Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: YAOI, AU, OOC dan hal absurd lainnya

Pairing: Always NaruSasu, (BoltXMenma)

Rated: M for Mature and Sexual Content

Don't Like Don't Read

(Dedicated for opposite party part 2)


Two Love and a Marriage

.

By: CrowCakes

~Enjoy~

.


.

.

Ibu adalah sosok wanita yang penuh kelembutan dan penyayang, tidak hanya cantik dari luar tetapi juga dari dalam. Seseorang yang sangat berharga. Begitu berharganya hingga tidak dapat diganti ataupun dibuang.

Well, itu menurut kata-kata sok puitis seseorang yang selalu membaca buku dongeng ataupun menonton drama televisi. Tetapi bagi Menma—seorang remaja berumur 18 tahun—ibunya adalah sosok monster yang menyebalkan dan juga memuakkan, sangat berbanding terbalik dengan wanita-wanita kebanyakan.

Pagi itu Menma baru saja bangun dari tidurnya. Ia masih berbaring di tempat tidur saat seorang wanita berambut pink masuk ke dalam kamarnya dengan tiba-tiba.

"Kau selalu telat bangun dan kau tidak pernah merapikan kamarmu juga!" Wanita itu, Haruno Sakura, adalah ibunya. Dan Menma sama sekali tidak menyukainya. Terlebih lagi sifat dan sikap sang ibu yang sangat berbeda dari wanita kebanyakan. Sakura selalu berpakaian modis dengan perhiasan berlian yang menggantung di telinga, leher serta tangannya. Wajahnya juga selalu terpoles dengan make-up mahal keluaran terbaru, membuat dirinya terlihat sepuluh kali lipat lebih cantik. Sayangnya, hal itu tidak sesuai dengan sikapnya yang lebih mirip nenek sihir ketimbang putri-putri di negeri dongeng.

Sakura menatap jijik kamar anaknya itu. "Kau sudah dewasa, Menma. Bisakah kau merapikan kamarmu sendiri?!" Kesalnya. "Sarada, adikmu, dia lebih rapi dan juga sangat disiplin."

Menma menguap tidak peduli.

"Shut up." Ia bangkit dari kasurnya, membuat selimut yang menutupi tubuhnya merosot jatuh, menampilkan tubuh putih dengan lekuk otot yang sempurna. Tentu saja tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuh telanjangnya itu.

Sakura memekik kaget. "Ya ampun, Menma! Kau tidak sopan sekali telanjang dihadapanku! Aku ibumu!" Serunya lagi.

"Just shut up!" Bentak Menma, mulai jengkel.

Sakura terlihat terkejut saat pemuda itu membalas kalimatnya. Ia meraung marah. "DASAR ANAK KURANG AJAR! KAU BERANI MEMBENTAKKU?!"

Belum sempat Menma membalas teriakan ibunya itu, ayahnya sudah datang lebih dulu dengan wajah mengeras. Uchiha Sasuke, dibalut jas hitam mewahnya tengah mendelik ke arah Menma dan Sakura bergantian.

"Ada apa ini?" Tanyanya tenang namun menusuk.

Sakura menunjuk sengit ke arah hidung Menma. "Dia telanjang dihadapanku dan berani membentakku!" Adunya.

Menma hanya diam. Mata birunya menatap sang ayah dengan lekat, menunggu siapa yang akan dia bela. Istrinya tersayang ataukah dia?

Pandangan Sasuke semakin tajam ke arah sang anak. Tangannya terangkat siap untuk menampar. Disampingnya, Sakura menyeringai tipis.

PLAAKK!

Tamparan itu melandas dengan cepat dan cukup keras, melempar tubuh ramping Sakura ke lantai. Bekas tamparan terlihat jelas di pipi kanannya, tetapi bukan itu yang membuat ibunya kaget, melainkan sikap Sasuke setelahnya.

"Jangan. Pernah. Memarahi. Anakku." Desis sang Uchiha rendah dan dingin. Mata onyx-nya mendelik bengis. "Kalau aku melihat kau memarahi anakku lagi, aku tidak akan segan-segan melemparmu ke jalanan, mengerti?" Ancamnya.

"Kau tidak bisa melakukan hal ini, Sasuke! Aku istrimu!"

"Dan Menma anakku." Balas pria itu lagi.

Menma hanya berdiri diam melihat tubuh Sakura bergetar menahan kemurkaannya saat mendengar pernyataan suaminya itu. Menma juga bisa melihat kalau wanita itu mendelik bengis ke arahnya, seolah-olah Sakura bisa memenggal lehernya hanya dengan satu kali delikan saja.

"Terserah kau! Tetapi jangan harap aku akan lunak pada Menma!" Sahut Sakura seraya pergi ke luar kamar dan menutup pintunya dengan suara -BLAAMM!- yang sangat keras.

Menma menghela napas sebentar, kemudian memeluk ayahnya dari belakang. "Terima kasih, Papa." Ia mengalungkan kedua tangannya di pinggang ramping pria itu.

Sasuke berbalik dan tersenyum teduh. "Papa akan melakukan apapun untukmu, Sayang." Ia mengelus pipi putih anaknya, membelai tiga goresan garis di pipinya itu. Seakan-akan ayahnya sedang mengenang seseorang yang juga memiliki tanda yang sama.

Secara perlahan, Sasuke melepaskan pelukan sang anak dan menatap Menma dari atas sampai bawah. "Lihat dirimu sekarang. Kau sudah bertambah besar."

Menma menampilkan cengiran menawan. "Benarkah?" Ia berkacak pinggang, sombong. "Aku selalu 'besar'." Ucapnya ambigu.

Sasuke tersenyum tipis. "Bukan itu maksud papa, Menma." Ia mengacak rambut hitam sang anak. "Kau sudah dewasa. Berapa umurmu? 17 tahun?"

Menma memutar bola matanya, jengkel. "18 tahun, Papa." Ia mengambil boxer orange-nya yang tergeletak di lantai dan memakainya dengan cepat. "Minggu kemarin adalah ulang tahunku, ingat? Papa tidak datang karena mengurus bisnis ke luar negeri dan aku harus terjebak dengan ibu serta Sarada." Ungkapnya.

"Ah iya, maaf." Sasuke bersender di sisi meja belajar Menma. "Jadi kau ingin hadiah apa dari papa?"

Menma berhenti bergerak untuk memakai bajunya, ia menoleh dengan pandangan kaget. "Hadiah? Apapun yang kuinginkan?" Tanyanya lagi.

Sasuke mengangguk pelan. Menunggu.

Menma duduk di tepi ranjang seraya berpikir. "Bisakah aku minta satu hal, Papa?"

Sasuke mengernyitkan keningnya. "Huh? Memangnya kau ingin minta apa?"

Pemuda itu bangkit dari ranjang dengan cepat. "Tolong beritahu aku, siapa ibuku?"

Tubuh Sasuke menegang. Tanpa sadar wajahnya mulai memucat. "Apa maksudmu? Sakura adalah ibumu."

Menma mengerang, kesal. "Aku bukan anak-anak lagi, Papa." Sahutnya. "Aku bisa membedakan mana kebohongan dan kenyataan. Wanita itu bukanlah ibuku. Dia membenciku."

"Itu hanya perasaanmu saja. Sakura tidak membencimu." Sasuke memalingkan wajah, enggan menatap mata hitam itu.

Menma menyambar pundak Sasuke dan menunjuk pipi serta matanya. "Di bagian mananya yang mirip dengan ibu?" Tukasnya cepat. "Mataku hitam, sedangkan milik ibu hijau. Aku punya tanda lahir di pipi sedangkan ibu tidak. Jadi katakan, di bagian mananya yang mirip?" Kesalnya.

Sasuke bergerak gelisah. "Sarada juga tidak mirip dengan ibumu." Sahutnya.

Menma lagi-lagi mengerang. "Apa papa buta? Tidak lihat jidat lebarnya itu mirip dengan ibu? Dan sikap sombongnya juga?"

Sasuke mendesah lelah, kemudian melepaskan cengkraman sang anak dari pundaknya. "Mandilah lalu sarapan. Kau harus segera berangkat ke sekolah sebentar lagi."

"Papa, jangan mengalihkan topik."

"Aku tidak mengalihkan topik." Sasuke melirik jam tangannya. "Sudah hampir terlambat, papa harus bergegas ke kantor."

"Tunggu!" Menma menyambar lengan sang ayah. "Kalau papa tidak mau memberitahu ibuku, bisakah papa memberitahu margaku saja? Sejak kecil aku tidak punya marga, tidak marga Haruno ataupun Uchiha."

"Kau punya marga." Suara Sasuke terdengar tenang namun juga bergetar disaat bersamaan ketika mengucapkan hal itu.

"Apa nama margaku?"

Sang pria raven itu menatap manik hitam sang anak, kemudian memejamkan matanya dengan erat. "Maaf, papa tidak bisa memberitahumu sekarang."

"See?!" Menma mundur dengan wajah jengkel. "Sudah dipastikan kalau Sakura bukanlah ibuku! Jadi siapa ibuku?!"

"Menma, ini bukan mengenai siapa ibumu—" Sasuke memijat keningnya yang berdenyut sakit. "—Ini mengenai dari sperma siapa kau lahir."

"Apa maksudnya itu?" Menma menatap Sasuke dengan heran.

Wajah Sasuke semakin mengeruh. Ia benar-benar tidak ingin mengungkapkannya sekarang. Masih belum waktunya.

"Papa benar-benar harus berangkat sekarang." Sasuke kembali mengecek jam tangannya.

"Tapi, Pa—"

"Cepat mandi dan sarapan, oke?" Potong sang ayah lagi.

Menma sadar kalau percuma saja mendesak sang ayah lebih jauh lagi, jadi ia memutuskan hanya mengangguk dan masuk ke dalam kamar mandi dengan langkah gontai. Sedangkan Sasuke sendiri langsung bergerak ke luar kamar sembari meremas kedua tangannya. Menyembunyikan jari-jemarinya yang dingin dan gemetar.

Sasuke gugup dan panik. Ia mual dan hampir muntah memikirkan bahwa Menma sudah dewasa dan akan mengetahui rahasia yang disimpannya dalam-dalam. Perasaan itu benar-benar membuatnya tidak nyaman.

"Ughh—" Sasuke mengerang kecil saat merasakan perutnya terasa ditusuk-tusuk. Ia berpegangan pada dinding koridor, kemudian mencengkram perutnya yang sakit. "—Padahal sudah lama sekali, tetapi rasa nyerinya terus ada."

'Ini tidak bagus.' Batinnya dalam hati.

.

Menma turun dari kamarnya menuju ruang makan. Dimana sarapan sudah tersaji di atas meja, lengkap dengan gelas berisi susu hangat. Pemuda itu menarik salah satu kursi dan duduk disana dengan tenang sembari menyantap roti bakarnya.

Beberapa menit kemudian, Sarada, adiknya, turun dari kamar dengan dibalut seragam rapi dan sweater merah muda. Kacamata merah membingkai mata onyx-nya yang tajam, sedangkan rambut hitam pendeknya disisir rapi. Tipikal gadis perfeksionis.

Sarada mengambil tempat duduk di depan Menma, kemudian menata seluruh piring, pisau, garpu, dan gelasnya di tempat yang semestinya setelah di lapnya berulang kali.

Tangan rampingnya meraih roti bakar dan meletakkannya di atas piring. "Perfect." Gumam Sarada pelan.

Ia menyambar pisau dan garpu lalu memotong rotinya dengan etika sempurna, bahkan Menma hanya bisa memutar bola matanya dengan jengkel saat melihat sikap adiknya itu.

"Sarada, apa kau sudah menyiapkan bukumu, Sayang?" Suara Sakura terdengar. Ketukan high heels lancipnya menggema saat wanita itu turun dari anak tangga.

Sosok Sakura muncul dengan dibalut gaun merah muda ketat di atas lutut, memperjelas lekuk tubuhnya yang seksi. Belahan dadanya memanjang membentuk huruf V, menunjukkan bongkahan padat yang setengah menyembul keluar. Sedangkan wajah dan rambutnya di tata sedemikian apik untuk menunjang penampilannya. Menma bahkan bisa melihat bekas tamparan ayahnya disamarkan dengan alas bedak yang cukup tebal agar tidak terlihat.

Wanita itu duduk di samping Sarada sembari menenteng dompet serta jaket bulu tebalnya—yang juga bewarna merah muda terang. Ia mengusap pipi gadis itu dengan penuh sayang.

"Kau sudah menyiapkan buku pelajaranmu 'kan, Sayang? Bagaimana bekal sekolahmu nanti? Ah iya, jangan lupa rapikan baju seragammu dan juga rambutmu, bukankah hari ini adalah hari pertamamu masuk sekolah Konoha Gakuen?" Tanya Sakura panjang lebar.

Sarada mengangguk. "Semuanya sudah sempurna, Ibu." Jawabnya.

Sakura tersenyum puas. "Bagus sekali, Sayang. Kau memang anak yang terhebat..." Ucapnya seraya mendelik Menma dengan jijik. "...Berbeda sekali dengan seseorang yang tidak tahu diri." Sindirnya lagi.

"Siapa yang kau maksud tidak tahu diri itu?" Suara Sasuke terdengar tajam. Pria itu turun dari anak tangga dan duduk di kursi makan paling ujung, kursi utama.

Sakura terlihat bergerak salah tingkah dan segera bangkit dari tempat duduknya menuju Sasuke. "Ah, maksudku, Sarada berbeda dengan anak tetangga yang tidak tahu diri, begitu." Ujarnya seraya mengusap bahu pria Uchiha itu, berusaha agar tidak membuat Sasuke marah. "Oh iya, bagaimana dengan pekerjaanmu? Apakah hari ini akan ada rapat lagi, Sayang?"

Sasuke menepis sentuhan lembut Sakura di bahunya. "Apa maumu?"

Sakura sedikit kaget dengan sikap pria itu, namun ia berusaha menampilkan senyum cerahnya—yang bagi Menma sangat memuakkan. "Ah sayang, kau terlalu stres bekerja, makanya kau selalu marah-marah." Wanita itu duduk di samping Sasuke dengan cepat. "Begini Sayang, kau tahu kan tas mahal yang aku cari dari shop online itu? Nah, temanku punya stock-nya dan ingin menjualnya." Ia mengusap lengan Sasuke dengan manja, namun pria itu lagi-lagi menepisnya kasar.

Sasuke mendelik Sakura dengan ekor matanya. "Lalu?"

Sakura bergerak salah tingkah saat melihat tatapan Menma dan Sarada yang juga melirik ke arahnya. Kentara sekali kalau wanita itu menginginkan 'uang jajan'.

Sang Haruno tertawa gugup lalu tersenyum canggung ke arah suaminya. "Sayang, kau tidak mungkin tidak mengerti arti ucapanku 'kan?"

Sasuke memotong roti bakarnya dan memasukkan potongan kecil itu ke mulutnya. Sama sekali tidak peduli dengan ocehan Sakura. "Kau bisa membelinya dengan uang yang kuberikan kemarin."

"Ah soal itu—" Sakura lagi-lagi bergerak tidak nyaman di kursinya, seakan-akan ia sedang duduk di atas hamparan paku runcing. "—Kau lihat berlian ini?" Ia menunjukkan tangannya, dimana jari tengahnya tersemat cincin emas murni dengan berlian besar berkilau yang menghiasi atasnya. "Kemarin temanku menjual benda ini, katanya dia butuh uang. Sebagai sahabatnya, tentu saja aku harus menolongnya 'kan?"

"Jadi?" Sasuke berhenti makan dan melirik istrinya.

"Jadi—uhh—aku membeli cincin ini." Sambung Sakura lagi.

Sasuke mendengus dan segera bangkit dari meja makan. Sangat tidak peduli.

Sakura yang panik juga langsung ikut berdiri seraya menyambar lengan sang suami. "Ayolah, Sayang, kau tidak mungkin marah hanya gara-gara aku ingin menolong temanku 'kan?"

"Menolong?" Sasuke mendesis bengis. "Kau kuberi ratusan ribu dollar hanya untuk membeli cincin berlian dengan alasan menolong teman? Apa kau pikir aku bodoh?" Katanya tajam.

Menma dan Sarada yang melihat Sasuke marah tidak berani berbuat apa-apa. Dua remaja itu hanya diam sembari pura-pura terlihat sibuk memakan sarapan mereka.

Sakura memutar otak. "Sayang, aku berbuat begini juga untukmu dan untuk menunjang penampilanku juga. Kau pasti suka 'kan kalau melihatku cantik?" Rayunya lagi.

BRAAKK!—Sasuke menggebrak meja makan dengan kasar. Sanggup membuat bahu Sarada dan Menma tersentak kaget.

Pria Uchiha itu tidak berteriak ataupun meraung, ia hanya menatap bengis ke arah istrinya. Cukup untuk memberitahu bahwa ia murka dan siap membunuh wanita itu kapan saja.

Sakura mundur perlahan, ketakutan saat melihat wajah mengeras Sasuke.

Atmosfir ruang makan berubah menjadi tidak mengenakkan. Sangat berat dan tegang, seakan-akan hawanya saja sudah sanggup mencekik leher Menma hingga mati kehabisan napas. Sarada juga terlihat tidak nyaman menyantap sarapannya saat melihat pertengkaran kedua orangtuanya itu, ia bahkan menjauhkan piringnya dan memilih diam di kursinya saja. Menunggu permasalahan itu selesai.

Melihat suasana yang tidak mengenakkan itu, Sakura kembali angkat bicara. "Uhm, Sayang, kau tidak perlu memberikan aku uangnya sekarang. Aku bisa menunggu sampai besok kok."

Menma yang mendengar hal itu hanya bisa mengusap wajahnya letih. Seakan-akan ia ingin mengatakan kalau ibunya itu sama sekali tidak bisa membaca keadaan. Tidakkah Sakura sadar kalau Sasuke sedang murka? Dan membicarakan masalah uang sama sekali tidak membantu? Setidaknya ucapkan permintaan minta maaf dibandingkan mengatakan menunggu uangnya diberikan besok. Fucking hell!

Seperti yang Menma duga, Sasuke lebih murka daripada sebelumnya. Pria itu menyambar lengan Sakura dan menyentaknya dengan keras. "KALAU INGIN UANG, CARI SENDIRI?! KALAU PERLU JUAL SAJA TUBUHMU! AKU TIDAK PEDULI!" Raungnya, meluapkan emosi.

Sakura terlonjak kaget, ia menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Sa—Sayang, kenapa kau tega..."

"DIAM!" Sasuke kembali menggebrak meja. Membuat kedua anaknya kembali tersentak kaget. "Jangan berani minta uang lagi padaku, aku bukan ATM berjalan ataupun bank pribadimu!" Tambahnya seraya bergerak pergi.

Sakura yang panik berusaha mengejarnya. "Sayang, tunggu!" Ia terseok-seok berlari dengan high heels lancipnya sembari menenteng dompet dan jas bulu tebalnya. "Sayang aku mohon, jangan begitu padaku..." Ujarnya lagi, meninggalkan Menma dan Sarada di ruang makan.

Kedua remaja itu menghela napas bersamaan saat suara Sakura dan Sasuke menjauh. Akhirnya atmosfir tegang pun berlalu, membuat perasaan mereka sedikit lega.

Jujur saja, mendengarkan pertengkaran kedua orangtuanya saat sarapan membuat nafsu makan menurun drastis. Menma bahkan enggan menghabiskan roti bakarnya yang sisa setengah itu, perutnya sudah terlebih dahulu kenyang mendengar omong kosong ibunya sejak tadi.

Menma bangkit dari kursi dan menyambar tas ranselnya. Lebih baik ia segera berangkat ke sekolah daripada menjadi gila karena mendengar celotehan ibunya nanti.

.

.

_Coffee Cafe, pukul 10.00 pagi_

.

Naruto duduk di salah satu meja sembari mengaduk capuccino miliknya. Sesekali matanya melirik ke arah pintu masuk cafe hanya untuk memastikan bahwa orang yang ditunggunya sudah datang. Namun sejak tadi yang dilihatnya hanyalah pengunjung biasa yang tidak dikenal.

Pria pirang itu mendesah pelan. Ia merapikan kerah jas abu-abunya dan kembali mengaduk cappucino-nya tanpa semangat.

Criing!—Lonceng yang tergantung di atas pintu cafe berbunyi nyaring, tanda ada pengunjung lain yang masuk. Naruto segera mendongak dari cangkirnya dan menatap ke arah pintu dengan seksama.

Mata biru jernihnya menangkap sosok Hyuuga Hinata yang dibalut gaun sederhana berwarna lavender sampai lutut, rambut hitam panjangnya di gerai indah menampilkan sosok lembutnya. Di samping kiri dan kanannya berdiri dua orang remaja; Uzumaki Boruto dan Uzumaki Himawari.

Naruto menyambut ketiga orang itu dengan senyuman lebar sembari melempar lambaian tangan agar Hinata dan anak-anaknya menuju ke mejanya. Wanita Hyuuga itu membalas dengan senyuman tak kalah lembutnya, ia melangkah pelan menuju Naruto dan duduk di hadapan pria pirang itu.

"Halo Naruto-kun, lama tidak bertemu." Ujarnya.

Naruto tersenyum teduh. "Yeah, berapa tahun sejak perceraian kita?"

"Entahlah, aku lupa. Mungkin sejak Boruto dan Himawari kecil." Hinata memanggil salah seorang pelayan dan membawakan minuman untuknya dan kedua anaknya. "Moccacino please."

"Hot chocolate." Himawari menyambar cepat dengan senyum malu-malunya. Kemudian melirik sang kakaknya. "Kakak, kau ingin minum apa?"

"Sama seperti ayah, cappucino." Jawab Boruto pelan.

Naruto hanya tersenyum melihat sikap kedua anaknya yang sama sekali tidak berubah.

Hinata berdehem sejenak seraya merapikan rambut hitamnya ke sisi telinga. "Bagaimana pekerjaanmu sekarang? Kau pindah kesini, ke Konoha, untuk melanjutkan pekerjaanmu kan?"

Naruto mengaduk cappucino-nya lagi. "Ya, aku pindah kesini untuk mengurus segala kepentinganku. Pekerjaan di bidang medik sangat menguras tenaga dan otak."

"Lalu bagaimana dengan penelitianmu?" Hinata berhenti berbicara sejenak saat minuman pesanannya sudah datang. Ia menyesap moccacino manisnya sebelum kembali bicara. "Apakah sudah ada kemajuan sampai sekarang?"

"Masih belum." Naruto berhenti mengaduk minumannya dan menatap Hinata dengan serius. "Bisakah aku bicara empat mata denganmu?" tanyanya serius.

Hinata mengangguk kecil kemudian melirik Himawari. "Sayang, bisakah kau dan kakakmu membelikan ibu roti di toko sebelah?" Ujarnya.

Himawari yang mengerti tanda yang diberikan ibunya hanya mengangguk pelan. "Kak, ayo kita beli roti." Ajaknya.

Boruto yang tengah meminum cappucino-nya hanya menatap bingung. Sama sekali tidak peka. "Huh? Untuk apa? Kau kan bisa membelinya di cafe ini." Ujarnya lagi seraya menunjuk counter cafe yang juga menjual beraneka macam jenis roti.

Himawari berdecak jengkel dan segera menarik lengan sang kakak untuk menjauh. "Cepatlah, Kak." Paksanya lagi seraya menyeret Boruto keluar dari cafe secepatnya. Meninggalkan kedua orangtuanya disana.

Setelah kepergian dua anaknya, Hinata beralih menatap mantan suaminya itu seraya berdehem kecil. "Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?"

Naruto menegak minumannya sebelum angkat bicara. "Aku minta maaf karena sudah menceraikanmu saat itu."

Hinata tersenyum lembut. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, bukankah kita bercerai dengan cara yang damai?" Mata lavendernya menatap keluar jendela, mengamati orang yang berlalu lalang. "Bagaimana dengan orang itu?"

"Orang itu?" Naruto menatap Hinata dengan kening mengernyit heran, namun detik selanjutnya ia sadar siapa yang tengah dibicarakan oleh wanita itu. "Oh dia..." Ada jeda kecil sebelum pria itu kembali bicara. "...Aku mencoba mencarinya selama bertahun-tahun ini, tapi aku tidak tahu kemana dia pergi."

Hinata kembali menyesap minumannya. "Kau kembali ke Konoha karena mendengar orang itu tinggal disini 'kan?"

Naruto mengangguk. "Ya, aku mencarinya di segala penjuru kota dari Konoha, Suna, Iwa, Kumo, Kiri dan kembali lagi ke Konoha, namun orang itu tidak bisa ditemukan juga."

"Dia menyembunyikan dirinya dengan baik." Hinata menyela sesaat.

Naruto mendengus kecil dengan senyum pasrah. "Ya, dia memang selalu begitu. Sulit ditemukan."

Hening tercipta selanjutnya. Tidak ada yang mau membicarakan hal itu lagi, seakan-akan mereka sadar kalau membicarakan orang itu hanya akan membuka luka lama. Terlebih lagi luka hati Naruto yang sudah disimpannya dalam-dalam.

Bersyukurlah atmosfir canggung itu langsung buyar seketika saat Himawari dan Boruto sudah datang membawa sekantong kecil roti cokelat hangat. Kedua remaja itu langsung duduk di tempat masing-masing dan menikmati minuman mereka.

Himawari menyerahkan kantong roti tadi ke ibunya dan Hinata menyambutnya dengan senyum lembut. "Terima kasih, Sayang." Sahutnya halus. Kemudian ia kembali menatap ke arah Naruto. "Jadi, dimana kau tinggal sekarang?"

"Aku membeli rumah, hanya rumah sederhana saja, tidak besar dan juga tidak kecil." Jawab Naruto.

"Membeli rumah? Kenapa tidak tinggal di apartemen saja? Atau beli rumah yang lebih besar? Aku yakin pendapatanmu sebagai ilmuwan pemerintah sekaligus dokter ternama sanggup membayar satu gedung apartemen mewah." Ucap Hinata sembari tertawa kecil.

Naruto terkekeh sejenak. "Oh ayolah, aku hidup sendiri sekarang, jadi percuma aku membeli tempat tinggal yang besar. Cukup yang sederhana saja."

Hinata mengangguk pelan, memaklumi. Ia meletakkan cangkir moccacino-nya yang telah habis kemudian melirik jam tangannya. "Maaf, Naruto-kun, tetapi aku harus pergi sekarang. Suamiku mungkin akan pulang kerja sebentar lagi, jadi aku harus pulang untuk menyiapkan makanan."

Naruto menatap lekat Hinata. "Kau sudah menikah sekarang? Dengan siapa? Apakah aku mengenalnya?" Tanyanya penasaran.

Hinata menunduk malu-malu. "Ya, aku menikah dua tahun yang lalu. Dia pria baik dan hanya pegawai kantoran biasa. Kau tidak mengenalnya." Jawabnya lagi.

Naruto menampilkan cengiran lebar. "Selamat ya, kau memang pantas untuk bahagia."

Hinata tersenyum lembut kemudian mengusap punggung tangan Naruto. "Kau juga pantas untuk bahagia Naruto. Cari dia dan dapatkan dia kembali."

"Tapi aku tidak tahu dimana dia sekarang berada."

Lagi-lagi wanita lavender itu hanya tersenyum lembut. "Kalau waktunya tiba, kau pasti akan menemukannya." Hinata bangkit berdiri. "Ayo, Himawari, Boruto, kita pulang."

Himawari mengangguk dan mengecup pipi Naruto. "Bye, Ayah, kapan-kapan kita akan bertemu lagi."

"Ya, Himawari-chan, jaga dirimu baik-baik, oke?"

Gadis itu mengangguk senang, kemudian berbalik menatap sang kakak yang masih tetap duduk di tempatnya. "Kak, ayo pulang."

Boruto mencengkram gelas cappucino-nya dengan erat, membuat Hinata yang melihat hal itu hanya mengerutkan dahi heran.

"Boruto, ada apa? Ayo kita pulang." Ajak sang ibu lemah lembut.

Pemuda itu menggeleng tegas lalu menatap Hinata dengan serius. "Aku ingin tinggal dengan ayah."

"Hah?" Hinata membelalakkan matanya dengan kaget. "Kenapa? Apa kau tidak suka tinggal dengan ibu?"

"Bukan begitu, hanya saja, sejak kecil aku selalu tinggal dengan ibu, jadi aku berpikir mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk tinggal dengan ayah." Mata biru cerah itu menunjukkan keseriusannya. "Aku akan menemani ayah agar tidak kesepian lagi."

Hinata dan Naruto berpandangan sejenak, kemudian wanita itu tersenyum lagi. "Baiklah, ibu mengijinkannya. Ingat, jangan sampai kau merepotkan ayah, mengerti?"

Boruto menampilkan cengiran lebar. "Tentu saja tidak, aku kan sudah dewasa, benar kan, Ayah?" Ucapnya, meminta pendapat.

Pria pirang itu tertawa lalu mengacak kepala putra sulungnya itu. "Ya, aku juga berjanji akan merawatmu dengan baik."

Hinata tersenyum lega. "Kalau begitu, aku pamit dulu Naruto-kun. Tolong jaga Boruto baik-baik." Tangannya terjulur untuk berjabat.

Naruto segera menyambut jabatan tangan itu dengan cepat. "Ya, aku akan menjaga Boruto dengan baik." Ucapnya dengan senyum teduh.

.

.

.

_Kediaman Uzumaki, pukul 11.00 pagi_

.

Naruto dan Boruto—duo ayah-anak itu terlihat sibuk mengurus kepindahan mereka ke rumah baru yang akan ditempati oleh mereka berdua. Naruto bahkan terlihat tengah mengangkut kardus-kardus dari mobil dan memasukkannya ke dalam rumah. Sedangkan Boruto sibuk menata beberapa barang di sudut ruangan.

Naruto menyeka keringatnya sebentar sebelum melirik sang anak yang sedang meletakkan televisi besar mereka di tembok terdekat.

"Kurang tinggi, Boruto. Letakkan yang benar." Ujar pria pirang itu menginterupsi.

"Begini?" Sang anak kembali memposisikan benda tersebut dengan hati-hati. "Apa sudah cukup?"

"Ya, sempurna." Naruto menghempaskan dirinya di sofa terdekat untuk beristirahat. "Barang-barangmu sudah ayah letakkan di dalam kamar. Cepat bereskan, oke?"

Boruto mengangguk dan segera beranjak ke lantai dua untuk menuju kamarnya. Sedangkan Naruto memilih menyamankan posisi duduknya di sofa, mencoba untuk berisitirahat sejenak.

Mata birunya memandang ke sekeliling ruangan. Rumah itu tidaklah besar tapi juga tidak kecil, hanya sebuah tempat tinggal minimalis berlantai dua yang didominasi dengan warna putih bersih. Di sisi kanan terdapat pintu kaca yang mengarah langsung ke halaman samping rumah, dimana taman dan rumput hijau terpapar indah. Sedangkan di sisi kiri terdapat dapur kecil yang keseluruhannya berwarna campuran putih dan hitam. Rumah itu sangat nyaman untuk ditinggali oleh dirinya dan Boruto.

Naruto mendesah sesaat, kemudian segera beranjak dari sofa menuju kamarnya untuk berbenah. Ia mengangkut satu kardus penuh barang-barang berharganya, dari benda elektronik sampai hiasan meja berbentuk unik yang dibelinya dari luar negeri.

Pria pirang itu menata barangnya satu persatu. Meletakkannya dengan rapi di atas lemari kecil samping tempat tidur. Tetapi tangannya langsung terhenti di udara saat melihat sebuah figura foto yang tergeletak di dalam kardusnya. Di dalam foto itu, terlihat Naruto tengah merangkul bahu seorang cowok sambil tertawa lebar, sedangkan cowok yang dirangkulnya hanya menampilkan raut wajah bosan.

Naruto membelai kaca figura itu dengan lembut lalu meletakkannya di atas meja, tepat disamping tempat tidurnya.

Ia masih mengingat dengan jelas setiap lekuk wajah cowok tersebut. Senyum dinginnya, ekspresi tajamnya, dan sikap ketusnya, seakan-akan Naruto baru saja bertemu dengannya kemarin sore. Terdengar menggelikan memang, mengingat mereka tidak pernah bertemu hingga bertahun-tahun lamanya.

Naruto mendesah, ia menghempaskan pantatnya di tepi ranjang sembari mengusap wajahnya yang letih. Jujur saja, kegiatan mengangkut barang ke rumah barunya ini cukup membuat seluruh sendi ditubuhnya berontak minta istirahat. Mungkin ia harus tidur sejenak sebelum kembali merapikan ruangan yang lain.

Tok!Tok!Tok!

Ketukan halus di pintu kamar membuat Naruto harus menolehkan kepala. Matanya menangkap sosok Boruto yang tengah bersender di ambang pintu sembari menyilangkan kedua lengan. Sepertinya Boruto baru saja selesai mandi setelah membereskan kamarnya, terlihat dari rambut pirangnya yang berantakan dan masih basah.

Pemuda itu memakai baju kaos jingga dengan celana panjang berwarna hitam, memperlihatkan bentuk tubuh yang tinggi tegap serta atletis. Rambut pirangnya dibiarkan berantakan begitu saja, menampilkan kesan liar yang sangat mirip dengan sang ayah. Ditunjang mata birunya yang tajam serta dua goresan di masing-masing pipinya, membuat wajahnya semakin terlihat tampan. Benar-benar replika dari seorang Uzumaki Naruto.

"Apa aku mengganggu, Ayah?" Tanyanya, membuka suara.

Naruto menggeleng sejenak. "Masuklah." Jawabnya.

Boruto segera mengambil tempat untuk duduk di samping pria itu. Ia meregangkan otot tubuhnya sejenak sebelum memulai percakapan. "Well, sudah lama kita tidak mengobrol secara santai." Ujarnya seraya menampilkan cengiran yang lebar.

Naruto tertawa kecil, tangan kanannya meraih kepala Boruto dan mengusapnya penuh sayang. "Kau benar. Kita sudah lama berpisah dan sama sekali tidak pernah mengobrol." Pria pirang itu menghentikan usapannya. "Jadi, kau ingin mengobrol tentang apa?"

Boruto mengedikkan bahunya. "Entahlah, aku tidak tahu. Aku tidak bisa membuka obrolan."

"Bagaimana kalau tentang pacarmu?" Goda Naruto seraya meninju pundak sang anak, bercanda.

Boruto mengerang jengkel. "Oh come on, aku tidak punya pacar, Ayah."

"Benarkah? Kau'kan tampan sepertiku, jadi seharusnya kau sudah punya pacar." Kata Naruto.

"Lalu bagaimana dengan ayah? Ayah juga tidak punya pacar atau pendamping baru seperti ibu." Balas Boruto.

Naruto menggaruk belakang kepalanya dengan canggung. "Tidak ada yang suka pada ayahmu ini. Well, bisa dibilang aku sangat kaku menghadapi wanita."

"Kalau 'dia' bagaimana?" Boruto menunjuk foto yang berada di atas meja samping tempat tidur sang ayah. "Dia bukan wanita, jadi ayah bisa mendekatinya."

Naruto membelalakkan matanya dengan kaget sekaligus heran. "A—Apa maksudmu?"

Boruto kembali menampilkan cengirannya. "Ibu sudah mengatakan padaku kalau ayah tidak tertarik pada wanita. Secara garis besar, ayah adalah seorang gay." Jawabnya lantang.

Naruto mulai panik. "Boruto, dengar—"

Sang anak mengangkat kedua tangannya dengan cepat, seakan-akan menyuruh ayahnya untuk diam sejenak. "Ayah yang harus mendengarkan aku, oke?" Ia menangkap kedua bahu Naruto dan menatap mata biru laut yang tengah gelisah itu. "Aku tidak peduli dengan pendapat orang lain mengenai 'gay'. Yang kupedulikan hanya kebahagiaanmu, dan sejujurnya, aku tidak masalah tentang semua ini."

Naruto diam, mencoba menatap mata sebiru laut yang sama persis dengan miliknya. "Apa kau sungguh-sungguh?" Tanyanya ragu. "Apa kau tidak marah denganku?"

"Oh for god's sake, kenapa aku harus marah?" Erang Boruto jengkel seraya melepaskan genggamannya di pundak sang ayah. "Kau ayahku, rasa sayangku tetap tidak akan berubah walaupun kau seorang gay. Jadi jangan mengkhawatirkan soal itu, oke?"

Naruto bisa sedikit menghela napas lega, ia kembali mengacak rambut pemuda itu penuh sayang. "Kau sangat mirip dengan Hinata. Kalian berdua terlalu baik."

Boruto membalas pujian itu dengan cengiran lebar. "Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang? Apakah aku harus membersihkan ruangan lain?" Tanyanya.

Naruto berpikir sejenak. "Kita kesampingkan urusan bersih-bersih ini, ada hal yang perlu diurus terlebih dahulu." Jawab pria itu sembari mengambil beberapa dokumen dari dalam kopernya dan menyerahkan kertas-kertas tadi ke tangan sang anak.

Boruto menerima kertas tersebut dengan pandangan berkerut heran. "Apa ini?"

"Surat kepindahan sekolah. Besok kau akan pindah ke Konoha Gakuen." Ujar Naruto tersenyum lebar.

"Konoha Gakuen?" Boruto mengulang dengan mengernyitkan kening. "Bukankah tempat itu sangat—err—ter-favorite? Maksudku, murid-murid disana sangat jenius, aku bisa terlempar keluar kalau tidak pintar." Keluhnya.

"Karena itu aku ingin menyekolahkanmu disana, agar kau pintar dan menjadi ilmuwan sepertiku."

"Dad, i don't want to be a scientist. That's boring." Erang Boruto menekukkan wajah.

"Fine." Naruto memutar bola matanya. "Lalu kau ingin menjadi apa?"

"Pemain sepakbola." Boruto menjawab mantap seraya menatap sang ayah dengan mata berbinar.

"Menjadi pemain bola juga harus pintar, jadi kau tetap akan bersekolah di Konoha Gakuen." Terang Naruto lagi.

Boruto mengerang untuk kesekian kalinya dan menghempaskan tubuhnya ke kasur. "Whatever." Ucapnya, pasrah.

Naruto tersenyum puas, kemudian menepuk kepala sang anak. "Kembali ke kamarmu dan beristirahatlah, malam ini kita akan makan di luar."

"Malam ini? Makan di luar?" Boruto melirik tertarik.

"Yup, ke restoran ramen yang paling terkenal di Konoha."

Bibir sang anak sumringah.

"Yahuu~" Ia melompat dari kasur dan segera ke luar kamar, meninggalkan Naruto yang terkekeh kecil memaklumi sikap pemuda itu.

.

.

_Kediaman Uchiha, pukul 19.00 malam_

.

Menma tengah berbaring di kamarnya sembari membaca buku novel misteri kesukaannya, sampai sebuah seruan dari seberang kamar mengganggu kegiatannya.

"Ibu, kembalikan tabunganku!" Teriakan Sarada menggema nyaring melewati solidnya tembok, membuat Menma penasaran dan beranjak dari kasur untuk melihat keadaan.

Pemuda itu membuka pintu kamar dan bersender di sisinya ketika adegan saling tarik menarik dompet antar ibu dan anak terpampang dihadapannya.

Sakura dengan jaket bulu berwarna putih dan rok hitam mini tengah sibuk menarik paksa dompet milik Sarada. Sepertinya wanita berambut merah jambu itu akan pergi ke luar bersama teman-temannya untuk berbelanja, tetapi Menma yakin kalau ia sama sekali tidak diberikan uang saku oleh ayah karena sikap borosnya itu.

"Ibu, jangan ambil dompetku!" Sarada terus mempertahankan dompet berwarna pink-nya saat Sakura mencoba sekuat tenaga untuk merebutnya.

"Ibu tidak mengambil, ibu hanya meminjam! Cepat serahkan uang tabunganmu dulu, nanti ibu ganti!" Paksa Sakura seraya memukul-mukul tangan sang anak agar berhenti meronta.

"Ibu!" Sarada berteriak keras. Ia menghentakkan kakinya dengan kesal ke lantai ketika dompetnya berhasil disambar. "Bukankah ibu tidak diperbolehkan oleh ayah untuk belanja macam-macam lagi?!"

Sakura berdecak. "Ayahmu itu kolot." Wanita itu mengobrak-abrik isi dompet Sarada dan mengambil beberapa kartu kredit gadis itu. "Bagi wanita, tas itu adalah segalanya." Ujarnya seraya melempar dompet sang anak ke lantai, tidak peduli.

Sarada menghentakkan kakinya kesekian kalinya dengan kesal. "Ibu! Kau mengambil semua kartu kreditku! Itu uang beasiswaku yang kutabung sejak SMP!" Teriaknya frustasi.

Sakura mendelik sewot. Ia memukul lengan sang anak dengan jengkel. "Aiishh, diamlah. Nanti ibu ganti!" Ucapnya seraya pergi sembari menenteng tas mewahnya dan berjalan melewati kamar Menma dengan angkuh. Bahkan ia enggan menatap wajah pemuda itu ketika melewatinya.

Menma sama sekali tidak peduli dengan ibunya. Ia melirik sang adik yang hampir menangis ketika mengambil dompetnya yang tergeletak di lantai.

"Kau tidak apa-apa?" Tanyanya dengan tenang dari ambang pintu kamar.

Sarada melirik sekilas. "Tidak apa-apa, Kak." Ucapnya sembari memunguti lembaran uang kertas dan recehan yang tercecer di lantai.

Merasa kasihan, Menma membantu sang adik memunguti uang recehan tersebut. "Aku akan bicara dengan papa mengenai ibu." Ujarnya membuka suara.

Sarada menggeleng pelan. "Tidak perlu. Sifat ibu memang seperti itu, kita hanya membuang-buang waktu meladeninya."

Menma menyerahkan uang recehan yang dipungutnya ke arah Sarada. "Apa kau tidak benci pada ibumu?"

"Aku tidak bisa membenci ibuku. Kalau marah mungkin iya." Sahut Sarada lagi. "Terima kasih, Kak." Ujarnya setelah uangnya yang tercecer terkumpul semua.

Menma hanya mengangguk kecil ketika sang adik mengucapkan terima kasih. Ia memang tidak membenci adiknya, hanya saja mereka jarang mengobrol sejak kecil, jadi ketika harus bicara, mereka berdua akan sama-sama canggung.

Ketika Menma ingin berbalik menuju kamarnya, sosok Sasuke terlihat berjalan di koridor sembari melonggarkan kancing jas hitamnya. Sepertinya sang ayah habis pulang kerja.

"Ada apa ini?" Tanyanya ketika melihat wajah Sarada yang kusut hampir menangis. Ia melirik ke arah Menma dengan curiga.

"Bukan aku." Tanggap Menma cepat seraya mengangkat kedua tangannya ke udara.

Sarada yang melihat hal itu langsung membuka suara agar sang ayah tidak salah paham. "Ini tidak ada sangkut pautnya dengan kakak." Ucapnya tegas.

"Jadi kalau bukan karena ulah kakakmu lalu karena apa? Wajahmu itu kusut sekali." Kata Sasuke seraya mendekat.

Sarada terlihat enggan untuk menceritakan yang sesungguhnya, namun Sasuke bisa menebak semuanya hanya dengan melihat anak gadisnya yang tengah mencengkram sebuah dompet dengan kuat. Kalau urusan dompet dan uang sudah dipastikan biang keroknya adalah istrinya sendiri.

"Apa karena ibumu?" Sasuke menebak jitu.

Sarada terlihat bergerak gelisah di tempatnya.

Melihat tebakannya benar, Sasuke hanya bisa mengerang jengkel. Ia mengusap wajahnya dengan letih. "Katakan pada papa, apa yang dilakukan ibumu?"

Sarada menunduk diam. "Ibu mengambil semua kartu kreditku untuk berbelanja tas." Sahutnya jujur.

Sasuke mendesah lelah. Seakan-akan seluruh permasalahan keluarga yang terjadi dikarenakan keberadaan wanita berambut pink itu. Ia memijat keningnya sebentar sebelum menepuk kepala Sarada penuh sayang. "Tenang saja, papa akan pastikan semua uang tabunganmu tetap dengan nominal yang sama. Urusan ibumu serahkan pada papa, oke?"

Sarada mengangguk. "Terima kasih, Papa."

Sasuke tersenyum kecil. "Sama-sama, Sayang. Ngomong-ngomong, apa kalian berdua ingin makan malam di luar dengan papa?" Tanyanya lagi seraya menatap Menma dan Sarada bergantian.

Menma mengangguk dengan mantap. "Ya, aku mau. Lagipula sejak tadi aku sudah sangat lapar dan ingin makan ramen spesial." Adunya.

Sedangkan Sarada menggeleng pelan. "Maaf papa, tapi aku harus mengerjakan pekerjaan rumah untuk dikumpulkan besok, kalau tidak, aku bisa dihukum oleh guru." Ujarnya agak kecewa.

Sasuke menepuk kepala anak gadisnya dengan lembut. "Papa mengerti, nanti akan papa bawakan oleh-oleh saat pulang." Sahutnya menghibur.

Sarada tersenyum kecil dan langsung masuk ke dalam kamar setelah sebelumnya membungkuk hormat pada kakak serta ayahnya itu.

Menma menguap sembari merenggangkan ototnya. "Ngomong-ngomong, Pa, kita akan makan malam dimana?"

Sasuke melepaskan jas hitamnya dan menyampirkannya di lengan. "Di restoran ramen yang sangat kau sukai itu."

Menma mengerjap tidak percaya. "Di Ichiraku ramen?"

Sasuke mengangguk. "Ya, kita akan kesana."

"Yes!" Menma bersorak meninju udara dengan wajah sumringah. "Tunggu sebentar, Pa. Aku akan berganti pakaian dulu." Ucapnya semangat seraya masuk ke dalam kamar.

.

.

.

_Ichiraku Ramen Restourant, pukul 20.00 malam_

.

Naruto dan Boruto menikmati makan malam mereka dengan semangkuk besar ramen spesial. Sang anak terlihat senang menyeruput kuah ramen yang penuh kaya rasa itu, ia bahkan hampir tersedak kalau saja Naruto tidak langsung menyodorkan air putih ke arahnya.

"Makan dengan pelan, Boruto. Kau bisa mati tersedak." Kelakar sang ayah.

Pemuda pirang itu terkekeh pelan. "Maaf, aku hanya terlalu bersemangat dengan ramen enak ini." Katanya.

Naruto mendengus geli. Ia memainkan mie-nya sembari menatap ke sekeliling restoran, tempat itu tidak terlalu mewah namun memancarkan suasana yang elegan dan fancy. Para pelayan terlihat berpakaian kemeja putih rapi dan melayani para pengunjung dengan senyum cerah ceria, beberapa ornamen modern dan tanaman hijau menghiasi sudut-sudut ruangan, sedangkan di bagian kiri, terlihat bar kecil untuk para pengunjung yang ingin menikmati sushi dan bir.

Naruto kembali mengedarkan pandangan ke bagian kanan. Tidak ada yang spesial di sudut sana, hanya sebuah toilet umum bagi pengunj—

Kalimatnya terhenti mendadak.

Pria pirang itu membeku seketika saat mata biru cerahnya menangkap sosok seorang pria berambut raven dan berpakaian jas hitam mewah terlihat memasuki toilet. Cara berdiri, sikap jalannya, dan wajah stoic-nya, semua itu mengingatkan Naruto dengan satu sosok yang sangat familiar.

Uchiha Sasuke.

Grakk!—Naruto memundurkan kursinya tiba-tiba dan langsung berdiri tanpa mengalihkan pandangannya ke arah toilet.

Boruto menatap sang ayah dengan pandangan bingung. "Ada apa, Yah? Kau ingin ke toilet?" Tanyanya.

Naruto tidak menjawab dan hanya mengangguk cepat.

"Tunggu disini, ayah akan segera kembali." Perintahnya seraya bergerak tergesa-gesa melewati beberapa meja pengunjung untuk menuju toilet.

Jantung Naruto berdebar. Kegugupan merayapi tubuhnya. Perasaan senang, kaget, dan rindu bercampur aduk menjadi satu. Selama ini ia terus mencari orang itu di seluruh penjuru kota layaknya seekor anjing yang mencoba kembali pada majikannya. Memang bukan kiasan yang bagus untuk mendeskripsikan dirinya, but who cares? Yang terpenting adalah Naruto sangat merindukan pria itu.

Dan kalau ternyata benar yang dilihatnya adalah Sasuke, apa yang harus dikatakannya nanti? Lebih tepatnya, apa yang akan dilakukannya?

Brak!—Naruto membuka pintu toilet pria secara tiba-tiba.

Tidak ada pengunjung yang berada di dalam toilet tersebut, kecuali satu orang yang tengah mencuci tangan di bagian wastafel. Orang itu tidak menatap cermin dihadapannya dan terus menunduk. Sepertinya ia tengah berusaha mencuci noda yang terciprat di bagian jas hitamnya.

Naruto bergerak perlahan, tangannya terjulur untuk menyentuh pundak pria itu. Tepat ketika ujung jarinya bersentuhan dengan jas orang tersebut, Naruto tidak dapat lagi menahan rasa penasarannya dan segera menyambar lengan orang dihadapannya dan memaksa pria tersebut untuk bertatapan wajah.

"SAS—!" Seruan Naruto terhenti saat melihat bahwa pria dihadapannya bukanlah orang yang tengah dicarinya.

Pemuda di depannya itu seumuran dengan Boruto dengan rambut hitam, kulit putih dan memiliki tiga goresan di masing-masing pipinya. Benar-benar seperti kembaran Boruto, namun berbeda warna mata dan bentuk rambut.

"Apa aku mengenalmu?" Tanyanya sopan.

Naruto salah tingkah dan segera melepaskan cengkaramannya dari lengan pemuda itu. "Ma—Maaf, sepertinya aku salah orang." Ujarnya berusaha tersenyum untuk menutupi rasa kecewa.

Pemuda itu menggangguk maklum dan kembali ke aktifitasnya semula untuk membersihkan jas-nya yang terkena noda. Sedangkan Naruto memilih melangkah mundur dan bergerak keluar dari toilet pria dengan bahu merosot kecewa.

Naruto kembali ke tempat duduknya dan mengaduk mie ramennya dengan wajah suram, membuat Boruto lagi-lagi menatap sang ayah dengan pandangan heran.

"Ada apa?" Tanya sang anak.

"Tidak ada apa-apa. Teruslah makan, setelah itu kita akan pulang." Jawab Naruto dengan senyum pahit. Ia hanya mengaduk-aduk mie-nya tanpa niat untuk memakannya. Pria itu tidak nafsu makan setelah harapannya hancur ketika melihat kenyataan bahwa ia sama sekali tidak menemukan Sasuke.

Apa yang dipikirkannya? Berharap bisa menemukan sosok Sasuke di restoran seperti ini?

Konyol. Sasuke bahkan tidak menyukai ramen sama sekali.

.

Krieet!—Pintu di salah satu kabin toilet terbuka, menunjukkan sosok Sasuke yang tengah keluar sembari merapikan retsleting celana dan kancing kemeja putihnya. Sedangkan di bagian wastafel, Menma masih sibuk menggerutu membersihkan noda kuah ramen di jas-nya.

"Kau masih belum selesai juga?" Sasuke bertanya sambil mencuci tangannya di wastafel tepat disebelah sang anak.

"Belum, Pa. Noda ini susah sekali dihilangkan." Gerutu Menma.

"Ngomong-ngomong, tadi aku mendengar kau berbicara dengan seseorang."

"Yeah, seorang pria. Aku rasa dia salah mengenaliku dengan seseorang." Jawab sang anak lagi, detik selanjutnya ia mengerang frustasi ketika noda di jas-nya sama sekali tidak menghilang.

Menma melirik ke arah Sasuke dan tidak sengaja pandangannya terjatuh pada bagian perut sang ayah yang sedikit terekspos. Ada bekas jahitan yang mengintip dari balik kemeja.

"Bekas apa itu?" Menma bertanya spontan.

Sasuke yang sadar arah pandangan sang anak, langsung menutupi bagian perutnya dengan kemeja. "Tidak ada." Bohongnya.

Menma berdecak jengkel dan segera menarik kemeja sang ayah ke atas untuk melihat luka tersebut. Bekas jahitan itu memanjang horizontal di bagian bawah perut, mirip bekas jahitan ibunya saat melahirkan Sarada dengan cara caesar.

"Luka jahit apa ini?" Menma bertanya serius.

Sasuke berdecak jengkel dan mendorong sang anak menjauh. "Bukan apa-apa." Ia masih bersikeras. "Hanya luka jatuh." Ujarnya lagi.

"Luka jatuh di bagian perut? Aku tidak sebodoh itu untuk bisa dibohongi, Papa." Kesal Menma. "Apa luka itu bekas jahitan operasi? Jangan-jangan papa operasi caesar untuk melahirkanku?" Candanya dengan kekeh pelan.

Namun kelakar itu tidak membuat Sasuke tertawa. Pria raven itu hanya diam dan menunduk dengan tangan gemetar, membuat Menma kembali heran.

"Pa, ada apa?" Tanya sang anak.

Sasuke mendengus pelan. "Berhenti bertanya dan segera bersihkan jas-mu itu. Makanan kita akan cepat dingin kalau kita tidak segera kembali." Ucapnya seraya bergegas ke luar toilet dengan tergesa-gesa.

Meninggalkan Menma yang lagi-lagi kebingungan dengan sikap ayahnya itu.

.

.

.

_Konoha Gakuen, pukul 08.00 pagi_

.

Boruto berdiri tepat di depan sebuah gedung sekolah yang menjulang tinggi dengan pahatan bertuliskan "Konoha Gakuen" berwarna emas yang elegan di sisi pagarnya.

Di halaman depan, tertata asri rumput hijau dan berbagai tanaman bunga, serta satu kolam air mancur yang memaukau, sedangkan di sisi samping terdapat bangunan gedung olahraga tersendiri yang cukup besar.

Setiap mata memandang, yang ditemukannya adalah para siswa yang membawa lusinan buku, seakan-akan tempat itu bukanlah sekolah, melainkan perpustakaan umum yang sangat ter-favorite. Tidak ada satu pun siswa yang berbelok masuk ke gedung olahraga, bahkan Boruto yakin kalau gedung olahraga itu hanyalah pajangan saja.

Boruto mendesah dan melirik seragamnya sendiri. Terlalu kaku dengan kemeja putih dan jas berwarna merah marun dengan lambang Konoha di bagian dada. Sedangkan tas ransel hitam kesayangannya bertengger manis di bahu.

Di belakangnya, sang ayah terlihat bosan berada di dalam mobil memperhatikan Boruto yang tidak kunjung berjalan masuk ke dalam gerbang.

"Mau sampai kapan kau akan berdiri disana? Cepat masuk dan sapalah teman barumu." Paksa sang ayah lagi.

Boruto menggaruk rambut pirangnya. "Apakah aku harus bersekolah disini? Bisakah kita cari sekolah yang lain saja?" Tanyanya agak memohon.

"Jangan manja. Cepat masuk dan belajarlah, ayah harus segera bekerja." Ucap Naruto, memaksa.

Dengan mengerang jengkel, Boruto akhirnya menurut dan memilih melangkah memasuki halaman sekolah. Ia masih asing dengan sekolah barunya itu, tetapi Boruto berharap dalam beberapa hari ia dapat beradaptasi dengan baik... Maybe?

Tetapi sebelum beradaptasi dengan baik, ia perlu menemukan kelasnya terlebih dahulu.

'So, where the hell is my classroom?' Batin Boruto dalam hati.

Setidaknya ia harus menanyakan kelasnya pada seseorang, dan sasarannya adalah gadis berambut hitam yang memakai sweater warna pink dan kacamata merah.

"Uhm, permisi..." Boruto mulai menyapa dengan cengiran andalannya. "...Bisakah kau mengantarkanku ke kelas 3A? Aku murid baru disini." Lanjutnya lagi.

Gadis itu menatap tajam Boruto dari balik kacamata jernihnya. "Namamu?"

"Uzumaki Boruto."

"Hn..." Gadis itu diam sebentar. "...Namaku Uchiha Sarada, dan sejujurnya aku juga masih baru disini. Aku junior kelas 1B."

"Ah, begitu? Jadi kau juga tidak hapal letak ruang sekolah ini?"

"Ya, begitulah, tetapi..." Sarada berhenti bicara, kemudian menoleh ke kiri dan ke kanan seakan-akan tengah mencari seseorang. Pandangannya segera tertuju pada sosok sang kakak yang berjalan ke arahnya. Sarada segera melambai dengan semangat meminta Menma untuk menemuinya.

"Ya, ada apa?" Menma membuka suara sembari menatap Boruto dan Sarada bergantian.

Gadis itu menunjuk ke arah pemuda pirang disebelahnya dengan cepat. "Ia tersesat dan menanyakan arah ke kelas 3A. Aku tidak bisa membantunya sekarang sebab harus ke perpustakaan, jadi aku pikir kakak bisa membantunya." Jelasnya panjang lebar.

Menma mengangguk paham, kemudian menatap Boruto. "Aku belajar di kelas 3A, jadi kau menemui orang yang tepat. Ayo, aku antar ke kelas."

Boruto menampilkan cengiran lebar kemudian melambai ke arah Sarada dengan genit.

"Wow, adikmu sangat cantik. Apa dia sudah punya pacar?" Tanyanya saat sang gadis sudah berjalan menjauh.

Menma mengedikkan bahunya. "Entahlah, aku tidak tahu."

"Apa aku boleh jadi adik iparmu? Setidaknya menjadi pacar adikmu saja sudah cukup." Celetuk Boruto antusias seraya mensejajarkan langkahnya dengan Menma.

"Terserah, aku tidak peduli."

"Wow, kau ketus sekali." Boruto melirik wajah Menma sekilas. "Ngomong-ngomong, aku baru sadar kalau wajah kita hampir sama."

"Apa?" Menma berhenti berjalan dan menoleh dengan kaget. "Apa maksudmu dengan 'sama'?"

"Ini..." Tanpa aba-aba, Boruto menyentuh pipi Menma yang menunjukan tiga goresan horizontal di masing-masingnya. "...Kita mempunyai tanda lahir yang sama. Kau tiga goresan, sedangkan aku dua."

Menma menepis tangan tan itu dengan cepat. "Kita tidak sama. Rambutmu pirang sedangkan aku hitam, kulitmu cokelat sedangkan aku putih."

"Apakah itu termasuk rasis?"

"Oh shut up." Menma memutar bola matanya dengan jengkel. "Lagipula warna mata kita juga berbeda."

"Hm, itu benar..." Balas Boruto lagi. Ia dengan cepat menyambar dagu Menma dan memaksa pemuda yang memiliki tinggi dan bentuk tubuh yang sama dengannya itu untuk saling bertatapan. "...Matamu hitam pekat. Benar-benar cantik." Pujinya, membuat pemuda dihadapannya itu merasa tidak nyaman.

"Hentikan, dasar rambut pisang." Menma menepis tangan Boruto cepat. "Kau ingin ke kelas atau tidak?" Kesalnya.

"Yeah, of course."

"So stop messing with me."

"I'm not." Boruto mengangkat kedua tangannya ke udara, tanda menyerah. "So, would you kindly lead the way, My lord?"

Sarkastik pemuda pirang itu hanya ditanggapi Menma dengan erangan jengkel.

.

Lima menit kemudian mereka akhirnya sampai di kelas yang dituju. Menma segera berjalan menuju sang guru yang berdiri di depan kelas sambil sesekali menunjuk Boruto yang tengah berdiri di ambang pintu menunggu panggilan.

Anko-sensei, nama guru tersebut, hanya mengangguk pelan dan kemudian tersenyum ramah ke arah Boruto. "Masuklah." Panggilnya. "Menma sudah mengatakan padaku kalau kau murid baru disini." Lanjutnya lagi.

Boruto mengangguk sopan sembari melirik Menma yang bergerak menuju tempat duduknya. Sepertinya Menma lebih tertarik menatap ke luar jendela dibandingkan mendengarkan Boruto yang tengah memperkenalkan dirinya.

"Uhm, aku tidak pintar dalam hal berbicara, so yeah, namaku Uzumaki Boruto. Salam kenal, guys." Ucap pemuda pirang itu lagi dengan cengiran di wajah.

Beberapa murid siswi langsung berbisik dan terkikik manja saat Boruto memperkenalkan dirinya. Bahkan seorang murid cewek berbadan gempal dan berkulit gelap langsung menyenggol salah satu temannya dan menunjuk Boruto dengan dagunya.

"Inojin lihat, bukankah murid baru itu sangat tampan?"

Yamanaka Inojin, cowok berambut pirang dan berkulit pucat itu hanya diam dengan wajah stoic. "Dia memang sangat tampan, Chocho, tetapi aku masih normal dan suka cewek." Sahutnya tenang.

Akamichi Chocho merengut kecil mendengar jawaban itu, ia memilih berbalik melirik teman cowoknya yang berada di kursi belakang. "Shikadai, menurutmu murid baru itu bagaimana?"

Nara Shikadai, pemuda berambut diikat nanas itu terlihat malas menanggapi pertanyaan sahabatnya tadi. "Mana aku tahu, aku cowok dan aku tidak peduli dengan penampilan cowok lain." Jawabnya sembari menguap.

Menma yang mendengar percakapan itu hanya mengerang jengkel sambil memutar bola matanya dengan malas. Apa bagusnya dengan pemuda bernama Boruto itu? Ia cerewet, berisik dan suka menggoda orang. Tipe yang sangat menjengkelkan.

Plok!—Anko-sensei menepuk tangannya satu kali untuk meminta perhatian para muridnya. "Baiklah Boruto, kau bisa duduk di sebelah..." Wanita itu diam sejenak dan menatap berkeliling hingga akhirnya pandangannya tertuju pada salah satu bangku yang kosong. "...Di sebelah Menma." Ujarnya.

Ucapan sang guru sukses membuat Menma tersedak air liurnya sendiri karena kaget, sedangkan Boruto terlihat gembira dengan senyum sumringah. Tanpa pikir panjang lagi, sang blonde segera bergerak dan duduk di bangku sebelah Menma.

"Hai, semoga kita bisa menjadi teman baik." Sapanya kelewat ramah.

Menma mengerang jengkel sembari melipat kedua tangannya, berpura-pura tidak mendengar perkataan pemuda itu.

Boruto kembali berbicara dengan senyum cerahnya. "Kau bisa memanggilku Boruto—atau adik ipar." Ujarnya, percaya diri.

Menma mendelik galak. "Shut up! Aku tidak sudi kau menjadi adik iparku, jerk!"

.

Siapa bilang memiliki teman itu sangat menyenangkan?

Menma lebih memilih menyendiri dibandingkan harus memiliki teman autis seperti Boruto. Bayangkan saja, pemuda tan kelebihan hormon itu selalu mengikutinya kemana pun dia pergi, setiap ada kesempatan, Boruto selalu mengedipkan mata ke arah Sarada kemudian menggamit leher Menma seakan-akan mengatakan, 'Hei lihat, aku berteman dengan kakakmu, apa sekarang kau menyukaiku?'

Kalau sudah begitu, Menma akan menyikut perut Boruto dengan sekuat tenaga hingga pemuda itu tersungkur di lantai, kemudian meninggalkannya dengan tampang tidak peduli.

Namun bukan Boruto namanya kalau menyerah begitu saja, ia dengan percaya dirinya terus mendekati Menma demi mencuri perhatian Sarada. Seperti kata pepatah, bila ingin berpacaran dengan adiknya, dapatkan dulu restu kakaknya.

Berpedoman dengan kalimat tidak tentu asal-usulnya itu, Boruto segenap jiwa raga gencar berusaha mendekati Menma. Ia tidak peduli jika harus disikut dan ditonjok oleh Menma karena mengikutinya bahkan sampai ke kabin toilet. Pejuang harus memiliki prinsip; maju tak gentar membela yang benar.

Seperti sekarang ini, Boruto masih tetap setia mengekor di belakang Menma saat pemuda berkulit putih itu menuju kantin sekolah. Ia bahkan ikut duduk di meja yang sama dengan Menma.

"Kau tahu, aku suka makanan disini. Sangat enak dan bergizi." Ucap Boruto dengan senyum sumringah.

Menma memutar bola matanya jengkel. "Kau berada di sekolah ini baru tadi pagi..."

"Oh."

"...Dan makanan kantin hanya roti dan sekotak susu." Lanjut pemuda berambut hitam itu lagi.

Boruto menggaruk belakang kepalanya salah tingkah. "Well, aku hanya mencoba bersikap sopan dan bersahabat denganmu."

"Maaf, tapi aku tidak butuh sahabat sama sekali."

Boruto membalas ucapan itu dengan dengusan kecil, kemudian menopang dagunya dengan bosan. "Aku heran kenapa sikapmu itu ketus sekali? Apakah sikapmu itu turunan dari ayahmu?"

"Bukan urusanmu." Menma menggigit rotinya dan mengunyahnya pelan.

Pemuda berambut pirang itu lagi-lagi mendengus kecil, ia memilih menatap sekeliling kantin daripada memandangi wajah Menma yang kentara sekali raut kusutnya. Mata birunya langsung membelalak lebar saat melihat Sarada yang tengah menatapnya dengan pandangan lekat. Boruto segera mengangkat tangannya dan melambai ceria, tidak lupa memeluk leher Menma dengan semangat, hampir membuat pemuda berambut hitam itu tersedak makanannya.

"Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?!" Menma protes keras sembari menepis tangan Boruto dari lehernya.

"Ssshh—jangan bergerak, diamlah sebentar saja." Desak Boruto mencoba mempertahankan cengirannya pada Sarada sembari tetap menggamit leher Menma dengan kuat.

Setelah Sarada berlalu, barulah Boruto melepaskan cengkramannya dari leher pemuda itu. Tidak mempedulikan Menma yang tengah mengusap lehernya akibat sempat tercekik.

"Dude, your sister is so cute. I really wanna be her boyfriend."

Celetukan Boruto sama sekali tidak dipedulikan oleh Menma. Pemuda bermata onyx itu melirik sang blonde dengan ekor matanya.

"Kau ingin membunuhku ya?! Mencekikku sampai kehabisan napas?!" Seru Menma jengkel.

"Hei, hei, aku tidak bermaksud begitu. Calm down, babe."

"I'm not your fucking babe!"

Belum sempat Boruto mengatakan sesuatu untuk menenangkan pemuda itu, suara seorang gadis menginterupsi perseteruan mereka.

"Oh my, oh my, kalian kelihatan seperti sepasang kekasih, sangat mesra sekali." Suara Chocho terdengar, membuat Menma menoleh dan mendapati sosok seorang gadis berkulit gelap sedang cekikikan manja.

"Jangan bercanda, Chocho. Siapa sudi menjadi kekasih orang idiot sepertinya, lagipula kalaupun aku gay,aku bakal memilih cowok yang lebih tampan dan macho."

"Hei, aku tampan dan macho." Boruto langsung menyeletuk dengan cepat.

Menma memutar bola matanya mendengar ucapan pemuda itu, sedangkan Chocho terkikik geli.

"Oh, by the way, guys..." Chocho duduk dihadapan mereka sembari memakan roti di nampannya. "...Besok ada ujian matematika, jangan lupa untuk belajar. Kau tahu, Kakashi-sensei sangat ketat dalam mengawasi ujian."

"Huh? Ujian matematika?" Boruto membeo.

"Yup, aku berencana untuk belajar kelompok dengan Inojin dan Shikadai, apa kalian mau ikut juga?" Tanya Chocho antusias.

Menma menggeleng pelan. "Aku lebih suka belajar send—"

"Aku dan Menma akan belajar bersama, jadi maaf, kami menolak tawaranmu." Potong Boruto cepat, hampir membuat Menma membelalak lebar.

"Hei, sejak kapan aku setuju untuk belajar bersamamu?" Menma bertanya ketus, seketus perasaannya sekarang.

"Oh ayolah sahabat, jangan seperti itu padaku." Boruto berusaha menggamit pundak pemuda itu namun segera dipukul oleh Menma dengan keras. Membuat sang blonde menarik kembali tangannya. "Please, aku ingin belajar bersamamu." Mohonnya lagi.

Menma tahu betul maksud dibalik ucapan Boruto, ia pasti ingin mendekati Sarada dengan alasan belajar kelompok. Tipikal cowok bermodus tinggi.

Chocho yang mendengar ucapan Boruto, lagi-lagi hanya bisa terkikik geli sembari mendelik penuh arti. "Sudah kuduga kalian punya hubungan spesial." Ia melemparkan kedipan genit ke arah sang Uzumaki. "Padahal aku berencana untuk mendekatimu, tetapi kau malah naksir Menma." Sambungnya polos.

"Eh?" Boruto mengerjap kaget. "Ta—tapi aku dan Menma, kami hanya—"

"Sudahlah, jangan malu-malu padaku, aku mendoakan kelancaran hubungan kalian." Ujar gadis itu seraya beranjak pergi setelah memberikan kedipan genit lagi ke arah Boruto.

Menma mengerang frustasi, ia mencengkram rambut hitamnya kuat-kuat, mirip seorang pegawai yang habis kena PHK dini.

"Kau menghancurkan hidupku." Ia mendesis tajam. Aura hitam menggelegak disekitar pemuda tersebut. Memancarkan hawa kematian yang pekat.

Boruto meneguk air liurnya panik. Ia segera bangkit dari kursi dan mundur perlahan. "Uhh... Oh look, sebentar lagi jam istirahat berakhir, sebaiknya aku pergi. Bye." Tanpa hitungan aba-aba lagi, ia langsung melarikan diri dari sana.

.

.

.

_Kediaman Uchiha, pukul 15.00 sore_

.

Sasuke tengah beristirahat tenang di sofa ruang keluarga ketika sosok Menma yang baru pulang sekolah langsung menghempaskan diri disamping sang ayah. Wajah pemuda itu kusut dan aura disekelilingnya sangat suram, membuat Sasuke heran sekaligus penasaran.

"Apa kau berkelahi di sekolah?" Sasuke menyamankan posisi duduknya sembari tetap mempertahankan tatapannya pada sang anak.

Menma mengedikkan bahunya. "Tidak."

"Hn... Lalu kenapa wajahmu kusam begitu? Apa ada masalah?" Sasuke kembali bertanya.

Sang anak mendesah panjang. "Aku bertemu murid baru yang idiot. Dia selalu mengikuti kemana pun aku pergi. Orang yang menyusahkan."

Sasuke mendengus geli. "Ternyata cuma masalah remaja biasa." Ia menjulurkan tangan untuk mengusap rambut hitam Menma. "Ganti baju dan beristirahatlah di kamar, setelah itu makan siang."

"Bagaimana dengan papa? Apa papa sudah makan siang?"

"Papa tidak bisa makan siang sekarang, sebentar lagi papa akan kembali ke kantor untuk rapat." Jawab Sasuke.

Menma mengangguk paham dan segera bangkit dari sofa. "Oke, kalau begitu aku akan beristirahat di dalam kamar." Ucapnya lagi seraya beranjak dari ruang tamu menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Menma melemparkan tas-nya sembarang ke atas ranjang, kemudian segera melepaskan kemeja seragam sekolahnya. Ia ingin berganti pakaian secepat mungkin dan beristirahat dengan tenang, melupakan kekacauan di sekolah karena ulah si idiot Boruto itu.

Tepat ketika ia ingin meraih kaos warna hitam miliknya, suara ketukan di pintu kamar mengalihkan perhatiannya sejenak.

Sosok Sarada bersender di depan kamar sembari melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa aku mengganggumu?" Tanyanya seraya mendelik ke arah Menma yang topless.

"Tidak, ada apa?" Menma menyambar bajunya dan segera memakainya dengan cepat.

"Ini mengenai... Boruto." Sarada bergerak gelisah di tempatnya. "Apa... Apa dia temanmu?"

Menma tidak menjawab dan hanya menatap gerak-gerik gadis itu. Sarada menunduk sembari memainkan poni rambutnya dengan kikuk, ia bahkan mencuri lirik ke arah sang kakak dengan tatapan seolah-olah meminta jawaban segera. Dilihat dari sikapnya itu, Menma yakin bahwa Sarada—err—jatuh cinta pada Boruto.

Sang kakak menggaruk belakang rambutnya, tidak tahu harus menjawab apa. Jujur saja, ia sama sekali tidak berteman dengan Boruto. Pemuda bodoh itu yang selalu mengikutinya kemana pun ia pergi. Tetapi di lain pihak, sebagai kakak yang baik, ia harus membantu Sarada untuk berdekatan dengan Boruto.

"Well, yeah, kami berteman." Jawab Menma lagi.

Wajah Sarada terlihat berseri selama beberapa detik, namun kembali ke sikap stoic-nya lagi. Khas Uchiha sekali. "Uhm, sedekat apa kakak dengan Boruto?"

Menma berpikir sejenak. Ia tidak mau mengakuinya, tapi satu hari ini Boruto memang 'sangat dekat' dengannya, terlalu dekat malah. "Ya, kami dekat." Ucapnya singkat. "Dan kalau kau ingin bertemu dengan Boruto, dia akan kesini sebentar lagi untuk belajar kelompok denganku." Lanjutnya.

"Benarkah?" Lagi-lagi wajah Sarada berseri, menunjukkan kalau ia bersemangat untuk bertemu Boruto.

"Kalau kau sudah selesai bertanya, kau bisa pergi. Aku ingin beristirahat."

"Ah, okay, terima kasih, Kak." Sahut Sarada seraya menjauh menuju kamarnya sendiri.

Setelah kepergian sang adik, Menma akhirnya bisa menghela napas lega dan merebahkan dirinya di atas kasur. Ia menarik napasnya sejenak dan mencoba menutup mata. Setidaknya sampai Boruto datang ia bisa mengistirahatkan otaknya terlebih dahulu.

.

.

Tok!Tok!

Suara ketukan di pintu kamar membuat Menma terbangun. Ia bangkit dari ranjang dengan kaget dan langsung melirik ke arah jam dinding. Pukul 17.00 sore. Ia tertidur dua jam lamanya.

Pemuda itu mengusap wajahnya sejenak sebelum menjawab ketukan itu. "Masuklah, tidak dikunci." Ucapnya.

Pintu kamar terbuka perlahan, menampilkan sosok Boruto yang tersenyum lebar ke arahnya.

"Bagaimana kau bisa masuk kesini?" Menma mengerang pelan, mencoba menormalkan suaranya yang serak karena bangun tidur.

"Lewat pintu depan." Sahut Boruto seraya masuk ke dalam kamar dan duduk di samping pemuda berkulit putih itu.

"Maksudku, bagaimana kau bisa masuk ke rumahku?"

"Oh, adikmu, Sarada-chan membukakan pintu untukku dan menyuruhku langsung menemuimu di kamar." Jelas Boruto. "Jadi, bagaimana?"

"Bagaimana apanya?" Menma balas bertanya tanpa menoleh sedikitpun, ia meraih buku pelajarannya dan mulai belajar.

Pemuda tan itu menopang dagunya di atas meja. "Tentang adikmu, apa dia mulai menyukaiku?"

"Mungkin." Menma menjawab sekenanya. Membuat pemuda disampingnya itu menekukkan wajah kesal.

"Hei, jawab yang benar, dia suka padaku atau tidak?"

"Kenapa kau tidak tanya sendiri saja pada Sarada?" Balas Menma.

Boruto terdiam. Ia memalingkan wajahnya yang memerah. "Ba—Bagaimana mungkin aku bertanya langsung pada orang yang aku suka? Itu memalukan." Ucapnya seraya menggaruk belakang kepalanya, canggung.

Menma mendengus geli. "Kalau aku sih sudah pasti akan mengatakan langsung pada orang yang aku suka." Ujarnya sombong.

"Memangnya ada orang yang kau suka?" Tanya Boruto penasaran.

"Untuk sekarang sih tidak ada." Menma tertawa canggung.

"Ha! Ternyata kau sama sekali tidak berpengalaman." Ejek Boruto dengan pandangan mencemooh.

"Apa?! Aku ini cukup berpengalaman dengan cewek!" Menma menggebrak meja penuh emosi.

"Oh ya? Aku ragu kalau kau pernah ciuman dengan cewek." Goda Boruto dengan tawa mengejek.

"Aku pernah ciuman dengan cewek!" Menma membalas cepat tanpa pikir panjang. Ia bahkan tidak peduli kalau dia sedang berbohong sekarang. Jangankan ciuman, pegangan tangan dengan cewek saja tidak pernah.

"Hmm... Kalau begitu, apa rasanya ciuman dengan cewek?" Boruto menyodorkan pertanyaan menjebak.

Menma skakmat.

Ia duduk gelisah di tempatnya, mencoba memikirkan sesuatu yang masuk akal. "Uhh, rasanya seperti... uhh..."

Boruto menyeringai mengejek. Ia mengangkat kedua alisnya dengan tangan terlipat di depan dada. Pose angkuh. "Aku menunggu jawabanmu."

"Uhh... Aku tidak ingat." Ucap Menma lagi.

"HA! Aku tahu kau bohong!" Boruto tersenyum penuh kepuasan, membuat Menma mendelik kesal.

"Aku tidak bohong!"

"Ya, kau bohong."

"Tidak!"

"Iya, kau bohong! Kau pembohong besar!"

Menma menggeram kesal. Detik selanjutnya, ia menerjang Boruto dan mencengkram kerah pemuda tan itu dengan kuat. Membuat sang Uzumaki terjungkal panik di lantai.

"Hei, apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku, Idiot!" Teriak Boruto.

"Tidak, sebelum kau tarik ucapanmu tentangku! Aku bukan pembohong!"

"Kalau begitu buktikan! Jangan cuma bisa berteriak saja, Idiot!" Seru Boruto jengkel, mencoba melepaskan cengkraman Menma di lehernya.

"Baik! Akan kubuktikan sekarang!"

"Ap—?!"

Boruto tidak bisa menyelesaikan kalimatnya sebab Menma langsung menyergap bibirnya dengan lumatan kasar yang tiba-tiba. Tabrakan mulut itu membuat mata biru Boruto melebar. Ia bahkan bisa merasakan gigi mereka berbenturan tidak beraturan saat Menma berusaha menciumnya.

Boruto tidak bergerak satu inchi pun, entah karena terkejut dengan serangan tiba-tiba Menma atau terlena dengan sentuhan bibir itu, namun yang diketahuinya aksi mendadak itu sukses membuat jantungnya terpompa cepat.

Menma melepaskan ciuman mereka dengan napas terengah-engah, kemudian menatap Boruto yang berada di bawah tindihannya dengan senyum kemenangan. "Lihat? Aku hebat dalam hal ciuman." Ujarnya lagi.

Boruto berusaha menarik bibirnya ke atas, menyeringai. Menutupi degup jantungnya yang berontak liar. "Itu tidak bisa disebut ciuman. Kau hanya membenturkan bibir saja." Tangan tan nya mencengkram kerah baju Menma dan membanting pemuda itu ke lantai.

Kini posisi mereka berbalik, Menma berada di bawah sedangkan dirinya di atas. "Akan kuajari caranya berciuman." Lanjutnya lagi.

Belum sempat Menma menolak, Boruto sudah menyergap mulutnya dengan lumatan yang cepat dan dalam. Bibir mereka kembali berbenturan untuk kedua kalinya, tetapi kali ini tidak kasar seperti sebelumnya melainkan hisapan yang sangat lembut, membuat jantung mereka berdua meletup-letup bersahutan.

Menma tenggelam dalam pagutan itu, tanpa sadar ia membiarkan Boruto mendominasi mulutnya. Bergerak liar menyapa lidah, gigi serta langit-langit mulutnya. Ia bisa merasakan dengus napas pemuda tan itu di wajahnya, hangat dan nyaman. Apakah ini rasanya berciuman? Orang-orang mengatakan kalau rasanya ciuman sangat manis, tetapi yang dirasakan Menma adalah campuran aroma orange-mint yang menyegarkan. Melebihi rasa manis gula maupun cokelat.

Boruto melepaskan ciuman mereka saat paru-parunya mulai sesak karena kekurangan oksigen. Ia menatap mata hitam dihadapannya dengan napas terengah-engah, kemudian mencoba menyeringai canggung.

"Bagaimana? Bukankah aku hebat dalam berciuman?" Ucap Boruto angkuh. Ia mencoba tertawa, namun suara seraknya menandakan kalau ia sangat gugup.

Menma menyeringai tipis, berusaha menutupi sikap gugupnya juga. "Hanya begitu? Kau sama sekali tidak hebat dalam hal ciuman?" Ujarnya lagi.

"Oh ya? Bagaimana kalau kita melakukannya lagi? Akan kubuktikan kalau aku hebat dalam ciuman." Tantang Boruto seraya menarik kerah baju pemuda dihadapannya itu.

"Hentikan! Aku tidak mau berciuman lag—"

Kalimat Menma lagi-lagi terhenti saat Boruto seenak jidatnya kembali memagut bibirnya dengan cepat. Lidah kembali beradu untuk kesekian kalinya, dan kini saliva mulai ikut bergabung memeriahkan pesta. Menma mengernyit sejenak saat air liurnya tercampur dengan pemuda tan itu, namun dilain pihak hal itu tidak mengganggunya sama sekali, bahkan kalau boleh jujur, ia sangat menikmatinya.

Menma bisa merasakan kalau detak jantungnya menggebu-gebu tidak terkendali. Ia mencoba sekuat tenaga untuk tetap berpikiran waras sembari mendorong bahu Boruto menjauh, namun pemuda pirang itu tetap bersikeras menahan ciuman mereka.

Menma sekali lagi berusaha menghindar dengan bergerak mundur, tetapi Boruto malah merengsek maju dan kembali memagut bibirnya. Ia benar-benar terperangkap oleh aksi pemuda Uzumaki itu. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain mengimbangi permainan lidah Boruto.

Cklek!

"Kakak, aku membawakan minu—" Kalimat Sarada terhenti mendadak saat ia membuka pintu kamar dan disuguhi pemandangan abnormal dua orang pemuda yang saling berciuman panas. Mata polosnya terbelalak lebar, tidak percaya kalau orang yang tengah berciuman dihadapannya sekarang ini adalah sang kakak dan Boruto.

Melihat Sarada yang tengah berdiri mematung di ambang pintu dengan mata melotot kaget, membuat Menma dan Boruto langsung memisahkan diri dengan cepat. Mereka terengah-engah dengan wajah yang memerah sempurna.

Menma menyeka air liur di sela dagunya sebelum angkat bicara. "Uhm, masuklah, taruh saja minumannya di atas meja." Ujarnya berusaha bersikap normal sebaik mungkin.

Boruto berdehem sejenak sebelum melemparkan cengirannya ke arah gadis berkacamata itu. "Hai, Sarada-chan, kau tetap cantik seperti biasa ya?" Ia berbicara seakan-akan kejadian beberapa detik yang lalu tidak pernah terjadi sama sekali, membuat Sarada semakin ternganga heran.

"Ah... Uhm..." Gadis itu tidak tahu apa yang harus dikatakannya selain membetulkan kacamata merahnya. Mungkin saja beberapa detik yang lalu ia berhalusinasi karena kacamatanya itu rusak. Tapi tidak, ia yakin sekali kacamatanya baik-baik saja. "Uh, apa yang terjadi tadi?" Tanyanya polos.

"Huh? Memangnya apa yang terjadi tadi?" Menma mengulangi pertanyaan Sarada dengan wajah lugu.

"Tadi aku lihat kakak dengan Boruto, uhm..."

"Kami bergulat." Boruto menyela cepat. "Kau tahu, kadang-kadang cowok suka bermain gulat." Sambungnya seraya memamerkan otot bisepnya yang terlatih. Tidak lupa ditambah cengiran yang menawan.

Sayangnya hal itu tidak bisa mencuci otak Sarada yang sudah terlanjur melihat pagutan liar tadi. Gadis itu membetulkan letak kacamatanya dan menatap dua orang pemuda dihadapannya dengan pandangan curiga. "Aku yakin sekali kalau tadi kalian tidak bergulat melainkan berciu—"

"Sarada, kau bisa meletakkan minuman kami di atas meja..." Menma memotong kalimat sang adik dan menatap gadis itu tajam. "...Please?" Lanjutnya.

Sarada merengut kesal, namun ia tidak punya pilihan lain selain menuruti ucapan kakaknya itu. Ia masuk ke dalam kamar dan meletakkan nampan minuman di atas meja kecil dihadapan Menma dan Boruto, lalu duduk bersimpuh disana. Sama sekali tidak berniat untuk pergi.

Menma melirik Sarada dengan bingung. "Kenapa kau masih disini? Kau bisa keluar sekarang." Perintahnya.

Sarada melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku ingin melihat kalian belajar."

"Tidak ada yang perlu dilihat. Pergi sekarang."

"Aku tidak mau pergi." Sarada bersikeras, ia bahkan memberikan death glare andalannya ke arah Menma.

"Kenapa kau tidak mau—"

"Sudahlah Menma, tidak apa-apa." Boruto menengahi dengan cepat. "Lagipula, aku tambah semangat kalau didampingi cewek cantik." Godanya lagi.

Sarada tersenyum tipis, malu-malu. Sedangkan Menma memutar bola matanya dengan jengkel.

"Terserahlah, aku tidak peduli. Ayo kita mulai belajar sekarang." Ucapnya lagi.

Menma berharap kegiatan belajar kelompok ini cepat selesai. Jujur saja, ia mulai jengah melihat Boruto yang sibuk melempar kedipan genit ke arah Sarada dibandingkan memperhatikannya menjelaskan rumus matematika. Dan lagi, ia butuh istirahat yang banyak untuk melupakan kejadian 'tabrakan bibir' yang memalukan tadi.

'Sial sekali nasibku hari ini.'

.

.

.

TBC

.

.

Yuhuuu~~ CrowCakes datang bawa fic untuk event Opposite Party 2! HOREEE! *tebar-tebar confetti* XD

Maaf kalau semua karakternya pada OOC, ini tuntutan naskah #plak *digampar readers* huehehe... Aku harap kalian suka :D

Ngomong-ngomong, kalian lebih suka (BorutoxMenma) atau (MenmaxBoruto)? Dan apa alasannya? Soalnya jujur saja, aku masih bingung dengan pair yg satu itu... nyahahaha...

.

RnR Please! XD