Title : That's Should Be Mine
Pairing : Meanie
Cast : Seventeen
Rating : NC 17
Genre : Angst, Violence, Smut, Rape, Romance
.
.
PROLOGUE
.
.
Seorang pemuda yang tak sadarkan diri terbaring tak berdaya di atas sebuah tempat tidur. Tubuhnya yang telanjang bulat tampak penuh luka lebam. Seprai yang awalnya menutupi seluruh permukaan tempat tidur, kini berantakan dan dipenuhi dengan bercak darah kemerahan di beberapa bagiannya. Sedangkan lantai kamar, pakaian berserakan di sana-sini.
Tempat tidur sedikit berderit ketika pemuda naas itu mulai menggerakkan tubuhnya yang terasa ngilu. Udara dingin dari pendingin ruangan yang langsung mengenai kulitnya membuat sosok jangkung itu sedikit merinding dan akhirnya ia-pun membuka matanya. Sambil meringis kesakitan, pemuda itu menatap langit-langit kamar hotel tempatnya berada dan setetes airmata mulai menetes dari sudut mata indahnya.
Dia berusaha menggerakkan tangan kanannya untuk meraih telepon genggam yang berada di atas meja dekat tempat tidur. Jari jemarinya yang bergetar terus menekan salah satu nomer dalam kontaknya.
"Yoboseyo...," terdengar suara mengantuk dari seberang saluran telepon.
"Jihoon-ah,...," pemuda yang kini sudah duduk di tepi tempat tidur berusaha menahan tangisnya sekuat tenaga. Ia tidak ingin orang yang sedang diajaknya bicara semakin mengkhawatirkannya.
"Yah, Jeon Wonwoo Neo eodiya? Kemana saja kau? Kenapa kau tidak pulang?" berondongan pertanyaan dari pemuda bernama Jihoon atau akrab disapa Woozi hanya membuat airmata Wonwoo menetes.
Dengan suaranya yang berubah parau, Wonwoo berkata,"Ji…Jihoon..ah, bisakah kau men..menjemputku di Carats hotel?"
Hening sesaat.
Wonwoo bisa merasakan tubuhnya kini bergetar hebat. Ia mendengar sedikit teriakan dan bentakan dari telepon yang masih digenggamnya. Pasti Jihoon sedang berusaha untuk mengomeli Soonyoung. Ia sudah tahu tabiat sahabatnya yang satu itu.
"Wonwoo-ya, bisakah kau menunggu kami di lobi? Kami akan segera ke sana."
"Ne," sambil terus menggigit bibir bawahnya kuat-kuat untuk menahan tangis, Wonwoo menjawab pertanyaan sahabatnya. Sebelum koneksi telepon berakhir, Wonwoo samar-samar mendengar Jihoon yang menyuruh Soonyoung untuk segera berangkat menuju Carats hotel.
Dengan mengumpulkan semua kekuatannya yang tersisa, pemuda jangkung itu mengambil semua pakaiannya yang berserakan di lantai dan mulai mengenakannya satu persatu. Selesai berpakaian, ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi dan membasuh mukanya yang dipenuhi dengan air mata dan sejumlah darah yang sudah mengering di sudut bibirnya.
.
.
Sambil tertatih-tatih, Jeon Wonwoo berjalan menuju lobi hotel yang semalam ia datangi bersama salah satu seniornya. Sebisa mungkin, ia berusaha bersikap normal sehingga tidak ada orang yang perlu memperhatikannya. Tangannya mengepal erat di dalam saku jaketnya menahan sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Bagaimana tidak? Sekujur tubuhnya terluka dan yang lebih parah, bagian bawah tubuhnya yang paling sakit kini terpaksa harus dibalut celana jeans ketat yang menambah rasa perih yang dirasakannya.
Untungnya, Wonwoo tak perlu menunggu lama karena saat ia hendak duduk di salah satu sofa tempat tunggu, ia sudah melihat seorang pemuda berambut pink berlarian ke arahnya. Wonwoo berusaha bersikap wajar sambil melambaikan tangannya menyambut kedatangan dua sahabatnya.
"Yah Jeon Wonwoo! Apakah kau berusaha membuat sahabatmu ini mati karena serangan jantung sedangkan kau disini enak-enakan seperti ini?" Jihoon yang selalu mengomel saat merasa khawatir segera meledak di hadapan Wonwoo.
"Jihoon-ah, mianhae," sambil mengeluarkan jurus puppy eyes andalannya, Wonwoo memegang lengan kanan Jihoon tanda penyesalannya.
Tak berapa lama datang Soonyoung yang menunjukkan ekspresi tak kalah khawatir dari si pemuda berambut pink.
"Apa yang terjadi? Wonwoo-ya neo gwaenchana?" walaupun Soonyoung terkenal selalu bersikap kekanak-kanakan, tapi sebenarnya dia adalah pemuda yang sangat baik dan perhatian. Itulah sebabnya Jihoon jatuh hati padanya.
"Gwaenchana Soonyoung-ah," seulas senyum kecil menghiasi wajah Wonwoo. Meskipun sakit, ia tidak ingin kedua sahabat kesayangannya itu terus-terusan mengkhawatirkannya.
"Ah, sebaiknya kita pulang sekarang. Mingyu sudah menunggu di luar," Soonyoung melanjutkan perkataannya.
"Ah iya. Aku lupa mengatakan kalau Mingyu ikut kesini. Kajja!" Jihoon kembali bersemangat mengingat salah satu seniornya yang selalu tersenyum ceria itu.
Mingyu.
Mendengar Soonyoung dan Jihoon menyebutkan nama Mingyu, tubuh Wonwoo kembali bergetar hebat. Tatapan matanya tidak terfokus dan genggamannya pada tangan kanan Jihoon semakin erat. Jihoon merasakan hal yang aneh terjadi pada sahabatnya ini, tapi dia tidak tahu apa alasannya.
Wonwoo POV
Perkenalkan, aku Jeon Wonwoo, 20 tahun. Aku seorang pemuda biasa dengan tampang yang boleh dikatakan pas-pasan (kalau menurutku), tapi ternyata menurut orang lain wajahku lumayan tampan dan ada beberapa juga yang mengatakannya cantik. Aish, aku ini namja ya, masa dibilang cantik. Suatu hari, sebuah agensi model ternama menawariku untuk menjadi salah satu model untuk majalah remaja. Ya, walaupun aku tertarik untuk menerimanya, tetapi ternyata ibukulah orang yang paling bersemangat. Beliau mengatakan padaku bahwa ini adalah kesempatan bagus dan jangan sampai disia-siakan. Beliau bahkan memprediksi bahwa aku akan menjadi salah satu model yang terkenal di kemudian hari. Aku sangat berharap perkataan ibuku ada benarnya.
Jadi, aku memutuskan untuk pergi ke gedung agensi yang tertera di kartunama yang ditawarkan oleh salah seorang staff disana. Tentu saja aku tidak pergi sendirian waktu itu. Saat itu aku masih sangat muda (umurku masih 18 tahun waktu itu). Sangat teringat jelas di pikiranku saat pertama kali aku menjalani audisi. Bagaimana tidak? Saat itu baru pertamakalinya aku berjalan dengan beberapa pasang mata yang terus mengawasiku. Bukan hanya berjalan, tapi juga berputar dan bergaya. Hal-hal sepele yang bahkan tak pernah kuperhatikan saat hari-hari biasa. Iya lah, siapa juga yang terlalu menaruh perhatian dalam berjalan. I just walk the way I want, that's it.
"Anakku, kau berhasil nak!" ibuku yang super duper bahagia saat itu langsung mengacak-ngacak rambutku kemudian memelukku di depan banyak orang yang tengah berseliweran di kantor. Aku hanya bisa menghela napas melihat tingkah kekanakan ibuku.
Ok, itulah saat pertamaku menjadi seorang model. Jauh di lubuk hatiku aku sangat bahagia, namun aku tak pernah menyedari bahwa menjadi seorang model juga akhirnya akan membuatku terjebak dalam kesedihan yang teramat. Bukan hanya kesedihan yang bisa diselesaikan dengan menangis semalaman, atau berteriak sekencang-kencangnya ataupun melampiaskan kesedihan pada orang terdekat, namun kesedihan yang membuatku terkungkung, jatuh, hancur dan berantakan.
Tanganku tetap mencengkeram erat lengan Jihoon. Aku tidak ingin melepaskannya. Apalagi setelah mendengar namanya disebutkan oleh kedua sahabatku itu. MINGYU. Aku tak tahu, kenapa hanya dengan mendengar namanya saja aku bisa seperti ini. Namanya bagaikan mantra yang bisa membuatku bergetar dan merinding secara bersamaan. Namanya bagaikan mantra kematian Avada Kedavra pada kisah Harry Potter yang membuatku bergidik ngeri, jantungku berdebar-debar tak karuan dan keringat dinginku mulai mengucur deras.
Sambil berusaha keras untuk tersenyum kecil dan menggelengkan kepalaku beberapa saat, aku meyakinkan Jihoon bahwa aku baik-baik saja. Pemuda berambut pink yang berdiri di sampingku sedikit meremas tanganku dan memberikanku sedikit kepercayaan diri. Dibantunya aku berdiri. Aku sangat berterimakasih pada sahabat favoritku yang satu ini karena ia selalu tahu saat aku ingin membagi cerita atau saat aku tidak ingin membicarakan sesuatu.
"Whenever you are ready, just tell me, ne?" dia mengusap punggungku perlahan berusaha membuatku nyaman dan tenang.
"Come on, Mingyu waiting for us outside," Soonyoung yang berambut brunette berkata, mengingatkan bahwa seniorku sedang menunggu diluar. Jihoon tetap berada di sisiku sedangkan Soonyoung ada di sisi satunya membimbingku keluar dari hotel terkutuk itu.
Keluar dari hotel, aku langsung bisa melihat wajahnya. Dari jarak ini, wajahnya terlihat berseri. Hanya saja seringaian di wajahnya masih belum hilang, dan alis mata tebal yang menghias wajahnya membuatnya tampak menyeramkan bagiku. Langsung saja aku menundukkan kepalaku dan seketika itu seringaiannya berubah menjadi lebih tajam ditandai dengan alisnya yang terangkat satu dan senyumnya yang tidak tulus. Aku sangat membenci hal itu.
"I'm sorry Mingyu-ah, kami telah membuatmu menunggu," Jihoon meminta maaf pada seorang pria tampan di hadapan kami.
"It's okay. I don't have any schedule though. Come on, we should go and I'll treat you breakfast," katanya. Tangan kirinya masih berada di atas stir sedangkan tangan kanannya melambai memberikan tanda pada kami untuk segera masuk ke dalam mobil.
"That's a good idea," Soonyoung membuka pintu mobil dan langsung duduk di sampingnya.
"Wonwoo hyung, don't you think so?"
How dare this guy calling my name after what he did to me last night. How dare he kept on smiling in front of my face. Aku tidak menjawab pertanyaannya sama sekali. Aku muak melihat wajahnya. Bukan hanya muak, aku takut setengah mati padanya. Aku duduk di kursi belakang bersama Jihoon yang kemudian langsung menggenggam tanganku yang terus-terusan berkeringat dingin.
Ketika mobil yang kami tumpangi mulai bergerak, tiba-tiba aku berbisik pelan, namun cukup terdengar oleh semua penumpang,"Tolong antarkan aku ke rumah." Jihoon dan Soonyoung langsung menatapku sambil melotot mendengar permintaanku yang aneh ini. Hanya Mingyu yang tetap tersenyum.
"Okay, if that what you really want Wonwoo hyung," dengan suaranya yang berat, ia menyatakan kesediaannya untuk mengantarku pulang ke rumah.
I don't know why I'm like this. I just want to be alone. I just want to cry out loud. I just to wash this pain away. It hurt me so much. Perjalanan ke rumah sangat hening. Tak ada siapapun yang berbincang dan bercakap. Hanya Jihoon dan Soonyoung yang sesekali melirik satu sama lain seolah memberikan sinyal-sinyal yang hanya mereka berdua yang tahu artinya.
Hal pertama yang kulakukan setelah sampai di apartemen adalah pergi ke kamar. Kututup pintu kamar dan aku berjalan menuju kamar mandi. Dengan menarik napas dalam-dalam aku melepas semua pakaian yang kukenakan ke keranjang pakaian di sudut ruangan. Kunyalakan air yang langsung meluncur deras ke seluruh tubuhku. Air dingin yang keluar dari gagang shower meluncur dari ujung kepalaku menuju ujung kakiku. Kupejamkan mataku merasakan sensasi yang menyegarkan yang menghapus kotoran dari tubuhku. Aku merasa sangat kotor saat ini. Tanpa terasa, air mataku turut meluncur bersama air yang membasuh tubuhku.
Beberapa menit kemudian ketika aku hendak mengambil botol sampo yang terletak di atas rak kosmetik, sepasang lengan kekar melingkar di pinggangku. Aku terkejut bukan kepalang saat orang di belakangku menghembuskan napas persis di samping telingaku, membuatku merinding. Suaranya yang agak berat membuatku sulit untuk menelan ludah.
"Kenapa kau menolak tawaranku Wonwoo hyung?" setelah berkata demikian, tangan kotornya mulai turun ke perutku dan mulai meraba otot-otot perutku yang langsung menegang dan membuat tangan nakalnya menjamah bagian-bagian sensitive itu.
"A...aku...," rasa sakit itu datang lagi, rasa sakit yang sangat hingga ke dasar hatiku membuatku mulai terisak.
"Are you crying right now?" tangan besarnya terus turun ke bagian bawah tubuhku menuju pinggulku dan mulai mengelusnya perlahan. Dengan sangat ahli ia terus memijat pinggulku kemudian beralih ke pahaku.
I can't hold my moan back, dengan sangat terpaksa aku bersandar ke pundak lebar milik Mingyu. Tubuhku benar-benar mengkhianatiku. Bagaimana bisa aku membiarkan orang ini menyentuhku lebih dari sekali? Bagaimana bisa tubuhku menikmati sensasi sentuhannya di tubuhku? Seharusnya aku membenci orang ini, bukannya menikmatinya.
"Like what you feel?" his hot breath send a shiver through my whole body. My eyes widen in shock when Mingyu hands playing with my cock.
"Mingyu-ah... stop... stop... please stop it," aku mencengkeram lengannya, berusaha menghentikan peerbuatan gilanya. Cukup sudah dia memperkosaku satu kali. Aku tidak ingin dia melakukan hal yang sama padaku untuk kedua kalinya.
"Stop it? Are you sure?" his fingers playing with my balls and that makes me feel the heat all over my body start to rise.
"I know you like it. Stop pretending that you didn't like it. Just moan my name you bitch!" with that, Mingyu slap my sore ass.
The stinging pain make my legs going weak. Is this man a monster? Didn't he know that my ass sore like hell, still he slap it.
"Mingyu-ah... let me go... please...," sekarang aku benar-benar memohon padanya.
Apa yang kudapat dari permohonanku sama sekali bukanlah kebebasan. Justru dia mendorong tubuhku ke dinding di seberang kamar mandi. Dia mengenggam erat pergelangan tanganku dan membawanya ke atas kepalaku hingga aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dadaku menempel pada dinding yang dingin dan beberapa saat kemudian kurasakan dada bidang Mingyu merapatkan posisinya persis di belakang punggungku. Lidahnya yang sangat berpengalaman mulai menjilati bagian belakang leherku. Dia mulai menghisap kulit di daerah leherku sehingga menimbulkan hickey merah keunguan yang agak besar.
"Ahh... Gyu...gyu...," my cock become hard because of his action.
"Call my name!" I feel his hard cock poking my ass. Aku baru menyadarinya, bagaimana bisa ia masuk ke dalam kamar mandiku, telanjang pula. Karena kebodohan dan keteledorankulah ia bisa datang kemari dan memperkosaku lagi
"Gyu... Mingyu... Mingyu-ah," he shoved his hard chock in to my hole. Shit. It's too much.
"Good boy," dia melesakkan kejantanannya seperti binatang tanpa berpikir apakah aku sudah menyesuaikan ukurannya dengan otot-otot dalam tubuhku atau tidak. Ini benar-benar sakit dan dia sama sekali tidak berhenti mengerjaiku. Air mata terus mengalir di pipiku.
Mingyu menggigit seluruh kulit di bagian leher dan pundak sehingga bagian itu penuh dengan hickey. Setelah beberapa kali menusukku, kurasakan perutnya menegang dan ia menyemprotkan spermanya ke dalam tubuhku. Setelah itu ia dengan kasar melepaskan cengkeramannya pada pergelangan tanganku. Tanpa dosa, ia berjalan ke bawah shower dan mulai membasuh tubuhnya sedangkan aku terbaring di lantai dingin kamar mandi menahan rasa sakit. Kurasakan beberapa saat kemudian pandangan mataku mengabur dan aku pingsan.
