Mengejar Cinta Dokter Johnny

.

.

.

Disclaimer : Belong to God and theirselves :D This story is mine. Not for commercial.

Author : raeraelf

Genre : General, Romance

Rate : T

Length : Chaptered

Cast : Johnny Suh & Ji Hansol

.

.

.

SUMMARY : Saat menemani sepupunya yang rawat inap di rumah sakit, Hansol bertemu dokter ganteng yang membuatnya jatuh cinta. Johnny x Hansol / JohnSol

.

Mengejar Cinta Dokter Johnny

.

Ji Hansol – biasa dipanggil Jihan –, mahasiswa tingkat akhir jurusan administrasi bisnis tersebut sedang asyik ngopi di coffee shop langganannya sambil mengerjakan skripsi ketika ponselnya berbunyi dan menampilkan nama sepupu blasteran Korea – Thailandnya, Ten.

"Oy Ten, ada apaan?" Hansol langsung menyapa Ten.

"Maaf, apakah anda mengenal Chitt.. Chittaphon.. Lee –"

"Chittaphon Leechaiyapornkul?" potong Hansol sambil mengerutkan keningnya heran, karena yang berada di line telepon dengannya sekarang bukanlah Ten melainkan seorang bapak-bapak yang tidak dikenalnya.

"Ah iya itulah. Jadi anda kenal?"

"Ya jelas kenal dong pak, kan saya sepupunya."

"Jadi begini si mas Chitta ini sekarang sedang berada di Seoul Hospital."

"Oh." Hanya itu yang diucapkan Hansol. "Ngapain dia disana pak? Imunisasi?" tanya Hansol sambil memasukkan french fries ke dalam mulutnya.

"Bukan, ini mas Chitta kecelakaan –"

"HAH?!"

Saking kagetnya, Hansol menggebrak mejanya dengan keras, membuat seluruh pengunjung kafe sekaligus pegawainya menatap Hansol heran.

"Kecelakaan apa pak?!" tanya Hansol panik, tangan kanannya mulai meraih barang-barangnya yang bertebaran di atas meja untuk dibereskan.

Jelas saja Hansol panik. Dia dan Ten hanya tinggal berdua di Seoul. Mereka tidak punya siapa-siapa untuk diandalkan selain saling mengandalkan satu sama lain.

"Gak terlalu serius sih mas, jatuh dari sepeda."

Hansol bengong.

Jatuh dari sepeda?

Kok bisa?

Lagipula sejak kapan sepupunya si cabe Thailand itu bisa naik sepeda?

"Lah trus ngapain dia di rumah sakit pak?"

"Tangannya patah, kayaknya perlu dioperasi. Mas buruan dateng ya saya mau pergi ada keperluan soalnya. Ngomong-ngomong, saya yang bawa mas Chitta ke rumah sakit. Ini di UGD sekarang."

"Ya pak! Makasih pak!"

Mendengar kata operasi, Hansol jadi panik lagi. Dengan asal Hansol memasukkan seluruh barang-barangnya ke dalam tas dan langsung menuju kasir. Kemudian Hansol setengah berlari menuju halte bus yang terletak tidak terlalu jauh dari coffee shop tersebut.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, jantung Hansol berdetak cepat. Ia sangat khawatir akan keadaan Ten. Sepupunya yang satu itu disuntik saja bisa nangis tujuh hari tujuh malam, apalagi sekarang mau dioperasi.

Hansol sendiri juga pernah patah tulang dan operasi, jadi Hansol tahu betul apa yang sedang dirasakan Ten sekarang. Pasti sekarang Ten sedang menangis menggerung-gerung.

Benar dugaan Hansol. Ketika Hansol sampai di rumah sakit setengah jam kemudian, ia menemukan Ten terbaring di Unit Gawat Darurat sambil menangis sesenggukan. Tangan kirinya terbalut gips.

"Ten! Ten! Gimana?!" seru Hansol panik sambil mendekati Ten.

Ten yang melihat Hansol datang bukannya berhenti menangis, malah menangis makin keras. Suasana UGD saat itu lumayan sepi, sehingga tangisan Ten terdengar sangat jelas. Hansol yang malu menjadi pusat perhatian buru-buru menarik tirai penutup sehingga mereka aman dari pandagan luar.

"Anjir gue dateng kok lo malah nangisnya tambah kenceng!"

"Sakit Sol. Huhuhu tulang gue patah.." isak Ten.

"Ya iyalah namanya patah tulang! Kok lo bisa patah tulang sih? Kata bapak-bapak yang tadi nelpon gue, lo jatuh dari sepeda?" Hansol sewot.

Masih sesenggukan, Ten mengangguk.

"Lah kok bisa jatuh dari sepeda? Naik sepeda aja lo gak bisa!"

"Tadi gue iseng nyobain sepeda kampus. Baru ngayuh dua kali, langsung jatuh. Gue juga bingung tadi jatuhnya gimana yang jelas trus tangan kiri gue sakit banget."

"Lah trus itu sepeda nasibnya gimana?"

Ten merengut.

"Gue di depan lo patah tulang begini yang lo khawatirin malah sepeda, sepupu macam apa lo!" protes Ten kesal.

"Trus bapak-bapak yang tadi itu siapa?" tanya Hansol lagi, tidak mempedulikan protes Ten.

"Itu bapak-bapak yang jagain stasiun sepeda kampus."

"Orangtua lo udah dikabarin?"

"Udah tadi bapak itu ngabarin lewat SMS, tapi belum dibales."

"Udah dirontgen belum?" Hansol kembali bertanya.

"Udah, tapi belum keluar hasilnya."

Tepat setelah Ten menjawab pertanyaan Hansol, seorang dokter menyibak tirai penutup dan berdiri di depan ranjang Ten.

"Saudara Chittaphon?"

"Iya dok." Hansol yang menjawab.

Tadinya Hansol masih terfokus pada Ten. Tapi ia tergoda mendengar suara dokter yang terdengar sangat seksi di telinganya. Hansol pun mendongakkan kepalanya untuk melihat sosok sang dokter.

Begitu melihat rupa sang dokter, Hansol terpaku.

Yang ada di depannya ini dokter atau model?

Kok... ganteng.

Sudah ganteng, tinggi pula.

Hansol memang tinggi, tapi dokter di hadapannya ini lebih tinggi dari Hansol.

Tipe Hansol banget ini.

"Anjir ganteng." Celetuk Hansol.

Dokter yang sedang mengeluarkan hasil rontgen dari amplop tersebut mendongakkan kepalanya sedikit dari amplop yang sedang dipegangnya, menatap Hansol.

"Maaf?"

Hansol yang sadar bahwa dokter itu mendengar celetukannya tadi hanya nyengir. Ia mengangkat dua jarinya membentuk tanda V.

"Gak papa dok, maaf ya. Hehehe.." kata Hansol sambil cengegesan.

Dokter tersebut kembali memusatkan perhatiannya pada foto hasil rontgen di tangannya. Sedangkan Hansol memelototi jas dokter yang dikenakan oleh dokter ganteng tersebut, mencari name tag yang biasanya terpasang di jas dokter. Namun nihil, tidak ada name tag di jas dokternya.

"Jadi saudara Chittaphon hanya –"

"HAH? HANYA? HANYA APA? HANYA DARI MANANYA DOK? SAKITNYA MINTA AMPUN!" teriak Ten memotong perkataan dokter ganteng itu.

Hansol memukul pelan kepala sepupunya.

"Woy! Gak usah teriak-teriak bisa gak sih!" kata Hansol kesal. "Maaf ya dok, hehehe.." Hansol kembali cengengesan.

Dokter ganteng tersebut tidak memberikan reaksi apapun. Dengan suara datar ia melanjutkan penjelasannya.

"Tulang bawah anda patah sekitar lima senti di bawah sikut, patahannya ke dalam sehingga tulang atasnya terdorong dan menyebabkan dislokasi." Jelas dokter tersebut.

Hansol dan Ten melongo.

"Terdengar parah." Komentar Hansol.

Ten menggeplak kepala Hansol.

"Bukan cuma kedengeran parah aja! Emang parah, sakitnya minta ampun!" seru Ten sewot.

"Trus nyembuhinnya gimana dok?" tanya Hansol sambil mengusap-usap kepalanya.

"Operasi."

"Kapan dok?" tanya Hansol lagi.

"Belum tahu, yang jelas sesegera mungkin melihat kondisi tulangnya. Saudara Chittaphon harus masuk ruang rawat dulu, setelah visite dokter, nanti dokter yang akan menentukan." Jelas dokter tersebut.

"Loh, memangnya dokter ini bukan dokter?" tanya Hansol bingung.

"Saya memang dokter, tapi hanya dokter residen. Saya permisi dulu, untuk proses administrasi silahkan langsung ke bagian administrasi di depan."

Setelah itu, dokter tinggi ganteng itu pun langsung pergi, meninggalkan Hansol yang masih melongo.

"Dokter residen itu apaan Ten?" tanya Hansol.

"Ya mana gue tau! Udah buruan sana ke administrasi, urus! Gue mau masuk ke kamar rawat sekarang!"

"Lo ada duit gak? Dulu pas gue operasi, sebelum masuk harus deposit duit gitulah. Buat operasi sama biaya rawat. Gue gak ada duit." Tanya Hansol.

Ten memelototkan matanya. "Anjir, gue lupa. Gue juga lagi gak ada duit."

"Lah trus gimana? " Tanya Hansol bingung.

"Eh, gue baru inget."

"Apaan?"

"Ambil dompet gue di tas, kartu ATM yang biru. Itu rekening isinya duit orangtua gue, buat pendidikan sama darurat. Isinya lumayan banyak, cukuplah kalau buat bayar rumah sakit."

"Gak bilang dari tadi!" gerutu Hansol sambil meraih tas ransel Ten di atas nakas.

Hansol mengeluarkan kartu ATM yang dimaksud oleh Ten dan segera keluar dari UGD. Hansol pernah beberapa kali mengunjungi rumah sakit ini dan Hansol tahu ada ATM Center di lobi depan.

Setelah menarik uang yang jumlahnya lumayan banyak, Hansol berjalan menuju bagian administrasi. Namun perhatiannya teralih ketika ia melihat dokter ganteng yang tadi sedang berbincang dengan seorang anak kecil di ruang tunggu.

"Udah ganteng, sayang anak kecil pula." Kata Hansol sambil cengar-cengir.

Seorang suster lewat di depan Hansol, dan dengan tidak tahu malunya Hansol langsung menarik lengan suster tersebut.

"Sus, tanya dong."

"Tanya apa mas?"

"Itu dokter yang itu –" Hansol menunjuk dokter yang dimaksudnya. "Namanya siapa?"

Suster tersebut mengikuti arah tunjukan jari Hansol.

"Oh, itu Dokter Johnny. Dokter residen orthopedi." Jawab suster tersebut.

"Oh ya, makasih ya sus."

Suster tersebut melanjutkan jalannya, namun baru selangkah, lengannya sudah ditarik Hansol lagi.

"Kenapa lagi sih mas?" tanya suster tersebut jutek, kesal karena lengannya asal ditarik-tarik.

"Dokter residen apaan sus?"

"Dokter umum yang lagi spesialis. Udah ya mas, saya sibuk!"

"Makasih ya sus."

Hansol memutar otaknya.

Dokter umum yang lagi spesialis?

Maksudnya apa?

Namun Hansol tak ambil pusing. Ia kembali menatap dokter ganteng tersebut. Matanya berbinar-binar.

"Jadi namanya Johnny.."

.

.

.

.

.

A/N

Aku bikin fic ini sebagai permintaan maaf karena Pendamping Wisuda yang awalnya BxB malah kurubah jadi GS, hehehe mohon diterima yang permintaan maafnya.

Yang belum baca Pendamping Wisuda ayo baca dulu! /acungin golok/?

So, keep it or delete it?