PERLU DIPERHATIKAN:

-Ff ini adalah hasil remake dari ff lainnya. Pernah nemu?

-SLASH/BL/BOYXBOY/MPREG

No GS

Main cast:

Kwon Hyunbin | Hwang Minhyun

Kid!Hwang Hyunjin

Supporting cast:

Kang Dongho | Kid!Kim Seungmin

Newborn baby!Park Junghyun

Tau siapa mereka?

No OC

Mention of:

Kang Euigeon | Ong Seongwoo

Newborn baby!Lee Daehwi

Newborn baby!Lai Guanlin

.

.

.

Sejak Hyunjin diberitahu bahwa ia akan memiliki seorang adik di usianya yang kelima ini, ia merasa bahwa Hyunbin dan Minhyun hanya melakukan interaksi dengan adiknya yang bahkan belum dilahirkan itu.

Sebenarnya tidak. Itu hanya pemikiran buruknya. Kedua orang tua Hyunjin tetap memperhatikan Hyunjin seperti biasa. Hanya saja ia merasa bahwa perhatian ayah ibunya itu lebih tercurah pada sesuatu yang sedang tumbuh di dalam perut ibunya.

Sejujurnya Hyunjin tidak menyukai itu.

Ia ingin, perhatian itu hanya tertuju padanya. Selalu, dan selamanya.

Ia tidak ingin kasih sayang yang diberikan ayah ibunya itu terbagi.

Dulu, ia selalu mendapat perhatian penuh. Lalu dengan kehadiran anggota baru di dalam keluarganya kelak, semua akan terasa aneh. Apakah ia bisa membiasakan diri dengan orang asing di rumahnya?

Hari yang dinantikan Hyunbin dan Minhyun hampir tiba. Yang menemani Minhyun di rumah sakit pagi ini untuk kelahiran anak keduanya nanti malam adalah kedua orang tua Minhyun. Karena Hyunbin masih melakukan duty-nya di Amerika.

"Kau siap?" tanya Hyunbin di seberang. Meskipun Minhyun hanya bisa mendengar suara suaminya melalui sambungan telepon, itu sudah membuatnya bahagia.

Minhyun mengelus perut bulatnya, "Apa aku punya pilihan untuk tidak siap?" Ia pikir ia salah ucap barusan. Seharusnya ia bisa mensugestikan seluruh hal baik ke dalam pikiran. Ia adalah gerbang bagi kehadiran anggota baru keluarga kecilnya. Semua orang bergantung padanya. Semua orang bergantung pada perjuangan yang akan ia lakukan malam ini.

Ia tidak bisa menitipkan Hyunjin pada orang tua Hyunbin karena mertuanya itu juga tinggal di Amerika.

Maka di sinilah Hyunjin berada sekarang. Kediaman Daniel dan Seongwoo. Ayah dan ibu Seungmin. Seungmin adalah teman dekat Hyunjin sejak mereka masih memakai popok.

Meskipun Daniel dan Seongwoo sudah memiliki tiga orang anak–dan saat ini akan menambah lagi, mereka selalu senang dengan kehadiran Hyunjin di kediaman mereka. Apalagi jika Hyunjin sampai menginap seperti yang akan dilakukannya malam ini. Karena hal itu bisa menaikkan drastis kadar keceriaan Seungmin.

"Punya adik itu menyenangkan." Itu adalah jawaban singkat Seungmin ketika Hyunjin bertanya bagaimana rasanya memiliki adik. Dan hanya sebatas itu. Tidak ada penjelasan lain tentang alasan kenapa seorang adik bisa dibilang menyenangkan?

Di kamar, Seungmin mengajak Hyunjin untuk memainkan robot-robotnya. Namun Hyunjin hanya menyentuh robot itu tanpa ada gairah untuk memainkan. Ia malah lebih tertarik untuk membuka topik tentang adik itu. Membiarkan robot itu merefleksikan cahaya mentari pagi yang menembusi kaca jendela.

.

.

.

Keesokan paginya Daniel dan Seongwoo membawa Hyunjin ke rumah sakit untuk melihat adik baru Hyunjin. Bahkan Hyunbin dan kedua orang tuanya juga sudah tiba di sana.

Semua orang berkumpul di dalam ruangan. Dan bayi itu tidak berada di sana saat ini. Namun Hyunjin tidak peduli. Ia naik ke atas tempat tidur ruang inap yang Minhyun tempati, duduk di atas perut rata Minhyun dan memeluk ibunya itu. Entah kenapa ia ingin sekali menangis. Dan ia benar-benar menangis. Ia tidak bisa memendam kegelisahan. Dan sepertinya tidak bisa mereduksinya dalam sehari.

Minhyun membalas pelukan itu. Mengelus punggung Hyunjin pelan seakan mengalirkan energi positif untuk mengurangi kegundahan sang putra dan tersenyum heran, "Kau kenapa sayang…?" ia mengecup puncak kepala putranya itu.

Hyunjin hanya merasa takut. Takut bahwa setelah ini ia akan benar-benar kehilangan sang ibu. Ibu yang selalu bersama dengannya. Ibu yang selalu ada setiap ia membutuhkannya. Ia takut jika kehadiran adiknya akan membuat sang ibu pergi darinya. Ia benar-benar takut.

Hyunjin mengalami penyempitan kesadaran. Benaknya pergi ke kenangan masa lalu yang melintas di dalam pikiran.

Sejak ia melihat perut ibunya mulai membesar, di dalam tidurnya ia sering bermimpi melihat bayangan sang ibu. Bayangan yang benar-benar hanya bisa dilihatnya. Namun tidak bisa diraihnya.

"Hyunjin mau lihat adik bayi?" tanya Minhyun. Yang ditanya hanya menjawab dengan lanjutan tangisan.

Hyunbin mengangkat tubuh mungil Hyunjin untuk menjauhkannya dari Minhyun dan menurunkannya kembali ke lantai. Dengan melakukan itu Hyunbin berharap bahwa Hyunjin bisa berhenti menangis.

Beberapa lama setelah itu semua orang di sana berdiri mengitari tempat tidur Minhyun untuk mengajak Minhyun berbicara. Banyak hal yang dibahas. Hingga tidak ada satu orang pun yang menyadari bahwa Hyunjin baru saja melangkah keluar dari ruangan itu. Menghilangkan diri dari daya penglihatan semua orang.

Insting dan kaki-kaki kecilnya membawanya berjalan di koridor rumah sakit sendirian. Lalu suara tangis bayi menariknya untuk mendekati asal suara. Ia terus berjalan hingga suara tangis bayi itu semakin jelas terdengar dan ia berhenti di depan sebuah dinding. Ia ingin melihat apa yang ada di balik dinding itu melalui kaca, namun letak kaca itu terlalu tinggi. Tubuhnya terlalu kecil untuk bisa meraihnya.

"Kau ingin melihat adikmu, nak?" suara dalam seorang pria yang spontan membuat Hyunjin menoleh. Sebagaimana bocah kecil normalnya, Hyunjin tidak menjawab. Hanya memperhatikan wajah pria yang tersenyum yang sedang membungkuk di hadapannya itu.

Pria itu yakin bahwa Hyunjin tidak akan menjawab. Maka ia langsung mengangkat tubuh Hyunjin dan menggendongnya. Membuat Hyunjin akhirnya bisa melihat apa yang berada di balik kaca.

Ada banyak bayi baru lahir di sana. Sebagian besar bayi-bayi itu tertidur. Beberapa membuka mata namun tidak menangis dan hanya bergerak-gerak pelan. Lalu ada satu bayi menangis dan seorang perawat meraihnya. Untung saja tangis bayi itu tidak membangunkan bayi yang lain.

"Kau tahu yang mana adikmu?" pria itu tahu jawabannya. Ia hanya menguji Hyunjin. Dan tentu Hyunjin tidak tahu jawabannya.

Yang bisa Hyunjin lakukan adalah membaca nama-nama yang tertempel di dekat bayi-bayi merah itu, "Lee... Dae... Hwi... Lai... Guan... Lin... Kwon... Jung... Hyun..."

Nama yang terakhir ia baca adalah nama satu-satunya bayi dengan marga Kwon di sana. Dan Kwon Junghyun merupakan nama milik salah satu bayi yang sedang tertidur lelap. Lucu sekali.

Pria itu melihat Hyunjin masih mengalirkan sungai air mata. Ia menurunkan Hyunjin dari pangkuannya lalu menghapus air mata bocah itu menggunakan sapu tangan.

"Simpanlah. Kau akan membutuhkannya." Ia menyerahkan sapu tangan itu pada Hyunjin. Bocah sekecil Hyunjin tentu tidak mengerti betul fungsi sehelai kain kecil yang dilipat-lipat itu. Untuk menghapus air mata, ia bisa menggosok-gosok matanya sendiri.

Pria itu menepuk puncak kepala Hyunjin dua kali dengan pelan. Ia tidak cukup punya kata-kata motivasi untuk menghibur bocah itu saat ini.

"Kau harus tahu. Bahwa seorang adik adalah sosok yang sangat menyebalkan. Ia akan merebut semua milikmu. Mainanmu, makananmu, bahkan ayah dan ibumu." Itu adalah kalimat tak terduga yang disampaikan pria itu pada Hyunjin sebagai ucapan terakhirnya sebelum kembali meninggalkan bocah itu.

Kalimat itu semakin mengembangkan dugaan-dugaan negatif di dalam kepala Hyunjin.

Ia kembali berdiri sendirian setelah beberapa saat yang lalu merasakan kebekuan yang ditebarkan siluet dingin punggung pria itu. Ia memasukkan sapu tangan barunya ke dalam saku celana dengan asal.

"Di sini kau rupanya." Ujar Hyunbin yang sedang berjalan mendekat ke arah Hyunjin ketika mendorong sebuah kursi roda yang membawa Minhyun, "Sudah kubilang jangan khawatir sayang. Hyunjin hanya ingin melihat adik bayinya saja." Ujarnya pada Minhyun.

"Syukurlah. Hyunjin, kau benar-benar membuat eomma khawatir." Ujar Minhyun.

Hyunjin naik ke pangkuan sang ibu lalu kembali memeluknya seerat di ruang inap tadi. Menempelkan pipi gembilnya pada pipi ibunya yang terasa semakin empuk.

Minhyun menatap Hyunbin dengan kalimat Ada apa dengan Hyunjin hari ini? Ia aneh sekali menyertai tatapan itu. Hyunbin hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban.

"Apa ini?" Hyunbin mengambil sesuatu yang menyembul di balik saku celana Hyunjin, "Kang Dongho…" ia membaca sebuah rajutan benang yang membentuk nama pada sebuah sapu tangan yang ia pegang. Ia sempat menahan nafas sejenak. Seperti membuka luka lama. Lalu menyerahkan helaian tipis itu pada Minhyun.

"Ia ada di sini." Ujar Minhyun, meremas sapu tangan itu, "Bin, kau tidak apa-apa?"

Hyunbin menawarkan senyum hangat, "Tidak perlu memikirkan perasaanku dengan berlebihan. Itu hanyalah sebuah sapu tangan." Namun hembusan nafas lelah mematahkan senyuman hangat itu. Ia menelan kekhawatiran.

Minhyun mengelus kepala Hyunjin tanpa henti, "Kuharap ia tidak mengatakan sesuatu yang buruk pada Hyunjin…"

.

.

.

"Tinggallah lebih lama di sini sayang. Aku masih merindukanmu. Hyunjin dan Junghyun juga membutuhkanmu." Bibir tipis Minhyun terlihat sedikit bergetar ketika mengatakan itu. Ia sedang duduk di pangkuan Hyunbin di atas sofa tunggal ruang tengah. Ia mengalungkan lengan pada leher suaminya itu.

Hyunbin sedikit menengadah untuk melihat wajah Minhyun yang berposisi sedikit di atasnya, "Kau juga membutuhkanku untuk menghidupi kalian semua. Aku harus pergi kerja besok." Ia mengelus pipi sang lawan bicara dengan lembut.

Minhyun membawa wajah mereka mendekat dan mengecup bibir Hyunbin kilat, "Jangan pergi."

"Hanya segitu saja? Aku akan benar-benar pergi." Hyunbin tersenyum miring.

Minhyun kembali menyentuhkan dua pasang bibir itu dan mereka saling melumat. Hangat. Nikmat. Empuk. Dan geli. Hyunbin melepas sentuhan itu dan mencoba untuk menghirup aroma leher Minhyun. Minhyun melempar kepala ke belakang untuk mengekspos leher panjangnya dan lebih memudahkan Hyunbin untuk menempelinya. Setelah menghirup aroma leher itu selama beberapa detik, Hyunbin mengecupi kulit leher itu hingga membuat Minhyun merasa sedikit geli.

"Hhh… aaahhh…" Minhyun sedikit mendesah. Wajahnya menghangat. Sentuhan Hyunbin selalu menciptakan berbagai rasa hangat di dirinya.

Sang kepala keluarga menghentikan ciuman dan tatap mereka kembali bertemu, "Kau benar. Aku tidak bisa meninggalkanmu secepat itu. Aku harus tinggal lebih lama bersama keluarga kecilku ini."

"Terima kasih sayang." Minhyun membenamkan wajah pada ceruk leher Hyunbin. Hyunbin lalu membisikkan kata-kata cinta di telinga Minhyun yang membuat istrinya itu merasa geli untuk kesekian kalinya hari ini.

Minhyun akan melakukan apapun untuk menenggelamkan Hyunbin pada suasana intim sedalam mungkin. Agar suaminya itu lebih betah berada di rumah.

.

.

.

Hyunjin menatap datar seorang bayi yang terlelap di atas tempat tidur kedua orang tuanya. Mungkin tatapan itu memang datar. Namun ada kebencian di dalam tatapan itu.

Seorang adik adalah sosok yang sangat menyebalkan. Ia akan merebut semua milikmu. Mainanmu, makananmu, bahkan ayah dan ibumu…

Hyunjin masih berada di usia dimana ia tidak bisa selalu mengingat kalimat semacam itu. Namun tidak kali ini. Ia selalu mengingatnya, mungkin karena ia memang merasa bahwa apa yang orang asing itu katakan padanya adalah kebenaran?

Tidak hanya kalimat itu. Namun wajah pria itu juga turut serta berkelebat di kepalanya.

Hyunjin mengambil gelas besar yang setengahnya terisi kopi hitam bekas minum sang ayah di atas nakas, lalu menyiramkan seluruh isinya ke wajah sang adik.

Seketika bayi itu terbangun dan menangis. Juga sedikit terbatuk karena sebagian cairan hitam pekat itu masuk ke dalam mulut dan hidungnya.

"Berisik! Dasar bayi jelek dan bodoh. Yang bisa kau lakukan hanyalah menangis untuk mengambil perhatian appa dan eomma!" Hyunjin berteriak. Sepertinya ia tidak akan pernah membenamkan benak pada hal-hal baik tentang seorang adik. Ia juga berpikir bahwa makhluk mungil di hadapannya itu adalah gumpalan daging berlendir yang menjijikkan.

Hyunbin dan Minhyun memasuki kamar dan terkejut melihat Hyunjin memukul kepala Junghyun dengan kesal.

"Kwon Hyunjin apa yang kau lakukan?!" bentak Minhyun. Ia langsung membawa sang putri ke dalam gendongannya. Ia mengambil tisu untuk membersihkan wajah bayinya yang basah dan kotor. Ia melihat tempat tidurnya juga basah.

Sementara Hyunbin langsung menggiring Hyunjin ke dalam kamar Hyunjin. Memarahinya dan memukuli bokongnya dengan keras di sana hingga Hyunjin menangis dengan kencang.

.

.

.

"Lihatlah betapa lucunya anak appa." Hyunbin menusuk-nusukkan telunjuknya pada pipi gembil Junghyun yang berada di pangkuan Minhyun. Bayi itu hanya membalas ucapan sang ayah dengan gumaman lucu sambil mengerjapkan mata berulang-ulang.

Senyum simpul tersampir di wajah Minhyun, "Ya… ya… anak appa."

"Tentu. Junghyun ada karena aku. Menurutmu, apakah wajahnya juga akan mirip denganku?"

"Bisa jadi." Jawaban berintonasi lugas, namun tidak dengan isi frasanya.

"Bagaimana jika ia nanti mirip denganmu?"

"Please, Bin, pertanyaan macam apa itu?"

"Lihatlah Hyunjin. Ia tumbuh menjadi anak yang tampan karena mirip denganku." Kalimat yang langsung membuat Hyunbin menerima tatapan datar, "Tapi tentu saja ia akan tetap tampan jika mirip denganmu."

Minhyun menerima permintaan maaf secara-tak-langsung Hyunbin itu. Maka ia berusaha untuk tidak tersinggung. Ia merotasikan bola mata.

Hyunbin lalu kembali mengajak bayi itu berkomunikasi. Mereka tertawa bersama dan terlihat begitu bahagia. Seperti pasangan yang baru pertama kali memiliki bayi di rumahnya.

"Bukankah ini adalah momen yang indah? Ayo kita abadikan." Hyunbin mengeluarkan ponsel dari saku celana dan membuka kamera. Mengarahkan layar ponsel itu ke wajah mereka untuk melakukan self-camera.

Hyunbin dan Minhyun tentu melihat ke arah kamera. Namun bayi di pangkuan Minhyun itu tidak bisa mengalihkan tatap pada hal lain selain wajah sang ayah. Tak apalah. Yang penting mereka sedang bertiga saat ini.

Tidak banyak pose yang mereka pasang dalam beberapa jepretan kamera.

Hyunjin memasuki kamar orang tuanya itu dan melihatnya.

Padahal tadinya ia ingin berpikir bahwa memiliki seorang adik bukanlah hal buruk. Tapi ternyata ia masih merasa seperti ada rantai besi besar melilit kuat mengitari dada. Sesak.

Adegan yang terjadi di depan matanya semakin menegaskan perasaannya.

Wajah muramnya menjadi semakin suram.

Ia merasa sangat kesal.

Kedua orang tuanya berfoto bersama dengan sang adik. Tanpa mengajak dirinya. Ia merasa semakin dilupakan di dunia ini. Ia juga melupakan fakta bahwa setiap hari sang ibu selalu memberinya makan dengan teratur. Semua itu hilang begitu saja hanya dengan satu adegan manis yang dilakukan ayah ibu dan adiknya itu.

Jika ia adalah seorang siswa SMA, mungkin ia akan langsung meninggalkan ruangan ketika menyaksikan sesuatu yang menyakitinya. Tapi karena ia hanyalah seorang bocah tanpa pikiran panjang, ia malah langsung menangis dengan kencang di hadapan kedua orang tuanya. Ia ingin menunjukkan betapa sedih dan kesal dirinya. Ia tidak memiliki kepasrahan. Ia ingin kembali mencuri perhatian itu. Ia tidak akan memilih untuk terluka. Dan siapa tahu tangisan itu bisa membantu mengikis rantai besar yang melilit dadanya?

"Kau kenapa sayang? Kemarilah." Ujar Hyunbin pada Hyunjin. Ia menaruh ponselnya di atas nakas.

"Dia tidak kalah berkelahi lagi dengan Seungmin kan?" tanya Minhyun pelan pada Hyunbin ketika Hyunjin berjalan menghampiri mereka sambil menggosok-gosok matanya.

"Entahlah. Tapi kelihatannya ia tidak memiliki luka."

Hyunjin naik ke atas tempat tidur dan naik ke pangkuan sang ayah.

Hyunbin mengacak rambut sang putra, "Jagoan appa jangan menangis. Hyunjin kan sudah besar. Sudah jadi kakak. Masa masih cengeng?"

"Lihatlah Junghyun terus memperhatikan oppa-nya menangis." Ujar Minhyun pada Hyunjin, "Oppa, oppa kenapa?" lanjutnya dengan menirukan suara bayi.

Hyunjin sempat menghentikan tangisnya sejenak ketika matanya saling tatap dengan sang adik. Fokusnya sempat tertuju pada air liur yang menetes dari bibir mungil Junghyun. Setelah itu ia kembali menangis begitu mengingat kembali kalimat yang pernah disampaikan seorang pria asing di rumah sakit.

Minhyun menyisir rambutnya ke belakang, "Bin, lakukan apapun. Bawa ia keluar dari sini. Mungkin ia masih belum siap untuk berhadapan dengan adiknya?" Ia meyakini asumsinya sepenuh hati.

Hyunbin berjalan keluar kamar dengan Hyunjin yang ia gendong di dada.

"Mau appa buatkan susu pisang hangat?"

Hyunjin menggeleng-gelengkan kepala.

"Appa buatkan telur gulung?"

Anak itu menggeleng lagi.

"Beli es krim?"

Akhirnya Hyunjin tersenyum sumringah dan mengangguk.

Sedikit demi sedikit ia membebaskan diri dari rantai besar itu.

"Ayo! Hyunjin mau es krim rasa apa?"

.

.

.

"Yeah! Appa menang!" Hyunbin mengangkat tinjunya ke udara. Ia meletakkan stick video game itu di atas paha.

Hyunjin menangis sekencang-kencangnya mendapati dirinya kalah. Seketika membuat Hyunbin menjadi panik. Ia lupa bahwa ia sedang berada dalam situasi dimana ia tidak bisa benar-benar berkompetisi. Bermain game memang bisa membuatnya lupa diri. Masih untung Hyunjin tidak membanting stick di tangannya atau melempari layar TV di depannya.

Minhyun datang dan mengambil tempat duduk di samping Hyunjin dengan membawa semangkuk sup di tangan.

"Ck. Dasar childish. Apa susahnya sih mengalah pada anakmu sendiri?" ujar Minhyun, "Sudahlah sayang. Coba main lagi. Kali ini Hyunjin pasti menang." Ujarnya pada Hyunjin. Berhasil menghentikan tangisan Hyunjin perlahan.

Sepasang ayah dan anak itu mengulang permainan.

Minhyun mulai menyuapi Hyunjin. Ia memberi makan putranya itu dengan suapan-suapan yang besar. Sesekali ia juga menyuapkan sup itu ke mulut Hyunbin. Namun ketika sendok itu masuk ke dalam mulut Hyunbin, Minhyun tidak bisa menarik sendok itu keluar. Hyunbin sengaja menahannya.

Ia mencoba untuk menggoda Minhyun dengan mengedipkan sebelah mata. Alih-alih tergoda, Minhyun malah menahan tawa dengan godaan failed itu. Melakukan wink di saat pipinya membulat karena penuh dengan makanan? Yang benar saja. Minhyun lalu mencubit pipi Hyunbin karena merasa gemas. Dan akhirnya sendok itupun terlepas. Minhyun merasa semakin gemas melihat Hyunbin mengunyah makanan dengan mulutnya yang penuh. Setelah menelan makanan itu, Hyunbin dan Minhyun saling mendekatkan wajah. Melakukan sebuah ciuman nikmat di balik punggung putra mereka.

Tenang saja, supnya tidak tumpah. Minhyun masih memegangi mangkuknya dengan benar kok.

"Yes! Hyunjin menang!" teriakan Hyunjin membuat kedua orang tuanya terkejut hingga melepas ciuman mereka. Di situlah Hyunbin dan Minhyun sadar bahwa mereka tidak sendiri di sana. Untung saja Hyunjin tidak melihat. Untung saja antusiasme Hyunjin tiba-tiba melonjak.

"Eomma bilang juga apa? Hyunjin pasti menang. Appa memang payah." Minhyun menyemat senyum mengayomi. Hyunjin menoleh pada ibunya. Tersenyum lebar, dan mengangguk antusias.

Tiba-tiba terdengar suara tangis bayi dari arah kamar.

Seketika senyum Hyunjin memudar.

Ia sudah hapal betul kalau itu adalah tanda bahwa atensi ayah ibunya akan direbut bayi itu segera.

Hyunbin ikut menatap Minhyun, yang membuat Minhyun menatap suami dan putranya bergantian.

Minhyun tahu betapa cemburunya Hyunjin setiap kali melihat Minhyun menggendong Junghyun.

"Sayang, tolong urusi itu." Ujar Minhyun akhirnya. Ia tidak ingin memperparah kondisi Hyunjin yang sedang dilanda krisis kegamangan kasih sayang.

Setelah meng-iya-kan, Hyunbin bangkit dan berjalan menuju kamar.

Minhyun melanjutkan kegiatannya menyuapi anak. Hyunjin masih menatapnya tanpa henti.

"Eomma, adik bayi menangis. Eomma tidak akan menggendongnya?"

Minhyun terkejut dengan pertanyaan itu. Namun ia menyembunyikan keterkejutannya. Ia mengelus puncak kepala Hyunjin dan menampilkan senyum indah yang tidak pernah pudar ketulusannya, "Tidak apa-apa. Sudah ada appa di sana. Semua akan baik-baik saja."

Hyunjin tersenyum kecil. Tidak memiliki kalimat cukup bagus untuk menanggapi jawaban sang ibu.

"Sini, biar eomma yang temani Hyunjin main. Untuk menggantikan appa."

"Ayo! Hyunjin akan menang lagi kan?"

"Tentu. Hyunjin kan jagoannya eomma."

Minhyun meletakkan mangkuk itu di atas meja lalu menerima stick yang Hyunjin berikan. Mereka lalu bermain bersama. Mengabaikan suara tangis bayi yang masih terdengar. Dan suara itu malah semakin terdengar jelas.

Tentu. Hyunbin membawa Junghyun ke sana.

"Menang lagi! Yeaaayyy!" teriakan Hyunjin bersaing dengan suara tangis bayi dalam dekapan sang ayah yang kembali mendudukkan diri di sampingnya.

"Ya ampun. Eomma kalah." Minhyun memukul paha. Berpura-pura kecewa.

"Appa, lihatlah. Hyunjin mengalahkan eomma!"

Hyunbin memamerkan senyum pemakluman, "Hebat! Hyunjin bisa mengalahkan semua orang di dunia."

Kernyitan mengalur di dahi Minhyun, "Bin, kenapa diam saja? Ayo tenangkan putrimu. Lihat wajahnya sudah memerah begitu."

"Hyunjin, Hyunjin mau kasih susu buat Junghyun?" Hyunbin memberikan botol susu di tangannya ke tangan Hyunjin. Hyunjin menatap ragu kedua orang tuanya secara bergantian. Dan yang diberikan ayah ibunya padanya adalah senyuman.

"Ayo oppa. Adik bayi sudah lapar." Minhyun berujar lembut.

Hyunjin menatap adiknya yang menangis.

Seorang adik adalah sosok yang sangat menyebalkan. Ia akan merebut semua milikmu. Mainanmu, makananmu, bahkan ayah dan ibumu…

Kalimat itu kembali terngiang.

Ia jadi terus memikirkan apa yang sebenarnya tidak ingin ia pikirkan.

Tapi toh yang ia rasakan beberapa hari ini tidak sesuai dengan pernyataan itu.

Ia mulai memasukkan puting botol susu ke dalam mulut kecil sang adik dengan perlahan. Tangisnya berhenti dan bayi itu mulai mengisap dengan cepat. Bayi itu menatap lurus pada sang kakak. Seperti ada magnet yang membuatnya tidak bisa melepas tatap pada kakaknya itu.

"Adik bayi lucu sekali." Hyunbin dan Minhyun merasa tidak percaya dengan apa yang putra mereka ucapkan barusan.

"Tentu saja. Kalau sudah besar nanti, Hyunjin bisa mengajak Junghyun untuk bermain." Ujar Minhyun.

"Tapi Hyunjin sudah punya Seungmin. Teman bermain." Balas Hyunjin.

"Hyunjin bisa bermain bersama-sama dengan Seungmin, Junghyun, dan kedua adik Seungmin."

"Beberapa bulan lagi anggota keluarga Daniel dan Seongwoo sudah bertambah satu lagi, sayang." Ujar Hyunbin pada Minhyun.

Minhyun mencubit gemas pipi putranya, "Nah kan. Teman Hyunjin akan semakin banyak."

Bayi itu tersenyum pada Hyunjin di sela-sela isapannya pada karet botol itu.

"Eomma! Appa! Adik bayi tersenyum pada Hyunjin!"

Hyunbin mengacak rambut Hyunjin, "Adik bayi menyukai oppa-nya yang tampan."

"Benarkah?" tanya Hyunjin dengan binar di sepasang bola mata besarnya.

"Iya sayang."

"Hyunjin sayang adik bayi. Hyunjin sayang Junghyun." Ujar Hyunjin dengan kadar keceriaan yang semakin meningkat.

"Anak pintar."

Hyunbin dan Minhyun mengecup pipi putranya di saat bersamaan. Berhasil membuat senyum di bibir putranya itu kembali terlihat.

"Ya ampun, ini adalah saat yang bagus." Ujar Minhyun ketika melepas ciuman itu. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan membuka kamera.

.

.

.

F I N

.

.

.

Lagi suka bgt sama Minhyunbin tapi belom punya plot buat bikin ffnya. Jadi bikin remake dulu deh.

Hyunjin Seungmin Stray Kids btw. Junghyun Pristin.

Makasih udah mampir dan baca. Apalagi kalo ninggalin jejak :*

Sequel? Dibikinin deh kalo banyak yg minat. Kalo engga ya ga usah :]

Deleted soon.