Disclaimer : 'Bleach' milik Tite Kubo. Fanfic ini milik author.

WARNING : AU, OOC, gaje, jelek, pemula.


Hai… hava yang manis kembali dengan cerita yang baru. Hahahaha. –ditebas reader-

Gue-aku-saya- berhutang penjelasan mengapa lamaaaaaaaaa sekali melanjutkan kisah yang sebelumnya saya tulis.

Tapi sebelumnya, baca yang di bawah ini dulu yah. Jelek sih, tapi apa yang bisa diharapkan dari anak sekolahan manis sepertiku ini. Hahahahha.

Met bacaaaa :3


BAGIAN #1

Di berbagai tempat, mereka memanggilku dengan sebutan yang berbeda. Ada yang menyebutku wind, atau kaze, le vent, dan sebagainya, tapi di sini kalian bisa menyebutku angin. Sebenarnya yang mana saja juga tidak masalah. Aku tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung bukan? Toh artinya sama saja, aku adalah angin – udara yang bergerak. Tidak satupun dari sekian banyak nama yang aku sandang memiliki pengertian berbeda dari yang satu itu.

Semuanya mengerti aku, bahwa aku adalah segumpal partikel yang berada di udara, terdorong oleh tekanan yang menyebabkan pergerakan nyata sehingga aku bisa membelai atau mengelus tubuh semua mahluk hidup yang ada di dunia ini.

Aku telah hidup berabad-abad lamanya, segala fakta sejarah telah aku saksikan dengan mata kepalaku sendiri. Jadi ketika ada sebuah buku sejarah yang menceritakan kisah palsu, aku hanya bisa mencemooh tanpa bisa berkata apa-apa. Sayang sekali aku tidak memiliki tenggorokan dengan pita suaranya atau lidah seperti manusia.

Menyenangkan sekali jika bisa menjadi manusia. Seringkali aku memperhatikan mereka, ketika aku bersembunyi di balik dedaunan, terkadang aku sengaja menimbulkan suara gemerisik agar mereka mau membuka jendela dan membiarkan aku membelai kulit mulus mereka. Pasti menyenangkan memiliki tubuh yang padat dan utuh, tubuh yang siapapun di dunia ini bisa melihatnya. Memiliki suara yang indah, yang bisa diperdengarkan kepada siapa saja. Yang terkadang sayup-sayup kuantarkan ke beberapa telinga manusia yang lain. Aku suka pekerjaan itu, jadi seolah-olah aku yang sedang berbicara.

Tapi aku sudah lumayan bahagia, karena manusia menyukaiku. Bahkan terkadang ada yang menyayangkan mengapa mata mereka tidak bisa melihatku. Apabila ada yang menangis, aku akan sengaja membelai pipi mereka, dan mereka akan sedikit tersenyum lalu membuka jendela, kemudian merintih dan berbisik pelan. Aku, mahluk yang sudah hidup berabad-abad ini, sudah banyak mendengar kisah manusia. Entah dari mulut mereka langsung ataupun dari desas-desus yang angin lain sebarkan.

Lalu hari ini pun, aku menjadi saksi awal mula sebuah kisah yang ku kenang sepanjang masa.


Anak kecil itu menangis di bawah tatami rumahnya. Aku mendengarnya merintih tertahan. Kecil sekali suaranya, aku yakin tidak akan ada yang bisa mendengar. Seandainya udara bukan medium yang baik untuk suara, aku pasti tidak akan bisa mendengarnya juga.

Telah terjadi pembantaian besar-besaran. Seluruh keluarganya meninggal, lebih tepatnya, seluruh klannya. Aku melihat pembunuhan sadis yang dilakukan oleh para prajurit kerajaan. Selama ini yang kutahu, bahwa klan Kurosaki memang klan pembunuh bayaran yang keji. Sudah banyak keluarga bangsawan yang menjadi sasaran mereka. Dan rupanya kali ini mereka mendapat balasannya.

Biasanya aku akan mendukung pembantaian atas hal-hal yang berbau jahat. Tapi sungguh rasa ibaku terhadap anak yang tengah menangis itu membuatku menghina dukunganku sendiri. Dan aku pun berdoa dalam hati, semoga anak itu selamat. Bagaimanapun juga dia hanya seorang anak kecil.

Aku tahu siapa dia. Namanya Ichigo Kurosaki. Tentu saja aku tahu, aku sudah lama berkeliling di kediaman mereka. Memperhatikan bagaimana anak itu di latih dengan keras oleh ayahnya sejak ia baru saja bisa berjalan. Saat ini ia sudah berumur tujuh tahun, tapi dia pasti mampu membunuh orang dewasa, aku yakin itu. Namun rupanya ayahnya tidak mengizinkan dia keluar, dan mengurung anaknya di ruang rahasia yang mereka bangun.

"Kau harus hidup, dan membalas dendam. Akan sia-sia kalau kau mati di sini," bisik Ayahnya. Tegas dan jelas-jelas memerintah. Ichigo hanya bisa mengangguk dan bersembunyi di tempat yang telah disediakan tersebut. Menunggu hingga para budak pemerintah itu pergi meninggalkan rumah mereka, dan dia hanya bisa berdoa semoga orang-orang itu tidak menyadari keberadaannya.


Merah adalah warna yang indah. Warna yang membara, disimbolkan sebagai semangat atau kekuasaan absolut atas komunisme. Dimanapun tempatnya, merah selalu menyimbolkan keberanian, kegigihan, maupun kekuasaan. Tapi warna merah yang kulihat saat ini mengantarkanku kepada duka yang sangat dalam. Melihat jilatan lidah api yang berkobar di bawah langit malam cerah yang penuh bintang. Malam dimana seharusnya semua orang tertidur nyenyak di rumah mereka, malam dimana seharusnya kita bisa menikmati bintang tanpa harus takut akan datangnya musibah, malam yang harusnya aku syukuri karena begitu indah dan terang.

Mungkin Tuhan akan mengutukku karena aku mendoakan hujan di tengah cerahnya langit ini.

Tuhan… tolong turunkan hujan, dan selamatkan anak yang berada di dalam rumah tersebut.

Aku tidak akan bergerak sedikitpun, aku tidak akan membuat kobaran api semakin menyebar. Untuk kali ini pun pertama kalinya aku menyesali kehidupanku. Kehidupan yang selama ini tidak pernah kusesali walaupun aku tidak bisa berbicara meski aku sangat menginginkannya. Tapi sungguh, untuk saat ini aku hanyalah hembusan angin yang akan memperparah keadaan. Seandainya aku terlahir sebagai manusia, maka aku akan menerjang api dan menyelamatkan anak itu. Bukannya menonton dari atas sini.

Seandainya aku punya sepasang kaki dan tubuh yang padat serta utuh.

Sayangnya… aku hanya segumpal angin.


Dia mengamuk. Berlari dan berjalan dengan hati-hati melewati lorong-lorong penuh sampah di perumahan sekitar. Walaupun bau busuk menguar di udara, ataupun kecoa maupun tikus berlarian di sekitarnya. Ia tidak peduli. Kesadarannya sudah hilang terbakar api, panasnya sang jago merah menumbuhkan kegilaan yang terkubur di dalam hatinya. Dendam tersulut api yang berkobar, membara di dalam hatinya.

Aku tahu itu. Aku bisa dengan mudah mengetahui apa yang ada di dalam diri manusia tersebut. Hidup begitu lama membuatku mengerti banyak hal. Membuatku mengerti keadaan setiap insan yang aku temui. Tidak terkecuali anak kecil berambut oranye itu.

Ichigo Kurosaki selamat dengan ajaibnya dari kobaran api. Matanya memerah, entah karena asap atau karena ia menahan sedih yang meluap – menyesakkan dadanya. Ia tidak akan menangis, lelaki dari klan Kurosaki tidak akan pernah menangis. Itu adalah pelajaran pertama yang ia dapat sejak ia dilahirkan. Dan terus diulang setiap hari oleh ayahnya.

Aku bahagia sekali melihat ia bisa selamat, dan berharap ia akan hidup normal setelahnya. Tapi ternyata tidak bisa, aku paham betul rasa sakit yang ia pikul. Anak berumur tujuh tahun tentunya tidak akan merasa waras dan baik-baik saja ketika mendengar orang tua mereka berteriak karena ditebas oleh pedang. Dan kemungkinan besar si kecil Kurosaki ini telah melihat mayat kedua orang tuanya saat menyelamatkan diri dari bawah tatami.

Anak itu mengamuk dan memukul siapa saja yang berani menatapnya. Dia berebut makanan dengan tikus-tikus got, walaupun tentu saja mereka bukan tandingannya. Setiap malam aku sengaja membelai bulu matanya agar ia bisa cepat mengantuk dan tertidur dengan tenang. Aku sudah tidak pernah lagi berkeliling kota ataupun pergi ke daerah lain hanya semata-mata karena ingin memperhatikan anak ini. Aku tidak tahu mengapa, hanya saja dia terlihat begitu kecil dan rapuh, sehingga menurutku ia butuh makhluk tak berwujud sepertiku untuk sekedar membelainya. Mengganti belaian ibu yang dulu selalu ia dapatkan sebelum tidur.

Berita tentang keganasan dan kegilaan Ichigo cepat menyebar dan meresahkan masyarakat sekitar. Beberapa utusan istana mengejarnya, tapi tiga orang dewasa bukanlah tandingan Ichigo Kurosaki. Mereka dikalahkan dengan mudah. Hingga akhirnya dua puluh satu orang datang untuk menciduknya, barulah ia kalah dan di bawa menghadap Raja.

Raja Kuchiki. Raja berambut hitam yang tampan, memiliki seorang putra dan seorang putri. Istrinya juga tampak sangat menawan, tapi tidak banyak bicara. Ichigo menatap nanar ke arah Raja Kuchiki. Dengan kelakukan seperti itu, harusnya si rambut oranye ini kepalanya akan menjadi pajangan di kamar paduka. Tapi itu tidak terjadi, seandainya aku bisa berteriak, aku akan berteriak kegirangan. Karena sang Raja yang terkenal akan kearifannya itu, memberi titah untuk memenjarakan Kurosaki kecil di sel paling bawah yang berada di Istana. Sel dingin dan kelam, berada di ruang bawah tanah, dimana anginpun tidak bisa memasukinya.

Aku mengurungkan diri ingin bersorak, kali ini aku ingin menangis. Maafkan aku Ichigo, aku tidak bisa membelaimu lagi.


Sudah tiga bulan sejak anak itu berada di dalam tahanan. Di dalam tempat yang tidak bisa aku raih, jadi aku hanya bisa mondar-mandir di tanah yang berada di atas selnya. Aku biasanya berkeliling istana untuk mengusir bosan, dan dari situ aku tahu kenyataan bahwa ada beberapa orang yang ingin mengkhianati Raja Kuchiki dan berniat mengadakan kudeta. Benar-benar licik. Aku hanya berharap, setelah kudeta itu terjadi. Ichigo akan dibebaskan. Atau malah anak itu akan dibunuh?

Saat berpikir sambil bergoyang bersama bunga mawar putih yang berada di atas sel Kurosaki, aku melihat anak kecil lainnya. Matanya bulat dan besar, irisnya berwarna violet cerah. Aku tahu, dia putri Raja Kuchiki. Di tangan kirinya ada kantong kecil berwarna coklat, dan ditangan kanannya ada sebuah lembaran kertas yang sudah usang. Lalu di punggungnya ada sebuah tas kecil berwarna kuning keemasan.

Aku memperhatikan apa yang dia lakukan di halaman belakang istana ini. Halaman ini suram, berada sangat terpencil di belakang istana. Bahkan tanamannya pun sepertinya tidak pernah dirapikan, karena ini memang bagian taman yang tidak akan disentuh atau dilihat oleh paduka raja maupun ratu.

Rukia –nama anak itu – membuka lembaran yang berada di tangan kanannya. Rupanya sebuah peta.

"Ruangan rahasia," gumamnya. Gadis itu lalu menempelkan teliga kirinya ke rerumputan dan mengetuk-ngetuk rerumputan. "Dimana ya?"

Aku bisa mendengarnya, setelah ia berkeliling mengetuk rerumputan, aku sadar bahwa ada yang salah dengan tanah yang dia ketuk beberapa saat kemudian. Rasanya sedikit janggal, begitu tipis, beda dengan yang lain. Mata anak itu berbinar-binar, dia pun menggali sedikit dan menemukan pintu besi berbentuk kubus yang hanya seukuran pinggang orang dewasa.

Dari gerak-geriknya, aku bisa menyimpulkan bahwa gadis kecil ini adalah gadis yang sangat pintar.

"Akhirnya!" Serunya pelan. "Aku temukan tempat untuk menyembunyikan kue!"

Lima belas menit lamanya Rukia berusaha untuk membuka pintu yang ia temukan. Rupanya pintu tersebut sudah lumayan berkarat dan cukup berat untuknya.

Aku tahu apa yang ada di bawah situ, yang pasti bukan tempat yang bisa untuk menyembunyikan kue. Tapi sayangnya aku tidak bisa memberitahu gadis mungil yang sudah mulai ngos-ngosan itu. Aku sempat melihat peta yang direnggangkan olehnya. Rupanya itu seperti peta jalan-jalan rahasia yang berada di istana. Mungkin dibuat oleh para penyusup atau pemberontak yang ada di dalam kerajaan.

Dan tempat yang Rukia tuju saat ini, ditulisi sebagai ruang penyimpanan oleh si pembuat peta. Memang ruang penyimpanan, tapi bukan untuk menyimpan makanan. Melainkan tempat untuk menyimpan manusia. Sel tahanan, tempat Ichigo di penjara.

Aku baru saja menyesali diri karena tidak memiliki tangan saat akhirnya gadis kecil itu berhasil membuka pintu besi tersebut. Saat tekanan udara mulai sedikit berubah karena udara di luar, akhirnya aku bisa melihat keadaan Kurosaki. Pintu itu terbuka, membiarkan cahaya dan sedikit angin bebas keluar masuk ke dalam ruang tahanan.

Aku sangat sedih ketika mencium bau apak menguar seolah-olah ruangan itu tidak pernah berhubungan langsung dengan udara bersih. Sel tersebut seperti kotak besi yang tidak ada jalan keluarnya, begitu gelap dan dingin. Pintu yang baru saja Rukia buka berada di atas ruangan, dekat dengan dinding paling ujung di ruangan itu. Dan ada beberapa batu yang menonjol di dinding, yang bisa menjadi pijakan gadis itu untuk turun ke bawah. Sepertinya sengaja dibuat seperti itu, dan tidak disadari oleh para penjaga. Mungkin selama ini tidak ada yang mau repot-repot mengamati bebatuan di dinding yang dingin. Bukankah hal biasa saja jika terdapat beberapa batuan yang menonjol di permukaan dinding tanah?

Saat si iris violet sampai di ruang tahanan itu, ia mengerenyitkan dahi. "Peta ini menipuku. Tempat ini tidak bisa dijadikan sebagai tempat penyimpanan makanan."

Namun Rukia tidak berlalu begitu saja. Ia melihat ke sekeliling, dan tepat di sebelah kirinya adalah sel Kurosaki. Miris sekali keadaan anak itu. Dia merengut ke pojok, rupanya seberkas cahaya yang masuk membuat dia terkejut. Aku sangat shock ketika sadar bahwa ruangan itu sangat gelap, tidak ada lentera atapun penerang lainnya di sana. Berkat bantuan cahaya dari atas, akhirnya aku tahu, ada empat sel di ruangan itu, dan hanya sel Kurosaki saja yang terisi. Dia sendirian di situ. Tangan dan kakinya diberi pemberat sehingga ia kesusahan untuk bergerak. Badannya kurus kering, mangkuk makanannya tampak begitu menyedihkan. Aku bisa melihat serpihan roti kering yang sudah berjamur.

Andai saja aku lebih kuat, aku akan membawamu keluar dari sini.

"Kau siapa?" Tanya Rukia dengan suaranya yang jernih dan lembut. "Kau sendirian di sini?"

Ichigo tidak menyahut. "Kau kurus sekali," lanjut Rukia. "Kau perlu makan yang banyak. Aku punya beberapa kue dan coklat." Ia kemudian menuang isi kantung yang ia pegang sejak tadi.

"Coklat akan membuatmu gendut dan sehat. Kue yang lain mungkin tidak enak, karena aku yang membuatnya sendiri."

Saat itulah aku melihat ada beberapa kue kering yang ia tumpahkan ke dalam mangkuk Ichigo. Aku melihat iris amber itu menatap waspada ke arah Putri Kuchiki, namun senyum ramah sang Putri seperti meluluhkan hati dan membuatnya berjalan mendekat.

Dengan susah payah ia meraih kue yang Tuan Putri tumpahkan untuknya.

"Pasti kau sangat lapar, dan sangat kesusahan dengan tangan diberi pemberat seperti itu," ujar Rukia khawatir. "Aku akan meminta ayah untuk melepaskannya untukmu."

"Ja…ngan..," larang Ichigo dengan suara serak. Aku yakin tenggorokannya sangat kering saat ini, aku jadi menduga-duga kapan terakhir anak ini minum air putih. Dan kapan terakhir kali anak ini berbicara? Pasti sangat kesepian berada di sini, pasti…

"Kau haus?" tanya sang putri kemudian dan merogoh air minum dari tas punggungnya.

Terimakasih Tuhan, telah mengirimkan malaikat untuk Ichigo Kurosaki.

Gerakan Ichigo sangat lamban karena pemberat di tangannya, gadis kecil itu rupanya sangat perhatian. Dengan gesit ia memasukkan tangannya melalui terali penjara dan membantu kurosaki minum dengan tangannya sendiri. Dan aku bisa melihat kelegaan dari wajah anak laki-laki itu, sedikit senyum mengembang di wajahnya.

Tuhan… kenapa kau bahkan tidak menganugerahkan aku air mata? Karena aku ingin sekali menikmati pemandangan ini sambil menangis.

Gadis mungil itu pun melanjutkan perhatiannya. Dia menyuapi coklat yang sudah berada di mangkuk tahanan. Ichigo melahapnya dengan ganas, tapi itu justru membuat gadis itu tertawa.

"Kata Ayah, hanya orang jahat yang akan dimasukkan ke dalam penjara. Tapi aku tidak mengerti, kenapa anak seumuranmu dimasukkan ke dalam sini. Mungkin ada kesalahan, aku harus memberitahu ayah tentang hal ini."

"Jangan…" larang Ichigo sekali lagi, kali ini suaranya terdengar lumayan lancar. "Aku memang anak yang jahat."

"Kau? Jahat?" Balas Rukia sambil memperhatikan anak laki-laki di hadapannya dalam-dalam.

"Iya… tapi aku tidak akan menyakitimu."

"Kenapa?"

"Karena aku suka kue pemberianmu."

Rukia tertawa. "Apakah kue itu terasa enak?"

Ichigo mengangguk. "Kalau kau mengatakan apapun kepada ayahmu, aku pasti tidak akan bisa memakan kue ini lagi."

Sang putri terdiam sesaat. "Baiklah, aku tidak akan memberitahu kepada ayah."

"Bagus kalau begitu."

"Terimakasih ya sudah mengatakan kalau kueku rasanya enak," ujar Rukia sambil tersenyum manis. Wajah Ichigo terlihat sedikit memerah. "Padahal kakak selalu memuji rasanya yang buruk."

Dan saat itu aku hanya bisa mendengar suara anak laki-laki kecil yang terbata-bata mengatakan. "Harusnya aku yang mengucapkan terimakasih."

Tapi sang Putri tidak mendengar karena ia telah memutuskan untuk kembali ke atas sebelum para pelayan mencarinya dan berjanji akan kembali besok, membawakan lebih banyak kue lagi untuk si rambut oranye. Aku mengikuti langkah kaki putri, langkah kakinya membuat hembusan angin sepertiku bisa mengekornya dengan mudah. Sebelum naik ke atas, Rukia tersenyum sekali lagi pada Ichigo yang menatapnya dengan tatapan penuh rasa kagum. "Warna rambutmu sangat bagus."

Sebelum pintu itu tertutup, aku bisa melihat. Wajah anak laki-laki itu memerah. Aku yakin, malam ini ia akan tertidur dengan rasa hangat walaupun tadi aku tidak melihat sehelai kainpun di dalam selnya yang dingin dan pengap. Di dalam sel yang seperti kotak itu, yang bahkan penjagapun tidak ada di dalamnya. Mungkin ruangan itu benar-benar seperti kotak yang di kunci dari luar, sehingga tidak memerlukan penjaga di dalamnya.

Untunglah anak itu begitu kuat dan tegar, tanda-tanda kegilaannya tampak sudah memudar sejak saat terakhir kali aku bersamanya. Apa mungkin dingin dan gelap telah menelan segalanya?


Begitulah, aku selalu mengikuti sang Putri berkunjung ke penjara Ichigo. Dengan semangat ia selalu menimbulkan gerakan-gerakan yang memungkinkan aku selalu bisa berada di sisinya. Aku sangat bahagia bisa melihat lagi senyum si kecil Kurosaki. Setahuku, dia tidak pernah punya teman bermain semenjak dia di lahirkan. Mungkin Rukia adalah teman pertamanya, tidak, pasti Rukia adalah teman pertamanya. Maka dari itu, anak laki-laki berambut oranye itu sekarang seperti bisa hidup kembali.

Aku tahu dia adalah anak yang baik, dia selalu bersikap baik pada anak gadis yang selalu membawakannya kue-kue kecil. Andai aku punya lidah untuk mencicipi. Tapi tanpa itu pun aku tahu, bahwa Kurosaki hanya berpura-pura mengatakan bahwa kue itu enak, tentunya untuk menyenangkan Rukia. Semua isi hatinya terpampang jelas dalam frekuensi suara dan mimik wajahnya yang bisa kurasakan dengan jelas lewat gesekan udara.

Hari-hari bahagia itu terus berlanjut, sampai enam bulan lamanya. Sudah selama dua minggu ini Rukia-chan tidak pernah datang lagi. Aku khawatir dengan keadaan Ichigo di dalam sana. Apa dia menunggu tuan putrinya? Apa dia menangis? Apa dia merasa dikhianati?

Aku tahu dengan pasti apa yang terjadi. Pemberontakan telah terjadi di dalam istana. Kudeta tengah berlangsung. Putri dikurung di dalam kamarnya demi melindungi nyawanya. Aku tahu, tapi aku tersiksa karena tidak bisa memberi tahu hal itu kepada Ichigo.

Wahai lelaki kecil yang kesepian, kumohon… jangan bersedih.


Setelah satu bulan berlalu, aku akhirnya bisa melihat kulit seputih porselen merayap perlahan di antara dedaunan. Dengan waspada ia memperhatikan sekeliling. Putri Rukia dengan sigap membuka pintu besi yang tersembunyi di bawah pot. Dia sendiri yang menaruh pot itu di atasnya, agar tidak ada yang bisa menemukan pintu tersebut. Pintu menuju tempat rahasianya.

Ada yang sedikit berbeda kali ini. Dia tidak membawa kantung kue bersamanya. Matanya bahkan sedikit memerah. Entah apa yang terjadi, aku akhir-akhir ini hanya bermain bersama dedaunan dan tidak berniat beranjak dari taman. Rasanya aku begitu rindu pada Kurosaki, dan ingin membelai rambutnya lagi.

"Aku mendengar dari para pelayan bahwa ayah akan di bunuh…" isak Rukia kecil sesampainya di depan sel Ichigo. "Aku benar-benar tidak mengerti mengapa ada orang yang jahat kepada ayah."

Ichigo yang wajahnya berbinar saat melihat kedatangan Rukia saat itu langsung terdiam. Dari wajahnya tertulis dengan jelas bahwa ia mengerti keadaan gadis kecil di hadapannya ini. Alasan mengapa gadis itu tidak pernah datang belakangan ini terkuak sudah. Namun tatapan sendu penuh kerinduan tidak hilang dalam pancaran mata anak laki-laki itu. Mungkin dia belum sadar, bahwa dia kini telah jatuh cinta. Tapi aku sang angin, sangat mengerti betul bahwa anak kecil berambut oranye itu telah melupakan seluruh amarah dan dendamnya karena kasih sayang yang selama ini diberikan oleh gadis kecil yang selalu menghampirinya. Walaupun ia bahkan tidak tahu nama gadis itu. Selama ini ia tidak pernah menanyakan namanya, dia juga bahkan jarang berbicara. Kalau saja bukan Rukia yang berbicara duluan, maka ruang sel itu pun akan terasa sepi dan gelap seperti malam, walaupun seberkas cahaya masih tampak lewat pintu besi.

Aku paham betul kenapa Putri tidak mau duluan menanyakan nama Ichigo. Karena keluarga dengan status tertinggi di negeri ini, tidak pantas sama sekali menanyakan nama orang terlebih dahulu. Dan lagi Ichigo sepertinya sangat malu untuk menanyakan nama sang Putri, ia hanya menjawab ketika Putri berbicara. Persis seperti pelayan dengan tuannya. Menurut seperti anjing yang menyedihkan. Tapi tetap setia mencintai majikannya.

"Aku dikurung," lanjut Rukia lagi. "Tapi akhirnya aku berhasil kabur. Mungkin hari ini adalah hari terakhir kita bisa bertemu. Maafkan aku… keadaan di sana tidak memungkinkan lagi… aku benar-benar takut…"

Ichigo tersenyum penuh pengertian. "Terimakasih."

"Kenapa?"

"Terimakasih sudah mau repot-repot mengucapkan salam perpisahan… Terimakasih…"

Aku tahu dengan pasti maksudnya… Aku tahu penantian sangat menyakitkan. Dengan begini ia tidak akan menunggu sang putri lagi. Oh Ichigo… andai aku bisa merusak jeruji yang mengurungmu di sini.

"Aku membuatkanmu sesuatu." Rukia melepaskan gelang dari tangan mungilnya. Gelang yang terbuat dari kerang yang berwarna-warni. "Aku menemukan kerang ini saat bertamasya ke pantai beberapa tahun lalu. Dan baru bisa membuat gelang beberapa hari belakangan ini. Aku membuatkannya untukmu. Terimalah."

Ichigo ragu-ragu, dengan berat hati ia menengadahkan tangan kanannya. Dan gelang itu pun terjatuh tepat di telapak tangannya. "Aku akan menyimpannya dengan baik."

Aku tahu ada nada ragu di dalam suaranya. Ia pasti akan mendapatkan masalah dari penjaga kalau ketahuan memiliki sebuah barang yang sebelumnya tidak ia miliki. Tapi ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi senang dari wajahnya. "Aku berdoa untuk keselamatan ayahmu."

Rukia mengangguk. "Aku harus pergi sekarang. Sebelum mereka mengira aku diculik."

Ichigo tersenyum. "Selamat tinggal."

Tuhan… bisakah kau bunuh saja aku ini? Aku benar-benar tidak sanggup menyaksikan kesedihan yang terukir di dalam iris amber milik anak kecil itu. Bisakah kau tukar tempatku dengannya? Barangkali ia akan lebih bahagia hidup menjadi seperti aku. Abadi… untuk selamanya.


Beberapa tahun sejak pertemuan dua anak kecil tersebut, puncak kudeta pun berlangsung. Nyawa anggota keluarga kerajaan terancam. Aku bisa melihat dengan jelas darah berceceran dimana-mana, pendukung keluarga Raja banyak yang menjadi korban. Raja Kuchiki tampak sangat rapuh saat ini. Entahlah, padahal usianya masih terbilang cukup muda. Aku tidak tahu kenapa ia terlihat begitu tua dan lelah.

Saat sedang asyik mengamati, saat itulah aku menyaksikan sosok berambut oranye berlari dan membunuh orang-orang di sekitarnya dengan pedang pendek yang ia bawa di tangan kiri dan kanannya. Sepasang matanya penuh dengan hasrat membunuh yang menggelora.

Ichigo. Dengan rambut oranyenya tampak seperti kesetanan. Kegilaan menguasai dirinya. Seperti anjing liar yang telah terinfeksi rabies, penuh hasrat untuk menggigit orang lain.

Aku tidak salah lihat, tentu saja aku tidak mungkin salah merasakan wangi tubuh apaknya yang menguar di udara. Akhirnya anak itu bebas. Akhirnya… Tapi kenapa? Kenapa ia bisa bebas? Siapa yang melepasnya?

Aku menyusup di antara gerakan tubuh Ichigo. Mengikutinya berjalan membelah dan menebas orang-orang yang berusaha menghalanginya. Degup jantungnya terasa begitu keras dan memburu di antara sayup-sayup derap kakinya.

"Akhirnya…," desisnya. "Aku akan membalas dendam."

Tuhan… apa dia tahu bahwa dia berniat membunuh orang tua dari gadis yang ia cintai?


Rasa dendam membuat kekuatan anak kecil itu bertambah, walaupun tubuhnya kurus kering tapi tampak beberapa tonjolan otot diantaranya. Pasti itu karena ia sering latihan mengangkat beban yang ada di tangan serta kakinya. Setelah beban itu terlepas, ia merasa bisa bergerak sepertiku – seperti angin.

Tampak beberapa orang yang mengekor di belakangnya. Mengikuti gerakan lincah si kecil Kurosaki, kudengar mereka berbisik-bisik.

"Untung tuan besar melepaskannya. Hahahaha. Ide beliau memang sangat brilian."

Aku sedih sekali. Tuhan… kumohon, berikan aku sebuah pita suara. Agar aku bisa berbisik di telinganya.

Raja dan Ratu adalah orang tua dari gadis pembuat kue.

Gadis yang selalu tersenyum padamu, anak perempuan kecil yang selalu kau berikan senyuman saat berada di dalam sel. Seorang anak kecil pemilik iris berwarna violet yang memberikanmu sebuah gelang yang kini tengah kau gunakan di tangan kirimu. Setidaknya tolong lepas gelang itu, aku tidak ingin gelang pemberiannya menjadi saksi atas terbunuhnya kedua orang tuanya.


Tiga tahun telah berlalu. Tanpa aku duga ternyata Ichigo bisa juga bertambah tinggi. Aku tidak tahu mengapa, tapi tampaknya ia mendapatkan cukup makanan layak beberapa tahun belakangan tanpa sepengetahuanku. Sungguh ruangan di sekitar kotak besi itu bahkan tidak mendapatkan tekanan udara yang pas bagi segumpal angin untuk berkelana.

Tubuhnya cukup jangkung. Wajahnya jadi lumayan tampan, tapi sangat kotor. Sedangkan setahuku, Rukia telah menjadi gadis yang sangat cantik, walaupun pertumbuhannya tidak begitu sempurna. Mereka sama-sama berumur sepuluh tahun.

Hai Ichigo, aku tahu dengan pasti bahwa di ruangan itu ada Rukia dan kakaknya tengah bersembunyi di balik dinding. Sedangkan ayah dan ibunya sedang bersiap untuk menghadapi kematian.

Saat sampai di kediaman raja dan ratu. Pintunya telah terbuka. Ada beberapa orang yang tampak puas menyiksa pemimpin negeri mereka. Saat Ichigo datang, merekapun mundur.

"Tuan besar telah memerintah kami membiarkan mereka hidup agar bisa kau habisi. Tuan besar sangat berharap setelah ini kau mau menjadi pengawal pribadinya," ujar salah seorang pria yang berdiri di sebelah Ratu yang kini telah hampir putus urat nadi kehidupannya.

"Bukankah itu syaratku?" balas Ichigo. "Maka dari itu aku kemari."

Aku bisa mendengar suara rintihan tertahan dari Rukia. Aku menduga kakaknya kini tengah membungkam mulut adiknya dan mereka bersembunyi di balik salah satu dinding. Dinding yang ada lukisan bunga anggreknya. Yang aku tahu di antara bunga-bunga anggrek itu terdapat lubang-lubang kecil yang memungkinkan bagi yang bersembunyi di dalamnya untuk melihat keadaan di luar.

Rukia tahu siapa yang hendak membunuh ayahnya. Air matanya mengucur deras. Tapi kekuatan Byakuya –kakaknya – lebih besar daripada gadis kecil itu. Jadi dia tidak bisa berontak lebih jauh lagi. Aku tahu, gadis itu pasti ingin berteriak agar Ichigo menyelamatkan orang tuanya.

Byakuya menyaksikan prosesi penjemputan ajal kedua orang tuanya dengan tenang. Sungguh, aku tahu dia pasti saat ini ingin sekali membunuh orang-orang yang ada di sana. Tapi dia tidak berdaya. Orang-orang di sayap kiri dan kanan istana pasti bisa memenangkan pertarungan ini, tapi nyawa raja dan ratu tidak bisa di selamatkan lagi. Paling tidak mereka berdua harus bertahan, kakak beradik harus bertahan agar keluarga Kuchiki tetap bisa menjadi penguasa. Jadi yang bisa mereka lakukan saat ini hanya bersembunyi di balik dinding.

Aku tahu… angin lain telah membawa kabar tentang kemenangan pihak yang mendukung keluarga Kuchiki. Hanya kelompok kecil ini yang tersisa, kelompok kecil ini bahkan bisa menang kalau berhasil membunuh Raja, Ratu, beserta anak-anak mereka.

"Dimana kedua anakmu?" tanya salah satu laki-laki yang berada di dalam ruangan itu.

Raja yang tampak sudah berada di ujung hidupnya, tidak menjawab apapun.

"Kita harus membunuh mereka semua agar tuan besar bisa menjadi raja selanjutnya. Percuma saja kalau kita berhasil membunuh kedua orang ini tapi tidak membunuh kedua anak mereka," sahut salah seorang yang lain.

Ichigo tidak mempedulikan percakapan mereka. "Dua orang ini yang membunuh seluruh klanku. Dua orang ini harus kubunuh. Aku tidak peduli dengan sisanya. Itu urusan kalian."

"Tapi Kurosaki! Kita jangan biarkan mereka mati dulu, sebelum mereka memberi tahu dimana anak mereka berada."

"Apa kalian tidak mengerti? Mereka pasti tidak akan memberitahu dimana anak-anak mereka," balas Ichigo.

"Tapi Kuro…" Ucapan laki-laki itu berhenti saat Ichigo menebas kepalanya. Orang-orang yang berada di ruangan itu pun menyerbu Ichigo, tapi ia berhasil membunuh mereka semuanya.

Hanya Raja dan Ratu yang masih hidup, terbaring penuh luka dan darah.

"Sekarang giliran kalian…" desis ichigo. "Sebenarnya aku sangat menyayangkan karena tidak ambil andil dalam menyiksa kalian."

Saat Ichigo mengayunkan pedangnya, hendak menebas kepala Raja dan Ratu dalam satu serangan. Rukia berhasil memberontak dan mengoyak tembok yang menghalangi dia selama ini.

"Jangan!" Pekiknya sambil menangis. Ichigo terkejut dan menghentikan ayunan pedangnya.

Aku yakin betul ia telah berhenti mengayunkan pedangnya, saat melihat gadis yang ia cintai menangis. Tapi aku mendengar bisik perlahan dari sang Raja, bisik perlahan dimana hanya aku yang bisa mendengarnya.

"Bunuh kami…"

Tangan Ichigo kembali mengayun, detik itu juga. Lalu kepala kedua petinggi kerajaan itu pun tertebas dengan sempurna. Rukia menyaksikan hal tersebut dengan mata terbelalak. Tangisnya meledak.

"Bajingan kau! Manusia hina!" Umpat Rukia pada Ichigo. "Aku membencimu!"

Saat itulah, Ichigo terlihat begitu terpukul. Saat gadis yang ia cintai menangis sambil merangkul tubuh kedua orang tuanya.

Tuhan… bolehkah aku tahu tentang takdir kedua manusia ini?


SEPATAH DUA PATAH KATA DARI AUTHOR YANG MANIS (?)

Akhirnya sampai juga di ujung cerita. Bersambung loh, sambungannya ntar juga lamaaaaaaaa ngupdatenya yah. Hahahaha. Udah kelas dua nih, banyak pelajaran susah di sekolah. Apakah ada penghuni fandom ini yang bersedia menjadi guruku? *puppy eyes*

Ini mau kubuat tetralogy, jadi selain angin. Ntar ada api, tanah, dan air. Ke empat elemen ini sebenarnya merupakan cerminan dari sifat orang yang dekat denganku, dan salah satu sifatku juga ada di antara empat elemen itu. Hehhe.

Jadi apa ya judul bakunya buat tetralogy ini? Ada yang punya ide?

Jadi misalnya kayak Harry Potter, tapi judulnya ada yang And the prisoner of Azkaban~~

Aku jadi pengen kayak JK Rowling. *tapi gak mungkin*

Aku mulai ngeksis lagi nih di Internet! Menyenangkan sekali punya pengalih perhatian saat sibuk sekolah. Jujur, aku benci sibuk. Tapi saat sibuk itu jadi pengen melakukan hal lain. Justru kalau libur, aku jadi pengen tidur mulu. Hahaha

Ehem. Curhatannya sampe di sini deh. Oia, mengenai dua karyaku yang belum di update2. Itu karena aku LUPA cara nulis pake kata ganti 'dia' . hahahahah. Biasanya sekarang nulis pake 'aku' sih. Jadi lupa. Hiksu. Makanya, sekarang aku ganti sudut pandang lagi, sudut pandang orang keberapa yah ini namanya.

Yah, pokoknya yang Lies sedang dikerjakan kok. Semoga hari senin bisa update yah. Kalau gak bisa, silahkan aku dicerca dan dimaki, soalnya kalau gak digituin jadi nyante ajah. Hahaha. Berhubung saya anaknya adalah anak manis yang easy going banget, jadi, saya ga punya manajemen yang bagus buat hidup saya. Hahaha.

Sekian. Kepanjangan curhat nih..

Salam anak manis – Ha_va99