[Senin]
'Ugh, gawat. Ke-kepalaku sa-sakit sekali!' seorang remaja lelaki tengah duduk dibangkunya dengan wajah pucat pasi. Helaian brunettenya menjadi klimis, penuh dengan keringat.
Tak ada yang mengetahui karena ia duduk di pojok belakang. Semua siswa disana hanya terfokus pada seorang sensei yang sedang mengajarkan nilai mutlak.
"He? Tsu-Tsuna! Ada apa denganmu?!" beruntung ada salah satu teman remaja yang dipanggil Tsuna tersebut menyadarinya.
"A-Aku tidak apa-"
BRUUK.
Tsuna sudah limbung dilantai.
.
.
.
Angin membelai pelan rambut Tsuna. Membuat sang brunette memejamkan matanya. Kota Namimori tampak dari sini. Hee? Heran? Ia sekarang bukan berada di UKS. Ia benci UKS. Begitu ia sadar dan bisa bergerak, Tsuna langsung meninggalkan tempat itu. Ia berada ditempat yang paling ia sukai diseluruh kota ini. Atap sekolahnya. Tsuna menyandarkan tangannya pada teralis sekolah. Tatapannya terlihat sedih.
"Penyakit ini, tak dapat disembuhkan lagi, aku-" Tsuna tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi.
"Hmh," Tsuna sontak menoleh, terdapat orang lain di depan pintu yang tersambung dengan bagian dalam gedung.
Sang brunette mencoba membuka mulutnya. "Siapa kau? Kau tak memakai seragam Namimori,"
Pemuda raven di depan pintu tersebut cukup tersentak kemudian menyeringai. "Belum pernah ada orang yang dapat melihatku,"
"Apa kau hantu?" tanya Tsuna. Setahunya dia tak memiliki kekuatan untuk melihat roh atau apalah itu.
"Aku? Hantu? Hmp, konyol. Aku jauh lebih tinggi dari pada mereka." Kata pemuda raven itu sembari melangkahkan kakinya. Mendekati Tsuna.
Tsuna tak mengerti maksudnya.
Pemuda raven itu sekarang tepat berada di depan Tsuna. Tsuna kikuk. Pemuda yang jauh lebih tinggi darinya yang pendek itu mendekatkan wajah ke telinganya.
"Aku-
.
.
.
Malaikat kematianmu,"
.
.
.
Title: "Why?!" "Because I Love You"
Rated : T
Genre: Angst, Romance, dll –w-
Warning : AU, shonen-ai, TYPOS, OOC, CHARA DEATH, Angst tapi ga sedih
Disclaimer: Amano Akira yang punya KHR, Kai cuma minjem chara
.
.
.
"Ha-Hahaha, kau pasti bercanda," Tsuna memundurkan tubuhnya.
Sang raven memutar bola matanya. Pertanda ia tak bercanda.
Tsuna mengetahuinya, "Apa kau akan mengambil nyawaku sekarang?"
"Tidak, tapi seminggu lagi." Katanya. "Dan ada satu hal yang membuatku tertarik."
"Hee? Apa itu?" tanya sang brunette. Berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Dirimu yang bisa melihatku." Pemuda tersebut nyandarkan punggungnya pada teralis.
"Memang kenapa?"
"Hanya ada satu manusia didunia ini yang dapat melihat malaikat. Dan itu kamu. Heh, menarik"
"Siapa namamu?" Tsuna teringat sesuatu.
Pemuda tersebut menatap sang brunette. "Hibari."
Tsuna kembali kerumahnya diikuti oleh Hibari di belakangnya. Malaikat maut akan datang kepadamu dan akan mengikutimu seminggu sebelum kau mati. Itulah penjelasan dari Hibari. Tsuna mulai menerimanya.
"Tadaima!" terdengar pintu terbuka dan menampakkan kepala sang brunette.
"Okaeri! Tsu-kun!" seorang ibu dengan wajah ceria langsung datang menghampiri. "Mama masak ramen! Agar kau cepat sembuh!"
Tsuna tersenyum. Ia sangat bersyukur mempunyai ibu seperti orang dihadapannya tersebut. Kemudian ia melepas sepatunya dan masuk. Walau seluruh tubuhnya sakit, ia akan bertahan. Sampai hari itu datang.
"…" Hibari hanya menatap kepergian Tsuna dengan wajah datar.
Malaikat berbeda dari roh. Mereka terbuat dari cahaya. Seperti bintang yang berawal dari kumpulan cluster mungkin? Itulah yang dipikirkan oleh Hibari. Walaupun ia seorang malikat kematian, ia juga terbuat dari cahaya itu. Malaikat tak mempunyai perasaan. Mereka jauh lebih menyedihkan dari manusia.
Tsuna yang telah mengganti seragamnya dengan kaus berwarna hijau dan celana pendek langsung pergi ke meja makan. Wajahnya agak pucat. "Kaa-san,"
"Ya? Ah, kau mau teh, Tsu-kun?" Tanya Nana –nama dari ibu Tsuna-
"Um!" Tsuna hanya mengangguk.
Nana memberikan secangkir teh tersebut. Kemudian duduk di depan Tsuna.
Tsuna hanya tersenyum. Sembari menerima cangkir teh tersebut. Kepalanya terasa sangat berat.
DEG!
'Ga-Gawat!' Tsuna menekan dadanya. Pengelihatannya semakin kabur.
Nana yang membelakangi Tsuna langsung membalikkan badannya, "Ada apa Tsu-
BRUKK!
"TSU-KUN! TSU-KUN!"
Nana menghampiri Tsuna sambil menangis.
Hibari yang sedari tadi hanya berada dipojok ruangan hanya berbisik lirih.
"Melodrama akan segera dimulai,"
.
.
.
Tsuna mengerjapkan matanya. Mengatur intensitas cahaya yang masuk ke dalam matanya. Walaupun tempat itu tidak begitu terang. Warna putih langsung mendominasi pengelihatan Tsuna.
'Ah, aku dirumah sakit ya?' Tsuna menebak. Melihat sekeliling dan membenarkan hipotesanya sendiri.
"Tsuna!" suara yang akrab ditelinga Tsuna memasuki pendengarannya. Membuat empunya menoleh. "Syukurlah Kau sadar!"
"Tou-san," Ini mimpi'kan? Tou-sannya disini! Tou-san yang tak pernah pulang.
Disamping pria helaian mayonnaise –yang diketahui adalah ayah Tsuna- terdapat Nana yang sedang tidur dalam duduknya.
"Tou-san, okaeri." Suara Tsuna semakin melemah.
Mata Iemitsu berkaca-kaca. "Ya, cepatlah sembuh, Tsuna. Tou-san akan mengajakmu ke pantai, ya?"
Air mata Tsuna mengalir. 'Aku akan mati seminggu lagi, tapi-' Tsuna menghapus air matanya dengan selimut rumah sakit. "Ya, akan kutunggu, Tou-san,"
"Yosh! Tidurlah!" Iemitsu mengusap rambut Tsuna. "Sudah pukul sebelas malam. Tou-san akan membawa pulang ibumu ini,"
Tsuna mengangguk. "Hati-hati, Tou-san,"
Iemitsu telah menggendong Nana mengacungkan jempolnya. "Tentu!"
BLAM!
Setelah itumereka berdua keluar. Meninggal Tsuna sendiri. Ia menatap jendela. Nampak Hibari sedang duduk disana.
"Hei, Hibari-san," membuat Hibari menoleh. "Salahkah aku jika aku berdoa pada Tuhan, aku ingin hidup lebih lama."
Hibari tersentak.
Air mata Tsuna turun.
"Ini takdir Tuhan." Kata Hibari datar."Aku tak tahu."
"Aku, ingin hidup," suara Tsuna mulai parau. "Salahkah?"
Terlihat seperti anak kecil yang meminta permen kepada ibunya. Tsuna menarik baju khas shinigami hitam yang dikenakan Hibari. Ironis. Sudah berapa banyak waktu yang disia-siakan oleh orang lain dalam hal umur.
Manusia memang aneh. Mereka tak pernah mensyukuri sesuatu.
Tsuna berhenti menangis. "Kalau permintaan itu tak dapat kau kabulkan, tak apa."
Hibari mengernyit.
"Kalau begitu aku ingin kedua orang tuaku bahagia," Tsuna menatap mata Hibari.
Hibari tetap diam.
"Aku akan menunggu mereka disurga," Tsuna tersenyum dihadapan Hibari. Bekas air matanya masih terlihat jelas.
"Ya, semoga." Jawab Hibari. Ia tak tahu harus menjawab apa.
Pertemuan antara Tsuna yang bisa melihat malaikat. Hibari sang malaikat yang tak punya ekspresi dan dingin. Mempertemukan takdir yang rumit ini. Kegelisahan, air mata, tawa, pengorbanan. Inikah hidup?
.
.
.
To be Continued
A/N
*diglare sama readers*
KABOOORRRRRR!
Tsuna: Ka-Kai-chan! Tunggu!
e-etto, Kai bilang, HW sama Its tough, dia… err—lu-lupa jalan ceritanya!
Jadi? Mind to read and review?
