Dia pernah diselamatkan—berkali-kali, dalam kesempatan yang berbeda, karena berbagai alasan.

Mungkin ini tanda cinta Tuhan padanya, dan tanda kemurahan sang Pencipta yang masih memberi pendosa sepertinya kesempatan hidup lebih lama—padahal tangannya ternoda darah. Padahal baju perangnya yang putih berubah merah. Padahal banyak manusia yang tak sanggup Gintoki selamatkan mati bersimbah darah.

Tapi mungkin juga ini bentuk lain dari hukuman yang harus dipikulnya—seumur hidup dan tak akan berhenti sebelum ia mati.

Bayang-bayang manusia dan amanto yang telah dibunuhnya berseliweran dalam pikirnya, gambaran jasad rekan-rekannya mampir ke mimpinya, dan teriakan kesakitan di penghujung ajal kawan-kawannya terngiang di telinganya.

Kadang Gintoki tak mengerti, mengapa rasanya Tuhan senang sekali menurunkan malaikat untuk menyelamatkannya? Menjadi penyelamatnya?

Padahal Gintoki cukup diselamatkan sekali, oleh satu orang yang kini telah pergi.

"Katakan padaku, mengapa kau membunuhnya waktu itu? Mengapa kau membunuhnya di depan KAMI?"

Gintoki menghunus pedangnya, "Karena aku telah diselamatkan, dan aku telah berjanji padanya untuk tetap hidup serta melindungi semua yang berharga bagiku, Takasugi."

.

"Our comrades, everyone, please take care of them for me, okay? Let's make it a promise."

"...Okay."

"Thank you."

.

Takasugi Shinsuke bersimpuh. Matanya melotot, pedangnya tertancap di samping kanannya, dan Gintoki berdiri membelakanginya. Tubuh mereka sama-sama penuh gores pedang dan dalam keadaan sama-sama kelelahan, tapi Takasugi tidak sebodoh itu sampai tak menyadari kalau Gintoki bisa saja membunuhnya tadi.

Dia menggeram, "KAU BISA MEMBUNUHKU TADI! Mengapa kau tidak membunuhku? Apa kau merendahkanku, Gintoki? Kau tahu ini bukan pertarungan main-main seperti yang sering kita lakukan dulu!"

"..."

"GINTOKI!"

"..."

"JAWAB, GINTOKI!"

"Yah, kau tahu," Gintoki menarik nafas dalam-dalam. Perlahan, ia berjalan menjauhi Takasugi yang masih bergeming di tempatnya. "Aku berjanji untuk menjagamu."

Angin berhembus, membawa bau anyir darah dua pria yang pernah belajar dari guru yang sama. Yang satu masih bersimpuh, dan yang lainnya perlahan melangkah lebih jauh. Seperti Takasugi yang masih menangisi kematian gurunya, dan Gintoki yang memilih menjaga janjinya sambil tetap melangkah maju.

Gintoki menengadahkan kepala. Langit di atas sana cerah tak berawan, berwarna biru serupa permukaan tenang air laut—seolah tersenyum pada dunia dan manusia di dalamnya. Seolah Shouyou-sensei yang tersenyum ke arahnya.

Lengkung senyum turut terlukis di bibir Gintoki, "Harusnya aku yang berterima kasih padamu karena telah memohonkan ampun untukku pada Tuhan, Sensei. Terima kasih, terima kasih untuk segalanya."

TAMAT

Gintama adalah properti sah milik Sorachi Hideaki. Saya sebagai penulis yang gagal ngefeel ini tidak mengambil keuntungan material apapun.

Maafkan saya yang gagal menyampaikan feel ;;u;; Tapi saya pengen nulis jadi yaudahlah ditulis aja daripada nggak produktif sama sekali orz.

Ini post serius pertama saya di Gintama. Saya menerima segala macam kritik dan saran ;;u;;)/ Btw, idenya dari quotenya Azuma Genkaku dari Deadman Wonderland dan post di tumblr tentang Trafalgar Law dan salvation.

Oh, iya, saya nggak baca manganya, jadi saya nggak begitu paham soal masa lalu Takasugi, Gintoki, dan Shouyou. Jadi saya bikin ini bermodal baca wiki aja. Maaf kalau ada yang saaah ;;A;;

Udah, ah. Ada yang mau baca aja saya udah sujud syukur /nyemplung ke laut mati/.

Much love,

-begodeluxe-