Naruto © Masashi Kishimoto
AU, TYPOS (koreksi saja), DLL
.
Dedicated For Sasuke Uchiha's Birthday.
For You, My Everything!
Semoga selalu diberkati Tuhan. Amin.
.
.
Selamat Ulang Tahun
Chapter I
by : rikananami
.
.
Bunyi serangga musim panas memenuhi pendengaranku. Musim panas ini entah mengapa terasa begitu panas dari sebelumnya. Atau mungkin saja ini karena pengaruh dari banyaknya tugas yang diberikan Kakashi-sensei selama liburan musim panas ini. Ah guru berambut perak itu lama-lama menyebalkan.
Hari ini aku harus keluar rumah. Bagi seluruh murid kelas tiga, liburan musim panas ini diharuskan mengikuti pelajaran tambahan di sekolah. Selama perjalanan ke sekolah membayangkan rasanya berguling di atas tatami, makan semangka, ditemani kipas angin. Tiga hal itu saja sudah membuatku nyaman dibanding harus mengayuh sepeda ke sekolah di tengah teriknya matahari musim ini.
"Sakura! Tunggu aku!" sebuah suara terdengar dari belakang. Kuhentikan sepedaku dan menoleh ke belakang.
"Ino, kau tidak jadi membolos pelajaran tambahan?" aku menyerang Ino dengan pertanyaan.
"Tidak jadi. Rambut nanas itu tidak mau keluar rumah. Dia bilang sedang banyak tugas. Aku bersumpah tugasnya hanyalah tidur dan melamun," Ino meracau.
"Pacarmu adalah calon pengangguran," aku terkekeh.
"Pacarmu juga tidak ada bedanya, Sakura," Ino memutar kedua bola matanya.
"Ada, Ino. Sasuke tidak bermalas-malasan di rumah."
"Tapi sama saja nasibnya sepertiku, kau diabaikan."
"Kau benar. Sudah seminggu ini aku tidak sedekat biasanya. Dia terlalu sibuk di sekolah, lalu pulang mengerjakan tugas. Liburan musim panas ini mengerikan. Bahkan saat Tanabata kemarin kami tidak pergi ke kuil dan melihat Hanabi bersama. Mengecewakan," sekarang aku yang mulai meracau. Kulihat kening Ino berkerut.
"Kau yakin tidak ada gadis lain?"
"Tidak mungkin, Ino."
"Apa kau benar-benar yakin, Sakura?"
"Ino, ingatlah seorang Uchiha itu tidak akan selingkuh. Temari selalu bilang seperti itu."
"Temari? Istrinya Itachi?"
Aku mengangguk.
"Ah mereka pasangan yang sangat elegan. Keduanya adalah businessman dan mereka sama-sama dari keluarga terpandang. Keren sekali," Ino mulai keluar dari topik.
"Kau ini selalu saja begitu. Ayo ke sekolah!" Aku mengayuh sepedaku lagi. Melawan rasa panas dan malas menuju sekolah. Sial—sial sekali.
"Lalu bagaimana dengan Sasuke?" Ino berteriak di belakangku.
"Nanti saja!" aku mengayuh sepeda lebih cepat lagi. Sepertinya aku dan Ino akan dimarahi Kakashi-sensei lagi.
Aku memikirkan suasana di kelas, memikirkan Sasuke, memikirkan perasaanku. Ah ketiganya sama-sama panas! Kalau bukan karena tanggal dua puluh tiga, aku bersumpah ingin sekali menghapus bulan Juli ini. Aku benci sekali hawa panas.
.
.
.
Kami berdua dihukum untuk membersihkan jendela kelas karena terlambat sepuluh menit. Kakashi-sensei sepertinya kepanasan juga dan seenaknya menghukum kami berdua. Aku dan Ino hanya mendengus kecil dan buru-buru duduk di posisi masing-masing—tempat dudukku dan Ino bersebelahan di barisan ketiga.
Kakashi-sensei sedang mengoceh tentang Eksponen dan Logaritma. Demi apapun kepalaku ini sudah berasap dan malas menerima pelajaran. Aku ingin pulang saja rasanya.
Satu jam berlalu cukup lama, tidak, berlalu sangat lama. Bel istirahat akan berbunyi dua puluh menit lagi. Sayangnya aku tidak bisa menunggu selama itu dengan tenang. Entah sudah berapa kali aku menguap. Aku tidak begitu bodoh, aku hanya tidak suka pelajaran Matematika. Titik, itu saja.
Kulihat Ino menguap lagi—untuk yang entah keberapa kalinya. Aku melihat jam dinding lagi, kebosananku tadi hanya menghabiskan waktu tiga menit. Oh Tuhan, putarlah jarum jam itu lebih cepat lagi. Kumohon.
Ino menarik lengan kemejaku. Ia menyodorkan bola kertas. Aku tahu ini cara terakhir di saat-saat jam pelajaran akan habis agar tidak tertidur dan diberi hukuman tambahan. Aku membuka bola kertas itu.
76 kali menguap. Kau berapa?
Aku harus membalas pesan bola kertas ini.
Tidak menghitung. Rekor terbesarmu berapa?
Kusodorkan pada Ino. Ia menulis dengan cepat, membalas pesanku lagi. Kami suka berbalas pesan seperti ini. Rasanya menyenangkan mempermainkan Kakashi-sensei yang masih asik dengan rumus-rumusnya di depan sana. Ino masih menulis. Lama sekali pikirku.
Pesannya yang panjang. Rekorku hanya 98 kali menguap saat pelajaran Orochimaru-sensei. Kau tahu? Aroma rambutnya yang membuatku mengantuk. Istirahat nanti kita berkumpul di kantin. Bersama Hinata dan Tenten. Oke? Mari kita bergosip hahaha
Ternyata pesannya panjang pantas saja lama. Aku menulis balasan untuk Ino. Baru saja beberapa kalimat tiba-tiba bel istirahat berbunyi nyaring. Bagiku itu adalah suara yang paling merdu. Aku melepas pensil mekanik dari tanganku, menghempaskannya ke atas meja.
"Rekormu menakjubkan dan aroma rambut Orochimaru-sensei memang tiada duanya. Ayo kita ke kantin sekarang juga!" aku berdiri dari tempat dudukku dan menarik lengan Ino keluar kelas—tentunya setelah Kakashi-sensei keluar.
"Ayo berangkat!"
.
.
.
Suasana kantin tidak begitu ramai. Jelas karena yang datang hanya kelas tiga saja. Aku sudah duduk manis di sebuah meja dengan empat kursi bersama Ino, Hinata, dan Tenten.
"Karena ada kalian disini, aku ingin bertanya sekarang saja. Boleh?" aku melirik mereka satu per satu.
Ketiganya bergeming.
"Baiklah kuanggap jawabannya boleh. Begini, minggu depan Sasuke ulang tahun dan aku bingung harus melakukan kejutan seperti apa disaat dia sibuk dengan kegiatannya akhir-akhir ini," aku mulai bicara.
"Kau pernah mengunjunginya?" Tenten melontarkan pertanyaan.
"Minggu lalu dan aku tidak dipedulikan, dia tetap setia dengan tugas-tugasnya," jawabku.
"Sudah jelas, kubilang juga Sasuke pasti punya gadis lain," Ino terkekeh. Aku manyun.
"Ino jangan bilang seperti itu. Naruto-kun juga kadang mengabaikanku, tapi dia tidak punya gadis lain," Hinata menyahut. Satu poin semangat untukku. Tapi Sasuke bukanlah Naruto. Aku sangat yakin Sasuke tidak akan pernah mengkhianatiku, tapi rasanya keyakinan itu sedikit memudar.
Tidak. Aku harus selalu percaya pada Sasuke. Aku yakin itu.
"Ino hanya meledek Sakura," Tenten menengahi. Hinata adalah gadis yang begitu baik dan tidak pernah berburuk sangka pada orang lain.
"Tapi Shikamaru juga seperti itu dan aku juga selalu percaya dia tidak punya gadis lain, karena memang tidak punya. Sepertinya hanya aku yang mau dengan lelaki pemalas sepertinya," Ino terkekeh lagi.
Beruntung aku tidak curhat banyak dengannya tadi. Ino adalah pendengar yang baik tapi bukan pemberi saran yang baik. Tenten adalah orang yang paling tepat untuk urusan saran dan sebagainya. Dijadikan kotak saran pun ia sepertinya tidak keberatan.
"Bukannya Sakura masih bisa bertemu dengan Sasuke di sekolah?" Hinata menyahut lagi.
"Kau tahu sendiri entah kemana dia pergi disaat jam istirahat begini," aku mendengus.
"Kau tidak tahu?" Tenten merenyitkan dahinya.
"Tidak. Katanya belum tepat bagiku untuk tahu tempat tersembunyi itu. Menyebalkan," aku mendengus sekali lagi.
"Persembunyiannya dengan gadis lain. Eh!" Ino terkekeh lagi.
Aku menenggelamkan kepalaku diantara kedua lenganku di atas meja. Pesanan sudah datang dan ketiga sahabatku sedang menyantap makanannya masing-masing.
"Minggu depan kau temui Sasuke di rumahnya. Tidak boleh tidak," Tenten mulai bersuara. Aku meliriknya.
"Beri kejutan yang istimewa, tidak harus meriah," Hinata ikut memberi saran.
"Jangan lupa kado yang berkesan," Ino akhirnya mengeluarkan saran.
"Baiklah, terima kasih atas saran kalian semua sahabat-sahabatku," aku tersenyum tipis untuk mereka bertiga.
Mulai hari ini aku harus memikirkan kejutan yang akan kuberikan nanti pada Sasuke. Untuk hal ini aku tidak meminta ide dari ketiga sahabatku. Rasanya lebih istimewa jika ide itu berasal dari otakku, bukan, sepertinya dari perasaanku. Aku mencintai Sasuke, hanya itu saja. Sisanya adalah bahagia.
.
.
.
Hari ini aku tidak melihat Sasuke sama sekali. Usai pelajaran tambahan tadi aku dan Ino tidak melihat Sasuke di kelasnya, padahal aku masih berada di kelas saat semua kelas sudah kosong. Mungkin Sasuke langsung pergi saat bel pulang dibunyikan. Kemanakah ia?
Aku mengingat tahun lalu. Waktu itu kubawa Sasuke ke taman kota. Aku menyiapkan kue ulang tahun dan kadonya, serta sedikit kembang api kecil. Ia senang, hanya senang. Bagi Sasuke pesta atau kejutan di hari ulang tahun tidaklah begitu penting. Aku menghargainya. Selalu menghargainya.
Dimana saat hari ulang tahunku Sasuke tidak pernah memberi pesta atau kejutan yang berarti, ia datang ke rumahku, membawa kado, dan makan malam bersama keluargaku. Hanya itu saja. Tapi bagiku itu adalah istimewa.
Lalu apa yang harus kulakukan minggu depan?
.
.
.
Besok tanggal dua puluh tiga. Aku tidak yakin Sasuke mengingat tanggal itu kalau bukan ibunya atau aku yang memberitahunya.
Pesanku tidak terbalas sejak dua hari yang lalu. Entah kemana perginya anak itu. Pelajaran tambahan di sekolah sudah usai sejak kemarin. Tentunya tidak ada alasan lagi bagi Sasuke untuk mengerjakan tugas dan sebagainya. Tapi tetap saja ia menghilang. Aku menelepon tidak dijawab. Aku bersumpah ponselnya dalam mode silent.
Aku memutuskan untuk pergi ke rumahnya walaupun diluar sana hawanya masih tetap panas. Aku mengayuh sepedaku menuju komplek rumahnya yang tidak begitu jauh dari rumahku.
"Ah Sakura-chan!" bibi Mikoto menyambutku di depan pagar.
"Halo bi. Maaf sudah lama sekali aku tidak main kesini," aku memarkir sepeda dan tersenyum sambil memberi salam pada bibi Mikoto
"Sasuke ada di kamarnya, dia begitu sibuk akhir-akhir ini. Tidak bisa diganggu dan cepat tersinggung. Bibi tidak mengerti apa masalahnya. Mungkin kau adalah solusinya, Sakura," bibi Mikoto membawaku menuju kamar Sasuke di lantai dua.
"Bibi tinggal ya, Sakura," bibi Mikoto tersenyum dan meninggalkanku di depan kamar Sasuke. Pintu kayu bertuliskan namanya itu tertutup rapat. Aku ragu untuk memutar kenopnya.
"Sakura, cari Sasuke?" tiba-tiba muncul Itachi yang keluar dari kamar sebelahnya.
"Iya Nii-san, kata bibi Mikoto Sasuke ada di dalam," aku memberi salam sebelumnya pada Itachi.
"Itu sudah tiga jam yang lalu, satu jam setelahnya kulihat Sasuke keluar kamar, membawa sepedanya, dan entah pergi kemana. Akhir-akhir ini anak itu kurang menyenangkan," Itachi menjelaskan detelnya. Aku hanya mengangguk.
"Kalau begitu aku pamit dulu Nii-san," aku membungkuk pada Itachi.
"Sakura, apa ada masalah dengan hubungan kalian?" Itachi sepertinya tidak jauh berbeda dengan Sasuke—bisa membaca wajah seseorang.
"Tidak ada masalah apa-apa Nii-san. Aku pamit pulang dulu," sedikit terburu-buru aku menuruni tangga, tidak mau Itachi mengorek lebih jauh tentang hubunganku dengan Sasuke. Aku tidak mau mengadu tentang keanehan Sasuke akhir-akhir ini. Aku bisa menyelesaikannya sendiri, tidak sendiri, harus bersama Sasuke. Karena ini hubungan kami berdua.
.
.
.
Aku mengayuh sepedaku tanpa tujuan. Setelah lari dari Itachi aku buru-buru pamit pada bibi Mikoto yang wajahnya begitu kebingungan karena tidak tahu kalau Sasuke ternyata sudah pergi.
Siang ini begitu terik. Aku haus dan memutuskan untuk pergi ke kedai es krim milik paman Takeuchi. Biasanya Sasuke yang menemaniku, sekarang aku sendiri saja, tidak apa-apa, tidak masalah—sebenarnya menyebalkan.
Setelah memarkir sepeda di tempat yang aman, buru-buru aku masuk ke kedai paman Takeuchi, aku sudah sangat haus. Dan tiba-tiba ada sebuah pemandangan yang membuatku berdiri tegap di pintu masuk kedai paman Takeuchi. Pemandangan yang tidak segar. Panas.
.
.
/TBC/
.
.
A/N : Biar nggak gitu kepanjangan saya buat jadi dua chapter. Alasannya penting, kan? Hihi! Sasukeee! HBD yah, hahaha. Aku selalu sayang kamu. Selalu sayang sama kamu!
.
.
Milky Way—July 23rd, 2012
