Beberapa jepretan kamera ponsel berhasil menangkap gerakan tubuh sebuah objek menjadi sejumlah foto dalam layar.

Jihoon adalah sang pelaku.

Jarak keduanya terbatasi tiga meja kantin dan dengan cara sedemikian rupa membuatnya tidak ada yang menyadari apa yang ia lakukan.

Benar-benar paparazzi sialan.

"Masih berusaha mengoleksi foto-foto si dia?" Guanlin yang duduk berdampingan dengannya bertanya. Ya, tidak ada yang menyadari perbuatan Jihoon selain satu teman terdekatnya ini.

"Pelankan suaramu. Ia bisa saja mendengarmu." Ada nada protes dalam bisikan keras Jihoon. Guanlin menggelengkan kepala ketika menahan tawa. Jihoon melanjutkan kegiatan.

Ada sebuah komunitas di dalam kampus itu yang mereka sebut sebagai Flower Students. Yang terbagi atas flower boys dan flower girls. Dua kategori itu memiliki beberapa mahasiswa populer dari angkatan yang berbeda. Jisung, Sungwoon, Minhyun, Seongwoo, Jaehwan, Daniel, Jihoon, Jinyoung, Daehwi, dan Guanlin untuk boys. Dan Nayoung, Chungha, Sejeong, Chaeyeon, Kyulkyung, Sohye, Yeonjung, Yoojung, Mina, Doyeon, dan Somi untuk girls. Mereka memiliki begitu banyak penggemar di setiap sudut kampus. Yah, orang normal tentu akan memuja mereka. Dan sembilan puluh persen penghuni tempat menuntut ilmu itu adalah manusia normal.

Beberapa mahasiswa tidak berhenti mengambil kesempatan untuk memandangi Jihoon saat ini. Jihoon tidak peduli. Itu adalah sesuatu yang familiar yang selalu terjadi setiap waktu. Dan ia tidak benci diperhatikan. Kecuali jika itu menjadi alasan ia yang kesulitan untuk mengambil gambar pujaan hatinya secara diam-diam. Ia jadi harus berjuang keras untuk itu.

Ia melihat-lihat hasil jepretannya ketika merasa puas dengan puluhan gambar yang berhasil ia dapatkan. Berniat untuk menyeleksinya. Membuang beberapa dan menyimpan sisanya. Tapi tetap saja pada akhirnya ia akan selalu menyimpan semuanya.

Guanlin pernah mendengar Jihoon menggumamkan, "Akan kusimpan kau dalam hatiku." ketika memperhatikan foto pujaan hatinya. Dan Guanlin menanggapinya dengan, "Kalau begitu tidak perlu repot-repot menyimpan foto-fotonya dalam ponsel dan komputermu. Mereka semua terlihat sama. Dan aku tidak melihat poin dalam kegiatan harianmu itu." dan Jihoon hanya mengedik acuh sebagai jawaban. Dan kembali senyum-senyum sendiri seperti orang gila memperhatikan gambar-gambar itu.

"Kau serius menyukai mahasiswa baru kutu buku itu? Ia benar-benar terlihat... ew... aku bahkan tidak bisa menatapnya satu detik saja."

"Apa yang salah dengan Park Woojin?" ia tahu pria yang dimaksud itu memenuhi kriteria classic nerdy. Kacamata bundar, kawat gigi, rambut klimis belah tengah, baju kemeja yang dikancingkan hingga kerah, dan gerak-gerik yang gugup. Tapi bagi Jihoon, tidak ada yang salah dengan itu.

"Seseorang seperti dia biasanya mendapatkan seseorang dengan penampilan serupa. Atau lebih buruk, bahkan tidak tertarik untuk menjalin sebuah hubungan semacam itu. Karena ia hanya akan tertarik untuk mengencani buku-buku."

"Dengar, Lai Guanlin. Meskipun ia adalah anak baru, ia berusia lebih tua darimu. Kau harus menghormatinya. Jadi berhentilah membicarakan hal buruk tentangnya."

"Not my job. Hormati saja junior itu sesukamu. Aku tidak peduli."

"Lalu apa masalahmu?"

"Tidak ada. Yang jadi masalah adalah bagaimana dengan kekasihmu? Kau tidak memikirkannya?"

Jihoon merotasikan bola mata bosan. Ia sudah jengah dengan topik ini. "Untuk yang kesejuta kalinya kukatakan, Bae Jinyoung bukanlah kekasihku. Aku sudah lelah mengingatkanmu tentang itu."

"Baiklah sayang. Aku percaya padamu." Guanlin mengulas senyum tipis ketika bangkit dan menepuk bahu Jihoon sebelum berlalu. Meninggalkan Jihoon dan teriakan para gadis yang memperhatikannya. Sebagian berteriak karena terlalu bahagia dengan momen kapal Guanlin x Jihoon mereka meskipun hanya sedikit. Dan sisanya adalah teriakan kekecewaan dari penumpang kapal Jinyoung x Jihoon mereka yang sangat jarang terlihat.

Gadis-gadis normal zaman sekarang.

Di saat yang berdekatan Woojin bangkit dari tempat duduknya. Memeluk bukul tebal kelas berat yang akan ia kembalikan ke perpustakaan utama setelah ini.

Tapi ia tersungkur ke lantai pada langkah perdananya. Jihoon membulatkan sepasang mata bulatnya melihat kejadian itu. Sementara tawa puas terdengar membahana di seisi kantin.

Salah satu mahasiswa telah membuat simpul pada kaki meja menggunakan tali sepatu milik Woojin. Tidak heran. Buku itu membuka di lantai. Kacamata miliknya terlempar entah ke mana. Ia menjadi buta seketika. Minus yang ia miliki terlalu besar dan ia telah kehilangan alat bantunya.

"Rasakan itu, geek!"

"Pulanglah ke ibumu!"

"Ini bukanlah tempat yang pantas untukmu, kau tahu?"

Dan berbagai jenis makian lainnya.

Ini adalah hal familiar lainnya yang terjadi di tempat ini. Woojin selalu mendapat perlakuan ini. Tapi bukan berarti ia sudah terbiasa dan menerima begitu saja. Ia ingin melarikan diri, tapi tidak bisa keluar dari sirkumstansi ini.

Kedua telapak tangannya meraba-raba lantai untuk mencari kacamatanya. Ia ingin kembali melangkah, tapi tali sepatu itu masih tersimpul dengan kaki meja. Ia membutuhkan indera penglihatan untuk melepasnya. Ia bukan seorang tuna netra yang memiliki kemampuan lebih pada indera perabanya untuk melakukan sesuatu.

Pada satu poin tangan ia akhirnya berhasil menyentuh benda yang ia cari. Tapi,

"Argh!" terlalu buruk. Ia berteriak kesakitan ketika sebuah kaki menginjak punggung telapak tangannya hingga kacamata di balik telapak tangan itu hancur. Bingkainya. Lensanya. Semuanya. Beberapa serpihan kaca berhasil menembus kulit telapak tangannya hingga mengalirkan darah.

Tawa hinaan itu terdengar semakin keras. Yang mana Jihoon dibuat semakin merasa iba. Tangannya mengepal kuat, berusaha menahan diri dari menolong pujaan hatinya.

Satu persatu para mahasiswa berlalu meninggalkan kantin ketika bel masuk terdengar. Jam makan siang telah berakhir dan mahasiswa yang tidak memiliki mata kuliah setelah ini akan pergi membaur dengan komunitasnya masing-masing di berbagai sudut tempat. Berbeda dengan Woojin yang ditinggalkan sendirian bersama perjuangannya melepas simpul sepatunya.

Ia merasa berada di neraka selama delapan minggu terakhir awal musim semi tahun ini. Ia sudah mengurusi kepindahan jika bukan karena mencoba bertahan dengan beasiswa yang memberinya kesempatan untuk melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi di Universitas Yonsei–perguruan tinggi terbaik di Korea Selatan–ini di fakultas sains, lebih spesifik pada jurusan fisika.

Detik berikutnya ia bisa merasakan sentuhan lembut telapak tangan seseorang membantu melepaskan simpulnya dan memakaikan sebagaimana seharusnya dengan telaten. Tangan keduanya bersentuhan tanpa sengaja. Setitik air kebahagiaan berhasil lolos dari matanya karena merasa terlalu bahagia dengan seorang malaikat penolong yang ia dapatkan. Selama menuntut ilmu di sini tidak pernah ada seseorang yang sudi bahkan hanya sekedar menatap dirinya, apalagi menyentuhnya. Lebih lagi, menolongnya.

Jihoon selesai. Selama beberapa detik yang berharga sempat menatap mata Woojin yang tampak kosong seperti orang buta karena Woojin tidak memiliki ide apa-apa tentang siapa yang telah berbaik hati padanya. Dan ia terkejut ketika Jihoon menyapu air matanya.

Jihoon memakaikan sebuah kacamata utuh pada Woojin dengan hati-hati, "Bagaimana? Kau bisa melihatku sekarang?" ia menyemat senyum paling tulus yang bisa ia berikan.

Park Jihoon?! Bagaimana bisa salah satu dari anak-anak populer itu bersedia untuk menolongku? Dan wajahnya berada sedekat ini? Dengan jarak seperti ini ia terlihat begitu indah. Ya Tuhan. Kau benar-benar mengerimkan seorang malaikat padaku...

Woojin mengangguk dan membalas senyum yang setara sebagai jawaban. Ia lalu terkejut untuk yang kesekian kali ketika Jihoon melilitkan sebuah saputangan pada telapak tangan Woojin yang terluka. Dan tentu Woojin tidak akan menolak perlakuan istimewa itu. Kapan lagi bisa diperlakukan seperti ini oleh seorang flower boy? Mereka hanya melakukan ini pada orang tertentu. Gadis-gadis yang menyukai mereka belum tentu bisa mendapatkannya.

Woojin berterimakasih, dan Jihoon menjawab bahwa itu bukan masalah.

"Kau membutuhkan kacamata juga ternyata?" Woojin yang merasa mendapatkan lampu hijau itu tanpa ragu bertanya.

"Ya, sebelum aku menjalani operasi lasik. Aku merasa tidak nyaman dengan sebuah kacamata minus. Benda itu membuat mataku cepat lelah dan mengantuk." Jihoon menutup buku milik Woojin dan menyerahkannya pada sang pemilik. Woojin mengangguk mengerti pada kalimat terakhir Jihoon.

"Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah bel sudah berbunyi?" Woojin bertanya lagi.

"Menolong seseorang yang membutuhkan bantuanku."

Seketika kedua belah pipi Woojin dihiasi sapuan rona kemerahan.

Setelahnya mereka berkenalan. Yang tentu saja, keduanya telah saling mengetahui nama lengkap satu sama lain. Tapi Jihoon pikir mereka perlu berkenalan secara resmi. Agar bisa memulai sebuah hubungan secara resmi juga.

"Senang berkenalan denganmu, Woojin hyung."

"Eh? Aku kan juniormu?"

"Mereka bilang kau lebih tua dariku."

"Sungguh, kau tidak perlu. Kita lahir di tahun yang sama kok, Jihoon seonbae."

"Aku juga tidak mau kau memanggilku seperti itu. Panggil saja aku dengan namaku, oke?"

Woojin mengangguk paham. Lalu kembali bertanya, "Kenapa kau menolongku?"

"Bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong sesama manusia?"

Ini pertama kalinya ada seseorang yang menganggapku sebagai manusia di kampus ini...

Tidak sepenuhnya Jihoon berkata jujur di dalam kalimatnya. Ia memiliki alasan sendiri kenapa ia sampai repot-repot menolong manusia di depannya.

"Aku ada kelas sekarang. Jangan lupa untuk segera membersihkan dan mengobati lukamu sebelum terjadi infeksi."

Ia perhatian sekali...

Woojin mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum Jihoon mengucapkan sampai jumpa dan berpisah.

Ia memperhatikan sebuah rajutan benang keemasan yang mengukir nama Park Jihoon di atas sapu tangan yang melilit tangannya. Menghirup aroma kain itu dalam-dalam. Dan ia bisa menikmati aroma parfum Paris Hilton menguar di indera penciumannya. Ya, Jihoon menyukai parfum wanita dan selalu memakainya. Itu adalah pengharum yang menyengat. Tetapi Woojin merasa seakan yang ia hirup adalah lavender atau mint. Apapun yang membuatnya merasa damai. Mungkin karena pemilik saputangan itu adalah Park Jihoon?

Pria indah itu membuat Woojin berpikir macam-macam. Tapi detik berikutnya ia sadar bahwa ia hanyalah seseorang yang terbully. Ia tidak ingin membuat scene hanya karena ia berteman dengan Park Jihoon.

Ia akan mempertimbangkan baik-baik apakah menerima pertemanan dari seorang anak populer adalah hal yang benar?

.

.

.

Bae Jinyoung dengan sengaja menumpahkan kimchi di pakaian bersih Woojin. Ia adalah salah satu anak populer yang bersikap arogan pada anak lainnya, terutama pada manusia terbully seperti Woojin. Dan hal familiar semacam tawa puas dan hinaan kembali terulang di kantin itu.

Woojin hanya berdiri mematung dengan nampan di tangannya. Ia memang satu-satunya lelucon di sini. Dan ia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Kau tidak pantas berada di sini!"

"Kami tidak sudi makan di tempat yang sama denganmu!"

"Cepatlah urusi kepindahanmu!"

Jinyoung berhasil memancing makian kembali terucap dari bibir anak-anak lainnya. Dan itu adalah salah satu alasan Jihoon tidak menyukai Jinyoung. Ia senang menindas yang lemah. Dan Woojin adalah orang yang lemah. Jihoon ingin sekali menolongnya. Namun karena sebuah alasan, ia hanya bisa memperhatikan Woojin dari kejauhan dan tidak melakukan tindakan apapun layaknya seorang pengecut.

"Kau tidak pergi menolong pria terkasihmu?" Guanlin menyeruput bubble drink-nya dengan kasual setelah bertanya demikian.

Jihoon menghempas nafas, "Entahlah. Rasanya aku masih belum siap jika harus datang padanya di hadapan sebuah khalayak."

Guanlin mengelus puncak kepala Jihoon dengan sapuan kasih dalam sentuhan itu. Dan para gadis kembali dibuat berteriak melihatnya.

"Sudahlah, pilih Bae Jinyoung saja. Ia memiliki kekuatan di sini. Kau akan merasa lebih aman jika bersamanya."

Jihoon mendelik tajam. Ia paling anti dengan yang namanya Bae Jinyoung dan Guanlin malah selalu menggodainya seperti itu.

"Atau, jadi pacarku saja, bagaimana?" Guanlin melanjutkan. Karena sejujurnya, di lubuk hati pria oriental itu yang paling dalam, ia juga tidak menyukai jika Jihoon dekat-dekat dengan Jinyoung. Ia hanya menikmati reaksi temannya itu setiap kali ia menggunakan Bae Jinyoung sebagai bahan godaannya.

Jihoon melepaskan sentuhan Jinyoung, "Kau pasti bercanda."

"Ya, tentu saja aku hanya bercanda. Aku sudah mengetahui belangmu. Sementara semua gadis menyukaimu karena mereka hanya melihat dirimu dari luar. Tidak tahu saja jika dikupas, wujud asli seorang Park Jihoon itu seperti apa." Guanlin terbahak dengan kalimatnya sendiri. Jihoon merajuk ala ala gadis pra menstruasi. Dan Guanlin yang tidak merasa takut itu malah mencubit kedua pipi tembam Jihoon dengan gemas.

"Berhentilah mencubiti pipiku Lai Guanlin. Kalau begini terus aku akan memilih untuk berteman dengan Bae Jinyoung saja."

"Tidak, Park Jihoon. Aku tidak suka jika kau mendekatinya." Benar, kan? Guanlin tidak benar-benar meminta Jihoon untuk pergi bersama Jinyoung. Hanya saja ia baru bersikap serius sekarang.

Dan ia serius dengan kalimat terakhirnya.

Ia tidak akan membiarkan Jihoon mendekati Bae Jinyoung.

.

.

.

TBC

.

.

.

Mungkin chapter awal ini kerasa garing. Tapi aku bakal kasih sesuatu yg lebih seru di chapter chapter berikutnya.

Tapi sebelum itu, tell me what you think about this chappie :*