A/N
Hai!
Kadang saya berpikir, apa jadinya jika FFXIII bertemu zombie?
Karena pikiran saya jadi ke mana-mana, maka saya putuskan untuk menulis fanfic FFXIII dengan bumbu zombie.
WARNING!
Character's death dan gore.
Pairing? Kita lihat saja nanti *smirk*
xxx
DISCLAIMER: I own nothing, but the plot and writing.
xxx
CHAPTER 1
Sekujur tubuh Lightning berguncang hebat. Guncangan itu tersalur ke lengan dan pistol 9mm yang dia todongkan. Moncong benda itu bergoyang. Kanan-kiri dan atas-bawah, kadang berputar sendiri. Seisi kamar juga ikut berpusing. Seluruh warna tercampur aduk seperti cat-cat dalam palet.
"MUNDUR!" dia menjerit. Telunjuk kanannya menempel pada pelatuk pistol. "Aku … aku…."
Sosok di hadapannya tetap mendekat perlahan. Satu kakinya diseret, kepalanya tengadah. Dia mengulurkan kedua tangan pada Lightning, berusaha menggapai. Mulutnya yang ternganga menampakkan barisan gigi-gigi cokelat keropos. Lenguhan mirip hewan kesakitan menggantikan suara indah yang dulu selalu terngiang di telinga Lightning. Mata yang tadinya biru kristal, penuh cinta dan kepolosan, kini sepenuhnya berwarna putih susu. Darah merembes ke perban yang membebat lengan kirinya. Kalau bukan karena pakaiannya—blus putih dan rok mini merah—Lightning tidak akan menyadari jenis kelaminnya. Dan kalau bukan karena gelang kulit di lengan kanannya, Lightning tidak akan mengenal makhluk itu.
"Lightning, turunkan pistolmu!" Snow memperingatkan untuk kesekian kalinya. Pemuda itu berdiri di samping Lightning. Satu tangannya terulur seperti hendak menyambar pistol Lightning.
"Dasar idiot! Kau mau mati?!" Lightning menghardik tanpa beralih dari sosok di depannya. Jarak di antara mereka semakin tipis, semakin intim. Jantung Lightning berdegup kencang di dada, dan perutnya melilit. Otot-otot di seluruh tubuhnya sudah menjerit padanya agar dia kabur saja, daripada harus memuntahkan timah panas ke sosok itu. "Serah…. Serah sudah jadi…."
"Serah bukan zombie!" Snow menyentak. "Dia adikmu. Kenapa kau tidak memercayainya?"
Jelas, inilah alasan Lightning belum menarik pelatuk pistol. Sosok itu, yang terjebak antara mati dan hidup, yang sekarang kian mendekat dan gapaiannya semakin liar, adalah adik Lightning.
"Serah…." Lightning menunduk memandang ujung sepatu bot cokelatnya. Dia menurunkan pistol, menimbang antara membuang atau menyimpannya lagi.
"Serah," ujar Snow, kedengaran sekali dia putus asa. "He-hentikan leluconmu, Serah. Ka-kau … kau bukan zombie. Kami tidak akan melukaimu, jadi … jadi, berhenti berpura-pura."
Lightning ingin sekali menonjok wajah Snow. Di saat genting begini, dia malah menganggap Serah sedang main-main? Apa dia terlalu goblok sampai tidak bisa melihat fakta yang tersaji sedekat ini?
Serah meraung, melenguh, menggeram.
"Tidak akan ada yang mati di sini. Benar, Lightning?" Snow bertanya.
Lightning tidak mungkin membunuh Serah, meski dia sudah menjadi monster. Serah adalah separuh jiwanya. Serah adalah alasan kenapa dia tetap hidup kala kehidupan itu sendiri membencinya. Jika Lightning kehilangan Serah, lebih baik dia ikut mati saja sekalian! Hidup tanpa Serah sama dengan bunuh diri perlahan.
Mendadak, terdengar entakan dari depannya. Lightning mendongak, dan terkesiap saat mendapati Serah sudah berlari cepat ke arahnya. Dilihat dari langkahnya yang cepat, dia tidak tampak sakit sama sekali. Serah malah seperti seseorang yang memiliki kecepatan ganda. Mata putihnya, kulit seungu mayat, serta tingkah yang benar-benar bukan Serah, seperti pecut bagi batin Lightning. Praktis, Lightning mengacung pistolnya ke kepala Serah, dan menarik pelatuk.
Peluru meluncur lurus ke dahi Serah. Tumbukkan timah mengebor kulit dan tengkorak Serah. Darah menghambur dari lubang yang tercipta, merah berkilau di bawah sorot lampu gantung. Dalam selang sedetik, Serah terjengkang ke lantai dengan bunyi buk keras. Darah terus mengucur dari lubang di dahinya, mengalir ke lantai dan membentuk lingkaran merah berbau karat. Rambut merah muda Serah terjuntai ke genangan darah. Dan gadis itu tidak bergerak lagi.
"SERAH!" Snow langsung melesat dan berlutut di samping Serah. Kedua tangannya mengambang di atas wajah gadis itu. "Oh, tidak! Serah! SERAH!"
Kedua tangan Lightning terkulai ke sisi tubuhnya. Matanya membeliak melebihi batas, sampai rasanya tidak akan kembali ke ukuran semula. Genggaman Lightning mengendur, dan akhirnya pistol berdebum ke lantai.
"Tidak, Serah!" Snow memeluk mayat Serah, lalu membenamkan kepala ke wajah gadis itu. Ujung rambut pirang jagung pemuda itu ternoda merah darah di wajah Serah. Badan besarnya menenggelamkan tubuh tanpa nyawa si gadis. "Serah…."
"Apa yang…." Lightning mengerjap. Dia memperhatikan tangannya. Ada gurat-gurat merah persis seperti yang ada di pegangan pistol. Namun, bukan itu esensinya. Tangan itu, tangan yang dulu selalu menggenggam tangan kecil Serah, selalu melindunginya dari anak-anak nakal, adalah tangan yang sama yang telah merenggut nyawanya. "Aku…. Serah…."
"KAU MEMBUNUHNYA!"
Lolongan Snow menyentak Lightning kembali ke masa kini. Dia melihat Snow menimang Serah. Wajah pemuda itu merah dan bersimbah air mata.
"Kau membunuh Serah, Bajingan!" tuduh Snow dengan racun dalam setiap suku katanya. "Kau membunuh adikmu sendiri!"
"Tidak!" Lightning menggeleng. "Aku tidak—"
"Kau menembak Serah, dan sekarang dia mati! Bajingan! Cewek jalang!" Tatapan mata biru Snow berkilat penuh dendam. Darah Serah terus mengalir ke pangkuannya, menggelapkan mantel putih Snow.
Lightning menyambar pistol dari lantai dengan kecepatan kilat, dan menodong ke hidung Snow. "BERHENTI MENUDUHKU, BRENGSEK!"
"TEMBAK AKU, JALANG! TEMBAK SAJA!" Snow menantang. "Lebih baik aku mati daripada kehilangan Serah! TEMBAK AKU!"
Dan itulah yang Lightning lakukan. Dia menarik pelatuk, dan timah panas melecut lagi.
Dor!
"Lightning?! Kau…." Snow menggeram. Lubang hitam dengan asap mengular terpatri di tembok di belakangnya, sejengkal dari telinga kanan Snow.
Mata Lightning perih. Air mata mengucur dengan sendirinya. Dalam satu gerak singkat, Lightning memindahkan sasaran tembak ke pelipis kanannya sendiri. Telunjuknya sudah menempel pada pelatuk. Jelas, dia sadar, satu gerak singkat akan menyarangkan peluru ke otaknya dan dia mati. Namun, mati kedengaran jauh lebih indah daripada harus memandang mayat Serah dan kolam darah yang semakin lebar.
"Oh, jadi sekarang kau mau bunuh diri?" Suara Snow sarat kebencian.
Lightning memejamkan mata, tidak sanggup harus melihat Snow dan sorot mata biru penuh tuduhannya.
"Seolah dengan begitu, Serah akan memaafkanmu! Kau monster! Kau pembunuh! Kau bahkan tidak bisa melindungi adikmu sendiri!"
TIDAK!
Digerakan rasa takut dan kemarahan, Lightning berbalik dan minggat tunggang langgang dari hadapan Snow. Kakinya nyeri, tapi tak senyeri jantungnya. Air mata yang tadi telah mengalir deras, kini nyaris identik dengan guyuran hujan.
Lightning terus berlari. Dunia di kanan-kirinya bergeser cepat bagai rentetan adegan film. Pertama ruang tengah apartemen Serah, lorong yang gelap, halaman depan, jalan raya tanpa tanda kehidupan, jalan raya lagi, dan puing-puing kota. Hanya ada mobil-mobil tanpa pengemudi, serta gedung-gedung kosong yang menyemarakan pusat Kota Eden malam ini. Bahkan hewan-hewan liar tak tampak batang hidungnya. Api berkobar di sana-sini, cipratan darah segar dan kering menodai aspal dan badan mobil ringsek di sudut-sudut pertokoan. Andai Lightning tidak sedang dalam kegelisahan dan kemelut rasa bersalah, dia pasti akan kabur kembali ke tempat Snow dan Serah. Hanya air mata yang menemani kesendiriannya malam ini.
Ketika energinya tandas, dia jatuh berlutut ke aspal basah di sebuah perempatan. Dinginnya aspal merambat ke lutut telanjangnya hingga ke ubun-ubun. Ditambah udara malam yang amat menusuk, Lightning yakin, dia akan mati membeku saat ini juga.
