-Psychopass!-
Lu-Min
Lu-harem
…
Gambaran sebuah apartemen yang sederhana dengan nuansa yang damai di dalamnya. Terdapat beberapa pot bunga kecil yang ditata rapi di rak-rak bertingkat. Wangi ruangan dari aroma parfum ruangan begitu menenangkan jiwa.
"Jadi, kau tahu bagaimana dia membunuh semua korbannya?"
Sebuah pertanyaan keluar dari salah seorang pelimut berita yang begitu tertarik dengan kehidupan seorang lelaki berparas begitu tampan sekaligus manis menggemaskan karena senyumnya yang menawan.
Orang itu dengan santai tersenyum manis lalu meminum kopinya.
"Aku sama sekali tidak ingin menceritakan hal itu. Itu sama seperti melihat kembali mimpi buruk yang sudah aku pendam beberapa tahun lalu."
"Kau adalah orang yang terlalu takut dengan semua mimpi buruk itu. Tidak hanya bagi mu saja. Mimpi buruk itu sudah menjadi mimpi buruk bagi semua orang terutama di kalangan teman sekolah mu dulu." sang wartawan menarik napasnya sebelum kembali berbicara. "Tapi setelah semua mimpi buruk itu berakhir, aku pikir kau sudah menjadi orang yang kuat untuk kembali menceritakan mimpi itu lagi."
Orang itu menatap sang wartawan dengan mata sedikit menajam. Sebentar aura di dalam apartemen tersebut berubah menjadi dingin. Kemudian orang itu kembali tersenyum manis. Dia meletakan kopinya di meja.
Dia menoleh kearah pintu kaca gesernya. Memandang cuaca di luar sana. Dia berdiri dari duduknya dan berjalan membuka pintu kaca tersebut. Memasukan kedua tangannya di saku celana.
"Kau sedikit memaksa tuan."
"Aku minta maaf jika aku membuat mu kembali mengingat masa suram kehidupan mu yang dulu, Tuan Kim."
Orang itu diam. Mencoba untuk tenang. Pikirannya tidak akan pernah sulit mendapatkan potongan-potongan masa lalu yang begitu hitam baginya. Bahkan potongan kecil masa lalu yang begitu bahagia masih bisa dia rasakan hingga sekarang.
"Aku tidak tahu bagaimana harus memulainya. Cerita ini bukan hanya tentang diri ku, tetapi juga tentang semua korban yang dia bunuh termasuk dirinya."
Sang wartawan langsung menyiapkan buku dan juga penanya. Bersiap untuk menorehkan garis penanya pada buku yang dia bawa untuk menuliskan sebuah kenyataan di masa lalu sang tokoh yang sedang bercerita sekarang.
.
.
-Masa lalu-
Kelas 3 Sekolah Menengah Atas khusus laki-laki
Seseorang dengan paras yang terlihat cantik karena matanya yang indah dengan garis rahang yang begitu menawan hingga bisa membuat siapa saja yang melihatnya akan tertarik padanya. Orang itu berjalan santai di lorong sekolah yang mulai sepi dengan keramaian siswa.
Jam pelajaran sudah di mulai. Semua siswanya telah masuk ke dalam kelas mereka masing-masing. Begitu serius memperhatikan pelajaran yang sedang dijelaskan oleh guru di depan kelas.
Salah seorang siswa mengangkat tangannya. Meminta izin untuk pergi ke toilet sebentar. Setelah sang guru memberikan izin padanya, dia langsung berjalan keluar dari kelas. Sebelumnya dia memberikan senyuman licik pada temannya yang duduk paling belakang.
Dengan senyum nakalnya dia menutup pintu kelas begitu pelan. Dia mulai berjalan menyusuri lorong sekolah yang sepi. Mengeluarkan sebuah permen dari sakunya dan memasukannya ke dalam mulut dengan cara melempar permen dari atas hingga masuk ke dalam mulutnya. Berbelok di lorong selanjutnya, dia dan juga orang berparas menawan itu berpapasan di lorong yang minim cahaya. Sinar matahari hanya memberikan sedikit cahaya melalui kaca besar yang baru saja dia lewati.
Orang berparas menawan itu menoleh kearahnya ketika mereka berpapasan. Orang itu menghentikan langkah kakinya lalu berbalik melihat kembali orang yang baru berpapasan dengan dirinya.
"Heii kau!"
Suaranya yang biasa saja terdengar begitu keras menggema di lorong yang sepi.
Merasa ada yang memanggil dirinya, dia langsung berhenti dan berbalik.
"Kau memanggil ku?"
Orang itu berjalan menghampiri dia. Berhadapan dan menatap matanya langsung. Sebentar matanya melirik kearah name tag yang tertera di bagian dada kirinya.
"Kim Min Seok."
Mata orang itu kembali menatap orang yang ada di hadapannya sekarang. Dia, Kim Minseok, orang yang sudah membuat orang berparas menawan ini menjadi begitu tertarik padanya hanya dalam beberapa detik.
"Kau siapa? Aku tidak pernah melihat mu."
"Luhan. Nama ku Luhan."
Orang berparas menawan, Luhan, dia terus mendekat pada Minseok lalu tiba-tiba sebuah tarikan pelan Minseok rasakan. Tubuhnya tiba-tiba mundur kebelakang dengan sendirinya dan bersender pada dinding lorong. Matanya mengedip tak mengerti apa yang baru saja terjadi pada tubuhnya.
Luhan kembali mendekati Minseok. Matanya terus menatap kedua mata Minseok begitu dalam. Minseok juga terus memperhatikan orang yang tiba-tiba muncul dihadapannya yang menurutnya begitu aneh.
Minseok terus memperhatikan Luhan begitu lekat. Dia menahan napasnya sebentar ketika matanya menelusuri setiap lekuk wajah Luhan. Luhan, matanya begitu cantik, bentuk bibir yang begitu kecil namun sensual jika sedang berciuman, hidungnya yang kecil mancung mampu membuat siapa saja yang melihatnya langsung ingin segera mengecupnya, dagu yang lancip begitu terlihat menawan.
Mata Minseok beralih melihat pada rambut Luhan. Dengan tatanan rambut dibuat naik keatas seperti seorang bintang terkenal di kalangan para perempuan. Memperlihatkan garis keningnya yang halus. Rambutnya yang berwarna coklat gelap begitu cocok untuknya.
Minseok terus memperhaikan Luhan begitu lekat hingga tanpa sadar tubuh Luhan semakin dekat padanya.
"Kau tertarik kepada ku Minseok?" bisik Luhan.
Minseok langsung menatap Luhan dengan semburat merah menghiasi kedua pipinya.
Luhan menyentuh pipi Minseok begitu pelan nyaris seperti sebuah sentuhan yang membuat bulu kuduk berdiri. Tubuh Minseok tersentak ketika Luhan menyentuh pipinya. Matanya menatap tajam dengan pandangan yang terlihat takut.
Kilatan sebuah peristiwa mengerikan tiba-tiba muncul dalam pikiran Minseok. Bayangan Luhan dan sebuah pisau bersimbah darah muncul dalam pikirannya. Kamar yang penuh dengan darah dan seorang gadis yang tertidur dengan tubuh yang bersimbah darah.
Minseok langusung mendorong tubuh Luhan menjauh. Matanya tak percaya bisa melihat kejadian mengerikan itu. Tubuhnya bergetar hebat dengan keringat dingin yang muncul di keningnya. Minseok terlihat kesulitan untuk bernapas. Napasnya begitu berat hingga dia susah payah untuk menghirup oksigen di sekitarnya.
"Kau..kau membunuh gadis itu?"
Dengan takut, Minseok berjalan pelan untuk menjauh dari Luhan. Tangannya dia letakan di dinding sebagai tumpuan untuk berjalan. Tubuhnya yang masih bergetar membuatnya sulit untuk berjalan.
Luhan tersenyum miring. Dia berjalan pelan mengikuti Minseok dari belakang.
"Kau juga adalah seorang psychokinesis." desis Minseok.
Senyum Luhan semakin lebar. Tangannya mengayun menarik lengan Minseok dengan kasar.
"Jadi kau menyadarinya." Terdengar tawa yang dibuat. "Lalu apa bedanya dengan dirimu Minseok?"
Minseok menelan salivanya cepat. Matanya masih menatap tajam Luhan dengan takut. Luhan mendorong Minseok dan mengurungnya dengan kedua tangannya. Dia mendekat dan menghirup aroma tubuh Minseok begitu dalam. Tubuh Minseok semakin bergetar hebat ketika napas Luhan berhembus di perpotongan lehernya.
"Kim Min Seok, kau juga seorang psychometry." bisik Luhan seduktif.
Luhan menyesap leher Minseok pelan. Minseok menggigit bibir bawahnya dan menutup kedua matanya rapat. Potongan-potongan kejadian mengerikan dimana bayangan Luhan, ceceran darah, pisau dan sebagainya kembali Minseok lihat. Dengan sekuat tenaga, Minseok mengerahkan kedua tangannya yang bergetar ke pinggang Luhan untuk mendorong Luhan menjauh darinya.
Tapi sepertinya malaikat tidak berpihak pada Minseok. Luhan semakin menyesap kuat leher Minseok ketika dia merasa tangan Minseok berada di pinggangnya. Luhan tidak membiarkan Minseok melakukan gerakan apapun juga.
Tangan Minseok yang berada di pinggang Luhan yang tadinya ingin dia gunakan untuk mendorong Luhan menjauh, kini hanya bisa meremas kuat seragam Luhan. Kilatan kisah mengerikan tentang Luhan membuat tubuh Minseok lemas. Tenaganya seperti terkuras habis.
"Luhan kumohon hentikan." ucap Minseok begitu lirih.
Luhan berhenti menyesap leher Minseok. Terdengar gemuruh napas Minseok yang naik turun dengan cepat. Matanya masih setia menutup. Luhan terkekeh pelan melihat keadaan Minseok sekarang. Jari telunjuknya menyentuh kening Minseok yang penuh dengan keringat.
"Lihatlah, kau mengeluarkan keringat begitu banyak Minseok."
Minseok membuka matanya perlahan. Dia merasa bahwa Luhan adalah orang yang begitu berbahaya. Minseok tidak ingin melihat Luhan ataupun bertemu dengannya lagi. Dia harus menghindar dari orang yang sudah membuatnya tak berdaya untuk pertama kalinya.
"Menyingkir dari hadapan ku, Luhan!"
"Aku harap kita bertemu lagi Minseok."
"Jangan harapkan hal itu. Aku tidak ingin bertemu dengan mu lagi."
Dengan sisa tenaganya, Minseok mendorong tubuh Luhan. Matanya masih menatap Luhan dengan takut. Luhan tiba-tiba menampilkan senyum manisnya.
"Aku sangat terhibur dan begitu menikmati dengan apa yang kita lakukan barusan. Aku sangat senang bisa bertemu dengan orang yang memiliki tingkat sensitive begitu tinggi seperti mu Minseok. Senang sekali aku bisa berbagi kisah ku dengan mu."
"Bagaimana seorang pembunuh bisa masuk kemari?"
Luhan berjalan mendekati Minseok. Wajahnya begitu tenang dengan tatapan mata yang sangat mengerikan. Minseok kembali mundur kebelakang.
"Aku bukan seorang pembunuh yang seperti kau lihat. Aku hanya mengagumi hasil karya –Nya yang begitu indah hingga aku ingin megubah mereka menjadi sebuah mainan yang tidak kalah indahnya."
Mata mereka berdua saling bertemu. Tatapan penuh godaan Luhan dan tatapan penuh ketakutan Minseok. Luhan semakin mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka berdua saling bersentuhan.
"Apa kau mau menjadi karya ku yang selanjutnya, Minseok?"
Kemudian Luhan menjilat bibir Minseok pelan.
"Kau begitu menarik, sayang."
Lalu dengan pelan Luhan memundurkan tubuhnya. Melihat wajah Minseok sebentar dengan senyuman manis yang terukir di bibir kecilnya. Kemudian dia berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Minseok.
.
.
Satu minggu berlalu.
Sesuai dengan keinginannya, Minseok tidak lagi bertemu dengan Luhan setelah kejadian itu. Satu hati setelah kejadian tersebut, Minseok baru mendapatkan kabar bahwa Luhan menjadi murid pindahan di kelas 3. Minseok bersyukur Luhan tidak menjadi teman satu kelasnya. Dia telah membuang jauh-jauh ingatan buruk tentang pertemuannya dengan Luhan pertama kali.
"Minseok, jam berapa kau pulang dari bimbingan belajar?"
"Jam 9 malam."
"Aku akan menjemput mu."
Minseok menarik napas. Teman seperjuangannya sejak duduk di bangku kelas satu. Kris, orang yang tampan dengan tinggi badan yang menjulang bak tiang bendera. Satu sekolah begitu tergila-gila padanya hanya karena sikapnya yang terlihat begitu misterius. Tapi bagi Minseok, Kris sama sekali tidak ada bedanya dengan teman-teman lainnya. Yang membuatnya misterius hanya wajahnya yang kelewat dingin dengan sikapnya yang sok cool di hadapan semua orang.
"Kris, kau tidak perlu melakukannya."
"Kau sudah mendengar tentang berita pembunuhan itu kan. Aku hanya khawatir saja."
"Aku bisa menjaga diri ku. Kau tidak perlu khawatir."
Minseok menarik tangan Kris keluar. Mengajaknya ke kantin untuk mengisi perut mereka yang lapar.
Sampainya di kantin, suara ricuh bisik-bisik siswa yang makan begitu terdengar jelas. Mereka membicarakan kejadian pembunuhan yang akhir-akhir ini sedang hangat di beritakan. Kota yang kecil dan damai tiba-tiba mendapat sebuah berita pembunuhan yang begitu mengerikan. Itu semua membuat banyak penduduk merasa takut.
Pembunuhan yang begitu sadis telah mencuri perhatian para polisi di kota ini. Polisi dan detektif yang biasanya hanya bertugas menangkap, mengintrogasi para tersangka kini harus dibuat berpikir keras tentang kejadian pembunuhan yang baru saja terjadi.
Minseok dan Kris duduk di meja yang untung saja masih kosong. Kosong tanpa adanya siswa yang membicarakan tentang kasus pembunuhan.
"Aku akan mengantar mu ke tempat bimbingan belajar mu."
Minseok memutar bola matanya malas. Memandang Kris dengan wajah frustasi.
"Ayolah Kris, kau jangan seperti ini."
Kris berdecak tak suka. Dia memainkan makan sianganya dengan sumpit. Lalu tiba-tiba matanya menyipit melihat pandangan yang begitu asing baginya.
"Bukankah itu Sehun?" Kris menunjuk kearah depan dengan sumpitnya. Minseok menoleh melihat apa yang Kris tunjuk lalu dia kembali pada makanannya.
"Itu memang Sehun kan."
Minseok menyendok makanannya lalu melahapnya dengan wajah bahagia. Kris masih saja mengarahkan pandangannya pada Sehun. Raut wajahnya berubah menjadi orang yang begitu penasan akan sesuatu.
"Dia bersama dengan siapa? Wajahnya jarang terlihat."
Minseok kembali menoleh. Seketika matanya membulat. Terkejut dia melihat Luhan bersama dengan Sehun yang sedang duduk bersama. Minseok langsung meminum jus strawberry nya dengan cepat.
"Aku tidak ingin melihat orang itu." ucap Minseok dalam hati.
"Apa ada yang membuat mu takut? Kau melihat hantu?"
Minseok menggeleng cepat.
"Baiklah hari ini kau boleh mengantar dan menjemput ku ke tempat bimbel ku, Kris."
Kris tertawa pelan. Dia menunjuk Minseok menggunakan sumpitnya. "Kau kenapa tiba-tiba berubah pikiran?" Minseok hanya tersenyum canggung.
"Ayo Kris kita kembali ke kelas."
"Kau tidak lihat aku belum menghabiskan makanan ku."
"Cepat habiskan makanan mu!"
Dalam menunggu Kris menghabiskan makanannya, Minseok merasa tak nyaman. Melihat sosok Luhan lagi membuat Minseok bisa merasakan sentuhan Luhan dan kejadian mengerikan dari potongan kecil cerita yang telah Luhan lakukan.
Wajah Minseok terlihat begitu cemas. Dia menggigit kuku ibu jarinya. Kris mengerutkan keningnya saat melihat keadaan Minseok. Lalu dengan segera dia menggenggam tangan Minseok. Minseok sedikit terkejut, dia memandang Kris dengan tajam. Potongan cerita bahagia kehidupan sehari-hari Kris terlihat jelas di matanya sekarang.
"Minseok! Yakkk Kim Minseok!" Kris mengguncang tubuh Minseok pelan, setelahnya Minseok langsung terbangun dari bayang-bayang kisah Kris. Minseok langsung menarik tangannya dari genggaman tangan Kris.
"Kris hyung, Minseok hyung."
"Haii Sehun."
"Minseok."
Minseok terkejut. Suaranya begitu familiar di telinganya. Orang yang Minseok takutkan kini sedang berdiri di sampingnya. Minseok segera bangkit dari kursinya. Ketika Minseok akan pergi, Kris menahan tangannya.
"Kau mau kemana Minseok?"
Minseok melepaskan tangan Kris dengan wajah pucat. Dia melirik kearah Luhan sebelum dia benar-benar pergi dari kantin. Dia berlari mengikuti langkah kakinya. Berlari begitu kencang. Minseok ingat bagaimana Luhan memberikan senyum mengerikan itu saat Minseok akan pergi.
.
.
Sepulang sekolah, Kris mengantar Minseok ke tempat bimbelnya. Ketika Kris akan pergi, sosok Sehun datang bersama dengan Luhan.
"Kau satu bimbel dengan Minseok?" tanya Luhan sambil menunjuk kearah Minseok yang masih berdiri di depan pintu masuk bimbel.
"Iya hyung." Sehun tersenyum malu.
Kris dan Minseok melempar pandangan satu sama lain. Terkejut melihat seorang Sehun tiba-tiba bisa tersenyum. Di sekolah, Sehun dikenal dengan sebutan laki-laki berwajah datar karena dia sama sekali tidak bisa menunjukan raut wajah dengan ekspresi seperti yang biasa dilakukan semua orang, seperti tersenyum, tertawa dan lai-lain. Dari kalangan kelas satu sampai kelas tiga hingga para guru pun juga tahu kalau seorang Sehun begitu sulit untuk tersenyum.
"Baiklah aku pergi dulu. Belajarlah yang giat Sehun." Luhan mengacak rambut Sehun gemas.
"Aku juga pergi. Nanti aku akan menjemput mu."
Minseok hanya mengangguk. Kris langsung pergi setelah dia menyapa Sehun dan melirik Luhan dengan tatapan curiga.
"Ayo Sehun kita masuk."
"Aku masuk dulu hyung."
"Baiklah."
Minseok menarik Sehun untuk segara berjalan masuk ke dalam gedung bimbel. Minseok benar-benar menghindari tatapan mata Luhan. Dia tidak ingin melihat wajahnya sama sekali.
.
.
Setelah kelas bimbel selesai, Minseok menunggu kedatangan Kris yang akan menjemputnya. Dia melihat Sehun keluar dari kelasnya dan segera menghampiri Sehun. Mengajaknya duduk di ruang tunggu bimbel.
"Sehun, bagaimana kau bisa mengenal Luhan?"
"Ketika aku selesai latihan dance di club, Luhan hyung menghampiri ku."
"Kau tidak curiga padanya? Maksud ku, Luhan tiba-tiba menghampiri mu dan aku lihat, kau sepertinya baru berkenalan dengan Luhan. Mengapa dia menghampiri mu?"
Sehun memandang Minseok bertanya. Matanya berkedip berkali-kali.
"Mengapa hyung begitu ingin tahu? Apa hyung menyukainya?"
Minseok tertawa. "Menyukai seorang pembunuh?! What the hell!" batin Minseok.
"Tidak. Luhan sepertinya telah mengubah mu menjadi orang yang normal." Sehun terkekeh dan menunduk malu. "Lihatlah kau sekarang. Kau terlihat malu."
"Tapi aku senang akhirnya ada orang lain yang bisa membuat mu tersenyum. Apakah Luhan memperlakukan mu dengan baik?"
Sehun memandang Minseok sambil tersenyum. "Dia begitu baik kepada ku."
Minseok tersenyum memandang Sehun.
"Kau menyukainya?"
Semburat merah di wajah Sehun terlihat. Dengan cepat Sehun menggeleng.
"A-aku tidak menyukai Luhan hyung."
Kembali Sehun menunduk malu. Minseok tertawa geli melihat sikap Sehun yang malu. Dia kemudian merangkul pundak Sehun. Sebuah tepukan pelan di pundak Sehun membuat Minseok bisa melihat bagaimana kisah dibalik pertemuan Luhan dengan Sehun.
Kisah pertemuan Sehun dan Luhan terlihat biasa saja. Sama halnya seperti seseorang yang sedang mencari seorang teman baru. Senyum Minseok masih setia di wajah. Lalu pikirannya kembali mengingat kejadian mengerikan yang telah Luhan lakukan. Dia merasa cemas jika Sehun semakin dekat dengan Luhan.
"Tapi aku harap kau jangan terlalu dekat dengan Luhan."
"Memangnya kenapa hyung?"
Sebuah dehaman membuat perbincangan Minseok dan Sehun terhenti. Luhan tiba-tiba telah berdiri di hadapan mereka berdua. Minseok menelan salivanya cepat. Sehun dengan gembira langsung berdiri menghampiri Luhan.
"Luhan hyung. Aku kira kau hanya bercanda untuk menjemput ku ketika kau mengirim pesan tadi."
Luhan merapikan rambut Sehun sebentar. "Mengapa kau berpikiran seperti itu Sehun? Aku selalu serius dengan ucapan ku."
Minseok terus memalingkan wajahnya. Tidak mau melihat Luhan yang sedang berdiri di depannya. Dia mengelus lehernya dengan gusar. Cemas karena Kris belum juga datang menjemputnya.
"Minseok hyung, apa kau mau pulang bersama kami?"
Minseok menggeleng cepat. "Tidak Sehun. Sebentar lagi Kris akan menjemput ku."
"Bagaimana jika dia tidak akan menjemput mu?"
Pertanyaan Luhan membuat Minseok terkejut. Matanya langsung menatap tajam kearah Luhan. Luhan tersenyum remeh.
"Akhirnya kau menatap ku juga Minseok."
Minseok langsung mengalihkan pandangannya ke segala arah. Menghindari tatapan mata Luhan. Tangannya mengepal keras sekarang.
"Semoga Kris baik-baik saja." batin Minseok.
"Kalian berdua pulang saja duluan. Aku akan menunggu Kris."
"Ini sudah malam hyung. Sebentar lagi bimbelnya akan segera tutup. Lebih baik hyung pulang bersama kami saja. Aku khawatir jika hyung sendirian menunggu Kris hyung. Hyung tahu sendiri soal pembunuhan yang baru saja terjadi."
Luhan tertawa pelan mendengar perkataan Sehun.
"Minseok akan pulang bersama kita, Sehun."
Minseok kembali memandang kearah Luhan. Dia menatap Luhan tak percaya. Tiba-tiba tubuhnya mulai berdiri sendiri. Minseok terus memandang Luhan dengan wajah kesal.
"Lihat, dia sudah berdiri."
"Lu-"
"Baiklah. Ayo kita pulang bersama hyung."
"Luhan brengsek! Dia memaksa ku dengan menggunakan telekinesis nya." Minseok berkata begitu pelan. Luhan yang bisa mendengar ucapan Minseok hanya tersenyum lebar.
Di depan gedung bimbel, Minseok masih belum bisa menggerakan tubuhnya. Dia semakin kesal dengan apa yang telah Luhan lakukan pada dirinya ini.
"Luhan hyung, kau mengendarai sebuah mobil?"
Sehun tersenyum girang. Luhan mengangguk lalu mempersilahkan Sehun untuk masuk ke dalam mobilnya.
Luhan berbalik melihat Minseok yang masih berdiri dengan wajah kesal. Tatapan penuh kebencian Minseok berikan pada Luhan. Minseok benar-benar harus menghindari Luhan dengan segera.
"Bisakah kau menghilangkan telekinesis mu dari tubuh ku, Luhan?"
Hanya sebuah gelengan pelan Luhan berikan sebagai jawabannya.
"Aku harus menghubungi Kris. Dia tidak perlu menjemput ku kemari."
Luhan tersenyum miring. Dia menjetikan jarinya dan tubuh Minseok telah kembali normal. Minseok menghirup udara begitu dalam. Matanya masih terus menatap kesal pada Luhan.
"Kris tidak akan menjemput mu Minseok. Kau tidak percaya pada ku?"
"Brengsek! Bisakah kau diam!"
Minseok mengdengus kesal pada Luhan. Luhan hanya tertawa melihat sikap Minseok yang kini sedang marah kepadanya. Minseok mengeluarkan ponselnya dan mulai menghubungi Kris.
Tidak ada jawaban dari Kris. Minseok terus mencoba menghubungi Kris beberapa kali tetap tidak ada jawaban darinya. Minseok yang cemas mulai menggigiti kuku ibu jarinya. Luhan yang bosan langsung mengambil ponsel Minseok dan menarikya untuk masuk ke dalam mobil.
"Lihatlah Sehun telah tertidur karena menunggu mu."
Minseok hanya melirik kearah Sehun yang duduk di depan.
"Kembalikan ponsel ku." ucap Minseok dengan nada memaksa.
"Aku sudah bilang pada mu kalau Kris tidak akan menjemput mu."
Luhan melempar ponsel Minseok keras ke kursi belakang. Minseok begitu terkejut dengan perlakuan Luhan yang tiba-tiba menjadi marah padanya. Minseok berdecak tak suka. Dia mengambil ponselnya dan kembali menghubungi Kris.
Dalam perjalan pulang, Luhan terus melihat Minseok yang duduk di kursi belakang dari kaca mobil atas.
.
.
Luhan membangunkan Sehun setelah mereka sampai di depan rumah Sehun. Minseok mengerutkan keningnya. Melihat dengan pandangan curiga kearah Luhan. Luhan melambaikan tangannya kearah Sehun ketika Sehun menoleh padanya sebelum dia masuk ke dalam rumah.
"Bagaimana kau tahu alamat rumah Sehun?"
Luhan menoleh kebelakang. Menampilkan senyum miringnya yang membuat Minseok sedikit bergidik ngeri.
"Seorang Luhan selalu tahu apapun, sayang."
Minseok langsung membuang mukanya melihat kearah jendela. Luhan tertawa pelan.
"Kau tidak mau pindah ke depan, Minseok?"
Minseok menggeleng cepat. Pandangannya masih menatap ke jendela mobil.
"Aku bukan supir mu Tuan Kim. Jadi pindahlah ke depan sekarang."
"Aku tidak mau Luhan. Aku tidak berpikir kau adalah supir ku."
"Aku bilang pindah di depan sekarang juga Minseok!" nada suara Luhan sedikit meninggi. Minseok langsung menoleh manatap Luhan tak suka.
"Aku akan turun. Terima kasih atas tumpangannya."
Dengan cepat Minseok turun dari mobil Luhan. Membanting pintu mobil begitu keras dan berjalan pergi dengan perasaan emosi. Dia mencoba kembali menghubungi Kris yang sejak tadi tidak mengangkat telfonnya.
Luhan berdecak kesal. Dia menyalakan mobilnya dan memutarnya untuk mengejar Minseok. Mobilnya berjalan pelan mengikuti langkah kaki Minseok. Dari dalam mobil, Luhan terus memanggil nama Minseok untuk menyuruhnya berhenti.
Luhan yang kesal dan geram karena Minseok tidak mendengarkan panggilannya, dia memutuskan untuk menghentikan mobilnya. Keluar dari mobil dan mengejar Minseok.
"MINSEOK!"
Panggilan Luhan masih tidak Minseok hiraukan. Dia terus berjalan ke depan. Tangannya yang dia masukan ke saku hoodienya terus mengepal keras menahan emosinya sejak tadi.
Luhan mulai mengayunkan tangannya kedepan dan membuat tubuh Minseok berhenti seketika. Minseok terkejut dan diam di tempatnya berdiri. Luhan menarik tubuh Minseok dengan paksa dan membenturkannya ke tiang listrik.
Terdengar suara kesakitan Minseok. Luhan langsung berjalan menghampiri Minseok.
"Kau kira bisa lari dari ku, hah?"
Minseok menatap Luhan penuh kebencian. Rasanya Minseok ingin memukul Luhan langsung, tapi dia juga tidak ingin melakukannya karena dia menghindari menyentuh Luhan yang membuatnya kembali melihat kejadian mengerikan yang telah Luhan lakukan.
"Lepaskan aku. Aku tidak akan lari. Jadi lepaskan aku dari kekuatan sialan mu itu."
Luhan tertawa remeh. Dia menurunkan tangannya. Minseok menarik napas panjang setelah bebas dari telekinesis Luhan.
"Mengapa aku? Tidak bisakah kau tidak mengganggu ku Luhan?"
Luhan mendekat pada Minseok. Tubuh Minseok mundur kebelakang dan dia mencoba membuat jarak dengan Luhan.
"Jangan mendekat dan jangan menyentuh ku Luhan."
Mata Luhan tiba-tiba berubah menjadi tatapan yang penuh sayang ketika dia melihat Minseok. Luhan mencoba untuk menyentuh pipi Minseok. Dirasa Luhan akan menyentuhnya, Minseok dengan cepat berlari menjauhinya.
Tangan Luhan mengepal keras. Dia menunduk dalam dan kesekian kalinya hatinya begitu sakit mendapat penolakan dari seseorang.
.
.
Keesokan harinya, Minseok mengunjungi rumah Kris sepulang sekolah. Dia bertemu dengan orang tua Kris dan mendapati ada dua orang polisi sedang berada di rumah Kris sekarang. Sebuah berita yang mengejutkan terdengar ketika Minseok bertanya mengapa polisi datang ke rumah.
Minseok terkejut. Sejak semalam hingga sekarang Kris tidak pulang. Kedua orang tua Kris menghubungi polisi untuk membantu pencarian Kris. Minseok menjelaskan kepada orang tua Kris dan juga pada polisi bahwa dia terkahir kali melihat Kris saat Kris mengantarnya ke tempat bimbelnya semalam.
"Kris bilang dia akan menjemput ku di tempat bimbel tapi dia tidak datang. Aku terus menghubungi ponselnya tapi dia sama sekali tidak menjawabnya."
Kedua orang tua Kris sejak tadi terlihat begitu sedih, takut dan juga bingung. Mereka takut jika terjadi hal yang mengerikan pada anaknya. Dengan adanya kasus pembunuhan baru-baru ini terjadi di kota, membuat orang tua Kris semakin berpikir jika anaknya telah dibunuh.
Tiba-tiba Minseok ingat dengan kata-kata Luhan semalam. Luhan terus menerus berkata bahwa Kris tidak akan menjemputnya. Minseok mengingat lagi kisah Luhan dengan semua darah dan pisau itu dari potongan cerita yang dia lihat ketika Luhan menyentuhnya.
Minseok mulai mencurigai Luhan.
"Apakah Luhan yang melakukannya?"
Pertanyaan itu terus menerus muncul dalam pikirannya.
Polisi akhirnya memutuskan untuk melakukan pencarian terhadap hilangnya Kris. Ibu Kris menangis dan terus menerus memohon pada polisi untuk segera menemukan anaknya. Minseok ikut berpamitan setelah polisi keluar dari rumah Kris. Minseok memutuskan untuk mencari Luhan.
.
.
Minseok menghubungi Sehun. Memastikan apakah Sehun bersama dengan Luhan sekarang. Setelah mendapat jawaban dari Sehun, Minseok langsung mendatangi kedai buble tea yang Sehun datangi bersama dengan Luhan sekarang.
"Minseok hyung." sapa Sehun ramah.
Minseok menghampiri meja Sehun dan Luhan. Dia menahan rasa emosinya ketika dia melihat Luhan sedang duduk santai memainkan ponselnya. Matanya melihat kearah Sehun dan memberikan senyum padanya.
"Kalian berdua sepertinya sedang berkencan? Maaf jika aku mengganggu."
Sehun tersenyum malu dengan rona merah yang tiba-tiba memenuhi pipinya. Luhan hanya diam.
"Tidak. Kami berdua baru saja bertemu hyung. Aku tadi bertemu dengan Luhan hyung di supermarket dekat sini."
"Ahh begitu."
"Tapi bukankah hyung mencari Luhan hyung?"
Merasa namanya disebut sejak tadi, Luhan berhenti memainkan ponselnya dan melihat kearah Sehun dan Minseok bergantian.
"Minseok mencari ku?"
"Iya hyung. Dia menelfon ku, bertanya apakah aku bersama dengan mu. Aku mengatakannya pada Minseok hyung untuk datang kemari."
Luhan menoleh melihat Minseok.
"Mengapa kau mencari ku?" nada dingin keluar dari bibir Luhan.
"Kris..." ada jeda ketika Minseok menyebut nama Kris. Minseok masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pada Kris. "Apakah kau tahu keberadan Kris ada dimana sekarang?"
Sehun dan Luhan mengerutkan kening mereka. Menatap Minseok tak mengerti.
"Kau mencari ku hanya untuk bertanya dimana Kris? Kau bodoh! Mengapa kau bertanya kepada ku soal itu. Memangnya kau tahu Kris ada dimana."
"Maaf Minseok hyung. Apa maksud dari pertanyaan hyung barusan tentang Kris hyung?"
Kemudian Minseok menjelaskan kepada Sehun dan juga Luhan tentang hilangnya Kris. Selama Minseok menjelaskan, dia terus melirik kearah Luhan. Pandangannya tak pernah lepas dari sang tersangka. Minseok yakin kalau dibalik hilangnya Kris, Luhan lah orang yang patut dicurigai.
"Semoga tidak terjadi hal yang tidak-tidak pada Kris hyung. Aku jadi merasa takut sekarang. Setelah beredarnya berita tentang kasus pembunuhan itu, orang tua ku juga menyuruh ku untuk tidak sering keluar rumah jika tidak ada keperluan."
"Kau tidak perlu khawatir Sehun. Mulai sekarang aku akan menjaga mu."
Sehun tersenyum lebar menatap Luhan. Minseok melongo mendengar apa yang barusan Luhan katakan. Dia tidak percaya bahwa seorang pembunuh seperti Luhan bisa seperti itu. Apakah itu sebuah rencana untuk membunuh korbannya? Minseok menggeleng tak percaya.
"Ayo aku antar pulang, Sehun." Luhan berdiri dan berjalan duluan keluar dari kedai. Sehun memberikan salam pada Minseok dengan tergesa-gesa sebelum dia keluar dari kedai untuk mengejar Luhan.
Minseok berdecak. Dia langsung keluar dari kedai mengejar Sehun dan Luhan. Minseok memanggil Sehun ketika Sehun akan masuk ke dalam mobil Luhan.
"Sehun masuklah. Kau tidak ingin orang tua mu khawatir kan." kata Luhan.
Sehun mengangguk lalu dia masuk ke dalam mobil. Minseok dibuat melongo. Luhan membuat Minseok telah kehilangan kesabarannya.
"Brengsek kau Luhan!"
Ponsel Minseok tiba-tiba berbunyi. Sebuah pesan masuk.
"Kau sangat menggemaskan dengan wajah kesal mu Minseok."
Minseok mengerutkan keningnya. Apa-apaan maksud dari pesan ini. Minseok membaca pesan itu beberapa kali hingga Minseok kembali mencurigai pengirim pesan ini adalah Luhan. Minseok menghela napas lelah lalu memutuskan untuk kembali ke rumah.
Dalam perjalanan ke rumahnya, ponsel Minseok berbunyi. Si pengirim pesan menelfonnya. Minseok masih menimbang-nimbang apakah dia harus mengangkat telfon orang itu atau tidak. Dan bagaimana dia bisa berpikiran kalau sang pengirim pesan itu adalah Luhan? Minseok menggeleng cepat. Dia memasukan ponselnya di saku jaketnya dan kembali berjalan.
Lagi. Ponselnya berbunyi. Minseok menghela napasnya. Dia melihat nomer asing itu kembali menelfonnya. Dengan malas Minseok mengangkat panggilan dari line sebrang.
"Hallo."
"Minseok, kau adalah orang yang benar-benar menjengkelkan."
Minseok tercengang dengan apa yang orang itu katakan. Dia menghentikan langkah kakinya. Menoleh kesana kemari melihat sekeliling jalan yang dia lewati. Sepi. Tidak ada orang sama sekali. Minseok menelan salivanya pelan.
"Kau siapa?"
"Hanya orang yang begitu membenci mu."
"Luhan, aku tahu ini pasti kau."
Orang di line sebrang tertawa senang.
"Kau benar-benar orang yang menarik Minseok. Tidak salah jika Kris menyukai mu."
Mata Minseok menyipit. Mendengar nama Kris disebut oleh Luhan membuat Minseok geram. Tangannya mengepal kuat.
"Kau dimana sekarang? Aku ingin berbicara dengan mu."
"Berbaliklah dan kau akan menemukan ku."
Minseok berbalik dan melihat Luhan sedang berdiri di perempatan jalan. Melambaikan tanganya pada Minseok. Napas Minseok sebentar saja berhenti seketika ketika melihat Luhan. Tiba-tiba perasaan aneh Minseok rasakan. Aura yang begitu dingin dan juga mencekam Minseok rasakan ketika Luhan berjalan menghampirinya.
Perasaan takut menyelimuti diri Minseok. Dia merasakan tubuhnya tidak bisa bergerak sekarang. Bukan karena kekuatan telekinesis Luhan yang membuat tubuh Minseok tidak bisa bergerak melainkan rasa takut Minseok yang membuat kaki dan semua tubuhnya tidak bisa dia gerakan.
Luhan berhenti di depan Minseok. Tersenyum manis padanya. Minseok menaruh ponselnya kembali ke saku jaket. Bersikap begitu canggung di depan Luhan.
"Ada apa dengan diri ku?" tanya Minseok pada dirinya sendiri.
"Apa yang ingin kau bicarakan dengan diri ku Minseok?"
"Itu…soal Kris. Aku tahu kau yang membuat Kris menghilang."
Luhan tertawa.
"Apa alasan mu mengatakan hal itu? Kau mencurigai ku kalau aku yang menghilangkan Kris."
"Lebih tepatnya kau menculiknya."
Luhan semakin mendekat pada Minseok. Wajahnya dibuat sedekat mungkin hingga ujung hidung mereka berdua hanyaberjarak beberapa cm.
"Bagaimana bisa aku menculiknya? Jika kau tidak percaya, kau bisa menyentuh ku dan menemukan kebenarannya."
Minseok memalingkan wajahnya. Melihat Luhan sedekat ini mengingatkan akan kejadian waktu pertama kali mereka bertemu.
"Aku tidak mau."
"Jika kau tidak mau, kau akan terus mencurigai ku sayang."
Minseok masih memalingkan wajahnya. Luhan tersenyum gemas melihat sikap Minseok sekarang. Dia menyentuh dagu Minseok untuk kembali melihat wajahnya. Minseok terkejut. Sentuhan tangan di dagu Minseok membuat tubuh Minseok bergetar.
"Jika kau tidak mau menyentuh ku, aku yang akan menyentuh mu."
Luhan menarik leher Minseok untuk mendekat kepadanya. Potongan kisah Luhan mulai terlihat kembali di mata Minsok. Hanya saja bukan seperti yang Minseok lihat sebelumnya. Cerita tentang Luhan dan juga Sehun sedang bercakap ria, Luhan yang membantu orang di supermarket, mengunjungi panti asuhan dan menghibur mereka. Kisah Luhan yang begitu menarik dan hangat membuat Minseok tak bisa melepaskan pandangannya dari Luhan.
Luhan mulai mencium bibir Minseok lembut. Tangannya menarik pinggang Minseok agar semakin dekat. Minseok menutup matanya dan terus melihat potongan kisah yang telah Luhan lakukan akhir-akhir ini. Melihat potongan cerita kebaikan yang telah Luhan lakukan membuat Minseok semakin masuk dalam ciuman Luhan. Lumatan lembut dari ciuman mereka berdua semakin membuat Minseok melihat kejadian yang membuat dirinya nyaman.
Hingga ciuman Luhan yang semakin memanas dan Minseok semakin terjun ke dalam melihat kisah Luhan yang berubah-ubah. Minseok begitu menikmati melihat potongan kisah hangat yang Luhan lakukan hingga kisah itu berubah menjadi sebuah kisah tragis.
Minseok bisa melihat dengan jelas potongan bayang-bayang hutan yang gelap ketika Luhan semakin dalam menciumnya. Tiba-tiba Minseok mendorong Luhan menjauh darinya. Napasnya naik turun. Wajahnya berubah menjadi pucat memandang Luhan takut.
"Orang itu siapa Luhan?"
Luhan hanya memandang Minseok diam.
"Tubuh yang di penuhi dengan luka tusukan. Banyak sekali tusukan hingga membuat tulang rusuknya …." Minseok membengkap mulutnya dengan kedua tangan. Dia tidak sanggup melanjutkan kisah mengerikan yang dia lihat. Minseok menggeleng tak percaya. Pikirannya kini kembali pada kasus hilangnya Kris.
Luhan masih diam. Memandang Minseok dalam.
"Luhan, bagaimana kau tahu jika kemarin malam Kris tidak akan menjemput ku?"
"Kris yang mengatakannya sendiri kepada ku." nada suara Luhan begitu dalam.
"Tidak mungkin. Jika Kris tidak menjemput ku, dia pasti akan mengatakannya sendiri kepada ku. Kau kira aku akan percaya dengan mu."
Luhan berjalan pelan kearah Minseok. Wajahnya tiba-tiba menjadi datar dengan tatapan mata yang begitu dalam. Tatapan yang begitu menusuk hingga Minseok ketakutan.
"Kau tidak percaya dengan ku Minseok?"
Sebuah seringai mengerikan tercetak pada wajah Luhan.
"Kau telah membunuh Kris. Aku yakin kau yang membunuhnya."
"Diamlah jika kau tidak tahu kebenarannya. Jangan sok tahu hanya karena kau seorang psychometry."
Luhan kini berdiri tepat di depan Minseok. Tatapan dinginnya menusuk.
"Kau jangan menyentuh ku." suara Minseok terdengar bergetar.
Luhan kembali menampilkan seringaingannya. Tiba-tiba kedua tangannya mencengkram kurat kedua lengan Minseok.
"Lepaskan aku Luhan."
Minseok berusaha melepaskan cengkraman tangan Luhan yang kuat di lengannya. Minseok terlihat begitu takut. Tatapan Luhan yang terlalu menusuk kearahnya semakin membuat tubuh Minseok bergetar ketakutan.
"Luhan lepaskan aku!"
Cengkraman tangan Luhan semakin kuat. Dia tidak peduli dengan Minseok yang sekarang sedang berjuang melepaskan diri dari cengkramannya. Minseok takut, semua bayangan dari kisah pembunuhan itu kembali dia lihat. Pisau, darah, potongan tubuh manusia, organ tubuh yang tergeletak tak berdaya, dan berakir dengan bayangan Luhan yang membawa sebuah pisau penuh darah sedang memandangnya dengan jelas hingga selanjutnya tubuh Minseok tak sadarkan diri.
Tubuh Minseok jatuh di pelukan Luhan. "Jangan pernah membuat ku menyakiti mu Minseok." lalu Luhan menggendong Minseok menuju mobilnya. Membawanya ke tempat dimana dia bisa merawat Minseok.
…
