melepaskan tubuhnya.

"Te-terima kasih telah menolongku." Ucap pemuda disampingnya yang semakin menundukkan kepalanya. Suaranya terdengar pecah. Menangis.

Laki-laki berjas itu menghela nafasnya, "Tidak masalah. Kau baik-baik saja?"

Pemuda itu mengangguk. "Ak-aku harus pergi sekarang. Sekali lagi terima kasih."

Pemuda itu tidak tampak memerhatikan keadaan sekitarnya karena pemuda itu mulai berjalan ke arah berandalan itu pergi. Laki-laki berjas itu menarik lengan pemuda itu membuat pemuda itu tersentak. Ia segera melepaskan tangannya.

"Maafkan aku… Tapi kau pergi ke arah yang salah. Berandal itu juga pergi kesana."

Pemuda itu akhirnya mendongakkan kepalanya sedikit untuk melihat sekitarnya. Laki-laki berjas itu terdiam mengamati wajah pemuda itu. Mata pemuda itu menatapnya.

Laki-laki berjas itu segera mengalihkan pandangannya dan terkejut mendapati bibir pemuda itu mengeluarkan darah dan ujung bibirnya membiru.

"Bibirmu berdarah. Kau butuh sesuatu untuk mengobati lukamu."

Pemuda itu kembali menunduk dan berusaha menjauh ketika laki-laki berjas itu mengulurkan sebuah sapu tangan. Ada yang salah dengan pemuda dihadapannya ini.

"Kenapa kau tampak begitu takut padaku. Bukankah aku telah menolongmu?"

Pemuda dihadapannya menggeleng keras, "Maafkan aku. Aku harus pergi. Aku tidak ingin semua orang membencimu."

Laki-laki berjas itu kembali menarik lengan pemuda itu ketika pemuda itu ingin pergi, "Hei… Orang tidak akan membenciku karenamu. Dimana rumahmu? Aku bisa mengantarmu pulang."

Pemuda itu menundukkan kepalanya dan menggeleng lagi. Kali ini lebih pelan. "Mereka akan membencimu karena menolong orang sepertiku."

Laki-laki berjas itu mengamati tangan pemuda itu yang tersingkap dari kaus panjangnya. Menatap tidak percaya pada luka lebam disekujur lengan itu. Pemuda ini benar-benar bermasalah.

"Kau butuh ke rumah sakit sekarang. Luka-luka ditubuhmu ini harus diperiksa. Kau mempunyai keluarga untuk dihubungi?"

Pemuda itu menarik lengannya, "Ak-aku tidak memiliki keluarga atau siapapun. Aku baik-baik saja. Aku benar-benar harus pergi sebelum orang-orang melihatmu."

Laki-laki berjas itu tidak begitu saja menyerah. Pemuda dihadapannya ini membutuhkan bantuannya. "Baiklah. Biarkan aku mengantarmu pulang."

Pemuda itu kembali menggeleng, "Aku ti-tidak memiliki rumah. Orang-orang itu mengusirku. Mereka tidak menginginkanku disana."

Laki-laki berjas itu mengerutkan dahinya. "Maksudmu berandalan tadi?"

Pemuda itu mengangguk pelan. "Aku tidak bisa kembali kesana. Mereka memberi harga yang begitu mahal untukku. Mereka juga membawa kabur uangku."

Laki-laki berjas itu mengamati sebuah koper dibelakang tubuh pemuda itu dan dua buah tas. "Apakah itu barang-barangmu?"

Pemuda itu menggangguk lagi. Semakin menundukkan kepalanya ketika dirinya kembali menangis.

Laki-laki berjas itu muncul dengan sebuah ide gila dikepalanya.

"Kau bisa tinggal di rumahku untuk beberapa waktu."

Pemuda dihadapannya segera mendongakkan kepalanya. Matanya tepat menatap mata laki-laki berjas dihadapannya. Laki-laki berjas dihadapannya menahan nafasnya beberapa saat ketika mata itu menatapnya.

"Tidak. Tidak. Aku harus pergi sekarang. Semua orang bisa membencimu. Aku harus pergi."

Laki-laki berjas itu segera mengambil tas pemuda itu dari genggamannya. Pemuda itu menatap tidak percaya pada laki-laki dihadapannya.

"Ap-apa yang kau lakukan?" Pemuda itu menatap sekelilingnya. Memastikan tidak ada orang yang mengawasi mereka.

Laki-laki berjas itu menghela nafasnya kemudian menarik tas pemuda itu yang berusaha direbut darinya. "Namaku Choi Siwon. Dan aku berusaha menolongmu. Sekarang ikut denganku atau aku akan memanggil berandalan itu lagi."

Pemuda itu membulatkan matanya dan menggeleng keras. "Ja-jangan! Mereka bisa membunuhku. Aku mohon…"

Laki-laki berjas itu, Siwon, tersenyum tipis. "Kalau begitu ikut aku. Aku bisa menolongmu."

"Tap-tapi orang—"

"Berhentilah mengkhawatirkan orang-orang! Lihatlah keadaanmu! Kau membutuhkan bantuan. Maafkan aku, tapi keluargaku tidak mendidikku untuk menjadi orang kejam yang akan membiarkan orang lain menderita jika aku bisa membantunya."

Pemuda itu kembali menunduk, "Aku baik-baik saja."

Siwon mengusap wajahnya, "Kau takut padaku?"

Pemuda itu menggeleng.

"Kalau begitu biarkan aku menolongmu. Setidaknya biarkan aku membawamu ke rumah sakit jika kau tidak ingin tinggal di rumahku."

"Aku tidak bisa ke rumah sakit. Aku membenci tempat itu."

"Kalau begitu kita pergi ke rumahku. Aku bisa merawat luka-lukamu."

Pemuda dihadapan Siwon sudah akan mengatakan protesnya ketika Siwon mendahuluinya. "Kau ingin aku membawakan semua tasmu?"

Pemuda itu menggeleng, "Ak-aku bisa membawanya."

Dan Siwon tahu ia telah memenangkan argumen itu.

Keduanya berjalan menuju mobil Siwon di seberang jalan. Siwon memasukkan barang-barang pemuda itu dalam bagasi mobilnya. Berjalan menuju sisi pengemudi ketika mendapati kopinya tidak lagi hangat. Siwon menghela nafas kemudian membuang kopi itu ke dalam tempat sampah.

Siwon menurunkan jendela mobilnya ketika pemuda itu tidak segera menaiki mobilnya.

"Masuklah!" perintah Siwon pelan. Pemuda itu dengan ragu memasuki mobil Siwon.

Siwon tersenyum menatap pemuda disampingnya. "Aku belum mendapatkan namamu."

Pemuda itu menatap Siwon ragu dan menggigit bibir bawahnya. "Ch-Cho Kyuhyun."

Siwon menggangguk dan menyalakan mesin mobilnya, "Cho Kyuhyun… Baiklah."

"Tu-tuan…"

Siwon menoleh ke arah pemuda itu. Itu pertama kalinya pemuda itu memanggilnya.

"Ya? Dan Siwon. Panggil aku Siwon!"

Pemuda itu mengangguk pelan dan tersenyum tipis, "Te-terima kasih, Si-Siwon-ssi."

Yang Siwon pedulikan saat itu hanyalah bagaimana kurva bibir itu terbentuk dan namanya mengalun dari bibir pemuda itu.

Siwon tidak pernah tahu namanya bisa menjadi begitu indah ketika seseorang memanggilnya.

Siwon membalas senyuman pemuda itu membuat pemuda itu segera menunduk, "Tidak masalah, Kyuhyun."

Dan Siwon juga tidak tahu bahwa nama seseorang bisa terdengar begitu indah mengalun dari bibirnya.

.

.

.

.

.

To be continued.

*Note

Okay fine! This is just the spoiler!

Jadi selama liburan semester ini aku berencana untuk menulis dan menulis haha…

Abal banget gasih ceritaku yg ini? Hahaha…

Jadi bagaimana menurut kalian? Lanjutkah? Well, ratednya aku langsung jadikan M saja ya? You guys know me, right? Teheee~ Tapi harap sabar untuk adegan yg ada rated M-nya ._.v

Btw cuma kasi tau aja ini aku bikin dalam dua jam dan langsung publish jadi maaf kalo typo dimana-mana dan feelnya ga dapet T^T

Give me your comment and show me some supports (: