uh.. balas, dong!
Axis Powers Hetalia Fanfiction by akaritsu
Rate: T
Genre: Romance, Comedy?
Pairing: Netherlands x Indonesia (Willem x Kirana)
Summary: Meski tak ingin mengakuinya, namun sebenarnya, Kirana hanya menginginkan satu hal, yang tak lain dan tak bukan adalah balasan pesan dari manusia gengsi pecinta uang; siapa lagi kalau bukan Willem.
Warning: AU. Kemungkinan ooc untuk menyesuaikan alur cerita. Lawakan garing nan retjeh, ampuni saya (_ _)
Disclaimer: Axis Powers Hetalia © Hidekazu Himaruya. Fanfiksi ini dibuat hanya untuk kesenangan semata. Tidak ada keuntungan material yang didapat dari pembuatan fiksi ini.
Note: Cerita ini akan terbagi menjadi dua chapter. Masing-masing adalah kejadian yang berhubungan bahkan hampir serupa, namun dilihat dari sudut pandang dua tokoh berbeda.
Enjoy!
Side A: Kirana.
Hanya ada dia seorang, mahasiswi tingkat pertama yang bahkan belum memulai orientasi kampus, terduduk masygul di pinggir dipan kamar pribadinya. Atensinya tak lepas dari gadget hitam dalam genggamannya, menampilkan sorot cahaya yang cukup membuat silau siapapun yang berada di posisinya. Namun si gadis tak bergeming; agaknya iris hazel itu fokus dan terbiasa mengamati tulisan-tulisan yang terlalu terang sekalipun berada dalam remang. Orang-orang menyebutnya ketergantungan smartphone, tapi ia tak merasa begitu. Baginya, bersentuhan dengan teknologi sama pentingnya dengan bernapas; ia akan merasa lebih hidup apabila ia mampu membunuh kebosanan dengan menjelajah Guugel, berkomunikasi dengan berbagai keunyuan stiker Lain, dan tentunya, mengetahui kabar terkini kawan-kawannya lewat posting status Efbi dan live-update Ige. Berani bertaruh, remaja manapun pasti akan berpikiran sama dengannya.
Untuk kesekian kalinya Kirana menatap handphone miliknya yang terus bergetar. Notifikasi pesan masuk seolah tak henti menyerangnya—ah, sebenarnya ini pilihan kata yang kasar untuk menjelaskan kejadian sebenarnya karena sejatinya, pesan itu adalah serangkaian ucapan selamat. Selamat atas diterimanya dirinya di Universiteit Leiden, sesuatu yang cukup menjadi impian banyak orang di luar sana. Sepantasnya Kirana bersyukur atas kesempatannya yang tak mungkin datang dua kali ini. Seharusnya, ia merasakan haru atas perjuangannya sebagai international student yang akhirnya terbayarkan. Juga, orang-orang yang berbaik hati memberinya perhatian atas kesuksesannya ini tentunya layak mendapat terima kasih dan balasan setimpal.
Ya. Manusia normal manapun pasti akan bahagia. Tak terkecuali Kirana. Hanya saja, kebahagiaan Kirana seketika langsung terbunuh oleh satu nama yang berada di bagian atas layar ponselnya.
"Willem", Kirana mendesis tanpa sadar. Perasaan kesal mulai merambati sekujur tubuhnya, mengingat kelakuan si lelaki Belanda itu, seperti sering memanggilnya dengan panggilan aneh atau tiba-tiba mengklaim makanan kantin yang baru saja dibelinya atau mengejek dan melontarkan sarkas setiap ada kesempatan. Maka jelas wajar bila Kirana mengecapnya sebagai sosok yang menyebalkan. Namun nyatanya, ia tak pernah semenyebalkan ini sebelumnya. Demi nasi padang kesukaanya, ini sudah melampaui batas indeks ke-menyebalkan-nya. Alasannya? Sebenarnya sangat sederhana, namun apa yang sederhana itu tak pernah jadi sederhana bila dihadapkan pada seorang Kirana yang rumit.
"Aaaargh. Kenapa, siiih," ujar Kirana geram, tak mampu lagi menahan emosi hingga ia menarik pangkal rambutnya sendiri. Frustrasi.
"KENAPA CUMA DIREAD DOANG, SIAL!"
.
.
Oke, Kirana akui, mungkin ini juga merupakan salahnya. Pertama, begitu laman web telah menunjukkan tautan pengumuman lalu menampilkan tulisan Felicitatie besar-besar, apa yang dilakukannya setelah berjingkrak girang tak karuan adalah langsung mengontak manusia itu via teks. Mengiriminya kabar gembira itu berikut ucapan terima kasih atas doa dan semangatnya. Sesuatu yang cukup normal diberitahukan pada teman satu kelas SMA, kelihatannya.
Tapi, yang terjadi sebelumnya adalah Kirana sedang bahagia. Saking bahagianya, ia sampai lupa menyembunyikan luapan-luapan kehebohannya. Ia tak sadar kalau ia baru saja menulis apa saja yang ingin ia tulis yang muncul dalam kepalanya. Ia khilaf menggunakan terlalu banyak tulisan bercapslock dan bahasa-bahasa alay. Ia lupa...
...Kirana sungguh lupa jika yang ia kirimi pesan adalah Willem, ketika ia khusus menciptakan alter dengan pride yang tinggi untuk si jangkung itu terima kasih atas harga diri dan kebiasaan bullynya.
Dan begitu Kirana menyadari kebodohannya, pesan-pesan itu sudah semuanya terkirim. Lebih parahnya lagi, sudah memunculkan notifikasi kecil read di ujung tulisan.
Mampus. Kirana menepuk jidatnya sekeras yang ia bisa. Hancur sudah reputasi gue.
Keringat dingin mulai merambati sekujur tubuh Kirana. Ingin rasanya ia mati di tempat menanggung malu. Jika bisa. Dan tidak dosa. Tapi, apa mau di kata?
Membuang napas panjangnya, ia sadar bahwa ia tak punya pilihan lain selain menyesal. Dalam penyesalannya itu, untungnya, ia masih punya hal lain untuk dikerjakan, dengan membalas satu per satu pesan lain yang masuk dari orang-orang yang cukup perhatian (tidak seperti Willem, huh). Setidaknya hal ini cukup mampu mendistraksi pikirannya, kalau saja jarinya tidak gatal ingin menekan ruang obrolan dengan nama Willem di ujung atas layar. Berharap bila ia menemui balasan dari si bule dengan jawaban yang bisa sekali dibayangkannya seperti, 'Hah, kau salah makan ya?' atau 'Otak beku sepertimu? Kesurupan setan apa lagi kau ini?' atau 'Ini bukan April Mop, jangan bercanda yang tidak-tidak.' Dan untuk menghadapinya, ia sudah menyiapkan cemooh untuk menyembunyikan kekhilafannya seperti tak ada yang terjadi, semisal, 'tanyakan pada dirimu yang kebanyakan makan rokok' atau 'hahaha, akui saja kehebatanku. Bahkan setan yang kaumaksud sedang bersujud di kakiku' atau 'ha? Kaupikir aku sedang bercanda? Maaf saja ya, aku tak sebodoh itu mau bercandaan dengan spesies macam dirimu." Dan kehidupan mereka seperti biasanya akan berputar dan berputar lagi dalam arus yang sama.
Tapi.. kenyataannya? Persis seperti yang sudah kita tahu. Avatar foto profil Willem tak menampilkan sederet kalimat balasan. Satupun. Bahkan ia sudah tak lagi online sejak pesan itu sampai padanya tiga puluh empat menit lalu. Kurang kejam apa, coba?
Ini benar-benar bukan seperti dirinya, batin Kirana. Terlepas dari kebiasaan buruknya yang jutek namun suka mengusilinya, Willem sendiri adalah teman pertama Kirana sejak ia pertama kali datang di negeri kincir angin melanjutkan studi SMA nya. Ia sudah cukup banyak menjadi bagian kehidupan Kirana; membantunya melewati masa-masa sulit di negeri orang meski dengan mimik wajah terpaksa bahkan sering menjadi tempat pelampiasan kestressannya meskipun dengan keterpaksaan. Jika ia berpikir kembali, sepertinya Willem memang selalu siap siaga jika itu berhubungan dengan si gadis asal Indonesia itu. Bisa dibilang, Willem melakukan tugasnya sebagai sahabat Kirana dengan cukup baik (Kirana tak akan pernah mau mengakui ini di hadapan Willem –tak akan!) Jadi, jika tiba-tiba saja ia menghilang dengan hanya membaca pesannya saja tanpa mau repot-repot membalasnya kemudian langsung mematikan internetnya, sebenarnya ada apa? Apakah dirinya sudah melakukan kesalahan? Atau Willem terlalu sibuk? Atau mungkin—
Tunggu, apakah ia baru saja memikirkan masalah ini secara berlebihan? Jika iya, maka bisa jadi ini adalah kesalahan Kirana kedua. Ya, tak salah lagi.
Setengah melempar ponsel pintarnya ke sisi lain kasur, Kirana menjatuhkan kepalanya tepat di atas bantal empuk miliknya. Seperti membuang-buang energi, pikirnya. Ia merasa sia-sia menggalaukan sesuatu hal yang tak pantas digalaukan. Terutama jika yang digalaukannya hanya berupa pesan yang tak dibalas, dan seorang Willem. Hah. Betapa konyolnya kau, Kirana.
Kirana memejamkan matanya, berusaha untuk tidur dan melupakan kerisauannya ketika tiba-tiba handphone -nya bergetar.
"Tsk, siapa lagi.." tangannya menjulur malas meraih ponsel malang itu. Jika itu merupakan ucapan selamat lagi, Kirana telah bertekad untuk membalasnya nanti setelah ia bangun dari tidur siangnya. Pikirannya sudah terlalu lelah untuk hari ini.
Namun, apa yang terjadi sungguh di luar dugaannya.
Kirana terbelalak detik itu juga, seketika melupakan niat awalnya begitu menyadari, nama Willem muncul di atas layar yang berkedip.
Masih dengan keterkejutannya, ia segera bangkit dari ranjangnya. Kedua kakinya menapak lantai marmer yang dingin, namun Kirana hanya mampu terduduk sembari memberi waktu untuk jantungnya agar tak melompat-lompat cepat.
"Duh, aku ini kenapa sih," gumamnya sambil menepuk jidatnya sendiri. Ini sama sekali bukan dirinya, terlalu terbawa perasaan jelas sama sekali bukan dirinya. Apalagi untuk kasus ini; hanya mendapat balasan dari hanya seorang Willem.
Menggelengkan kepala, ia tahu. Yang harus Kirana perbuat sekarang tinggal membuka pesan itu, membacanya dengan tenang, lalu membalasnya dengan normal. Normal, dalam artian seperti dirinya biasa menghadapi manusia satu itu. Normal, dengan tidak menunjukkan kelebayannya dan tentu saja, kebodohannya untuk kedua kali. Hanya sesederhana itu, sebenarnya.
Tap.
Namun, sepertinya kejutan hari ini tak pernah berhenti sampai di situ saja, karena sekali lagi, Kirana hanya bisa melongo mendapati selarik kalimat yang sama sekali tidak koheren, tidak nyambung dengan rentetan panjang kehebohannya di atas.
Bersiap-siaplah. Kutunggu kau di depan.
Alis Kirana naik satu tingkat. Sebenarnya, apa maksudnya ini?
Kirana sangat mengenal Willem. Ia bukan tipe orang yang senang berbasa-basi atau mempermanis perkataannya. Segala hal yang ingin ia katakan pasti ia katakan sebagaimana adanya, langsung dan tanpa bertele-tele. Tapi jika begitu, berarti Willem menyuruhnya untuk bersiap-siap.. pergi? Untuk apa sebenarnya? Dan soal menunggu di depan. Depan mana? Sekolah? Jelas sangat merepotkan. Tapi sekali lagi, untuk apa?
Hanya untuk memastikan. Kirana mencatatnya dalam kepala. Tidak mungkin.. di depan rumah, kan?
Masih dengan ponsel di genggaman, Kirana berjalan pelan menuju ruang tamu. Degup di dalam dadanya entah mengapa semakin berontak, dan ia bisa merasakan perutnya seperti dililit sesuatu. Mungkin ia benar-benar salah makan hari ini.
Dan ya, Kirana benar-benar mempercayai bahwa dirinya benar-benar salah makan hari ini hingga ia mampu berdelusi di siang hari yang terik begitu menyadari, jika sosok yang mendiami pemikirannya beberapa waktu terakhir benar-benar terlihat ada. Sangat nyata di balik jendela kaca ruang tamu.
"WILL!" Sontak Kirana membuka pintu tergesa, memanggil si empunya nama setengah berteriak. Ia masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat, sesungguhnya. Ia bahkan bisa merasakan napasnya tercekat saat itu juga.
Jadi yang dimaksud menunggu di depan itu, di depan rumahku?!
"KAU! Apa yang kaulakukan di sini?!" Kirana mengacungkan telunjuknya pada sosok yang sedang nangkring di atas motor hitam setipe Ninja. Agaknya Kirana benar-benar telah lupa prinsipnya untuk tidak heboh saat itu juga.
"Yo." Sapa Willem singkat dengan mimik stoic khas dirinya. Penampilannya bisa dibilang rapi meskipun terkesan kasual; leather jacket hitam menutupi kaus apapun yang dipakainya, sarung tangan hitam membugkus kedua tangan besarnya, denim jeans dan sepatu converse, tak lupa helm yang (syukurlah) menutupi rambut pirang jabrik yang selalu dibanggakannya. Satu-satunya yang tidak berubah dari penampilan pria itu adalah syal biru-putih yang selalu membungkus lehernya, entah apa tujuannya.
Tak butuh lama bagi Willem untuk mengernyit heran pada sosok Kirana yang masih setia dengan penampilan kumalnya. "Bukankah sudah kusuruh kau bersiap-siap?"
"Iyaa, tapi pesanmu itu terlalu ambigu. Kupikir kau hanya ingin mengerjaiku tadi. Mana tahu jika kau benar-benar menyuruhku bersiap-siap?" ujar Kirana setengah bersungut. Tangannya sengaja ia lipat di depan dada, pertanda sedikit dibuat kesal (atau membuatnya terlihat seperti dibuat kesal, siapa tahu isi hati sebenarnya perempuan itu). "Katakan apa maumu."
"Makan." Willem menjawab cepat. Lagi-lagi membuat Kirana bingung.
"..huh?"
"Seperti yang kubilang. Aku ingin makan sekarang. Dan secara kebetulan, aku mendengar kabar jika kau baru saja beruntung diterima di Leiden. Jadi—"
"Tunggu." Sebelah tangan Kirana disodorkan ke depan, dengan sengaja memotong penjelasan Willem. Sepertinya ia tahu arah pembicaraan ini. "Jadi kau mau bilang kalau kau ingin mentraktirku makan entah di mana sebagai perayaan, begitu?"
Sebuah kejutan hari ini, muncul di depan rumah secara tiba-tiba untuk mentraktirnya, merayakan keberhasilannya. Jujur saja, Kirana merasa dirinya ingin melompat saat itu juga. Baiklah, untuk kali ini saja, ia mengakui kalau laki-laki terkadang bisa manis juga. Mungkin hampir romantis, hampir.
"Hmph, sayang sekali kurang tepat." Sebuah seringai tipis muncul di sudut bibir si lelaki Belanda. "Kau yang metraktirku. Bukankah seharusnya kau melakukan.. apa itu yang ada di negaramu, syukuran?"
Senyum pengandaian Kirana seketika jatuh saat itu juga. Sungguh, Kirana ingin menarik kembali pemikiran bodohnya. Willem sama sekali bukan lelaki manis apalagi romantis. Ia hanya licik. Dan pelit.
Kirana memijat pangkal hidungnya, merasa hampir frustrasi untuk kesekian kalinya. "Setelah kau hanya nge-read chatku, ternyata seperti biasa, aku hanya dimanfaatkan. Dasar." Dilihatnya Willem masih dengan khusyuknya menatapnya dengan ekspresi yang hampir terlihat sebagai senyum kemenangan. Menghela napas menyerah, Kirana bersuara lagi.
"Apa boleh buat. Aku sedang senang hari ini, jadi.. Urgh, oke, tunggu sebentar."
Kirana membalik badannya, melangkah masuk untuk mengganti pakaian dan berdandan ala kadarnya ketika tiba-tiba suara bariton memanggil namanya seperti hendak mencegat dirinya.
"Kirana."
Yang dipanggil menoleh ke arah Willem. Ia terlihat sibuk mengambil sesuatu dari sisi samping motornya, menyisakan Kirana yang masih bertanya-tanya ada apa ketika tiba-tiba 'sesuatu' itu dilemparkan tepat ke arahnya. Refleks Kirana menangkapnya. Dan entah yang keberapa kalinya hari ini, Kirana dibuat bingung oleh perlakuan Willem.
"Eh? Ini..."
Sebuket tulip dengan beragam warna. Bunga yang (diam-diam) menjadi kesukaan Kirana. Tapi bagaimana ia tahu?
Kirana mengalihkan atensi, namun yang ia dapati adalah Willem yang menoleh ke arah lain dengan lengan menutup sebagian wajahnya, seolah ingin menghindari tatapan penuh heran dan tanya milik Kirana.
"Selamat."
Satu kata itu tak lebih keras dari deru mesin motor, namun Kirana mampu menangkap dengar apa yang keluar dari bibir Willem. Meskipun wajah itu sepenuhnya terpalingkan, tapi Kirana lebih dari tahu, pernyataan itu diucapkannya jauh lebih tulus dari perbincangan apapun yang pernah mereka buat, jauh lebih jujur dari bentuk penyangkalan apapun yang pernah ia buat.
Dan ketika laki-laki itu sudah berusaha jujur, bukankah akan lebih baik jika dirinyapun lebih bersikap jujur? Bukankah baginya sudah cukup berhenti bersikap berpura-pura apalagi menciptakan kepribadiannya yang lain? Lagipula, apa salahnya menjadi dirinya seutuhnya?
Sesuatu seperti membuncah dari dalam dada Kirana. Perasaan hangat berdesir memenuhi seluruh dirinya, yang entah mengapa membuatnya merasa lebih hidup. Tanpa ia menyadarinya, sebuah senyum nyata terkembang di wajah seorang Kirana. Dan dengan serangkai tulip di depan dada, ia mengerti, hanya satu hal yang mampu diucapkannya saat ini.
"Terima kasih, Will."
Ah, ternyata, ia memang manis.
a/n: okay, ini cerita nethernesia pertama saya. Saya dah lama ngeship mereka walau cuma baca-baca ficnya jadi yaa.. why dont i try to write them too? ehehe. Setengah cerita terinspirasi dari pengalaman pribadi saya, jadi mohon maaf jika kurang sesuai dengan interpretasi pembaca sekalian /bungkuk.
Review akan sangat saya apresiasi. Arigato ^^
Btw, felicitatie = congratulations (bahasa Belanda)
