Happy birthday, Sayo-san~

Yah, selain sebagai bentuk perayaan ultah doi, sudah lama juga aku ingin banget nulis oneshot OTP yang fluff banget ini UwU

Walau kayaknya bakal banyak shipper SayoHina garis kerad yang bakal ke-triggered, sih ya... ahahaha

Sorry not sorry~ *insert 'ehe'-nya Cute Girl*


My Sweet Squirrel

"Haaah…" aku menghela napas, berharap rasa penat baik di kepala maupun pundakku berkurang dengan itu.

Gadis bersurai coklat yang mensejajarkan langkahnya denganku sejak tadi pun menoleh kepadaku, lengkap dengan dahinya yang mengernyit karena mengkhawatirkan keadaanku.

"Sayo-san, tidakkah sebaiknya kita istirahat dulu?" saran gadis yang merupakan kekasihku itu, Hazawa Tsugumi-san.

Aku menepuk-nepuk pundak kirinya. "Tidak apa-apa, kita lanjut saja jalannya. Lagipula aku sudah duduk dalam waktu lama selama kelas tambahan tadi."

"Oh ya, ngomong-ngomong kita mau ke mana?" tanyaku.

"E—eh? Apakah aku lupa mengatakannya?" Hazawa-san tampak panik. "Rasanya tadi aku sudah bilang kalau kita akan mencari hadiah white day yang sudah telat lima hari untuk teman-temanku di Afterglow juga teman-teman Sayo-san di Roselia."

Ah, gawat… bisa-bisanya konsentrasiku teralihkan saat dia menjelaskan destinasi kami hari ini. Gumamku.

"Maaf ya, Hazawa-san…" ucapku merasa bersalah. "Sepertinya aku sedang melamun saat kamu menjelaskannya sebelum kita berangkat tadi."

"Ah, ti—tidak apa-apa, kok, Sayo-san!" ujar Hazawa-san. "E—etto…"

"Hmm?"

"Bagaimana kalau kita makan sore dulu? Tadi siang aku hanya asal makan saja, jadi perutku masih…" ujarnya malu-malu.

Aku tersenyum simpul. "Boleh, kebetulan aku juga lapar. Apa ada restoran yang kamu rekomendasikan?"

Manik coklatnya tampak berbinar-binar mendengar jawabanku.

"Ayo, Sayo-san~! Aku tahu tempat makan yang enak dan murah di dekat sini!" serunya semangat sambil menarik lenganku.

Aku terkekeh pelan. "Iya, iya… pelan-pelan saja, ya, Hazawa-san."


"Ah, perutku kenyang sekali…" ucap Hazawa-san sambil bersandar pada sandaran kursinya.

"Kecil-kecil ternyata makanmu banyak juga, ya?" godaku.

"Bi—biasanya porsiku jauh lebih sedikit dari ini…" jawabnya lengkap dengan wajahnya yang merona. "Hari ini ada banyak kegiatan di OSIS jadi energiku rasanya seperti terkuras habis…"

"Itu artinya otsukaresama untuk kita berdua hari ini." Kataku sambil mengelus kepalanya.

Hazawa-san sesaat terdiam, mungkin kaget karena tiba-tiba aku mengelusnya seperti itu.

"Ah, maaf…" ucapku sambil menarik lenganku.

Namun tiba-tiba Hazawa-san menangkapnya. "Tidak apa-apa, Sayo-san."

"Eh?"

"Aku akan sangat senang jika Sayo-san menyentuhku lebih lama lagi…" rajuknya lengkap dengan ekspresi malu-malu tapi mau khasnya.

Ya ampun, apa-apaan ekspresinya tadi itu? Manis sekali… gumamku.

"Sayo-san, ada apa?"

"A—ah, bukan apa-apa, kok, Tsugumi-san!" jawabku salah tingkah.

Sekarang dia terkejut lagi.

"Barusan Sayo-san memanggil namaku?"

"Ah, umm… iya, karena latah, sih…" jawabku gugup.

"Kalau begitu apakah aku harus membuat Sayo-san kaget dulu supaya Sayo-san memanggilku 'Tsugumi-san'?" ekspresinya tampak muram.

Sepertinya dia sudah sangat lama menantikan momen ini, ya?

Aku menghela napas. "Tenanglah, untuk seterusnya aku akan berusaha memanggilmu dengan namamu, Tsugumi-san."

"Orang-orang yang kupanggil langsung dengan nama kecilnya paling jumlahnya hanya hitungan jari." Ujarku sambil memainkan rambutku, menahan malu. "Berbanggalah karena kamu telah masuk ke daftar orang-orang spesial itu."

Tsugumi-san tertawa lepas. "Ahahahaha~!"

"A—apakah aku mengatakan sesuatu yang aneh?" tanyaku bingung.

"Bukan begitu, aku hanya kaget karena Sayo-san tiba-tiba pandai merayu."

"Me—merayu apanya? Aku hanya membalas rayuanmu tadi, kok…"

"E—eh? Yang mana?"

Aku berdehem. "Saat kamu berpikir harus mengagetkanku terlebih dahulu supaya aku memanggilmu 'Tsugumi-san'."

"Dasar, sepertinya aku memang harus meminta tolong Shirasagi-san untuk menegur pacarnya, si Seta-san pangeran gombal itu…" dengusku.

"Mouuu… aku enggak diajari yang aneh-aneh sama Seta-senpai, kok!" Tsugumi-san menggembungkan pipinya.

Ya Tuhan, dia benar-benar terlihat seperti seekor tupai sekarang.


Usai makan, kami pun melanjutkan perjalanan. Mata Tsugumi-san terus terpaku pada bath&body shop yang baru saja kami lewati. Kalau dideskripsikan kakinya tetap melangkah maju, sedangkan kepalanya terus menoleh memandangi lekat-lekat toko itu.

Aku terkekeh. "Mau mampir dulu enggak ke sana?"

Matanya lagi-lagi berbinar-binar saking senangnya. "Eh? Bolehkah?!"

"Dasar, padahal kamu tinggal jujur saja kalau segitu inginnya." Desahku. "Jangan-jangan kamu masih merasa sungkan denganku?"

"Bu—bukan begitu… aku hanya takut Sayo-san akan marah kalau aku minta mampir-mampir dulu, gitu…" ujarnya.

"Tsugumi-san terlalu khawatiran, ya?" komentarku. "Justru dengan banyak mampir, waktu kita bersama akan terasa lebih lama, 'kan?"

"Sayo-san…" dia terperangah. "Unn, Sayo-san benar! Jadi, umm… ayo?"

"Hihihi, ke mana semangatmu yang tadi?" gelakku. "Masih salah tingkah karena ucapanku barusan, ya?"

"Mouuu… berhenti menggodaku, Sayo-san!" rajuknya. "Sayo-san terlalu lama bergaul dengan Chisato-san, nih!"

"Oh iya, dong~ 'kan kami sesama pecinta anjing~" balasku sambil mengedipkan sebelah mata.


"Uwaaaah… sugoi!" Tsugumi-san tampak terkagum-kagum begitu sampai di rak bath bombs.

"Kemasannya benar-benar manis, ya?" kataku.

"Tidak hanya itu! Ternyata toko ini punya koleksi bath bombs yang berbeda dari toko-toko yang biasa kukunjungi, lho!" jelas Tsugumi-san dengan berapi-api.

"Fufufu, santai saja memilihnya, Tsugumi-san~" ucapku sambil mengelus kepalanya.

"Nee, Sayo-san?"

"Iya?"

"Karena sebentar lagi larut malam, bagaimana kalau Sayo-san menginap saja di rumahku?" tawar Tsugumi-san sambil menutupi sebagian wajahnya dengan bath bomb.

"Hmm, besok memang sudah akhir pekan sih, ya?" kataku sambil menggaruk tengkuk. "Kalau begitu, aku kabari Hina dulu, ya."

Aku pun lekas menelepon Hina dan menjelaskan tentang tawaran Tsugumi-san tadi.

"Oh, enggak apa-apa, kok, onee-chan!" jawab Hina. "Sekarang aku juga lagi di rumah Aya-chan!"

"Kamu enggak pulang?" tanyaku.

"Kayaknya aku bakal menginap saja, deh." Ujar Hina. "Aya-chan sejak tadi menahanku supaya jangan pulang, enggak tahu tuh kenapa."

"Katanya ada sesuatu yang ingin Aya-chan berikan padaku malam ini dan di sini juga, onee-chan kira-kira tahu, enggak?"

"Kalau aku tahu dan memberitahukannya padamu, kasihan Maruyama-san yang sudah repot-repot memikirkannya, 'kan?" balasku. "Hargai niat baiknya, kamu menginaplah di sana."

"Oke! Terima kasih, onee-chan! Bye bye~!"

Sambungan telepon pun diputusnya.

"Bagaimana?" tanya Tsugumi-san.

"Boleh, kok." Jawabku sambil tersenyum simpul.

"Sayo-san enggak bilang juga ke orangtua Sayo-san?"

"Hmm… orangtuaku sedang dinas ke luar, sih…" ujarku. "Seminggu ini di rumah hanya ada aku dan Hina."

Tsugumi-san tersenyum lebar. "Akhirnya, Sayo-san akan menginap di rumahku untuk pertama kalinya~"

"Kamu benar-benar menantikannya, ya?"

"Tentu saja, apalagi…" wajahnya merona.

"Apalagi?"

"Apalagi aku bisa kesampaian untuk mencoba bath bomb bersama Sayo-san."

'Mencoba bath bomb bersamaku'? Aku mencoba mencerna kata-katanya. Err… tunggu, jangan-jangan maksudnya.

"Mandi bersama Sayo-san…" gumam Tsugumi-san pelan seperti sedang berbisik pada dirinya sendiri.

Aku mengatur napasku, berusaha tenang.

"Nah, kalau begitu apa ada bath bomb baru yang ingin kamu coba? Biar aku yang traktir." tawarku kemudian.

"E—eh? Jangan begitu, aku jadi merasa enggak enak sama Sayo-san nanti…"

"Tidak apa-apa." Potongku. "Ayo, pilih saja kamu mau yang mana."

"Ba—baiklah, kalau begitu… terima kasih banyak, Sayo-san." Ucap Tsugumi-san sambil memasukkan dua jenis bath bomb ke dalam keranjang belanja.


Begitu sampai di kediaman Hazawa, aku disambut dengan baik oleh kedua orangtua Tsugumi-san. Yah, meskipun kami tidak mengatakan bahwasanya kami menjalin hubungan lebih dari sekedar sahabat, sih.

Usai makan malam bersama, aku dan Tsugumi-san pun mengucap selamat malam pada kedua orangtuanya kemudian kami pun berlalu ke kamar Tsugumi-san.

Ah, aromanya benar-benar khas Tsugumi-san… gumamku sambil memejamkan mata begitu sampai di kamarnya.

"Ada apa, Sayo-san?" tanya Tsugumi-san sambil menyiapkan handuk dan pakaian ganti untukku.

"Tidak apa-apa, aku hanya tertegun melihat suasana kamarmu." Jawabku seraya duduk di karpet dan menyandarkan punggungku pada ranjang.

"Umm… maaf, berantakan, ya?" tanya Tsugumi-san malu-malu.

Aku menggeleng kemudian Tsugumi-san menghela napas lega.

"Karena sudah 15 menit setelah kita makan, kurasa makanan di perut kita sudah turun." Ujarku. "Mau mandi sekarang saja atau bagaimana?"

"Bo—boleh…" Tsugumi-san mengiyakan sambil memeluk erat peralatan mandinya.


Begitu masuk ke kamar mandi, Tsugumi-san memasukkan bath bomb ke dalam bath tub yang sebelumnya sudah diisi air sampai penuh.

"Kita membersihkan tubuh saja dulu sembari menunggu bath bomb-nya larut merata di dalam bath tub." Ucapnya sambil membuang kertas kemasan ke tong sampah di bawah wastafel.

Ah… jantungku berdebar kencang. Meski aku cukup sering mandi bersama para member Roselia saat kami mengadakan training camp, ternyata rasanya memang beda ketika mandi bersama gadis yang kusukai.

Selama membersihkan tubuh masing-masing, kami saling diam. Entah karena tidak tahu harus mengobrolkan apa, atau mungkin rasa malu dan canggung yang sejak tadi terus menghinggapi. Wajar saja, ini adalah pertama kalinya kami berduaan tanpa sehelai pun benang yang menempel.

"Ano… aku masuk ke bath tub duluan, ya." Kataku.

"Oh iya, silahkan, Sayo-san."

Tidak lama setelah aku masuk, Tsugumi-san menyusul dan berendam dengan duduk berhadapan denganku.

"Ma—maaf, ya… jadi sempit begini." Ucap Tsugumi-san canggung.

"Tidak apa-apa, sudahlah… jangan terlalu cemas, Tsugumi-san."

Kemudian kami saling diam lagi.

"Kita benar-benar sudah jadian, ya?" celetuk Tsugumi-san.

"Umm… iya, kenapa tiba-tiba?" tanyaku bingung.

Tiba-tiba raut mukanya menjadi muram. "Karena di dalam interaksi kita tidak banyak yang berubah makanya kupikir Sayo-san tidak terlalu menganggap status hubungan kita dengan serius..."

Aku mengernyitkan dahi. "Maksudnya?"

"Bu—bukan apa-apa!" pekik Tsugumi-san sambil bangkit kemudian membilas tubuhnya dan buru-buru meninggalkanku.

Apa aku mengatakan sesuatu yang salah? Pikirku.


Begitu selesai berpakaian, aku pun kembali ke kamar Tsugumi-san. Dadaku mencelus ketika aku mendapati tupai kecilku itu duduk di pinggir ranjang sambil menunduk lesu. Aku pun duduk bersimpuh di depannya dan menggenggam kedua tangannya.

"Maafkan aku, Tsugumi-san…" ucapku. "Karena aku sama sekali tidak paham dengan apa yang kamu maksud di kamar mandi barusan."

Tsugumi-san cepat-cepat menggeleng. "I—ini salahku… padahal seharusnya aku tahu Sayo-san tidak akan mau melakukannya sampai ke tahap itu."

Kemudian dia buru-buru menutup mulutnya karena sadar telah keceplosan.

"Tahap itu? Tsugumi-san, kalau kamu ngomong setengah-setengah begini aku tidak akan pernah paham apa yang kamu maksud."

Aku mendongakkan kepalaku, kulihat dia mulai menangis. Astaga, apakah aku terlalu menekannya?

Aku pun bangkit dan spontan memeluknya erat.

"Sayo-san… Sayo-san…!" isaknya.

Lalu aku membelainya lembut. "Tidak apa-apa, menangislah dulu sepuasmu."

Setelah tangisannya agak mereda, aku pun menuangkan teh hangat ke cangkir yang sebelumnya sudah diletakkan oleh ibunya saat kami mandi tadi.

"Silahkan, Tsugumi-san." Kataku sambil menyodorkan cangkir bagiannya ke hadapannya.

Tsugumi-san meraih cangkir itu dan menyesapnya perlahan. Kemudian, aku duduk di sampingnya dan mulai mengusap punggungnya.

"Maaf, kalau aku menyakitimu…" sesalku.

Tsugumi-san meletakkan kembali cangkir ke atas meja kemudian menyandarkan kepalanya ke pundakku.

"Sayo-san, aku sangat menyukaimu." Ujarnya.

"Terima kasih, aku juga menyukaimu, Tsugumi-san." Balasku sambil merangkulnya.

"Apakah di dalam benak Sayo-san tidak pernah terlintas untuk menyentuhku lebih dari berpegangan tangan dan pelukan…?"

"Umm… misalnya?"

"Berciuman."

Aku agak kaget mendengarnya. Baru kali ini aku melihat sisi Tsugumi-san yang seperti ini. Berciuman katanya? Kenapa tiba-tiba dia seperti ini?

"Apakah kamu diremehkan teman-temanmu karena kita tidak pernah melakukan kontak fisik yang lebih intim?" selidikku.

Ah, seharusnya aku enggak usah berkata begitu…

"Ini murni keinginanku sendiri, Sayo-san." Tsugumi-san menatapku lekat-lekat.

"Tapi… kenapa?"

"Karena aku ingin lebih mengenal orang yang kucintai lebih dari sekedar saling bertukar pikiran."

Dasar tupai kecilku ini…

"Baiklah, namun aku tak akan menahan diri, Tsugumi-san." Kataku kemudian sambil menyingkap rambutnya.

Tsugumi-san memejamkan matanya, pasrah dengan apa yang akan kulakukan terhadapnya. Aku menelan ludah dan mulai mempersempit jarak di antara wajah kami. Bibir kami pun bersentuhan. Seharusnya begini pun cukup, 'kan? Apa aku harus menunggu dulu selama beberapa detik baru kemudian menyudahinya?

Tiba-tiba kedua lengan Tsugumi-san memeluk tengkukku, seolah ingin ciuman ini berlangsung lebih lama. Aku membuka sedikit mataku. Tsugumi-san tampak menikmatinya walau bisa kurasakan napasnya yang tercekat karena tidak ingin sampai menghembuskan napasnya di depan wajahku.

Aku pun melepasnya sejenak agar dia bisa menghirup udara terlebih dahulu.

"Sa—Sayo-san…"

"I—iya?"

"Kumohon…"

Dia berbaring dan menarik lenganku hingga membuat posisi kali ini menjadi aku membawahinya. 'Kumohon' katanya? Apakah dia masih menginginkannya?

Benar, untuk apa aku menahan diri? Kami adalah sepasang kekasih, 'kan? Ini hal yang wajar, 'kan…?

"Sayo-san…?"

Aku malah berbaring di sampingnya sambil membenamkan wajahku ke bantal.

"Sudah kuduga, aku memang belum bisa melakukannya…" desahku.

"A—ah, memang terlalu cepat untuk kita, ya? Ahahahaha…" Tsugumi-san tertawa dengan canggung.

"Tapi… terima kasih, Sayo-san." Lanjutnya sambil menyentuh bibirnya. "Aku benar-benar senang."


Jam besar di ruang keluarga berdentang, menandakan sudah tengah malam.

"Wah, sudah pergantian hari, ya?" kata Tsugumi-san sambil mengambil sesuatu di balik bantalnya.

Dengan senyumnya yang hangat dia menyodorkan kotak kado dengan bungkus yang warnanya senada dengan rambutku itu ke depanku. "Selamat ulang tahun, Sayo-san!"

Aku cukup terkejut. "Terima kasih, boleh kubuka sekarang kadonya?"

Tsugumi-san mengangguk.

Dalam kotak itu aku mendapati krim untuk pelembab tangan dan pick gitar baru.

"Ahahahaha, maaf, ya… padahal hadiahnya hanya ini, tapi aku sampai membuatmu menginap di rumahku…" ucap Tsugumi-san sambil menggaruk tengkuk.

Aku pun mengecup keningnya. "Terima kasih banyak, akan kugunakan semua ini baik-baik."

Tsugumi-san menyentuh keningnya sambil tersenyum kecut. "Dasar, sekarang sudah bisa menyerangku tiba-tiba, nih?"

Aku hanya tertawa mendengarnya.

Dasar, curang… kalau kamu begini, yang ada aku akan semakin jatuh hati padamu, 'kan, tupai kecilku yang manis?


Maap, yak... enggak sampai ena-ena wik-wik-wik skidipapap chips ahoyy~ ehe