New York di malam hari tidak berbeda dari New York di siang hari, terlepas dari teriknya matahari yang membuat Jungkook harus berulang kali mengelap keringat. Pemuda berambut hitam itu menempelkan dahinya di jendela hotel, napasnya mengembun di kaca bening. Cahaya kota di bawah berkerlip sekian kali per sekian detik, terlihat mengejek langit yang tak berbintang—gelap dan tanpa cahaya.
Konser tadi sore megah dan meriah. 40 ribu penonton dan suara mereka yang memekakkan telinga. Tapi Jungkook sudah terlalu terbiasa dengan euforianya. Dibandingkan dengan konser paling pertamanya sembilan tahun lalu (dengan lima ribu lightstick dan puluhan lagu gubahan Yoongi), konser tadi tidak ada apa-apanya.
Jungkook memejamkan mata. Mencoba mengingat Busan, tanah kelahiran yang tidak pernah ia kunjungi lebih dari seminggu selama satu dekade terakhir. Namun yang terbayang di belakang kelopaknya malah Seoul. Seoul sebelum ini. Sebelum semua… kegilaan ini. Ketika Jungkook masih ternganga melihat gedung-gedung tinggi dan papan nama agensi musik 'tiga besar'. Ketika yang ia tahu dalam hidupnya hanyalah pengap kamar dorm dan lampu redup ruang latihan. Ketika masih ada tujuh dari mereka.
Pria 28 tahun itu membuka mata. New York masih terlukis gagah dihadapannya.
.
.
.
love looks good on you
duitkoin
.
Dengan malas, Jungkook menggonta-ganti channel. Televisi di hotel ini keluaran terbaru, speaker mutakhir dan layar yang bisa berganti filter dan semua teknologi terbaru yang dicuap-cuapkan di komersial dengan Jungkook sebagai bintangnya. Stasiun TV Korea yang tayang secara internasional menampilkan tayangan lebih lambat sebulan dari aslinya. Jungkook sudah menonton episode drama yang ini, yang Taehyung memutuskan lawan mainnya hanya untuk berbalikan lagi dua episode selanjutnya.
Jungkook tiba-tiba ingin tertawa. Lucu sekali mengingat ia mengetahui kabar Taehyung hanya dari drama yang dibintanginya padahal dulu mereka berbincang tentang setiap hal hampir di setiap waktu. Dari tujuh, hanya dua yang masih bisa di'monitor'i sementara sisanya berkutat di belakang layar—Taehyung salah satu dari dua itu. Jungkook sedikit bersyukur, setidaknya ia hanya tinggal menyalakan televisi jika rasa rindu tiba-tiba muncul. Lagipula, dari tujuh, Taehyung lah yang paling ia tahu kabarnya (Jimin juga, tapi bukan karena pria itu sering muncul di TV).
Setelah konser terakhir mereka sebagai grup yang penuh air mata, Jimin mendapatkan tawaran yang sama persis dengan yang Jungkook dapat: kesempatan untuk berkelana lebih lama di dunia hiburan—solo karir dan semua iming-iming tentang kartu kredit tanpa batas. Jika boleh jujur, sebenarnya Jungkook sedikit terkejut ketika tahu bahwa Jimin—orang yang tidak tahu apapun selain mikrofon dan panggung dan lampu merah kamera—menolaknya.
Aku tidak akan mampu bersaing dengan Jungkook di chart musik, 'kan?, candanya waktu itu. Tapi Jungkook tahu lebih baik, tahu ada alasan yang jauh lebih besar dari sekedar kekhawatiran menggelar comeback di saat yang sama dengan mantan anggota. Mungkin sesuatu tentang Jimin yang lelah dengan seluruh perhatian; semua mata dan telunjuk yang terarah padanya.
Yoongi yang paling mendukung, bilang kalau Jimin akan lebih berada dengan akademi tarinya dan café kecil di sudut Gangnam dibanding menjual wajah di depan kamera. Jimin hanya tertawa, bilang kalau ini bukan tentang uang, hyung.
Tapi Jungkook tidak mengerti. Selama ini ia pikir cita-cita terbesar Jimin adalah berdiri di atas panggung selama yang ia bisa.
Well, mimpi orang bisa berubah, Kook-ah, jawab Jimin setahun setelah pembubaran saat Jungkook berkunjung ke café pria yang sekarang rambut hitamnya tak pernah diwarnai itu. Mimpiku berubah di detik kita debut. Aku tidak lagi sekedar ingin berdiri di panggung selama yang aku bisa. Aku ingin berdiri di panggung sebagai member Bangtan selama yang aku bisa. Jadi ketika grup kita selesai, kupikir aku juga selesai hidup dalam mimpiku. Maksudku, aku sudah merasa cukup, kau tahu? Toh tidak ada penyesalan.
Jungkook tetap tidak mengerti saat itu. Bagaimana caranya agar ia bisa terbiasa dengan hidup sendiri di apartemen yang terlalu luas untuknya, padahal selama ini ia sudah sangat akrab dengan antrian kamar mandi dan giliran mencuci piring. Bagaimana caranya ia bisa tetap berhubungan dengan kakak-kakaknya, disaat masing-masing dari mereka sudah tidak tertempel siku-ke-siku; sudah tidak sejalan secara harfiah maupun tidak.
Jawabannya, Jungkook tidak bisa. Ia tidak bisa terbiasa dan mereka tidak bisa terus berhubungan.
Dengan kesibukan dan dunia yang berbeda, masing-masing dari mereka bertemu dengan banyak orang baru dan menjadikan salah satu dari yang banyak itu sebagai orang terdekat mereka yang baru. Jungkook sudah bersiap akan hal itu, ketika Bangtan bukanlah apa-apa melainkan sekedar nama dan kenangan samar-samar.
Tapi Jimin masih mengiriminya foto dirinya sendiri beberapa hari sekali, bahkan hingga sekarang. Foto-foto anak didiknya atau saat ia menghadiri premiere film Taehyung atau saat ia mengunjungi Yoongi di studio musik atau ketika Jimin mengantar Seokjin pergi wajib militer atau saat Namjoon dan Hoseok iseng mampir ke akademinya atau (yang Jungkook paling suka) foto-foto Busan—pantai, burung camar dan pasar ikan.
Terkadang jika Jungkook tidak dikejar jadwal pemotretan atau saat kantung matanya tidak sehitam biasanya, ia akan balik mengirimkan video. Diisi dengan keluhan kecil seperti hyung, aku lelah sekali, pre-recordingnya tadi diulang sampai tiga belas kali atau aku tadi pergi ke restoran seafood yang waktu itu dan aku mencoba menu yang selalu hyung pesan.
Di tengah-tengah kesibukan Jungkook, Jimin akan menyesuaikan waktunya agar mereka bisa berbicara via telepon—terkadang Jimin mengajak Taehyung, terkadang Hoseok.
Dengan Jimin, bubar atau tidak, hampir tidak ada bedanya. Dia masih berkomentar macam-macam saat Jungkook mendapat mandat sebagai MC spesial, masih mengingatkan Jungkook agar jangan diet terlalu ketat dan berhenti begadang. Jimin masih Jimin yang selalu ingin tahu semua tentang Jungkook, yang menganggap seinci pun perubahan di diri Jungkook akan terlalu sayang untuk dilewatkan.
Terkadang semua perhatian Jimin terasa menjengkelkan, terutama jika itu datang di sela-sela tur dunia atau puncak sebuah skandal. Tapi diam-diam Jungkook merasa bersyukur Jimin masih menghubunginya disaat Jungkook sendiri tidak pernah punya waktu untuk sekedar berusaha.
Dari tujuh, Jimin lah yang paling sering mengabari Jungkook (sejak dulu selalu begitu), tapi Jungkook tidak mengerti mengapa ia masih paling merindukan Jimin dibanding yang lain.
.
.
"Aku juga akan ke New York minggu depan, Kook, mengurus pertukaran pelajar akademiku. Hanya dua hari, tapi apa menurutmu kita bisa bertemu?"
"Entahlah, hyung. Setelah konser aku harus segera kembali ke Korea."
"Ah, begitu, ya?"
"Hm."
"Oke, tidak apa-apa. Kita bertemu lain kali saja."
"Ya, hyung."
"Hei, Jungkook?"
"Hm?"
"Aku merindukanmu."
Aku juga, adalah satu-satunya jawaban yang menggantung di ujung lidah Jungkook, tapi Jimin sudah terlebih dulu memutuskan sambungan.
.
.
Ketukan di pintu membuyarkan semua lamunan Jungkook tentang masa lalu.
"Jungkook-hyung?"
Jungkook tidak perlu menoleh untuk tahu itu manajernya. Tiga tahun lebih muda, Donghyuk masih 25. Dan terkadang rasanya asing sekali punya orang yang memanggilnya hyung disaat Jungkook sudah terlalu terbiasa dengan titel 'yang termuda'.
"Ya?"
"Aku hanya ingin memberi tahu kalau jadwal pesawat besok pagi diundur hingga setelah makan siang, jadi kita tidak perlu terburu-buru pergi." Suara Donghyuk tidak terdengar lebih keras, itu berarti dia masih berdiri di ambang pintu, tidak masuk lebih jauh ke kamar Jungkook.
Lucu sekali, padahal dulu manajer-hyungnya harus keluar-masuk kamarnya dan Namjoon karena Jungkook tidak pernah bisa bangun hanya dengan sekali panggilan—bahkan terkadang Jimin harus turun tangan.
"Oke."
"Umm…," Donghyuk terdengar sungkan, anak itu masih belum bisa rileks terhadap Jungkook walaupun mereka sudah bekerja bersama selama tiga tahun. "Apa ada yang hyung butuhkan? Di seberang hotel ada restoran yang menjual sate, kalau hyung mau."
Jungkook tiba-tiba teringat puluhan tusuk sate domba yang Yoongi belikan untuknya tengah malam (untuk Jungkook, karena dari tujuh, hanya Jungkook dan Yoongi yang bisa makan daging domba), dan gerutuan kesal manajer-hyung tentang: Jungkook-ah, kau bilang kau akan mulai diet.
Apa restoran itu menjual daging domba? Apa rasanya akan sama seperti restoran langganan Yoongi-hyung?
"Tidak. Aku sedang tidak lapar."
"Oh, baiklah. Kalau begitu hyung istirahat saja. Aku mau kembali ke kamar."
"Sebenarnya, Donghyuk…," Jungkook menggantungkan kalimat, mencoba menimbang apakah permintaannya ini terlalu berlebihan.
"Ya, hyung?"
"Aku bertanya-tanya apakah kita bisa membatalkan penerbangan ke Korea besok."
Donghyuk mengangkat kedua alisnya, kebiasaan yang sama persis seperti Jimin tiap kali ia terkejut, Jungkook ingat.
"Tapi, hyung, setelah itu kita punya jadwal konser di Jepang." Yang lebih muda menyanggah hati-hati, dengan nada halus dan segan dan Jungkook tiba-tiba teringat manajer-hyung yang suka menggerutu diam-diam tapi tetap menuruti keinginan mereka bertujuh untuk memesan hamburger jumbo.
"Yah, maksudku, kita tidak punya kegiatan apapun di Korea. Kita bisa saja langsung terbang ke Jepang dari sini." Jungkook tidak tahu mengapa ia bersikeras. Mungkin sesuatu tentang New York membuatnya ingin disini lebih lama, di kota yang bukan Seoul tapi terasa seperti Seoul. Familiar, tapi asing di saat yang sama.
Atau mungkin sesuatu tentang Jimin yang ingin bertemu.
"Tapi para staff tetap harus pulang, hyung. Kita mungkin tidak punya kegiatan, tapi mereka punya banyak hal yang harus diurus di Korea menyangkut konsermu."
Jungkook memutar mata, manajer-hyungnya biasanya tidak perlu penjelasan panjang lebar untuk mengerti yang Jungkook maksud. Tapi jika diingat lagi, Jungkook tidak bisa protes. Selama tiga tahun ini, Donghyuk selalu menuruti semua keinginannya, menanyakan menu yang Jungkook mau, membelikan kopi, mengurus tiket dan administrasi, bahkan terkadang sampai ke titik dimana Donghyuk memegangkan tas Jungkook saat ia pergi ke kamar kecil.
Tapi mungkin, hanya mungkin, Jungkook sedikit rindu dibentak-bentak karena pergi bersepeda ke Sungai Han tanpa izin.
"Ketika aku bilang 'kita', yang aku maksud hanya 'kita', Donghyuk. Kau dan aku. Biarkan saja para staff pulang."
"Hanya… kita?"
Jungkook mengangguk pelan. "Anggap saja selingan sebentar sebelum kembali tur. Kau tidak harus memanajeriku selama disini, tidak perlu khawatir kurepotkan."
"Aku bukan khawatir direpotkan, hyung. Hyung tidak pernah merepotkan." Donghyuk menjawab cepat. "Tapi-,"
"Kau bisa membicarakan ini dengan agensi, 'kan?" Jungkook memotong perkataan manajernya, mungkin dia sedikit berlebihan tapi Jungkook tidak akan menerima penolakan untuk yang satu ini.
"Y-ya, hyung. Tentu saja."
Donghyuk terlihat tidak begitu yakin, tapi Jungkook lebih dari tahu kalau anak itu akan menyelesaikan apa yang dia minta. Donghyuk seorang pekerja keras, mungkin dia pantas mendapatkan selebritis yang lebih baik—lebih ramah, lebih hangat—dari Jungkook.
Sebentar lagi, Jungkook pikir.
.
.
.
love looks good on you
duitkoin
.
Jungkook sudah bicara tentang kontraknya kepada orang-orang terdekat—Bang PD, Donghyuk, produsernya, orang tuanya. Tapi masih belum ada titik terang, belum ada kesimpulan. Ia sebenarnya berpikir untuk konsultasi dengan Namjoon, tapi mantan ketuanya itu sulit sekali dihubungi akhir-akhir ini—atau mungkin Jungkook saja yang kurang berusaha.
Empat tahun.
Kontraknya mengikat Jungkook sebagai penyanyi solo selama empat tahun. Waktu yang cukup lama untuk berada diatas panggung jika ditambah dengan tujuh tahun masa Bangtan. Puluhan—hampir ratusan—konser digelar di seluruh benua. Itu menakjubkan. Rasanya berdiri di tengah-tengah lautan manusia yang meneriakkan namanya dan balas berteriak dalam bentuk lirik dan melodi, menakjubkan. Empat jam penuh mereka menjalin komunikasi yang tak ada duanya dengan para fans. Empat jam penuh keringat, empat jam yang membuat kaki Jungkook gemetar lelah saat turun panggung. Tapi lelahnya empat jam itu tidak ada artinya ketika tawa puas Jimin menggelegar di sepanjang koridor menuju ruang ganti, diiringi cengiran Hoseok yang selalu lebar dan Namjoon yang mengatakan hal seperti: Aku tidak bermaksud sombong tapi kita tadi hebat sekali. Ah, aku bangga sekali pada grup ini—pada kalian. Sungguh.
Empat jam yang dilalui dengan bahagia. Tiba-tiba Jungkook sadar, ia pernah bahagia, dulu.
Apa ia bahagia sekarang? Entahlah.
Tentu saja Jungkook gembira ketika ia akhirnya menciptakan lagu sendiri setelah bertahun-tahun berusaha, merintis karir solo dan membabat habis semua chart musik bahkan di usianya yang tidak lagi remaja. Tentu saja Jungkook bahagia saat daesang tahun kemarin berakhir di tangannya, saat namanya dinobatkan sebagai "Penyanyi Solois Pria Terbaik".
Tapi entahlah, Jungkook tidak mengerti mengapa rasanya ada yang kurang.
Mungkin karena setelah pesta perayaan bersama timnya, Jungkook pulang ke apartemen yang masih terasa terlalu luas tanpa ada yang menyambut. Mungkin karena Jungkook harus sendirian mengucapkan pidato penghargaan. Mungkin karena ucapan selamat dari para member (mantan member) sedikit terlambat dari yang seharusnya—Yoongi bahkan tidak repot-repot menelepon, hanya mengirimkan pesan pendek yang Jungkook baca sekilas, tapi ini Yoongi yang kita bicarakan jadi Jungkook tidak ambil hati soal itu.
Atau mungkin karena Jungkook tidak ingin dikenal sebagai Solois Terbaik.
Jungkook belum siap jika suatu hari ia akan mendengar seseorang berkata pada temannya: Album terbaru Jeon Jungkook hebat sekali, jenius. Tapi aku lebih suka hari-harinya di Bangtan. Dan mendengar pernyataan itu dijawab dengan sesuatu seperti: Huh? Bangtan? atau Dia dulu anggota boyband?
Pria bersurai hitam itu menghela napas berat. Jungkook pikir ia akan terbiasa, tapi bahkan setelah tiga tahun ia tetap tidak bisa.
Empat tahun.
Kontrak Jungkook akan habis dalam waktu empat tahun—itu artinya Juni tahun depan, delapan bulan lagi. Jungkook pikir delapan bulan cukup untuk merilis satu album perpisahan dan sebuah konser untuk kenang-kenangan.
Tapi entahlah. Jungkook tidak yakin. Akhir-akhir ini Jungkook sering tidak yakin terhadap banyak hal, Jungkook merasa ia seperti melayang tanpa tujuan. Bahkan Jungkook sepuluh tahun lalu jauh lebih yakin akan apa yang dia mau dibanding Jungkook yang sekarang. Mungkin yang ia butuhkan adalah sesuatu—seseorang—untuk mengingatkannya tempat berpijak, menariknya kembali ke tanah, meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.
Mungkin Jungkook butuh menyempatkan diri untuk memenuhi ajakan Jimin.
.
.
Ponselnya bergetar saat Jungkook sudah menarik selimut sampai ke dada, bersiap tidur karena tak ada hal lain yang bisa ia lakukan.
"Hei, Jungkook-ah."
"Halo, hyung."
"Aku sudah di New York, berangkat satu hari lebih cepat. Apa kau punya waktu untuk bertemu?"
Jungkook tidak tahan untuk tidak tersenyum, pandangannya terlempar keluar jendela, ke kerlap-kerlip lampu kota New York yang mirip sekali dengan Seoul. Mungkin membicarakannya di New York akan lebih baik dibandingkan Seoul. Terkadang tempat yang terlalu familiar bukan latar yang bagus untuk percakapan tentang suatu perubahan. Tapi lagi, Jungkook ingat yang penting baginya bukan tempatnya, tapi dengan siapa ia berbicara.
"Hmm… ada restoran yang menjual daging domba di seberang hotelku, hyung."
.
.
[part II coming soon]
