Assassination Classroom © Yuusei Matsui

.

The Second Job

.

Warning:

AU, Typo, OOC, dan segala kekurangan yang ada di cerita ini.

.


Prologue


.

Sosok yang selalu melekat di hati mereka. Sosok yang selama ini terus ada di samping mereka. Sosok yang membuat mereka harus menjalani tugas sebagai assassin. Sosok yang selalu berhasil menghindar dari serangan pistol dan pisau yang anak-anak itu tujukan kepadanya. Sosok gurita mesum yang tiba-tiba datang ke kelas E dan menjadi guru mereka. Sosok yang mempunyai nama Korosenai karna kecepatan mach 20 nya. Sosok itu adalah Koro-sensei.

Dan pada malam ini. Seluruh butiran cahaya yang buram dan hangat kini terbang ke angkasa, menyisakan jubah hitam dan dasi dengan corak bulan sabit yang tertusuk pisau anti-sensei. Tangis mereka pecah kala tugas yang diemban mereka selama setahun ini telah selesai. Ingatan tentang semua pujian, omelan, dan ceramahan yang guru mereka berikan seketika terngiang di kepala mereka. Mereka telah membuktikan bahwa mereka berhasil membunuh guru yang sangat mereka sayangi itu. Biarkan waktu ini berhenti, agar mereka bisa mencurahkan segala kesedihan pada bulan sabit yang masih bercahaya diatas sana.

.


[14 Maret; setelah hari kelulusan SMP Kunugigaoka.]


.

"Apa kalian yakin?"

Suara dari Karasuma-sensei terdengar begitu ragu saat mendengar pernyataan yang sangat tidak diduga olehnya. Alisnya bertaut, ia memandang murid-muridnya yang kini sedang menyunggingkan senyumnya –walau mata mereka terlihat sembab dan tampak lesu.

Yada berucap, menatap Karasuma-sensei lalu ke Irina-sensei secara bergantian. "Yah, sebagai pekerjaan 'tambahan' saja. Koro-sensei juga mengatakannya kan?"

Telunjuk dan jari tengah gadis rambut ponytail itu menyatu, memperagakan seolah-olah ia memegang pisau.

"–Bawalah pisau kedua mu.."

Tangan Isogai terkepal, menepuk dadanya. "Tenang saja Karasuma-sensei, pekerjaan utama kami tetap seperti yang kami tulis di Konsultasi Karir waktu itu.."

Irina-sensei melirik kearah 'calon' suaminya, sementara Pegawai Kementrian Pertahanan itu memijat pelipisnya –bingung.

"Begitulah keputusan kami. Anda tidak keberatan bukan, Karasuma-sensei?"

Berandalan nomor satu di kelas E, Karma, mengakhiri pernyataan dari teman-temannya sembari menunggu keputusan dari Karasuma-sensei.

Angin berhembus, menerbangkan bunga sakura yang bermekaran. Sebagian kelopaknya masuk melewati celah dari jendela bus yang akan membawa mereka ke Kementrian Pertahanan Jepang. Murid kelas E terdiam, menyembunyikan kesedihan yang masih mengganjal di hati.

Mungkin ini terdengar egois, dan sebuah pemikiran yang gila bagi murid SMP.

Ada yang kami sembunyikan dari Koro-sensei saat Konsultasi Karir, dan kami tidak ingin beliau mengetahuinya.

Cukup lama Karasuma-sensei berpikir, sebelum matanya kembali terbuka.

"Baiklah. Aku akan 'memanggil' kalian jika aku membutuhkan kalian.."

Semua murid kelas E berpandangan satu sama lain sesaat, kemudian senyum manis mengembang di wajah mereka. "Bisa diatur, Karasuma-sensei!"

Tekad kami sudah bulat.

Kelas E memutuskan untuk melanjutkan tugasnya, sebagai pembunuh bayaran.

.


[Dua bulan setelah hari kelulusan SMP Kunugigaoka.]


.

Kelopak matanya terbuka, menampilkan iris oranye yang beberapa menit lalu tertutup. Pemuda yang mempunyai surai sewarna irisnya bisa melihat warna putih, yang merupakan pigmen dari langit-langit kamarnya. Suasananya begitu hening, ditambah tirai jendela yang senantiasa tertutup –membuat ruangan begitu gelap. Kali ini ia mengedarkan pandangannya, melihat ke sekeliling. Masih berantakan, seperti sebelum ia berbaring sejenak.

Maehara bosan.

Ia berguling ke kiri dan ke kanan, terus seperti itu selama beberapa menit. Kemudian pemuda itu bangkit, mengacak-acak surai oranye nya. Alisnya bertaut. Ia menghela nafas kasar. Sadar betapa menggelikannya dirinya, ia mulai bangkit. Matanya melirik jam sebentar; pukul empat sore.

Tangannya meraih jaket yang tergantung di pintu kamarnya, lalu memutuskan untuk pergi.

.

.

.

.

.

"Yo, ikemen!"

Pemuda berpucuk itu menoleh kearah pintu masuk, mendapati sahabat baiknya sedang melambaikan tangannya. Senyum hangat nampak di wajah ikemen itu. "Maehara.. Tumben kemari?"

Maehara duduk di salah satu kursi dan meja yang berada didekat jendela, kemudian menopang dagunya. Dilihatnya langit yang mendung dan petir yang kadang bergemuruh, pertanda sebentar lagi akan hujan deras. Ia bersyukur sudah sampai ke tempat tujuannya sebelum tetesan air berjatuhan; walau ia membawa payung, sih.

"Seperti yang kau lihat, aku bosan. Tidak ada misi akhir-akhir ini, dan sekarang aku tidak punya pacar. Jadi, yah –begitulah!"

Isogai menghela nafas lantaran Maehara memaparkan keluh kesahnya. "Putus lagi? Ya ampun.." Pemuda berpucuk itu melipat tangannya di dada. "Makanya jangan mempermainkan wanita!"

Surai oranye itu menoleh cepat ke sahabatnya itu. Yang ditatap hanya menaikkan alisnya heran. Tangan Maehara terangkat keatas, seolah ia sudah pasrah. "Hei, itu sudah menjadi sifatku sejak kecil –dan itu tidak bisa dirubah!"

"Terserah kau saja.." Isogai mendengus sembari memberikan buku menu pada Maehara. "Kau mau pesan apa?"

Cengiran khas terpampang di wajah sang cassanova. "Teh hitam saja, ehehe.."

.


.

Suara hak tinggi bergema di koridor, sebelum ia melangkahkan kaki jenjangnya ke ruangan yang bertuliskan 'Manajer Umum Karasuma'. Didekapnya berkas-berkas penting sembari mengetuk dan memutar kenop pintu itu. "Permisi.."

Seseorang terlihat di ujung ruangan. Sadar bahwa ada seseorang yang memasuki ruangannya, ia membalikkan punggungnya, menangkap sosok istrinya yang kini sedang berjalan mendekatinya. "Apa yang kau bawa, Irina?"

"Berkas permintaan dari Maste– Lovro-san." Irina –yang diketahui adalah istri dari Karasuma– segera meletakkan berkas-berkas itu di meja Manajer Umum. Arah mata atasannya itu mengikuti gerak-gerik Irina yang kini telah membuka salah satu berkas yang terletak paling atas. "Pekerjaan ini mungkin bisa diatasi oleh 'mereka'.."

Karasuma melihat foto seorang wanita cantik terpampang di sudut atas kertas itu. Iris hitamnya meneliti tiap kata per baris, berusaha memahami target operasi kali ini. Irina merasa atmosfir di ruangan ini sedikit lebih dingin, tepat saat mata Karasuma menyipit sebentar. Setelah dirasa sudah cukup membaca, Manajer Umum itu memberikan berkas tadi kepada Irina.

"Bagaimana menurutmu, Irina? Siapa yang cocok dengan pekerjaan ini?"

Irina tersenyum penuh makna, sifat pembunuh professionalnya terlihat –tanda ia mulai serius. "Sudah jelas, bukan? Kita butuh pembunuh yang bisa memikat hati lawan jenis. Dari tingkat kesulitannya, mungkin butuh dua atau tiga orang yang menjalankan misi ini.."

Setelah dirasa paham akan perkataan wanita dihadapannya, ia terdiam. Dari raut wajahnya, ia terlihat sedang mempertimbangkan sesuatu. Istri Manajer Umum itu senantiasa duduk diatas meja –mencoba menggoda suaminya, seperti biasa.

Sampai akhirnya Karasuma bersuara.

"Ritsu."

Sebuah AI muncul dari layar monitor yang terpasang di dinding. Penampilannya terlihat berbeda dari sebelum kelulusan. "Ha'i, Karasuma-san!"

"Panggil Isogai dan Maehara ke ruangan saya. Sekarang." nada tegas terdengar dari Karasuma, sedangkan Irina tersenyum –membayangkan duo ikemen itu beraksi kali ini. "Dan bilang kalau mereka akan menjalankan misi ini dalam tiga hari."

Ritsu membuat pose hormat disertai senyuman. "Roger!"

.


To Be Continued


.

A/N

Entah mengapa saya kepikiran buat bikin fict multichap.. :3

Ide ini didasari imanjinasi saya, yang berpikir membuat plot twist; bagaimana jika mereka tetap melanjutkan latihan assassinasi mereka? Soalnya –menurut saya– bakat itu akan sia-sia jika tidak digunakan (walau kata Koro-sensei : tidak ada yang sia-sia di dunia ini) ._. /seketikabaper

Sebenarnya saya mencoba menghindari membuat fict multichap, takut gak mood di tengah-tengah lalu berakhir discontinued :'D /jangansampai

Rencananya akan ada 12 chapter, dimana 1 Prolog, 10 cerita yang berbeda tiap karakter, dan 1 Epilog. Doakan saya supaya bisa menyelesaikan fict ini sampai akhir! '^')9

Adakah yang tertarik? o.o