Chapter 1 – Within A Deep Forest.
Disclaimer: I own nothing. I don't own Inuyasha nor The Walking Dead. I will make no money from this fic, I write for my own enjoyment and the enjoyment of my readers.
Series: IYxThe Walking Dead.
Rate: M (Oh, ayolah, ini Walking Dead!)
Warnings: Blood and gore.
Notes: Takes place in season 2.
Walker: Salah satu sebutan untuk zombie di TWD universe.
Rambut pirangnya yang panjang sebahu berayun tiap kakinya menghentak tanah gembur itu. Mata birunya yang terselimuti oleh ketakutan menatap ke sekeliling dengan nyalang. Perintah untuk terus berlari dengan matahari senja di sisi kiri bahu terlupakan saat ada gerombolan mayat hidup yang menghadang. Gadis kecil berumur sepuluh tahun itu tak memiliki pilihan lain selain panik, memutar arah, dan kian dalam memasuki perut hutan.
Tak ada jalan lain selain terus bergerak menerobos bayang-bayang pepohonan yang tinggi menjulang, meski tak tentu arah karena sang surya telah lama tergelincir dari singgasananya, ia terus bergerak menembus belantara hingga belasan menit berikutnya. Tak peduli puluhan jarum yang menusuk-nusuk kedua telapak kakinya, tak hirau lagi akan getar hebat di lututnya, dan mengabaikan paru-paru yang terasa mengerut di dalam dadanya, ia terus berlari, dan berlari dengan kecepatan tinggi untuk hidupnya, demi nyawanya.
Setelah kedua tungkainya tak lagi mampu menahan beban tubuh kecilnya dan keadaan dirasa cukup aman, Sophia menyandarkan sisi tubuhnya ke sebuah pohon. Sayangnya, sebuah erangan mendadak muncul dari sampingnya. Ia membalikkan badan dan matanya pun terbelalak, sesosok mayat pemangsa dengan setengah bagian wajah yang sudah hancur hanya berjarak setapak darinya; bau busuk melingkupi indra penciumannya, dua lengan yang telah moyak itu terjulur, berusaha menggapai, mulut serakah berlumur darah itu bertambah lebar kala sepasang mata lapar itu menatapnya. Tanpa pikir panjang ia meraih sebuah batu besar yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berada, ia mengangkat, lalu menghantamkan benda itu sekuat tenaga ke kepala makhluk yang menyerangnya.
Bunyi retak yang menjijikan dan mengerikan terdengar. Sedetik kemudian, walker itu terhuyung-huyung sebelum terjerembab di tanah.
Sophia lantas memutar tumit untuk berlari, celakanya, ia tersandung oleh akar pohon yang menyembul di permukaan bumi. Gadis itu terjatuh dengan kedua lutut dan tangan di tanah, tepat di samping walker yang hanya berhasil ia jatuhkan sementara. Tatkala ia hendak bangkit, salah satu kakinya sudah ditarik. Ia menjerit sekencang-kencangnya sambil terus merangkak, mencoba menjauh, ia menghentakkan kaki sekuat mungkin berkali-kali agar pegangan itu terlepas. Dan usahanya menemui hasil, lekas-lekas ia berdiri dan hendak berlari ketika sebuah tangan lain berhasil menangkap bahunya.
Dua tangan walker lain menahan kaki-kakinya. Kini penyerangnya ada dua. Cengkraman-cengkraman itu tak dapat ditepisnya, gadis itu hanya dapat membalik badan, menatap sang pemangsa. Sophia tidak terkesiap, ia bahkan tak dapat berkedip, sekujur tubuhnya seperti membeku tatkala seluruh dunia menjadi samar. Yang teramat terang di penglihatannya saat itu adalah; sejumput rambut yang menempel di kulit kepala yang telah tercabik-cabik, dua mata menakutkan tanpa kehidupan, darah menghitam yang ada di sekitar dagu, dan mulut menganga lebar milik makhluk terkutuk yang hendak menggigitnya.
Sedetik sebelum ia menutup kelopak mata dengan pasrah dan menyambut kematian, ia melihat ujung panah yang runcing menyembul tepat di dahi walker itu. Bidikan jitu. Bunyi udara yang terobek saat sebuah anak panah melesat membuat rasa syukur yang tak terperi melesak ke seluruh rongga dadanya. Dua detik berikutnya, giliran walker yang hendak menggigit kakinya yang mendapat giliran. Kedua makhluk itu kini telah tumbang. Seseorang telah menyelamatkannya.
Dengan napas yang terengah-engah, dan suara yang penuh kelegaan, Sophia membisikkan nama satu-satunya pria yang ahli memanah yang ada di kelompoknya, "Daryl?"
Sayangnya, kelegaan Sophia tak bertahan lama. Kemalangan lain menyusul hanya dalam hitungan detik; Ia mendengar geraman, saat ia menoleh dan berusaha mencari sumber suara, tiba-tiba, tangan-tangan kelabu sudah menangkap kepala dan lengan kirinya. Kemudian, gigi-gigi tajam itu terbenam ke dalam kulitnya. Ia mendengar suara jerit dari kejauhan, disaat yang sama, sebongkah kecil daging telah terkoyak dari tubuhnya, cairan hangat mengalir di dada juga punggungnya.
Dan, warna merah perlambang kehidupan menyembur ke segala arah.
.
.
.
Hari berikutnya di tempat yang berbeda ...
"Daryl!" Panggil Rick.
Pria yang dipanggil menghentikan langkahnya dan menatap anggota polisi yang menjadi ketua dari kelompok kecilnya itu, sebelum ditanya, ia sudah menjawab, "aku akan kembali menyusuri sungai untuk mencarinya."
Sherif itu bangun dari anak tangga rumah Hershel yang menjadi tempat duduknya, "Kita memiliki markas sekarang, kita bisa mencari dengan teroganisir."
Hell, tentu saja ia tidak lupa peternakan luas yang cukup aman dari mayat berjalan yang menjadi markas mereka sekarang. Oleh sebab itu, ia berkata, "Apa intinya dari obrolan ini?"
"Kau tidak berutang apapun pada kami."
Daryl mengerti maksud pria itu, ia tidak harus melakukan pencarian bila itu diluar kehendaknya. Faktanya, ia tidak merasa terpaksa sama sekali mencari gadis kecil yang tersesat di hutan seorang diri. Sesuai perangainya sebagai pria yang irit bicara, Daryl hanya mengangguk kecil.
"Kau pergi sendiri? Ada Glenn," usul Rick.
"Lebih baik aku pergi sendiri." Laki-laki bernama akhir Dixon itu membetulkan letak crossbow di bahu kanannya. "Aku akan kembali sebelum gelap," ucapnya sambil beranjak dari tempatnya berdiri.
.
.
.
Setelah berjalan beberapa puluh menit lamanya, sampailah Daryl di pembukaan hutan lainnya; padang rumput terhampar, dan sebuah rumah besar bercat hijau pucat dengan dinding kayu dan jendela berwarna cokelat yang tak kalah kusam terpampang.
Pintu kayu berderit saat ia membukanya. Dengan langkah perlahan dan posisi crossbow yang siap melepaskan anak panah, Daryl menyusuri rumah itu. Tidak ada yang dapat ia temukan di rumah kosong itu, tidak mayat bodoh penggigit, tidak pula gadis berumur sepuluh tahun bernama Sophia yang menjadi bagian dari kelompoknya. Yang ia temukan hanyalah sebuah bantal di atas selimut yang terhampar di dalam lemari. Sialnya, hal itu tidak memberikan petunjuk apapun tentang keberadaan anak perempuan yang dicarinya.
Crossbow sudah tersampir santai di bahunya. Daryl keluar dari rumah itu kala hari sudah berada di penghujungnya. Matahari mulai tenggelam, ia tak dapat melanjutkan pencarian. Tanpa takut mengundang mayat hidup yang berusaha memakannya, ia berteriak lantang, "SOPHIA!"
Satu teriakan, dua teriakan, tetap, tak ada sahutan.
Dan ia kembali pulang ke peternakan.
.
.
.
Hari berikutnya, Daryl melanjutkan pencarian. Ia mengambil rute yang berbeda dari hari sebelumnya, kini ia menyusuri sisi lain sungai. Setelah berjam-jam berjalan sendiri, matanya menangkap sebuah benda yang ia kenal, benda yang menjadi petunjuk keberadaan gadis kecil itu. Benda itu tergeletak di tepi sungai. Boneka milik Sophia.
Tanpa ragu Daryl menuruni tebing curam itu secara perlahan. Namun, ketidakmujuran tak dapat di tolak. Zona curam dan licin yang tak menguntungkan_dan jangan lupa akan faktor kesialan_itu membuatnya kehilangan keseimbangan. Pria itu terpeleset, crossbow-nya terlepas dari tangan. Beberapa kali ia berguling di atas bebatuan licin dengan keras dan meluncur dengan cepat sebelum tercebur ke dalam sungai.
Sungai dangkal yang berwarna kuning kecokelatan itu kini ternoda dengan warna merah sang pemanah.
Tragisnya, saat ia terjatuh, entah bagaimana caranya, salah satu anak panah yang berada di tempat khusus yang tersampir di bahunya berhasil menusuk sisi kiri punggung hingga tembus ke perut bagian depan. Tak ayal lagi, bunyi yang pria itu hasilkan saat terjatuh dan bau darah mengundang makhluk terkutuk pemakan daging yang tak diinginkan.
Bel makan malam telah dibunyikan.
Para mayat hidup yang kelaparan pun berdatangan.
Dan sang korban tak lagi memiliki perlawanan, Daryl pingsan di tepian sungai.
.
.
.
Yang pertama kali Daryl lihat adalah cahaya terang-benderang yang menyelinap dari sebuah jendela yang tertutup oleh pakaian. Kewaspadaan membuat ia ingin segera bangkit, tapi sengatan rasa sakit di bagian punggung dan pinggangnya membuat ia teringat akan luka yang dimiliki. Sebuah lirikan ke perban yang melilit tubuhnya membuat ia mengerang sambil memejamkan mata sesaat.
'Fuck!'
Tak mau mengindahkan rasa sakit yang mendera, Daryl bangkit tuk meneliti tempatnya berada. Setelah melongok keluar jendela kamarnya, ia mengetahui bahwa ia berada di salah satu kamar rumah yang dimasukinya kemarin.
Batinnya bertanya-tanya, siapa yang membawanya ke rumah ini? Ia ingat telah membunuh tiga walker yang berusaha mengunyahnya ketika ia tak sadarkan diri di tepi sungai, mengiris satu daun telinga dari masing-masing makhluk itu dan menjadikan ketiga benda itu bandul dari kalung yang ia buat dari tali. Ia pun tak lupa bahwa ia telah berhasil memanjat_mati-matian_tebing terjal itu sendirian dan ia ingat berjalan di tengah hutan. Namun, yang tak ada di dalam ingatannya adalah bahwa ia berhasil mencapai perternakan tempat kelompoknya berada.
Mengesampingkan banyak pertanyaan yang terlintas, Daryl memfokuskan diri untuk mencari crossbow dan pisau miliknya. Orang yang menolongnya cukup baik untuk menyelamatkannya tapi cukup pintar untuk memisahkan ia dengan senjata-senjatanya. Karena memang, di akhir zaman seperti sekarang, manusia yang masih hidup jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan sekawanan mayat yang berjalan.
Daryl menyisir ruangan itu, batinnya mengutuk sebab, tidak ada satu pun benda yang dapat ia jadikan sebagai senjata. Dengan itu, ia keluar kamar dan berniat mencari senjata miliknya di lantai atas.
Ia berjalan dengan teramat hati-hati, tapi tetap saja, lantai kayu itu berderak di bawah kakinya. Setelah beberapa menit mencari, Daryl keluar dari kamar kedua di lantai atas. Tak ada benda berguna yang ia temukan di ruang-ruang yang telah dimasukinya, hanya ada setumpuk pakaian berdebu, beberapa ponsel, dan dua cincin emas bermata berlian. Tidak ada satupun barang yang diambilnya. Pria itu berhenti sejenak di lorong, menatap satu-satunya kamar yang tersisa.
Tak butuh waktu lama bagi Daryl untuk menimbang-nimbang, ia berjalan lurus ke kamar yang tertutup itu. Tiga detik ia berdiri di depan pintu, mendengarkan dengan saksama ada atau tidaknya suara yang berasal dari dalam sana. Samar-samar, ia dapat mendengar embusan napas lemah. Tidak ada erangan, berarti bukan walker. Tangan Daryl sudah menggenggam kenop pintu dan siap memutarnya saat sebuah suara feminin namun tegas menghentikan aksinya.
"Menjauhlah dari pintu itu atau kau akan menyesal!"
Daryl menoleh, hanya berjarak satu meter darinya, ujung panah runcing telah mengarah ke kepalanya. Anak panah itu sudah teramat siap melesat tepat ke dahinya dan menembus hingga ke bagian belakang tengkoraknya.
"Aku mencari senjataku."
"Senjatamu tidak ada di dalam sana."
"Kau yang membawaku ke sini?"
"Iya," jeda sesaat. Sang gadis misterius menurunkan busurnya, lalu melanjutkan, "Kau mau senjatamu? Ikuti aku." Kemudian ia menuruni anak tangga, dan Daryl pun mengekor di belakangnya.
Gadis Asia itu menuntunnya memasuki sebuah kamar yang berada di lantai bawah. Tak mau lengah, Daryl berdiri di ambang pintu, ia memperhatikan gadis itu berjongkok, sebelum menempelkan kedua tangan dan kaki di lantai untuk meraih sesuatu di kolong ranjang. Si bungsu Dixon itu memperhatikan bagaimana gadis itu menepuk-nepuk debu yang menempel di bagian lutut celana jeans hitamnya sebelum memberikan crossbow dan pisau miliknya.
'Setelah menolong, kini gadis itu memberikan senjata-senjataku begitu saja?' Ia tidak percaya ada perempuan naif seperti yang ada di hadapannya dapat bertahan hidup cukup lama di tengah dunia yang kacau-balau seperti saat itu.
Lagi-lagi, gadis itu memecahkan keheningan yang ada di antara mereka, "Bila kau mencari kalung itu, aku sudah membuangnya di tempat sampah," dengan gerakan kepala, ia menunjukkan arah yang disebutkan, "di dapur," imbuhnya.
Daryl meneliti sosok asing yang ada di depannya, bahkan hal remeh seperti bagaimana wajah gadis itu sedikit mengernyit ketika menyebutkan kalung berbandul telinga walker yang menjadi trofi pribadinya_pengingat bahwa ia telah menaklukkan kematian bahkan dengan kondisi lemah_tak luput dari penglihatannya. Dengan suara serak dan nada monoton, pria itu berkata, "Terima kasih." Gadis itu menatapnya, dan ia menambahkan, "Karena telah menolongku."
"Bagaimana keadaanmu sekarang, mm ...," sadar bahwa mereka belum berkenalan secara layak, perempuan berambut hitam kelam itu mengulurkan tangan kanannya. "Ngomong-ngomong, aku Kagome. Higurashi Kagome, panggil saja Kagome."
Tidak seperti Glenn, laki-laki keturunan Korea yang telah bergabung dengan kelompoknya semenjak bencana itu dimulai, Daryl menangkap ada aksen yang tak dikenalnya saat gadis yang mengaku bernama Kagome itu melafalkan kalimat dalam bahasa ibunya. Daryl hanya mencatat hal itu dalam benak, meski dibesarkan dalam lingkungan yang tak menjunjung tinggi budi pekerti, ia tetap mengerti untuk tidak mengeluarkan pernyataan bernada rasis kepada orang yang telah menolongnya. Meski begitu, ia tidak tahan untuk tidak berpikir, apa semua orang Asia seperti Glenn dan gadis ini? Rela mempertaruhkan nyawa untuk menolong orang yang tidak mereka kenal?
Meski sedikit enggan, pria yang ahli memanah itu pun meraih uluran Kagome dan mereka berjabat tangan. "Daryl," ucapnya pendek.
Gadis yang mengenakan baju lengan panjang berwarna kuning pucat itu lagi-lagi membuka suara, dengan tulus ia berkata, "Maaf karena tadi aku mengarahkan panah padamu."
Sebagai jawaban, Daryl mengangkat bahu dan menyahut acuh tak acuh, "hampir semua temanku pernah menodongkan pistol ke arahku." Komentar itu meluncur begitu saja dari mulutnya, dan pria itu sama sekali tak menyangka reaksi yang ia dapat atas apa yang telah ia utarakan, gadis bernama Kagome itu tertawa kecil, tawanya renyah dan terkesan polos.
Suara tawa, jenis bunyi yang telah lama tak didengarnya semenjak manusia hidup menuju kepunahan.
"Maaf," kata Kagome setelah tawanya mereda, ia tersenyum kecil. "Bila itu kenyataan, aku tidak bermaksud menertawakanmu, hanya saja, aku pernah mengalami hal yang sama. Meski tidak dengan pistol," tapi dengan cakar tajam manusia setengah siluman dan semburan beracun seorang siluman besar Penguasa Wilayah Barat Jepang pada era perang. "Sebelum menjadi sekutu, maksudku teman, kakak-beradik itu pernah ingin membunuhku. Tapi itu sudah lama berlalu," beratus-ratus tahun yang lalu.
Walau tidak berkomentar, sebagai tanda menyimak, Daryl mengangguk kecil lalu memperhatikan ke sekitar. Tiga detik kemudian ia bercerita, "kemarin siang aku menyisir tempat ini."
Menjawab pertanyaan yang terselubung di dalam kalimat pria yang baru dikenalnya itu, Kagome berucap, "Aku baru berada di sini sejak tadi malam. Sebelumnya, aku hanya berlindung di sebuah tempat di hutan, meski tidak dapat dikatakan nyaman, tapi itu cukup."
Daryl memotong racauan gadis itu, "Apa yang ada di atas sana?"
Kagome memandang lekat pria itu. Sebagai miko, ia memang tidak dapat mendeteksi aura buruk bila ada niat jahat dari diri kawan barunya itu, tapi, tetap saja, hidup di tengah dunia yang penuh mara bahaya membuatnya harus selalu siaga. Belum sempat Kagome memberi sanggahan, pria itu bertanya lagi, "Apa kau sendirian?"
"Tadinya," jawabnya jujur. Kagome mengenali tanda tanya yang jelas tergurat di wajah pria itu, oleh karena itu, ia menjelaskan, "tiga hari yang lalu aku menemukan seorang gadis kecil yang tersesat di hutan."
Sontak wajahnya bertambah serius, Daryl mengulang dua kata itu, "Gadis kecil?"
"Iya."
Tidak banyak gadis kecil yang bertahan hidup di akhir zaman seperti itu, dan tidak ada kelompok yang selamat yang ia lihat di wilayah itu selain kelompoknya. Tidak ada kemungkinan, ia sangat yakin gadis kecil yang ditemukan Kagome adalah Sophia.
"Dimana dia sekarang?"
"Di kamar atas. Ia sedang tertidur, kau mengenalnya?"
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia lekas berlari menuju lantai atas. Degup jantungnya meningkat drastis, kepalanya seakan berdenyut keras. Dadanya terasa sempit oleh adrenalin. Ia mengatur napasnya yang memburu kala memutar kenop pintu. Daun pintu terbuka, dugaannya benar, yang tergeletak tak sadarkan diri di atas ranjang adalah, "Sophia!" Seru Daryl dengan lantang.
"Sophia," gema Kagome lirih. Ketika Daryl mendekati gadis kecil yang sudah tiga hari dicarinya itu, ia pun menjelaskan, "aku terlambat menolongnya." Pria itu menatapnya tepat di mata, menuntut keterangan lebih lanjut. "Aku berhasil melumpuhkan dua mayat yang menyerangnya, tapi tiba-tiba muncul satu lagi di belakangnya."
Kagome berdiri di sisi ranjang yang berseberangan dengan Daryl, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Sophia dan memperlihatkan bahu kiri gadis kecil berambut pirang itu yang terbalut perban. Dengan suara berat dan sedikit tersendat, ia berucap, "salah satu dari mereka berhasil melukainya tapi, kurasa Sophia sudah lebih baik sekarang."
"Melukainya?" Tanya Daryl dengan nada mendesak.
Paham tak ada gunanya berbohong, Kagome mengutarakan kebenaran, "makhluk itu menggigit bahunya."
Genggaman Daryl di busurnya kian menguat, ingin rasanya ia membunuh sesuatu saat itu.
Dalam satu embusan napas dan dengan tata bahasa seadanya, Kagome melisankan isi pikirannya, "Aku mengerti, sudah umum kita ketahui bahwa hanya dengan gigitan atau sekedar cakaran saja kau bisa berubah menjadi seperti mereka dalam waktu yang singkat, tapi itu tidak sepenuhnya benar. Aku hampir bekerja di Center for Disease Control, meski dari tempat lain, kami ikut meneliti virus yang dinamakan wildfire itu, dan yang sebenarnya adalah, virus itu telah ada di dalam tubuh kita. Tak peduli apapun penyebab kematiannya, kita akan berubah menjadi mereka, mayat hidup."
Hasrat membunuhnya belum jua pudar, gadis Asia itu malah berceloteh panjang lebar tentang hal paling bodoh yang pernah didengar olehnya.
Kagome menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "kedengarannya memang mustahil, tapi aku dapat menyelamatkannya, aku akan berusaha." Tidak ada bedanya dengan miasma beracun milik Naraku, seharusnya virus itu akan dengan mudah aku murnikan. Itu sudah seharusnya, ya kan? Tapi, bagaimana jika ...
Gadis yang pernah menjelajah waktu itu menggeleng kecil, berupaya untuk meyakinkan pria itu dan dirinya sendiri, ia menambahkan dengan sungguh-sungguh, "percayalah padaku, aku ingin menyembuhkan Sophia."
Daryl ingin meneriakkan penolakannya, mengumpat ketololan orang yang berdiri tak jauh darinya, tapi ia pun tak berdaya menyangkal bahwa sebagian dirinya ingin mempercayai perkataan gadis itu. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia ingin meyakini bahwa asa itu masih ada. Dan bila hal yang terburuk terjadi_persis seperti yang setiap hari terjadi_Sophia meninggal dan berubah menjadi walker, maka, ia sendirilah yang akan meyakinkan senjatanya menembus tengkorak anak itu.
Daryl memutari sisi ranjang, kini ia berdiri di samping gadis itu. Dengan hati-hati, ia membuka perban di bahu anak perempuan Carol dan meneliti lukanya. Tak seperti yang pernah dilihatnya, biasanya, luka gigitan mayat hidup selalu mengalirkan darah, tak peduli sudah berapa lama. Akan tetapi, luka Sophia berbeda. Bekas gigitan itu memang masih ada, tapi luka itu terlihat menghitam, luka itu mulai mengering. Aneh, sangat aneh.
Gadis asing itu tidak hanya membual, setidaknya, ia berharap begitu. Tapi, sebuah kata meragukan yang hadir di tengah-tengah kalimat gadis itu membuat alisnya berkerut di tengah. "Apa maksudmu dengan hampir berkerja di CDC?"
Seketika, nada Kagome berubah murung, "Ada sepuluh orang ilmuwan dari beberapa negara di Asia bergabung demi meneliti virus itu, masing-masing membawa serta asisten mereka, dan aku adalah asisten dari Profesor Igasaki-san, kami berdua dari Jepang. Pesawat kami tiba di Atlanta sehari sebelum kota itu diledakkan oleh pemerintah." Ia menarik napas, dengan nada getir dan rasa bersalah yang meluap dalam dada, ia menyambung kisahnya, "sayangnya, bis khusus yang kami tumpangi tidak berhasil ke CDC. Dari dua puluh orang peneliti dan belasan tentara yang mengawal, hanya aku yang selamat."
Seakan tak peduli, dengan datar, pria itu mengabarkan, "tempat itu sudah rata dengan tanah sekarang." Mendengar berita tentang runtuhnya gedung Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit itu, pandangan Kagome sedikit tertunduk.
Daryl menempelkan telapak tangannya ke kening Sophia yang terbaring. "Tidak ada demam," gumamnya.
Titik fokus Kagome kembali pada gadis kecil itu. "Aku bisa memurnikan lukanya, tapi dengan itu aku harus membuatnya tertidur. Masalahnya, dengan membuatnya tak sadar membuat Sophia dehidrasi dan kekurangan asupan nutrisi." Kini, seluruh perhatian Daryl tertuju pada gadis yang baru dikenalnya itu.
Iris biru kelabu Kagome menatap biru milik Daryl dengan penuh harap, suaranya berat dengan penekanan, "Sophia membutuhkan infus secepat mungkin."
"Ambil barang-barangmu!" Perintah Daryl. "Kita akan ke peternakan tempat kelompokku berada sekarang. Di sana, Sophia akan mendapatkan apa yang ia butuhkan.
"Tunggu!" Kagome bertutur, "aku tidak main-main saat mengatakan akan berusaha menyembuhkan Sophia, tapi, aku punya satu syarat."
Pria itu menatapnya dengan tidak sabar. "Katakan!"
Setelah miko itu mengajukan syaratnya, pria itu mengangguk.
Kagome beranjak dari tempatnya dan kembali lagi beberapa menit kemudian dengan backpack kuning besarnya. Sebuah long bow berwarna merah tersampir di bahu kanannya dan tempat penyimpanan anak panah berada di bahunya yang lain. Suaranya tegas saat mengumumkan, "Aku sudah siap."
Saat itu, tak ada kekhawatiran Daryl tentang apakah Rick dan anggota kelompok yang lain bersedia menerima kehadiran Kagome atau tidak karena yang terpenting adalah Sophia. Namun jika Rick, juga Hershel, sang pemilik peternakan, menolaknya, sudah pasti ia akan melakukan sesuatu untuk gadis itu.
"Ayo!" ajak Daryl yang sudah menggendong Sophia.
~KHxDD~
End notes: Episode pertama The Walking Dead Season 8 membangkitkan file yang sudah lama terkubur ini.
Btw, fic ini sebenarnya hanya sekadar one-shot, tapi, dengan banyaknya draft yang udah ditulis kemungkinan akan jadi seperti fic kumpulan OS kayak Fly High (IyxHaikyuu crossover). Yup, setiap chapter bisa saling berkaitan bisa juga tidak. Ada chapter yang khusus menceritakan Daryl dan ada juga bab khusus untuk Kagome pada awal zombie merajalela (ga janji kapan di-posting). Yang pasti fic ini berpusat pada Daryl juga Kagome dan berada di The Walking Dead universe. (Another) but, fic ini akan selalu berstatus complete.
For all reader, minna saiko arigatou^^.
