Assassination Classroom by Yuusei Matsui

.

Maybe OOC, Typo(s), beserta teman-temannya.

.

Silakan dibaca bagi yang berkenan.

.

"Jadi, tambah gemukkan setelah pulang dari Inggris Nakamura-san?"

Gadis pirang itu hanya mengedikan bahu dan membuat tanda dengan jarinya. "Sedikit."

"So, how are you?"

Nakamura tersenyum geli mendengar Fuwa menanyakan kabarnya. "Logat Jepangmu masih sangat kentara."

"Aku masih bangga dengan negaraku, jadi belum terpikirkan mengenai hal tidak penting dari negara lain," elak Fuwa cuek. "Masih jomblo Miss?"

Nakamura menatapnya tajam. "Analisamu masih tajam, tidak, tapi meningkat. Bagaimana aku harus memujimu soal ini, mangaka-san?"

"Kau kembali ke Jepang saat libur akhir tahun. Terlihat jelas kalau kau tidak memiliki kekasih yang bisa diajak untuk menghabiskan waktu di malam tahun baru."

"Aku hanya ingin menemani sahabatku. Yaitu kau." Rio menunjuk Fuwa dengan ibu jarinya.

Gadis berpotongan bob itu menggeleng dramatis. "Apa aku harus bangga dengan ini? Tapi aku sudah memiliki janji dengan orang terkasih." Fuwa menunjuk jari manis di tangan kirinya. Bertengger sebuah cincin perak yang sederhana di sana. Rio menatapnya dengan cukup terkejut tapi tidak menyembunyikan raut bahagianya.

"Selamat."

Fuwa kembali pada topik. "Untuk membuatmu tidak terlihat menyedihkan kenapa kau tidak mengajak seseorang untuk pergi?"

"Siapa?"

Pertanyaan itu lebih ditujukan untuk diri sendiri. Fuwa mulai menyebutkan sebuah nama yang pernah mengisi hati Nakamura Rio.

"Nagisa ya... itu tidak mungkin. Sudah pasti dia akan menghabiskan malam pergantian tahun dengan Kayano."

"Bisa saja tidak. Kayano mengisi sebuah acara live di televisi." Fuwa mulai memberikan harapan.

Rio kembali menggali memorinya. "Nagisa orang yang baik hati. Dia sangat lembut sebagai seorang laki-laki, bahkan mengalahkan hampir dari semua perempuan di kelas kita. Tapi, dia tidak pernah memandangku. Yang dia pikirkan hanya tujuannya saja, itu yang selalu ada di matanya."

Fuwa diam menyimak sambil sesekali menyesap minuman cokelat hangat di tangannya. Gadis pencinta manga shounen itu tahu ini akan menjadi cerita yang panjang.

"Masalah bertambah saat Kayano mulai menyukainya. Gadis yang tidak pernah kehilangan sikap cerianya itu selalu berada di sisi Nagisa. Mengerti dengan baik semua tentangnya. Tapi dia juga cukup berjuang agar cintanya terbalaskan. Aku sadar aku tidak akan menang melawannya. Jadi aku menyerah."

Fuwa membenarkan itu. Memang pernah tersebar gosip kalau Nakamura menyukai pemuda biru di kelas mereka. Kalau tidak salah ingat, gosip itu keluar dari mulut Akabane Karma.

Ah, bicara tentang Akabane Karma—

"Bagaimana ya kabarnya sekarang? Kudengar dia sudah menjadi orang yang hebat, si Bakabane itu."

"Kau terlihat masih cukup akrab dengan memanggilnya seperti itu."

Rio mendesah. "Kadang aku menyesali kedekatan itu. Kedekatan yang membuatku jatuh hati padanya."

Rio ikut meneguk cairan pekat miliknya.

"Sikap Karma yang selalu blak-blakan padaku membuatku nyaman. Kejahilan-kejahilan kecil kami membawaku memiliki perasaan padanya. Tapi sekali lagi aku tidak beruntung. Aku salah mencintai seseorang."

"Karma menyukai Okuda-san bukan?"

Rio mengangguk. "Kali ini aku dikalahkan oleh seseorang yang justru jarang ada di dekatnya. Tapi Okuda-san sangat mempercayai Karma dan gadis itu mendapat perhatian darinya. Okuda-san mengalami hal manis yang biasa ada di drama. Dia cukup beruntung untuk gadis yang tidak populer."

"Kudengar Karma secara terang-terangan memilihnya saat kita berwisata ke Kyoto dulu."

Nakamura tersenyum kecut. Mata birunya menatap langit sore yang kelabu. "Aku tidak terlalu bagus dalam memilih laki-laki—sepertinya. Saat aku sadar sulit bagiku untuk memiliki laki-laki yang dicintai dan mencintai aku beralih halauan. Pada laki-laki biasa yang tidak memikirkan kehidupan asmara."

Fuwa mengingat-ingat, tapi ia tidak segera menemukan yang mengganjal di kepalanya.

"Sugaya Sousuke."

Ya! Itu dia!

"Saat aku mengingat sensei pernah mencomblangkan kami kupikir aku masih memiliki satu kesempatan. Aku pikir sensei tidak akan melakukan itu tanpa alasan."

Yang satu ini Fuwa belum tahu ceritanya. Ia sangat tertarik mendengarkan. "Lalu?"

"Aku mencoba dekat dengannya. Karena saat SMP aku tidak pernah menyukainya kupikir dia yang pernah memiliki perasaan padaku. Aku sedikit tenang karena mungkin kali ini akan berjalan dengan lancar." Tiba-tiba Rio manyun.

"Tapi dia—dia memang mengatakan dia pernah menyukaiku dulu. Saat kuajak untuk membangun hubungan pun dia juga tidak menolak. Tapi, tapi dan tapi, aku memang tidak beruntung dalam hal asmara. Aku salah lagi. Dia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Hanya seni, seni dan seni yang ada di kepalanya."

Fuwa terkekeh pelan. "Dia memang Sugaya jika seperti itu."

"Tapi dia yang terbaik. Dia pernah mengatakan kalau aku adalah sebuah keindahan dan dia memberikan hadiah berupa lukisan diriku yang sedang meminum jus. Aku tidak menyangkal kalau itu memang sangat indah."

"Wow, dia romantis juga."

"Tapi aku tidak bisa terus bersama dengannya. Aku kalah dengan seni baginya."

Fuwa menepuk pelan pundak Nakamura. "Setidaknya dia baik padamu," hiburnya. "Yang dilakukan sensei sepertinya tidak benar hanya untukmu saja. Aku bisa bahagia berkat uji nyali di dalam gua itu."

"Mungkin jika aku bersabar aku juga akan bahagia sepertimu. Karena kudengar Sugaya sudah menikah dengan seorang seniman yang cantik."

Fuwa mengangguk membenarkan. "Lalu sekarang kau mau bagaimana?"

Rio tidak menjawab.

"Tenang saja, ini bukan sesuatu yang perlu terus menerus dicemaskan. Kau pasti akan menemukannya. Segera."

"Thank's Fuwa."

"Nope," balasnya. Tiba-tiba gadis itu menjentikkan jarinya. "Aha! Bagaimana jika kau menghabiskan malam tahyu baru bersama geng Terasaka? Hanya mereka yang selalu menghabiskan setiap momen secara bersama-sama."

Nakamura cukup membelalak. "Sungguh aku akan menjadi orang asing di tengah-tengah mereka! Lagi pula itu tidak mungkin, aku tidak akan paham dengan apa yang mereka bicarakan."

"Benar juga!"

Dan lalu keduanya tertawa bersama. Membahas kembali kekonyolan yang pernah mereka lakukan di bangku sekolah.

Srak.

Mereka berdua menoleh karena cukup terganggu dengan suara kursi yang ditarik secara keras. Keduanya sama-sama mengerutkan kening melihat siapa pelaku dari itu. Dan mereka membuka mulut secara bersamaan.

"Asano Gakushuu?"

Keduanya saling pandang heran.

"Kudengar dia sekarang menjadi kepala sekolah di SMP kita." Fuwa memulai.

"Benarkah? Cukup mirip dengan kepala sekolah ya?" Tentu yang dimaksud adalah Asano senior. "Tapi memang benar-benar mirip. Hanya beda gaya rambut."

"Kau benar."

Rio cukup lama mengamati. Sayangnya sepertinya ia terjangkit virus ketampanan yang menurun dari keluarga Asano. Semakin umur bertambah ketampanan juga mengikuti.

"Dia kelihatan cukup tampan dan dewasa. Ah, memang Tuan Sempurna."

Fuwa menatapnya tidak mengerti.

"Fuwa, mungkin aku sudah menemukan seseorang yang bisa kuajak menghabiskan malam tahun baru nanti."

Fuwa sedikit ngeri melihat senyum di bibir Rio. "Jangan bilang dia."

"Terima kasih sudah menjadi teman ngobrol yang menyenangkan," ucap Rio. "Mungkin aku harus menyapanya."

"Jangan bercanda."

"Ah, aku juga ingin sedikit pamer padanya. Aku sudah pernah mengalahkannya saat ujian. Mungkin dia jenius, tapi aku ingin menunjukkan inggrisku padanya."

Fuwa hanya bisa melongo mendapati Nakamura berjalan santai menghampiri meja Asano yang berada di sudut cafe tempat mereka nongkrong. Ia cukup terkejut Asano tidak mengusir Nakamura dalam hitungan detik dan malah mengobrol layaknya teman lama baru jumpa.

Fuwa memiringkan kepalanya layaknya karakter di manga yang sering digambarnya, tentang ekspresi tokoh yang tidak paham dengan sebuah situasi. "Mungkin jaman sudah berubah..." gumamnya.

"Tapi kuharap dia bisa benar-benar menemukannya kali ini. Meski sedikit tidak rela, sepertinya putra lipan itu cocok dengannya. Kuharap."

Owari.