Aku hanya mencintai diriku. Aku tidak mengerti lagi bagaimana rasanya mempunyai orang yang dicintai sejak keluarga ku terbunuh. Sampai kau datang, mengajariku untuk mencintaimu.

Disclaimer Masashi Kishimoto-sensei

Story by Dayuta

(Uchiha Sasuke x Hyuuga Hinata)

Rate T maybe M

CANON. TYPO. GAJE. OOC. Dan segala kesalahan yang ada didalamnya harap dimaklumi

(Dont like dont read) (Flame?yang membangun ya)

Happy Reading

.

.

.

(Teach Me)

.

.

Chapter 1 : Expectation

Gadis berambut indigo itu berjalan menyusuri jalan setapak konoha yang tampak aneh dilewati. Tidak seperti dulu, sekarang ia hanya dapat melihat puing-puing reruntuhan bekas perang dunia ke-empat sebelumnya itu masih menyisakan banyak kejadian pahit jika melihatnya. Sekujur tubuhnya pun masih bisa merasakan hawa dingin yang suram akibat perang tersebut. Ia hanya menundukkan kepala sambil berjalan karena tidak sanggup melihat keadaan disekitarnya itu, berharap saat ia menundukkan kepala, ia hanya akan melihat tanah yang tandus. Tapi sayangnya, bukan hanya tanah tandus yang ia lihat, melainkan tanah tandus bercampurkan darah yang sampai saat ini masih belum menghilang. Ia terlonjak kaget dengan wajah yang mengerikan, bulir-bulir air mata pun perlahan jatuh membasahi pipinya dan tetesan itu pun jatuh ke tanah tercampur dengan darah para shinobi yang telah mengorbankan nyawanya untuk melindungi desa tempatnya tinggal itu.

"Hikss..Andai aku kuat seperti Naruto. Neji-nii...Maaf..Maaf..aku tak bisa melindungimu."

Hal ini mengingatkannya akan kenangan pahit yang paling menakutkan saat perang dunia ke-empat terjadi. Ia tidak bisa menahan segala isak tangis yang sudah ia pendam sejak lama, saat terakhir kali melihat Neji mati tepat di depannya. Betapa tidak berguna dirinya, bahkan dari dulu ia selalu saja dilindungi oleh Neji. Saat ia ingin menolong Neji, ia selalu didahului oleh teman-teman yang lain. Sangat menyedihkan menjadi orang yang terlemah diantara yang terlemah, mungkin itu yang bisa dideskripsikan untuk dirinya.

"Hinata!"

Hinata yang sedari tadi terlalu sibuk dengan segala pikiran menyedihkannya itu tidak menyadari ada orang yang memanggilnya dari jauh. Dengan penampilan yang mencolok seperti biasa, secepatnya orang itu menghampiri Hinata yang sama sekali tidak merespon panggilannya. Orang itu terlihat sangat kaget ketika melihat sosok kunoichi cantik itu dengan suara isak tangis dan tubuhnya yang bergetar hebat.

"Hinata, kau kenapa? Hei Hinata!" Ucap Kunoichi berambut pink itu menyadarkan Hinata dengan mengguncangkan tubuhnya. Tidak ada respon, Hinata tetap saja menangis dan seakan tidak ingin mengakhirinya.

"Maaf..."

"Hinata, ada apa denganmu? Apa yang terjadi!" Kunoichi berambut pink itu masih tetap berusaha berbicara pada Hinata, berharap Hinata membagi kesedihan kepada dirinya agar bisa mengurangi beban yang selama ini ia pendam.

"Maaf...Neji-nii."

"Ne-neji?" Sakura terlonjak kaget mendengar nama terakhir yang Hinata sebut tadi. Jadi karena Neji, Hinata menjadi seperti itu. Sakura tersenyum pilu melihat Hinata yang tidak berdaya seperti ini. Bukan kasihan, tapi ia sedikit mengerti mengapa Hinata sampai seperti itu. Bahkan saat dirinya pun mengetahui Neji mati, ia kaget dan merasa tidak percaya. Saat mendengar dari Naruto sendiri, bahwa Neji mati karena melindungi dirinya dan Hinata. Sakura pun tidak sadar meneteskan air matanya. Bagaimana pun Neji adalah teman seperjuangannya dan orang yang pernah berjanji padanya bahwa akan merebut Sasuke dari Orochimaru dan membawanya kembali ke konoha saat mereka masih jadi Gennin dulu.

Kedua tangan Sakura memegang pipi Hinata dan perlahan menangkat wajah sembabnya. Ia menghapus air mata yang sedari tadi tidak berhenti mengalir dengan jari-jarinya yang lentik dan tersenyum lembut seraya memeluk tubuh yang perlu pondasi itu. Mungkin hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini.

"Aku mengerti perasaanmu, tapi kumohon berhentilah. Dengan menangis sendiri tidak akan membuatmu lega Hinata, kau bisa membaginya dengan ku." Sakura tersenyum lembut kepada Hinata.

Hinata menatap mata Emerald itu, mencari dan melihat ketulusan yang dipancarkan Sakura membuat Hinata tersenyum lega. "Terima kasih Sakura-san aku menjadi tenang sekarang."

"Tentu saja, dan sekarang kita harus bergegas ke Gedung Hokage." Sakura menarik tangan kanan Hinata tetapi kunoichi berambut indigo itu masih belum beranjak dari tempat ia berdiri.

"Ge-gedung Hokage?" dengan wajah yang masih sembab, lagi-lagi Hinata memasang wajah yang mengerikan dan itu terlihat menggelikan di mata Sakura.

"Apa-apaan wajahmu itu Hinata, kau terlihat seperti Sadako. Hahaha..." Sakura tertawa geli melihat tingkah Hinata.

"Ta-tapi untuk apa kita ke Gedung Hokage?" masih dengan tampang aneh Hinata bertanya kepada Sakura.

"Kau akan tahu nanti, Ayo!"


(Teach Me)

Mata itu terbuka perlahan, memperlihatkan bola mata elegan yang selama ini redup karena selalu memancarkan tatapan dendam. Menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina, akhirnya mata itu pun terbuka lebar dan memperlihatkan bola mata hitam pekat yang selama ini menjadi kebanggaannya. Mata yang bisa berubah menjadi warna merah seperti darah. Mata yang dulu selalu ia gunakan untuk membunuh orang, menyiksa, atau bahkan membuat korbannya hingga menjadi gila. Mata yang mempesona, tapi ketika terjebak, kau tidak akan pernah bisa lolos. Pria itu memandang langit-langit ruangan itu. Serba putih, seperti Surga. Pria itu hanya terdiam dengan tatapan hambar sambil melihat keluar jendela yang membuka jalan agar terpaan angin menyentuh tubuhnya. Jika ia bisa memohon, maka ia ingin angin topan yang menyentuh dan menghempaskan tubuhnya ke dinding ruangan ini agar dirinya bisa mati. Mati tanpa beban apapun.

Dia Uchiha Sasuke, tidak punya apa-apa. Keluarga bahkan klannya telah lenyap dan hanya tinggal dirinya yang tersisa seorang diri. Tanpa ada yang menyambutnya ketika pulang ke rumah nanti. Bahkan jika membayangkan harusnya ia hidup sebatang kara di dalam hutan yang penuh dengan hewan buas, agar bisa dimakan oleh mereka. Ia ingin mati. Buat apa hidup, bahkan sekarang ia tidak mempunyai tujuan hidup. Membangkitkan klan? Itu mungkin cita-cita yang tak mungkin tercapai. Apa masih ada yang menginginkan dirinya yang seorang ninja buronan kelas atas dan telah ternodai oleh darah shinobi yang tak bersalah?. Apa mereka, Naruto, Sakura, Kakashi dan anggota rookie 9 yang lain mungkin masih menginginkannya? Tapi apa itu tulus? Atau hanya rasa kasihan atas kenangan pahit yang ia derita selama ini? Entahlah ia sendiri tidak tahu, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan setelah ini. Bahkan jika ia di jerumuskan ke penjara konoha, ia akan dengan segan mematuhi dan menghabiskan sisa hidupnya di sana.

Tubuh itu merespon dan bergerak mengikuti perintah otak Sasuke. Ia berusaha untuk bangun dengan tumpuan tangan kanan yang masih bebas tanpa infus itu dan menyenderkan punggung tegapnya di ranjang tersebut. Ia menghirup udara ruangan ini yang penuh dengan bau obat-obatan. Sungguh ia tidak menyukai bau itu. Tapi bukankah lebih baik menghirup bau obat-obatan dibanding dengan bau darah? Sasuke tersenyum sinis memikirkan apa yang barusan ia bayangkan.

Tapi siapa yang membawanya kesini? Bukankah semua shinobi waktu itu sedang sibuk menyelamatkan keluarga mereka masing-masing. Sasuke membayangkan dan mengingat-ingat siapa gerangan yang berbaik hati membawanya ke Rumah Sakit diingatnya ia hanya melihat...seketika tubuhnya menegang, rambut indigo? Panjang?... Ia tersenyum kecil dan menggumamkan sebuah nama, "Hinata...kah?"


Shizune, asisten yang telah lama mengabdi kepada Tsunade ini pun berlari tergesah-gesah di lorong Rumah Sakit yang panjang itu. Ia memegang erat berkas yang diberikan oleh Tsunade tadi dan takut jika barang penting pemberian hokage keenam itu terjatuh. Selama beberapa lama ia berlari, akhirnya sampailah ia di depan ruangan yang ia tuju, kamar 027. Tanpa salam ia pun langsung membuka pintu kamar itu, dan ia terlihat kaget saat melihat pemandangan yang ada di depannya.

"Sasuke, kau sudah sadar? Kapan? Bagaimana perasaanmu? Apa masih ada yang sakit?" pertanyaan bertubi-tubi pun dilontarkan oleh Shizune yang memang alamiahnya memiliki sifat yang cerewet, bahkan Tsunade pun dibuatnya pusing.

"Hentikan pertanyaan bodohmu itu." Sasuke menatap tajam wanita yang lebih tua darinya itu.

"Ck, masih tidak sopan sama seperti dulu." Shizune menatap malas ke arah Sasuke.

"Kalau kau kesini hanya mengomentari sikapku, lebih baik kau keluar sensei." memberi sedikit penekanan di perkataannya dan sekali lagi Sasuke menatap tajam ke arah Shizune.

"Aku tidak suka dihormati dengan nada mengejek seperti itu Sasuke. Aku ke sini karena ingin memeriksa keadaanmu. Tapi sepertinya, tidak diperiksa pun kau kelihatan sudah sehat. Bahkan kau berani mengejekku dan berkata seperti orang yang seakan-akan tidak sakit." lain Sasuke, Shizune pun membalas tatapan tajam Sasuke.

"Tck, terserah." hanya itu yang dilontarkan Sasuke sambil membuang muka karena malas menatap Shizune.

"Aku pergi dulu Sasuke, masih banyak yang harus ku kerjakan. Aku tidak ingin meladenin semua pembicaraan tidak penting ini. Semoga kau cepat sembuh." Shizune menutup pintu kamar Sasuke dengan keras. Bahkan Sasuke bisa merasakan angin hempasan pintu itu mampu menggerakan helaian rambutnya. "Ck, sungguh wanita merepotkan."

"Lalu, apa yang akan kulakukan nanti?" Sasuke menatap awan yang kini dengan indahnya menutupi sebagian langit biru yang begitu indah itu. Mungkin ia harus memulai kehidupan barunya, dimulai dari nol. Ia tidak tahu bisa atau tidak, tapi ia ingin suatu saat ada seseorang yang mengajarinya. Ya.. Mengajarinya tentang kehidupan yang sebenarnya.


"Sakura-san, apa ini pemberitahuan misi?"

"Entahlah Hinata, aku juga tidak tahu. Lebih baik kita cepat sebelum hokage itu marah. Kau tahu bagaimana bukan jika ia marah..." Sakura memasang wajah horor seakan menakuti Hinata.

"Ta-"

(Braakkkkk)

Perkataan Hinata seketika terhenti saat melihat dinding ruangan Hokage itu tiba-tiba hancur dan melayang tepat di depannya. Bukan hanya dia yang terlihat kaget, bahkan Sakura yang berada disampingnya pun melebarkan mata. Hinata buru-buru melihat kedalam ruangan tersebut dan yang ia lihat sekarang tepat seperti apa yang ia bayangkan ketika melihat dinding itu hancur. Hokage awet muda itu dengan ekspresi garangnya melihat tajam kearah mereka berdua. Hinata yang menyadari tatapan itu merasa takut dan berusaha untuk berlindung di belakang Sakura. Bahkan Sakura yang murid kesayangannya saja merasa takut.

"Dasar, bocah uchiha tengik!"

"U-uchiha?"

"Tsunade-sama, ada apa dengan Sasuke?" Sakura begitu kaget ketika Tsunade mengucapkan nama yang sangat ia kenal. Tapi bukankah Sasuke masih koma? Pertanyaan itu masih terngiang dikepalanya.

"Jangan salahkan aku jika kau nanti melihatnya mati dan mayatnya tergantung di atas gedung Hokage ini." Tsunade kembali duduk dan menopang dagu ditangan kanannya. Ia menatap tajam kepada kedua kunoichi yang sekarang berada di depan meja tempat ia duduk itu. Ia mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di meja dengan tempo yang sama. Masih dalam suasana yang diam dan tidak ada tanda dari kedua belah pihak siapa yang akan bicara, Sakura dan Hinata menatap Tsunade dengan wajah penuh ekspresi seperti ingin dimangsa oleh binatang buas. Mungkin saja mereka memang ingin membuka pembicaraan agar bisa mencairkan suasana itu. Tapi ingin bicara tentang apa? Mereka saja tidak tahu kenapa mereka dipanggil ke ruangan ini.

"Kenapa kalian terlambat?"

"Anoo-"

"Baiklah aku lelah. Langsung intinya, aku memberi kalian misi masing-masing. Pertama kau Sakura, kau ku beri misi untuk mengantarkan dokumen ini ke Desa Sunagakure, kau ditemani Kiba dan Sai. Mulai besok pagi kalian harus sudah meninggalkan desa ini. Jangan lupa jaga dokumen itu baik-baik, karena itu dokumen rahasia. Kau akan tahu akibatnya jika kau lalai dalam hal menjaganya. Beritahu kepada teman misi mu."

"Hai!"

"Dan kau Hinata, ini bukan misi. Aku hanya meminta padamu temani bocah cerewet ini menjenguk Sasuke. Aku bosan dari tadi ia terus dengan seenaknya meminta padaku agar bisa mengantarkannya ke Rumah Sakit. Padahal aku masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan."

Hinata dan Sakura mengikuti arah pandang Tsunade, sedangkan objek yang mereka pandang hanya memamerkan cengirannya yang khas. "Hehehe..Maaf merepotkanmu Hinata-chan."

"Na-naruto-kun?" Hinata memandang kaget Naruto. Pandangannya ia alihkan ke tangan kiri Naruto yang saat itu, pada Perang Dunia Ninja ke-empat hampir saja terputus karena bertarung dengan Sasuke. Bahkan kaki kirinya pun mengalami patah yang lumayan parah sehingga ia tidak boleh berjalan menggunakan kaki untuk sementara ini. Ia memakai kursi roda, mungkin inilah mengapa Tsunade menyuruhnya untuk mengantarkan Naruto menjenguk Sasuke. Hinata menghela nafas lega saat melihat tangan dan kaki kiri Naruto sudah tidak separah waktu itu. Jika tidak, mungkin ia akan menangis lagi.

"Kalian semua boleh pergi." Ucap Tsunade

"Ha'i Tsunade-sama, kami pergi dulu." Sakura dan Hinata memberi penghormatan kepada Tsunade, kecuali Naruto yang hanya melihatnya dengan wajah mengejek.

"Tsunade baa-san memang pantas dihormati karena sudah tua"

"Berhenti memanggilku baa-san! Bocah tengik sialan!" Tsunade yang sudah tidak tahan memberi Naruto pukulan diwajahnya. Persetan dengan tubuhnya yang masih penuh luka. Tsunade menganggap ini memang hukuman untuk Naruto yang sudah keterlaluan. Karena tidak ingin mengambil resiko terlalu jauh mereka bertiga pun akhirnya keluar dari ruangan karena mereka masih peduli dengan nyawa mereka


(Teach Me)

"Tuhan, apa yang harus kulakukan?" Hinata meruntuki dirinya sendiri dan memohon agar Tuhan mendengar permohonannya. Ini saat-saat yang sangat ia nantikan, tetapi juga sangat ingin ia hindari. Seperti sepasang kekasih yang tengah berjalan-jalan di tengah keramaian kota saja. Bahkan ia bisa melihat orang-orang melihat mereka dengan tatapan yang aneh, bukan mengejek. Tetapi seakan-akan tatapan yang heran. Mungkin mereka bingung apa yang tengah dilakukan pewaris Hyuuga dan pahlawan desa itu.

"Na-naruto-kun sepertinya ki-kita jadi bahan pembicaraan."

"Benarkah Hinata-chan? Tapi aku tak merasa begitu." dengan santainya Naruto menyanggah perkataan Hinata. Karena sedari tadi ia melihat semua penduduk yang mereka lewati itu tersenyum kepada mereka.

"I-iya, mungkin aku hanya salah paham." Hinata tersenyum lega.

"Ngomong-ngomong Hinata-chan, kenapa Tsunade baa-san menyuruhmu kenapa tidak Sakura-chan saja?" dengan entengnya Naruto bertanya seperti itu pada Hinata. Hinata yang mendapat pertanyaan itu hanya bisa menahan air mata yang mulai turun itu. Setega itu kah Naruto kepadanya. Kenapa yang ada dipikiran Naruto hanyalah Sakura, Sakura, dan Sakura. Bahkan saat ia yang berada didepannya, Naruto tetap memikirkan Sakura.

"Mu-mungkin Tsunade-sama memberikan misi yang sangat penting dan...itu hanya bisa dilakukan oleh Sakura-san, bu-bukan dilakukan o-olehku." oh Tuhan betapa beratnya hati Hinata mengatakan ini.

"Hm, kau mungkin benar."

Sasuke menggerak-gerakkan jendela yang terbuka lebar itu, bosan lebih tepatnya. Bahkan ini lebih sunyi jika dibandingkan dengan hutan yang sudah menjadi sahabatnya saat ia buronan dulu. Apalagi menghirup udara yang bercampur bau obat-obatan itu. Membuat suasana perasaan Sasuke jadi bertambah buruk.

"Hinata ini kamar tempat Sasuke dirawat." Mereka berhenti tepat di depan kamar bertuliskan nomor 027. Hinata mencoba mengetuk pintu itu sebentar dan tangan kanannya itu pun meraih gagang pintu dan membukannya dengan perlahan. Sedangkan seseorang yang berada didalam kamar itu sontak menoleh mendapati dua orang shinobi mencoba untuk mendekatinya.

"Naruto."

"Hoi Sasuke, kau sudah sadar? Tadi Shizu-"

"Jangan mengucapkan nama wanita sialan itu Naruto." Sasuke menatap tajam Naruto. Tidak bukan hanya Naruto, tapi seseorang yang berada di belakang Naruto. Sasuke pun menyeringai.

"Hyuuga Hinata...kah?" tanya Sasuke langsung.

Hinata yang mendengar namanya seketika diucapkan Sasuke sontak menatap Sasuke takut-takut. Siapa coba yang tidak takut dengan mantan buronan kelas atas itu apalagi ia sendiri bukanlah orang yang akrab dengan Sasuke.

"I-iya U-uchiha-san" jawab Hinata malu-malu. Ia menunduk menatap lantai, tidak ingin melihat Sasuke, lebih tepatnya tidak ingin melihat bola mata yang mempesona itu yang baginya malah menakutkan.

"Hn."

"Hanya itu?" Hinata menggerutu dalam hati dan memasang wajah cemberut.

"Sasuke, aku kesini ingin menanyakan sesuatu yang penting." Naruto memasang wajah serius.

"Apa?" tanya Sasuke seadanya, wajahnya pun terlihat serius.

"Se-sepertinya aku harus keluar." Hinata yang melihat Naruto dan Sasuke terlibat pembicaraan serius akhinya mengalah dan berinisiatif untuk meninggalkan mereka.

"Tidak kau disini saja Hinata." tangan kanan Naruto meraih tangan kiri Hinata. Menahan kepergian Hinata yang hendak meninggalkan mereka. Naruto tahu ini bukanlah sesuatu yang sangat penting. Hinata juga tidak apa-apa jika tahu.

"Sasuke, apa setelah ini kau akan pergi meninggalkan desa lagi?" tanya Naruto. Ia memasang wajah serius dan menatap tajam Sasuke.

Sasuke yang mendengar pertanyaan itu hanya bisa tersenyum sinis. Bukankah itu pertanyaan konyol. Untuk apa ia meninggalkan desa lagi, bukankah ia tidak memiliki tujuan hidup? Ia tidak ingin pergi dari konoha, tapi yang ia inginkan adalah pergi dari dunia yang menyakitkan ini. Sasuke menggerakan bola mata pekat itu ke objek yang berada di belakang Naruto. Ia bisa melihat wajah Wanita itu dengan jelas. Hidung, mata, garis wajah, rambut, bibir, segala yang ada pada wanita itu sangat ia kagumi. Sosok wanita yang dulu pernah mengisi hatinya bahkan saat mereka belum memasuki akademi ninja. Gadis kecil yang dulu selalu ia lihat dari jauh, selalu ia ikuti dan selalu ia bayangkan ketika ingin tidur. Dan Gadis yang sosoknya pun perlahan-lahan menghilang ketika ia tenggelam dalam kegelapan. Gadis yang membuat hatinya kosong lagi. Gadis yang selama ia menjadi buronan, hanyalah sosok bayangan tidak terlihat yang berada dalam hatinya. Sosok yang ia lupakan, tanpa sengaja.

"Aku akan tetap berada di konoha jika..." Sasuke menghentikan perkataannya sambil menoleh dan menatap Hinata. Sedangkan Hinata tidak menyadari karena sedari tadi ia hanya menatap ke bawah.

Naruto yang mengikuti pandangan Sasuke menyeringai. Ia tidak tahu pasti tebakannya benar apa tidak. Tapi ia tahu arah pembicaraan Sasuke.

"Hinata, bisakah kau keluar sebentar. Sepertinya Sasuke tidak ingin diganggu."

"I-iya" Hinata pun berjalan cepat kearah pintu.

"Jadi Sasuke, apa alasan logismu?" keduanya masih terlibat pembicaraan serius.

"Alasannya Hinata. Aku akan tetap di konoha jika syaratnya adalah Hinata." Sasuke menyeringai.

"Syarat? Seperti apa?" tanya Naruto. Ia mengerutkan alisnya karena tidak terlalu mengerti apa yang baru saja dikatakan Sasuke.

"Sederhana saja, aku ingin wanita itu menjadi milikku."

"Milikmu?" Naruto kaget dengan jawaban Sasuke.

"Kenapa kau memasang tampang seperti itu Naruto. Oh aku tahu, kau berpikir bukankah Hinata menyukaimu kan?"

"Bu-"

"Aku akan membuat Hinata menjadi milikku. Hinata tidak pantas bersamamu Naruto."

"Tapi Sakura mencintaimu Sasuke! Apa kau tega membuatnya menderita? Dengan kau pulang ke konoha, harapannya padamu masih ada."

"Kalau begitu buang saja harapan itu. Aku tak membutuhkannya." Sasuke menghela nafas.

"Itu tidak mudah Sasuke! Berhentilah menyakiti perasaan Sakura!"

"Kau tidak sadar Naruto, bukankah kau juga selama ini menyakiti Hinata? Kau sama saja."

"Kau salah Sasuke, aku tidak menyakitinya." Naruto menatap Sasuke dengan kilat marah. Sudah cukup perkataan Sasuke membuatnya naik darah. Jika tangan dan kakinya ini bukan perhalangnya, ia tidak akan segan-segan memukul rekan satu tim dulunya ini.

"Tapi kau menggantungkannya Naruto. Itu lebih menyakitkan daripada menunggu. Kau tidak tahu perasaan Hinata. Jangan seolah-olah kau tahu segalanya!" Sasuke muak dengan segala alasan yang sudah Naruto lontarkan.

"..." Naruto tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap datar Sasuke. Ia tidak ingin lama-lama disini, jika tidak mungkin pertarungan seperti dulu akan terulang lagi tanpa peduli dengan keadaan mereka. Karena ia tahu dirinya dan Sasuke sama-sama keras kepala.

"Baiklah aku keluar. Besok aku akan ke sini melanjutkan pembicaraan kita Sasuke."

"Hn."

Sasuke yang melihat Naruto sebentar lagi ingin membuka pintu, sontak memanggilnya. "Naruto, tolong kau suruh Hinata masuk sebentar."

Naruto tidak menoleh dan tidak menanggapi apa yang Sasuke katakan tadi. Tapi ia saat ia keluar dari kamar itu dan menemukan Hinata. Dengan rasa berat hati, ia mengatakan apa yang Sasuke inginkan. "Hinata-chan, masuklah kau belum berpamitan dengan Sasuke bukan?" Naruto memasang cengiran khasnya seperti biasa. Tapi itu memperlihatkan bahwa ia tidak ikhlas mengucapkannya.

"I-iya Na-Naruto."

"Permisi." Hinata memasuki ruangan tempat Sasuke itu dirawat. Ia berjalan sangat pelan sekali, ia tidak biasa seperti ini jika bersama Sasuke.

"Duduklah." Sasuke mempersilahkan Hinata duduk di kursi tepat disebelah ranjang Sasuke itu. Matanya masih menatap Hinata sedari tadi tanpa berpaling sedikitpun.

Hinata mendekat ke kursi itu dengan ragu-ragu. Ia duduk perlahan dan memberanikan diri menatap Sasuke. "A-ada a-apa Uu-chiha-san?" Hinata tidak sepenuhnya menatap Sasuke terus, ia terkadang menoleh ke bawah tidak berani menatap Sasuke lama-lama.

"Bisakah Kau memanggilku Sasuke saja. Kau seolah-olah menghormatiku, padahal kau takut padaku." Sasuke menatap tajam sosok yang ada di depan matanya itu. Mengikuti setiap pergerakkan yang Hinata buat.

"Ma-maaf." Hinata menggenggam erat kedua tangannya diatas pahanya. Lagi-lagi ia salah.

"Yang ingin ku dengar bukan kata maaf Hinata."

"I-iya Sa-Sasuke-san, Ma-maaf."

"Sasuke-kun."

"..." Hinata menatap Sasuke bingung,

"Panggil aku Sasuke-kun." Sasuke menatap sosok yang didepannya ini dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak.

"Sa-Sasuke-kun." Hinata terbata-bata mengucapkannya. Ia belum terbiasa dan tidak pernah sedekat ini dengan Sasuke. Wajar jika ia gugup.

"Bagus. Itu yang ingin kudengar. Pulanglah Hinata, Naruto sudah menunggumu diluar."

"I-iya Sa-Sasuke-kun. Sa-sampai jumpa semoga cepat sembuh." Hinata tersenyum lembut kepada Sasuke.

Sasuke terpana melihat senyum Hinata. Sudah lama ia tidak melihat senyum itu. Tidak, ia semakin tidak sabar untuk membuat Hinata terikat dengan dirinya, hanya dirinya.

"Terima Kasih." Sasuke tersenyum.

"..."

Dan Hinata melihatnya! Bukankah ini langka? Hinata kaget dengan apa yang barusan terjadi. Dirinya, Sasuke tersenyum pada dirinya..kah? Ia rasa itu bukan halusinasi. Itu kenyataan, bahkan sampai detik ini ia masih melihat Sasuke tersenyum tanpa henti kepadanya. Tuhan.. Ada apa lagi ini.

To Be Continue

Fuuuhh (nguras keringat)

Akhirnya chapter satunya selesai juga. Maaf ya mina kalo chapter ini romance Sasuhinanya dikit banget. Heheheh xD

Semoga kalian suka.. Soalnya ini fanfic canon pertama saya u,u

Maaf kalo terlalu ribet dan terlalu panjang.. Habis saya pikir kalo di potong, chapter satunya nanti gak bakal ada scene Sasuhina, jadi saya teguhkan hati tetap saya teruskan.

Doain aja semoga chapter duanya ada romance Sasuhinanya ya.

Soalnya saya gak bisa prediksi gimana nanti bakal banyak apa enggak scenenya. Tergantung alur ceritanya bagaimana xD

Arigatou mina sudah menyempatkan diri untuk membaca..

Jangan lupa juga tinggalkan REVIEW kalian :)

Sayonara...