Minna. Ada yang bosen ketemu fic baru (lagi-lagi) saya? Semoga nggak ya.
.
Fic Collab with Someone Without Name.
.
DISCLAIMER : TITE KUBO
.
RATE : M For Safe
.
Inspiration from Samurai X : Hitokiri Battousai
.
Warning : OOC (banget), AU, Gaje, Misstypo (Nongol mulu), Gak karuan.
.
Attention : Fic ini hanyalah fiksi belaka. Apalagi terdapat kesamaan atau kemiripan situasi atau tokoh atau apapun itu dengan cerita lain dalam bentuk apapun itu, adalah tidak disengaja. hehehe
.
.
.
Malam itu, Kyoto berubah menjadi lautan api. Warna merah menjadi sesuatu yang dominan. Membara. Berani. Menghancurkan segala yang bisa dilalap. Dalam sekejap, Kyoto, yang dalam beberapa minggu sebelumnya masih merupakan ibukota negara, sedang dalam perjalanannya menuju kemusnahan yang tidak bersisa. Kejadian itu begitu tidak terduga. Satu detik yang lalu, Kyoto masih kota megah dengan banyak istana dan kehidupan yang berdenyut. Namun, kini, Kyoto tak lebih dari onggokan sampah yang masih membara.
Semua karena ketamakan beberapa pejabat korup yang mengatasnamakan dirinya loyalis kerajaan. Mereka melakukan segala cara agar restorasi urung dilaksanakan. Baik dari cara-cara halal, maupun cara-cara yang sudah tidak pada tempatnya. Semua orang menduga, kebakaran besar Kyoto adalah akhir dari restorasi. Sebuah akhir yang berujung gagal. Kegagalan restorasi. Kemenangan pejabat-pejabat korup.
Tapi Istana bukannya diam tanpa kata. Keluarga kerajaan sudah menduga ini jauh sebelumnya. Itu sebabnya mereka memindahkan pusat kerajaan ke Edo beberapa hari lalu. Sementara sisanya, mereka serahkan pada petarung-petarung pedang terandal di negeri ini.
Petarung-petarung itu memiliki satu tugas: membunuh semua orang yang terlibat dalam upaya penggagalan restorasi.
.
.
.
.
"Kau mau bertarung sampai mati?"
Pendekar pedang itu hanya terpaku mendapat peringatan seperti itu.
Dia tidak hirau akan tangannya yang bersimbah darah. Tebasan demi tebasan tetap terayun begitu saja tanpa pandang bulu. Siapa pun lawannya, siapa pun yang bersedia mati dengan pedangnya, siapa saja yang siap menjatuhkannya. Dirinya tak peduli meski harus menatap gelimangan ratusan mayat yang sudah membeku di tanah becek dan lembap. Becek dan lembap karena cairan pekat berwarna merah yang begitu anyir.
Dirinya terus bergerak lincah menebas kepala-kepala musuh dengan pedangnya yang begitu tajam hingga terpenggal sempurna. Tanpa perlu tenaga ekstra, pedang itu seolah-olah dengan sendirinya bergerak begitu gesit melewati korbannya.
Perlawanan terhadapnya dilancarkan, tapi dia bukannya tidak tahu itu. Beberapa prajurit yang berdiri di belakang lawannya juga pasti sudah bersiap untuk menghabisi sang pendekar pedang tanpa ragu. Demi kemenangan yang sudah lama dijanjikan. Pendekar itu berdecak ketika mengingatnya. Kemenangan macam apa yang mungkin diberikan pejabat-pejabat korup itu?
Sejak perang dimulai, sang pendekar hanya sendirian menghabisi nyawa ratusan prajurit di medan pertempuran ini. Bergerak selincah mungkin dan secepat mungkin. Dia tak bergerak demi nafsu. Dia juga bukan salah satu dari beberapa ronin yang dikontrak Istana, kendati apa yang mereka lakukan sama.
Dia bergerak demi kemerdekaan. Dia bergerak demi era yang baru. Dia bergerak demi mengubah dinasti yang baru. Dan dia bergerak demi masa depan yang masih membentang luas di depan mereka. Sudah lama sang pendekar memimpikan hidup damai tanpa keributan politik yang terus mendera negeri ini. Jadi, apalah arti ratusan nyawa tak berguna, jika harus dibandingkan dengan masa depan negeri ini?
Dia tak akan peduli. Tetap tidak akan pernah peduli. Sama sekali.
"Hitokiri Battousai!"
Lengkingan namanya menggema ke seantero ladang penuh darah itu.
Nama sang pendekar yang diucapkan begitu lantang.
Namun dia tak peduli. Dirinya tak akan peduli sebelum kemenangan tepat berada di tangannya.
Pedangnya akan terus diasahnya, pedangnya akan terus membunuh sebanyak apapun yang dia inginkan. Dia akan terus bertarung hingga titik darah penghabisan. Dan dia akan terus berjuang membela apa yang telah dia yakini selama ini.
Dan seterusnya akan tetap seperti itu.
"Percuma saja! Meski pun kau memenangkan peperangan ini, apa yang akan kau lakukan di masa depan nanti? Apakah kau siap menanggung semua beban ini nanti, hah?!" pekik seorang prajurit yang tengah mati-matian bertarung dengannya. Beradu pedang satu sama lain hingga dentingan logam itu memekakkan telinga.
"Kalau begitu, aku bersedia," jawabnya lantang dengan nada sedingin es.
Setelah bertahun-tahun memperjuangkan semua itu, dia tidak akan menyerah.
Berlama-lama dalam pertarungan itu, akhirnya dia berhasil menghabisi nyawa sang prajurit lawannya. Menusuk tepat di jantungnya. Darah segera memuncrat mengenai wajahnya. Sesaat sebelum kehabisan nafas, sang prajurit berhasil menusuk dahinya memanjang hingga ke batang hidungnya. Luka gores yang cukup dalam dan memanjang mengenai wajahnya.
Kesal dengan hal itu, dia segera menusuk kembali pedangnya hingga menembus tubuh sang prajurit.
Orang yang berhasil meninggalkan tanda di wajahnya.
Tak lama setelah itu, bendera lambang kelompok yang dipimpinnya sudah berkibar di medan pertempuran.
Teriakan penuh suka cita berhasil diraungkan oleh beberapa prajurit yang masih bertahan.
Selesai.
Sudah selesai.
Perang sudah usai.
Menyadari hal itu, sang pendekar pedang menghentikan aksinya. Mencabut pedangnya dari korbannya. Dengan langkah terseok, sang pendekar yang akhirnya mendapat gelar Hitokiri Battousai menghentikan gerakannya.
"Perang sudah selesai. Apalagi yang kau inginkan?"
Lagi suara seseorang menghentikannya. Kali ini dia yakin itu adalah suara seorang pria. Yah, suara teman lamanya yang sama-sama membela negeri ini. Sayangnya jalan mereka membela negeri ini tidaklah sama. Meski bersahabat, mereka tidak bisa menyatu.
Sang pendekar berbalik melihat sahabatnya.
"Aku ingin pulang," jawabnya pelan.
Tentu saja dahi sang sahabat mengerut.
"Pulang?"
Pendekar itu tersenyum. "Mm, ya. Pulang. Ke neraka."
.
.
.
.
Pendekar yang mendapat julukan Hitokiri Battousai itu menancapkan pedangnya ke dalam tanah sedalam mungkin. Pedang yang telah menemaninya selama ini. Pedang yang telah terlumur darah ratusan nyawa. Pedang yang tak akan pernah bisa dibersihkan sekali pun telah disucikan. Tidak akan pernah bisa menghilang begitu saja noda yang telah lama mendiaminya.
"Mulai detik ini, aku sudah mati. Dengan begitu aku tidak akan pernah membunuh orang lagi."
Lelah yang dirasanya cukup membuat dirinya ambruk seketika.
Tapi kakinya tetap dipaksanya melangkah apapun yang terjadi.
Dengan ini, sang pembunuh berdarah dingin yang dijuluki Hitokiri Battousai sudah mati.
Tidak ada alasan untuknya kembali membunuh.
Tidak… ada…
.
.
.
.
Dua belas tahun kemudian…
Sisa-sisa samurai yang masih hidup setelah perang besar-besaran demi memperebutkan kemerdekaan kini berkumpul menjadi satu dan membentuk sekelompok orang yang menamai diri mereka yakuza. Namun, di periode ini, siapa saja dilarang membawa pedang, apalagi katana, ke wilayah kota dan tempat-tempat umum. Siapa pun yang berani melanggar aturan itu akan dihukum seberat-beratnya oleh pemerintah Jepang saat ini.
Demi menciptakan negeri yang makmur dan aman, banyak langkah yang harus ditempuh setelah perang. Namun dalam satu dekade ini, semua bisa dikendalikan dengan baik.
Yang jelas, tidak ada lagi perang. Tidak ada lagi musuh. Yang ada hanyalah perdamaian yang sudah lama diinginkan oleh semua orang.
"Bagus! Bagus sekali Hime-chan!"
Sang pemain koto, seorang geisha muda dengan rambut berwarna orange terang selesai melakukan permainan musik khas itu. Wajah cantiknya menunduk dalam menyapa para tamu yang menyaksikan permainannya di kedai tempatnya sering berpertunjukan ini.
Orang-orang yang sering berkunjung kemari bukanlah sembarang orang. Mereka adalah pria-pria kaya raya yang memiliki setumpuk uang bersama para pengawal dan penjaga mereka. Namun, tidak sedikit uang yang mereka keluarkan demi bisa melihat seorang geisha di sini, bahkan kalaupun itu hanya sekadar mendengar permainan musiknya saja atau menemani mereka minum dan bersenang-senang. Daerah ini memang terkenal dengan geisha kelas satunya.
"Terima kasih Tuan. Anda terlalu banyak memuji saya," kata sang geisha muda dengan dandanannya yang begitu cantik itu. Kimono pink yang berdesain bunga sakura itu membungkus tubuhnya begitu cantik. Tampak benar-benar pas, sang kimono pun sepadan dengan sang pemakai.
Geisha yang cantik tentu saja bisa dimiliki dengan mudah orang pria-pria berduit itu. Tapi tak ada aturan mengenai kepemilikan sang geisha. Mereka hanya bekerja demi menghibur pelanggan saja. Bukan untuk dimiliki oleh pribadi.
Karena itu, terkadang ada saja pelanggan yang bertengkar karena mereka tak bisa mendapatkan geisha yang mereka inginkan. Karena menginginkan seorang geisha, kadang mereka bisa saja mengeluarkan jumlah yang tidak sedikit demi bisa dihibur olehnya. Gadis-gadis muda yang telah mendapat pelajaran penting mengenai aturan geisha ini diseleksi dengan ketat dan dididik dengan keras agar nantinya tidak akan mengecewakan pelanggan mereka.
"Orihime, kau bisa selesai sekarang," ujar sang pemilik kedai yang biasanya adalah senior dari para geisha muda. Biasanya sang senior adalah geisha yang lebih dulu ada dan belajar mengenai hal ini untuk dilanjutkan oleh calon geisha muda.
"Tidak apa-apa, Rangiku-sama. Saya masih bisa untuk malam ini."
"Tapi masih banyak yang bisa menggantikanmu."
"Tidak apa-apa, saya―"
"Kau dengar itu? Dia masih bisa. Jadi berhentilah menghalangiku, Rangiku."
Geisha senior yang dipanggil Rangiku itu hanya diam sejenak. Wanita yang lebih tua lima tahun dari Inoue Orihime ini sama-sama memiliki rambut orange dan bentuk tubuh yang begitu indah.
"Maaf Jeagerjaques-sama, saya hanya tidak ingin terjadi keributan lagi."
"Keributan? Aku hanya ingin menemui geisha milikku."
Rangiku masih menundukkan kepalanya penuh hormat kepada tamunya. Tak seorang pun geisha di sini berani menatap tamu mereka langsung jika tidak ada perintah dari sang tamu.
"Tidak seorang pun diperbolehkan memiliki geisha di sini. Status Tuan dan semua tamu di sini adalah sama. Sekalipun Anda memiliki kuasa yang begitu besar di wilayah ini," jawab Rangiku dengan nada sehalus mungkin.
Pria itu menghentakkan kakinya. "Tch! Bisa-bisanya kau menceramahiku!"
"Saya sungguh tidak berani menceramahi Anda, Tuan. Wanita rendah sepertiku, mana mungkin berani menceramahi Anda. Saya hanya ingin tidak ada keributan di sini. Lagi pula, Orihime sudah selesai dengan tugasnya di sini."
Pria berambut biru terang ini hanya diam setelah mendengar kata-kata sang geisha senior.
"Tapi kau tidak bisa terus menerus menghindariku!" katanya tak terima.
"Besok saya akan melayani Anda, Tuan," sela Orihime.
"Kau dengar itu? Jadi besok malam tidak ada alasan bagimu untuk menghentikanku seperti hari ini!"
"Baiklah. Sesuai dengan kemauan Anda, Grimmjow Jeagerjaques-sama," sahut Rangiku pula.
Siapa yang berani menentang Grimmjow?
Dia adalah putra seorang yakuza paling ditakuti di negeri ini. Siapa pun yang mendengar namanya pasti akan gemetar ketakutan.
Pangeran satu ini terkenal sangat mengerikan. Semua sifat jahat ada padanya. Jadi mustahil bisa menang dari orang seperti Grimmjow.
Kemarin malam saja, dia nyaris membuat rumah geisha ini hancur luluh lantak karena dia mengamuk dan menghabisi beberapa tamu yang mencoba beradu otot dengannya. Pemicunya apalagi kalau bukan geisha bernama Inoue Orihime ini. Sejak memulai debutnya sebagai geisha di sini, sudah banyak yang menginginkannya. Dia begitu mudah menarik perhatian pria mana saja dengan wajah yang cantik, tutur kata yang lemah lembut, kepintarannya memainkan alat musik apa saja, dan kelihaiannya dalam menyajikan teh. Tidak ada sedikit pun cela untuk geisha satu ini. Jadi wajar kalau orang seperti Grimmjow menginginkan wanita sesempurna Inoue Orihime.
Tapi karena hal itu, tentu saja tidak sedikit orang-orang yang ikut memuja kecantikan dan kesempurnaan sang geisha. Akibatnya, Grimmjow pun harus menghadapi ratusan pria yang mencoba mengambil Hime-nya. Putrinya.
Tapi dengan kedudukan dan jabatannya, siapa yang sanggup melawannya sekarang?
Tidak ada satu pun.
.
.
.
.
TRAANGG!
Pedang kayu itu terjatuh lagi. Untuk kesekian kalinya.
"Satu kali lagi," perintah sang guru pedang tersebut dengan nada anggun dan berwibawa.
Satu kali lagi? Pagi ini dia sudah mencoba puluhan kali. Tangannya sampai terkilir walau tidak parah karena harus bermain pedang kayu itu dari subuh. Dia ingin memberontak rasanya. Tapi tak bisa. Ia cuma menggigit bibirnya dan memperlambat gerakannya. Apa pun untuk mengumpulkan tenaga.
"Satu kali lagi," kali ini nadanya agak naik dari sang guru.
"Satu kali lagi? Kau bilang satu kali lagi? Memangnya kau pikir aku ini apa hah?! Aku tidak suka bermain pedang! Aku berhenti!" bentaknya dengan nada tinggi.
"Anda tidak boleh begitu. Ini amanat dari keluarga Anda. Bangsawan seperti Anda―"
"Apa? Apanya yang bangsawan hah?! Memangnya kau pikir semua bangsawan harus memegang pedang? Kau pikir ini jaman apa hah? Kita ini sudah merdeka! Penjahat juga akan berhenti kalau diberi uang! Mulai hari ini kau berhenti!" perintahnya dengan nada arogan.
"Tapi―"
"Lalalalalala! Aku tak mau dengar! Aku tak mau dengar!" pekiknya seraya menutup kedua telinganya dengan tangannya dan berlari keluar dari ruang dojo milik keluarganya. Enak saja menyuruh-nyuruhnya seperti itu. Memang siapa dirinya berani memerintahnya seenak itu.
Rasanya lelah juga memeras keringat.
Ehm, sepertinya tidak begitu juga, hari ini dia tidak begitu banyak yang dilakukannya. Berlatih pedang saja baru satu jam. Tapi dirinya langsung berganti pakaian dengan cepat di dalam biliknya yang begitu luas. Membuka beberapa pintu yang memang dibuat untuk membatasi beberapa ruangan di dalam paviliun miliknya.
Setelah membuka kira-kira tiga pintu, akhirnya kakinya berhenti di dalam ruangan terakhir. Membuka begitu pelan lemari kecil yang berada di sana.
Senyum mengembang cerah di wajahnya.
Sebuah sisir dari batu giok yang begitu mahal sudah sampai ke kediamannya sepuluh menit yang lalu. Sisir yang begitu mahal yang hiasannya saja dari batu zamrud yang sulit didapat. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mendapatkan sisir ini. Bahkan ini adalah sisir yang bisa dikatakan sebagai barang langka. Barang yang terbatas adalah kesukaannya. Dengan begitu tidak banyak orang yang bisa menyamainya.
Ia menggenggam sisir itu baik-baik.
"Akhirnya, aku mendapatkanmu."
.
.
.
.
"PANAAAASSS!"
"Hahahah, itu kan baru saja masak. Wajar kalau masih panas."
Lidahnya terjulur hingga nyaris keluar begitu saja.
Panas karena makanan yang baru digoreng itu benar-benar menyebalkan. Lidahnya terasa terbakar dimana-mana. Sebentar lagi dia pasti akan mati rasa. Maksudnya, lidahnya.
Suasana berisik terdengar dimana-mana. Banyak orang yang mulai menyapa musim semi ini dengan begitu riangnya. Ada begitu banyak orang yang bermain taiko, berlari ke sana kemari menikmati festival yang biasa diadakan di sini.
Benar-benar hebat.
"Kalau begitu bisa berikan aku yang manis saja?"
"Bagaimana kalau dango, Tuan?" ujar pria penjual itu dengan nada ramah.
"Aku ini seorang gadis. Bukan Tuan," sahutnya sedikit kesal.
Si penjual membelalakkan matanya. "Ehh? Maafkan aku, kau memakai pakaian seperti itu siapa juga akan menyangka kau seorang gadis. Kau juga tidak punya…" bela pria tua itu. Pria tua itu juga menunjuk dadanya sendiri untuk menyamakan dada orang yang mengaku dia adalah seorang gadis.
Dirinya melirik ke pakaiannya sendiri. Hakama berwarna putih kusam, atasan berupa kosode berwarna gelap, dan rambut hitam panjangnya yang diikat tinggi ke atas. Benar. Siapa saja pasti mengiranya dia seorang pria. Ugh, sial!
"Bagaimana dengan dango-ku?" katanya mencoba mengalihkan perhatian dari fisiknya yang menyedihkan ini.
"Baiklah ini dia. Maafkan sikapku tadi, Nona. Ah ya, kau seorang pendekar pedang?"
"Aku?" tunjuknya seraya menerima kue dango-nya.
"Kau membawa pedang kayu," kata penjual itu lagi.
Gadis itu tersenyum. "Untuk jaga diri. Lagipula, pedang kayu tidak berbahaya. Terima kasih."
Alasan jaga diri memang klasik, tapi itu benar. Kalau ada seseorang yang jahil padanya, jelas saja dia bisa kesulitan. Setelah berlatih sekian lama, mengacungkan sebilah pedang kayu bukan perkara sulit. Meski, pasti banyak orang yang memandang remeh padanya karena pedang kayu ini.
Setelah keluarganya meninggal karena perang bertahun-tahun lalu, sekarang dirinya hidup mengembara seorang diri. Meski pun dia adalah seorang gadis, tapi tidak menyurutkan niatnya untuk hidup mengembara. Dia tak punya siapapun lagi. Jadi untuk apa menetap seorang diri? Lebih baik melihat dunia baru yang damai ini. Dunia yang sudah bebas dari siksaan.
Dari kejauhan mata besarnya menangkap pemandangan yang aneh. Hum… seorang… seseorang yang ditandu.
Beberapa orang membawa tandu yang penuh dengan hiasan. Tampaknya itu bukan orang sembarangan kan? Saat mereka lewat cukup memancing perhatian warga sekitar.
Hhh…
Lebih baik kakinya kembali melangkah sajalah.
Baru beberapa langkah, kali ini dia bertemu dengan beberapa gadis cantik yang memakai kimono yang begitu indah. Mereka berhenti di sebuah toko yang menjual hiasan kimono dan kepala.
Kapan terakhir kali dirinya ke sana? Gadis-gadis itu begitu cantik. Kulit mereka yang cerah berwarna putih bersih. Pakaian mereka juga begitu indah.
Pandangannya tak sadar kalau juga menangkap tandu yang tadi. Namun, tandu yang terlihat mencolok itu tampak berhenti tak jauh dari toko itu. Entah kenapa tandu itu berhenti di sana ketika beberapa gadis cantik itu masuk ke dalam toko itu.
Ada apa memangnya?
.
.
.
.
Semenjak perang telah usai, negeri ini berubah menjadi negeri yang aman dan begitu tenang. Namun, luka mendalam karena perang itu tak bisa ditutupi. Tak sedikit nyawa yang akhirnya melayang karena perang bertahun-tahun lamanya itu.
Termasuk dirinya.
Yah, termasuk Kuchiki Rukia.
Gadis bertubuh mungil ini kehilangan seluruh keluarganya akibat perang itu. Perang yang sudah membunuh seluruh anggota keluarganya. Tak dapat dipungkiri, selama perang berlangsung, banyak orang yang menghalalkan segala cara agar bisa menang dari perang ini. Termasuk melenyapkan musuh politiknya. Cara apapun. Mulai dari yang sederhana seperti meneror, hingga menghilangkan nyawa sang musuh tanpa ampun.
Rukia tak mau lagi kembali ke masa itu. Tidak ingin lagi merasakan betapa pahit hidup selama perang berlangsung. Tidak… lagi…
Tapi kenapa lagi dengan matanya kali ini?
"Apa ini?" lirihnya sambil menyipitkan mata besarnya saat dari kejauhan dia melihat beberapa orang yang dikawal oleh pria-pria bertubuh besar.
Baru lewat saja banyak orang yang sudah menyingkir karena melihat tampangnya. Memang sih seram, tapi apa yang ditakutkan dari orang seperti itu? Aneh.
Ah tidak juga, banyak yang ditakutkan dari orang seperti itu…
Sekarang berjalan cepat supaya tidak menimbulkan masalah saja. Buru-buru pergi ke tempat―
BRUUK!
"Aduh!"
Aw apalagi ini, pantatnya terasa sakit sekali. Begitu mendongak ke atas, ternyata masalah sudah tercipta.
Rukia terduduk di atas tanah kering itu sambil menelan ludah dengan susah payah. Astaga…
"Hei Bocah! Apa yang sedang kau lakukan hah?! Mau cari mati?" bentaknya dengan nada kasar.
"T-t-ti-tidak. A-a-ak-aku hanya tidak… sengaja…" mohon Rukia dengan nada lirih yang begitu pelan. Gawat, gawat! Cepat menyingkir dari sini.
"Kau ini! Kau tidak sopan sekali hah?! Memangnya kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa hah?"
"Eh? A-aku tidak tahu…" balas Rukia pelan lagi. Semakin menundukkan kepalanya sedalam mungkin.
"Apa? Jadi kau benar-benar tidak tahu?! Dasar tidak tahu diri! Tuan Muda adalah―"
"Sudahlah, tidak ada gunanya dijelaskan pada bocah tidak tahu diri seperti itu. Cepat kita pergi sekarang."
Rukia hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam saja. Apa-apaan orang itu? bocah? Hah! Bocah darimana. Memangnya dia pikir dia siapa?
Ahh, bukankah itu pria yang ditandu tadi?
Sikapnya benar-benar sok sekali ya? Memangnya dia siapa? Berlagak seperti putra mahkota saja. Tapi walaupun begitu, dia memang… bisa dikatakan tampan sih. Dengan rambutnya yang mencolok itu dan kesannya yang… angkuh? Huh!
Sesaat setelah rombongan menghebohkan dari tuan muda aneh itu pergi, Rukia terus memperhatikan mereka dari jauh. Pria sok itu berjalan lebih dulu dari di depan dengan sikap yang… yah seperti merendahkan rakyat jelata. Tangannya dikaitkan di belakang punggungnya, seolah-olah dia itu seperti…
"Hah… setelah lama mengembara kenapa malah melihat yang seperti ini…" lirih Rukia.
Banyak orang yang sepertinya terlihat menghormati pria yang sepertinya berusia di pertengahan dua puluh tahun itu. Mungkin usianya 25 atau 26. Bisa juga 27. Tidak lebih.
Rupanya pria berambut aneh itu menghampiri rombongan gadis-gadis yang masih berdiri di dekat toko hiasan rambut tadi. Tentu saja jerit kesenangan dari gadis-gadis yang tampaknya bisa saja mati karena histeris melihat pria yang sepertinya terhormat berjalan mendekati mereka.
Wah, sepertinya dia memang populer ya? Yah, melihat tampangnya dan pakaiannya yang terlihat mahal, sudah jelas kalau dia adalah orang penting.
Beberapa potong percakapan singgah di telinganya.
"Ahh, bukankah dia adalah bangsawan Kurosaki yang merupakan tuan tanah kaya raya itu?"
"Iya, kudengar dia sangat kaya raya. Bahkan dia memiliki beberapa mansion di setiap kota."
"Wah, hidupnya pasti serba berkecukupan sekali ya."
Rukia mengernyitkan dahinya. Oh… anak bangsawan kaya raya. Wajar saja. Dengan sikapnya yang sombong dan menyebalkan itu dia memang pantas sebagai anak orang kaya raya.
"Hei, dia datang," bisik salah satu gadis yang menyadari kehadiran sang bangsawan muda di dekat mereka.
Dua gadis yang saling berbisik itu tampak memandang kagum pada sang bangsawan muda. Bahkan beberapa orang tampak memandang penuh tanya. Sekejap saja mereka sudah jadi pusat perhatian.
"Seorang gadis yang cantik jelita sepertimu… tidak bisa dibandingkan dengan semua perhiasan yang ada di sini bukan?" sapa sang bangsawan muda itu.
Gadis yang dimaksud hanya diam menunduk sembari mengembalikan tusuk rambut yang hendak diambilnya tadi. Tubuhnya berbalik dengan perlahan, menunduk memberikan salam lalu tersenyum lembut. Wajahnya tetap tidak terangkat memandang lawan bicaranya yang baru saja memujinya barusan.
"Terima kasih atas pujian Tuan. Saya sangat tersanjung. Namun, saya hanyalah seorang geisha rendahan. Tidak seperti apa yang Anda katakan barusan," balasnya dengan sikap rendah diri.
"Bagiku, kau tetap gadis tercantik di negeri ini. Cantikmu mengalahkan musim semi paling indah sekali pun. Aku tidak memandangmu sebagai seorang geisha. Tapi seorang gadis."
Orihime merasa tersanjung setiap kali pria ini melontarkan pujian mengenai keindahan dirinya. Namun, apa yang bisa dia lakukan? Dia hanyalah seorang rakyat jelata yang tidak memiliki apapun. Status pun… tidak bisa dia banggakan. Jadi bagaimana mungkin dia berharap putra dari bangsawan Kurosaki ini mau meminang dirinya?
Terkecuali, jika Orihime hanya dijadikan seorang wanita simpanan.
Tapi itu juga bukan hal buruk. Banyak wanita-wanita berstatus rendah yang dijadikan seperti itu oleh kalangan bangsawan. Hidup mereka tidak buruk. Mereka diberikan segala hal yang tak akan mungkin didapatkan dari rakyat biasa. Meski status seperti itu, mereka masih bisa menikmati cinta dan harta. Itu bukan hal sulit.
"Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih atas perhatian Anda. Kalau begitu, boleh saya mohon diri?"
"Apa kau tidak tahu aku kemari untuk menemuimu?"
Orihime tertegun sejenak. Pria ini sudah sengaja datang menemuinya?
"Mohon maafkan saya, saya sungguh berterima kasih atas niat baik Anda yang sudah jauh-jauh berkunjung kemari hanya untuk menemui gadis rendah seperti saya."
"Bangsawan sepertimu memang tidak pantas menemui gadisku!"
Tersentak mendengar suara itu, riuh kerumunan orang-orang semakin bertambah jadi. Kali ini muncul seorang pria berambut biru menyala dengan seringaiannya yang begitu menakutkan. Orang-orang yang mengikutinya pun adalah pria-pria bertubuh besar dengan wajah menyeramkan dan bekas luka dimana-mana.
"Mereka yakuza!" jerit rendah beberapa penduduk yang heboh melihat pemandangan langka ini.
"Yakuza?" gumam Rukia.
Menurut desas desus yang ada, orang tua dari orang ini adalah seorang Yakuza yang begitu ditakuti. Mungkin ayahnya adalah orang Jepang, dan ibunya orang asing. Namanya tidak mirip sama sekali dengan nama ayahnya.
Grimmjow Jeagerjaques.
"Dia kerabat dari Hitokiri Battousai yang terkenal itu," bisik orang lain lagi.
"Hitokiri… Battousai?" ulang Rukia lagi.
Semakin banyak hal aneh di sini.
Mungkin mereka memang pantas mengatakan hal itu. dari status dan latar belakang sangat memungkinkan orang-orang ini mengatakan hal seperti itu.
"Aku yang lebih dulu menemuinya," ujar bangsawan Kurosaki itu.
"Tapi dia gadis-ku!"
Grimmjow melangkah ke depan menutupi tubuh Orihime dengan dirinya sendiri. Tidak mengijinkan sang bangsawan bertatapan dengan geisha muda itu.
"Lancang sekali kau!"
"Kau yang lancang sekali. Carilah geisha-mu sendiri, Tuan Bangsawan!"
Bangsawan muda itu langsung naik pitam. Ingin rasanya dia segera menghajar preman teri itu. Karenanya tanpa babibu lagi, kakinya langsung melangkah ingin menendang wajah pria berambut tidak wajar itu. Tapi kemudian, nyalinya langsung ciut ketika tiga orang bertubuh super besar itu menghadangnya bak tembok Cina.
Bangsawan muda kini hanya bisa menelan ludahnya dengan susah payah dan berdiri dengan tegang saat tiga orang itu melemparkan tatapan maut seolah bersiap menyantap buruan mereka.
Kini, sang bangsawan muda hanya bisa meratapi nasib saat gadis yang dia sukai dibawa oleh pria lain.
.
.
.
.
BWAAAHHHAHAHAHAHA!
Rukia tak bisa menahan tawanya hingga perutnya mendadak sakit sekali. Pria bodoh yang sombong itu ternyata penakut! Dia tidak bisa melawan tiga raksasa bodoh itu!
Setelah suasana kembali stabil dan kerumunan perlahan-lahan menghilang karena pertunjukkan sudah usai, bangsawan Kurosaki itu masih duduk di atas tanah.
Wajah Rukia sudah memerah karena tertawa yang lumayan. Mungkin sekarang perutnya sudah tidak bisa menahan tawa lagi.
"Hei! Dasar rakyat jelata! Apa yang kau tertawakan hah?!"
Rukia terkejut ketika si bangsawan muda sudah berdiri di dekatnya dengan mimik yang begitu menyeramkan.
"Kenapa? Memangnya aku dilarang tertawa?" kata Rukia cuek.
"Ya! Kau dilarang tertawa! Apa-apaan kau ini hah?!"
"Memang kenapa? Kalau aku tidak menurut kau mau menghajarku?" tantang Rukia.
"Apa? Kau berani sekali! Baiklah, hajar saja gadis ini sampai mati!" perintahnya pada pengawalnya yang masih berdiri setia di dekatnya.
"Oh, kau serius?"
Segera saja tanpa ampun pengawal-pengawalnya mulai menyerang Rukia. Awalnya mungkin mereka hanya ingin menangkap Rukia hidup-hidup, tapi Rukia bisa menghindar dengan gerakan yang lincah dan beberapa kali menipu mereka. Saat salah satu hampir menangkap Rukia, Rukia akan diam di sana beberapa saat. Lalu setelah semuanya berkumpul, Rukia menendang satu persatu dari mereka hingga Rukia bisa berjalan di atas punggung dan perut mereka untuk melarikan diri.
Satu lagi, Rukia mencoba menggoda mereka kemudian Rukia berjongkok di bawah menembus kaki-kaki mereka hingga semua pengawal itu kebingungan kemana Rukia pergi.
"Hei bodoh! Apa yang kalian lakukan hah?!" pekiknya lagi.
"Aku di sini."
Tiba-tiba Rukia sudah berdiri di belakang sang bangsawan sambil tersenyum lebar.
Kurosaki muda itu berbalik dengan tergagap dan terkejut.
"Kau-bagaimana-kau…"
"Kau tidak akan bisa menangkapku. Sampai nanti, Bocah!"
Rukia menyentil dahi sang bangsawan kemudian bergerak cepat memanjat satu pohon yang begitu tinggi.
Seketika itu pula Rukia menghilang.
"Bocah? Apa-apaan bocah itu?!"
Si bangsawan Kurosaki cuma bisa diam di tempatnya tadi, sambil melayangkan pandangan bingung pada dahan-dahan pohon yang masih bergetar. Apa yang dialaminya barusan benar-benar bukan sesuatu yang bisa diterima akal sehat!
.
.
TBC
.
.
Holaa minna ehehhee… ketemu dengan saya… lagi.
Hufff pertama kali baca pasti keinget Samurai X kah?
Memang inspirasinya berasal dari sana, saya juga ngambil latar belakang yang hampir mirip dengan Samurai X. Cuma beda beberapa tokoh aja sih soalnya kan Hitokiri Battousai emang tokoh nyata yang ada di jamannya ehehehe
Ah ya, ini bukan tulisan saya sendiri. Im writing with someone without name ehehhehe…
Ya gak nama karena memang namanya gak ada. Duh bingung gak ya? Ok, jadi kira-kira apakah fic ngaco ini layak lanjut?
Kalo iyaa bolehkah review?
Jaa Nee!
