Park Chanyeol X Oh Sehun
GS!
.
Sehun memiliki agenda rutin ke Daegu setiap Jumat pagi. Jika kebanyakan ibu rumah tangga dengan penghasilan suami yang berada di puncak memilih menghabiskan waktu mereka mengobrol di cafe atau salon, maka Sehun tidak jarang mendapat cicitan protes ketika memilih bernostalgia dengan masa lalunya.
Ia hanya tak ingin melupakan tempat asalnya. Rumahnya ketika tak seorang pun ingin mencoba dekat atau memiliki keinginan pertemanan padanya. Sehun selalu merindukan Daegu. Ingin selalu kembali ke saat ia masih mengayuh pedal sepeda tua miliknya menuju sekolah. Kehidupan yang ia miliki sekarang adalah anugerah dari Daegu.
Perjalan cukup panjang. Salju pertama telah jatuh dua hari lalu. Jalanan yang licin membuat Pak Hwang harus lebih berhati-hati mengendarai sedan hitam mewah tersebut. Sehun memilih mengistirahatkan badannya di jok penumpang. Sesekali terlelap dan tersentak bangun ketika mobil melonjak. Ia tak pernah bisa benar-benar tidur jika di dalam mobil, bahkan dengan kondisi tubuh yang sangat lelah.
"Kita hampir sampai nyonya" Pak Hwang meliriknya dari kaca depan. Sehun mengangguk. Lelahnya menguap bersamaan jalan kecil yang kini di lalui mobil. Gerbang berkarat itu tepat di depan.
"Kau bisa menginap dulu disini. Dan jangan lupa keluarkan semua barang yang sudah kubawa" Sehun berucap pada supir pribadi kepercayaan suaminya itu sebelum melangkah keluar dari mobil. Pak Hwang hanya mengangguk sopan, segan dengan kebaikan hati sang majikan.
"Oh, aku mendengar suara mobil dan langsung berlari kesini. Aku sangat merindukanmu" adalah suara pertama yang menyambut Sehun di depan pintu coklat usang.
"Kau seharusnya tidak berlarian dengan tubuh tuamu ini" meskipun terdengar tidak sopan, nyatanya yang lebih tua tersenyum penuh haru memeluk tubuh langsing wanita didepannya. Ia paham betul bagaimana perangai Sehun.
"Kau sendirian? Aku juga merindukan Samuel. Oh, cucuku yang tampan"
Sehun menggeleng melihat bagaimana Bibi Lilian mengepalkan tangan didada, selalu antusias jika membahas Samuel.
"Dia sudah dewasa sekarang. Pulang kampung tidak lagi masuk dalam daftar favoritnya. Si Park kecil itu suka menyendiri" mereka memasuki dapur yang kini gaduh oleh suara anak-anak.
"Persis seperti ayahnya" Sehun tersenyum menanggapi Bibi Lilian. Ya, Samuel persis seperti ayahnya. Akan aneh jika ia memiliki karakter yang sama dengan Sehun. "Tae Oh! Jangan melempar kacang polong seperti itu!"
Kini semua kepala di meja makan menatap ke ambang pintu. Sehun lagi lagi tersenyum mendapati wajah berbinar mereka. Samuel memang tidak mirip dengannya, wajah polos anak-anak itulah yang selalu mengingatkan Bibi Lilian pada Sehun.
"Sehun Nunna!" Tae Oh menjadi yang pertama melompat dari kursi, berlari dengan kaki-kaki pendeknya menuju Sehun yang kini berjongkok. "Kenapa baru datang? Salju pertama sudah lewat beberapa hari lalu" wajah mencebiknya membuat Sehun gemas.
"Maafkan Nunna. Samuel hyung sangat tidak mau nunna tinggalkan" bohong! Samuel tidak menatapnya sejak satu bulan yang lalu. Sehun menyembunyikan ekspresi bersalahnya dengan senyuman lagi. Ia sudah membohongi anak kecil.
Sehun kagum pada daya ingat Tae Oh. Bulan lalu ia berjanji akan menyaksikan salju pertama bersama-sama di panti. Tapi kesibukannya tidak mengijinkan untuk mengingat hal itu barang sebentar. Orang-orang di rumah pun tak luput membuatnya sakit kepala.
Bibi Lilian membawa panci sup ke tengah meja. Uap yang mengepul memghantarkan aroma lezat pada Sehun.
"Siapa yang lapar?" Bibi Lilian berseru menunggu sahutan antusias anak-anak yang menyenangkan.
"Aku!" Dapur sunyi ketika semua orang menatap pada asal suara yang nyaring. Sehun melebarkan senyum, menampilkan gigi-gigi rapihnya.
Matanya yang tenggelam saat tersenyum masih menggemaskan seperti saat usianya masih enam tahun. Tujuh tahun yang lalu.
.
.
.
.
.
Sehun menjadi yang terakhir menuju permadani mimpinya setelah mengantarkan Bibi Lilian ke kamar. Wanita tua itu mengeluh sakit pinggang setelah menemani Sehun memgobrol di dekat perapian ruang tengah.
Ia tidak benar-benar akan tidur. Ranjang kecil dengan kasur yang sudah tidak terlalu empuk lagi masih sama seperti bertahun-tahun lalu. Meja rias kecil dan kotak musik rusak itu masih pada tempatnya. Bersih. Tidak sebesar kamarnya di Seoul, namun tidak ada yang lebih nyaman dari kamar kecil ini.
Merenung di pinggiran kasur menjadi kebiasaan tak berencana. Hampir setiap kali ia menginap di panti hal itu ia lakukan. Mengingat kembali masa kecil sampai remajanya. Tinggal di panti asuhan sejak usia dua tahun tidak semengerikan dongeng di luar sana. Mereka berbagi, makanan, tempat tidur, mainan, pakaian, namun semua selalu terasa cukup. Sehun kecil memiliki dua gigi kelinci yang lucu dengan rambut di kepang dua, selalu menjadi favorit ibu-ibu di sekolah dasar.
Anak yang tinggal di panti kebanyakan ditinggalkan begitu saja di depan pintu. Padahal Bibi Lilian akan selalu membuka tangan jika para orang tua tak bertanggung jawab itu menyerahkan bayi mereka secara langsung. Dan anak-anak korea itu tidak memiliki marga sampai mereka dewasa. Sehun salah satunya.
Bibi Lilian adalah veteran dari negara hobbit, Selandia Baru. Wanita muda yang menikah dengan pria Turki puluhan tahun silam dan memilih Daegu sebagai tempat tinggal terakhir. Membuka panti asuhan bukanlah keinginan mereka ketika malam itu suara tangis memilukan terdengar dari teras. Bibi Lilian dan Paman Jeff terkejut pun terharu mendapati sosok mungil itu.
Bibi Lilian mandul. Dan Sehun seperti jawaban atas doa-doa mereka selama ini.
Masa remaja Sehun lewati dengan sukacita kenakalan yang selalu membuat nya tertawa jika ingat. Ia adalah sosok periang dan nakal, guru selalu geleng kepala melihat ulahnya. Sehun remaja tidak takut pada apapun. Ia berkelahi dengan murid perempuan dan murid laki-laki. Sepeda tua warisan Paman Jeff yang meninggal saat usia Sehun sepuluh tahun menjadi transportasi utamanya untuk melarikan diri jika kepala sekolah sudah mendidihkam darah diatas kepala.
Jemari yang menunjukkan betapa mahal perawatan yang dikeluarkan itu meraih pigura diatas kepala ranjang kayu. Potret Sehun bersama Bibi Lilian dan Paman Jeff.
"Kami merindukan mu paman" ia usap sosok dalam foto. Menyalurkan kerinduan sosok ayah yang merawatnya sejak kecil. Paman Jeff memiliki pekerjaan dengan posisi yang bagus, hingga gaji dan asuransi miliknya dapat memperbesar rumah kecil mereka serta tidak membebani Bibi Lilian terlalu berat. Uang asuransi Bibi jadikan hektaran kebun sawi yang menopang hidup nya kini.
Bibi Lilian sekarang lebih banyak mengeluh. Usia yang telah lewat setengah abad menjadi faktor sikap menyebalkannya.
Sehun hidup dengan nyaman bersama Bibi Lilian dan adik-adik asuhnya di Daegu-
Sebelum sosok tanpa bantahan itu muncul dan membawanya ke Seoul. Merubahnya dari Sehun dengan dress biru kusam menjadi Park Sehun dengan nilai tak terhingga pada tiap jengkal tubuhnya.
.
.
.
.
.
"Kau belum bangun?"
"Aku merindukanmu"
Sehun menampakkan wajah kesal pada sosok dengan wajah baru bangun tidur yang kini memenuhi layar handphonenya. Meski begitu, Sehun tetap memuji ketampanannya. Definisi ketampanan yang sempurna.
"Kau harus mandi dan makan sarapanmu sebelum-"
"Dia tidak pulang kerumah"
Sehun menghela nafas. Suara burung gereja dan aroma embun di dedaunan tidak lagi menyenangkan. Seharusnya ia mengabaikan video call dari pria bersuara baritone itu dan tetap membantu Bibi Lilian memasak sarapan. Fakta bahwa si penelpon belum bangkit dari kasur dan Samuel yang tidak pulang kerumah membuat moodnya buruk. Ia benci merasa terbebani dengan perasaan ingin cepat pulang.
"Kau sudah menelponnya?" Sehun tau seharusnya ia tidak bertanya, hal yang sudah sering terjadi ini percuma diyakinkan kembali. Moodnya semakin jatuh saat pria itu bergumam tidak jelas, mengangkat bahu acuh seolah yang sedang mereka bicarakan hanya selembar won yang lupa meletakan nya dimana. "Demi Tuhan, dia anakmu!"
"Ini bukan pertama kalinya, Sehun" ia pun tau pria itu merasa terganggu dengan obrolan pagi mereka yang tidak mengenakkan. Wajah itu kini berkerut dengan mata memincing. Definisi tampan yang kedua.
"Tapi tetap saja-" Sehun berhenti untuk menarik nafas. Ia harus menikmati pagi harinya yang dingin menggigit dengan anak-anak nanti. Wajahnya tidak boleh terlihat aneh karena menahan amarah tidak berguna akibat perdebatan yang lebih tidak berguna. "-baiklah, aku akan pulang setelah sarapan"
Pemutusan panggilam sepihak itu dilakukan oleh Sehun. Ia tidak perduli jika mendapat amukan saat tiba di rumah nanti.
Sehun kembali ke dapur setelah memilih menjawab video call tadi di ruang tengah. Bibi Lilian sudah siap dengan mangkuk-mangkuk nasi yang tersusun rapi diatas meja.
"Suamimu menelpon?" Bibi Lilian bertanya saat Sehun membagi sup di dalam panci ke mangkuk yang lain. Ia hanya mengangguk dan bergumam.
"Aku harus pulang setelah sarapan"
"Ada masalah?"
Sehun tersenyum menenangkan Bibi yang khawatir. Ia menangis di dalam hati melihat betapa pedulinya wanita tua itu pada rumah tangganya yang-
"Samuel lupa dimana meletakkan kunci kamarnya" bibi tidak harus tau seperti apa rumah tangganya.
"Lagi?" Pertanyaan itu diangguki dengan kaku. Sehun terkejut bahwasanya ia selalu mengutarakan bualan yang sama. "Cucuku yang malang" dan tersenyum miris kemudian.
Sarapan pagi itu berlalu dengan cepat. Anak-anak libur di hari sabtu sehingga mereka berkumpul disamping mobil dengan wajah murung. Sehun adalah nunna dan eonni kesayangan mereka.
"Aku pulang dulu, bi" bibi Lilian mengangguk. Suara Tae Oh menjadi yang paling kencang menangis. Dia anak yang paling nakal. Namun Sehun maklum. Anak-anak selalu memiliki berbagai cara untuk mencari perhatian.
"Nunna akan mengambil kembali ironman itu jika kau terus menangis Tae Oh" ancaman dan ketegasan Sehun membuat anak berusia tujuh tahun itu bungkam. "Nunna akan kembali lagi secepatnya, oke?" Tae Oh mengangguk dengan sisa airmata.
Pak Hwang membukakan pintu mobil.
"Sampaikan salamku pada Samuel dan Chanyeol"
Sehun mengabaikan ucapan terakhir Bibi Lilian sebelum mobil bergerak dan menjauhi panti asuhan.
Menjauhkannya lagi dari Daegu.
.
.
.
.
.
.
Ada yang minat baca? Ini nggak akan sepanjang see you in autumn. Hanya 3-5 chapter. Atau lebih, tergantung mood :3
