MAY I LOVE YOU?
.
-1-
Pusaran Labirin
.
Aku pernah begitu menyukai seorang wanita bersuami, kawanku dari kecil sekaligus tetangga lamaku, Sakura Uchiha, bahkan dia sudah beranak satu saat aku menyatakannya. Aku teramat ingin memilikinya, tak peduli jika itu berarti aku harus merebut Sakura dari suaminya. Padahal aku tahu itu salah, namun aku terus mengejarnya, berusaha menjadikannya milikku seorang. Sementara Sakura terus memintaku untuk mundur. Hingga aku sendiri menyadari bahwa itu hanya bagian dari obsesi, sekadar hasrat ingin memiliki.
Dan di saat aku mengabulkan harapannya, di saat aku mulai membuka hati untuk yang lain, Sakura dikhianati oleh lelaki berengsek yang selama ini dia banggakan. Bukan berarti Sakura akan berlari padaku setelah lepas dari suaminya, dia tetaplah seorang yang setia pada satu hati, walaupun seseorang yang dia kasihi sepenuh hati adalah orang yang mengoyak hatinya hingga menjadi kepingan kecil.
"If only you chose to belong to me, you'll never felt those pains. If only you chose to be mine, then you wouldn't be hurt this way."
Dia yang lebih dewasa dariku itu terkekeh mendengar ungkapanku padanya, "Aku tak mau berandai-andai, dan jangan berpikir kalau aku menyesali semua yang telah terjadi, karena aku sendiri yang memilih bersamanya. Kau juga … bangun kisahmu sendiri, Baka…."
Her the one and only love, the one who took her breath away, the one who torn her heart apart.
Namun itu semua hanya awal, permulaan dari ketololanku yang lain karena terjatuh di lubang yang sama, terlibat dalam kisah serupa, manakala aku jatuh hati kepada Gaara Rei, seorang novelis yang tak lajang lagi. Kesalahanku, karena aku terlanjur memasuki kehidupannya, menjadi orang ketiga dalam biduk rumah tangganya yang tiris menanti karam. Lebih-lebih dia berkelamin sama denganku.
Aku terus menegaskan padanya bahwa aku hanya dapat berdiri di tempat, sama sekali tak ada keyakinan untuk maju sebagai perusak hubungan orang, tak ingin dia melepaskan yang telah bertahun-tahun dimilikinya hanya untuk diriku yang tak mampu menjanjikan apapun, tapi aku pun seolah tak menemukan celah untuk mundur. Di titik ini lah aku seperti terpenjara dalam labirin tak berujung.
.
.
Jujur saja aku masih ragu, aku belum mempunyai kepercayaan diri lagi untuk mengikat seseorang dalam hubungan. Terakhir aku mengencani seorang perempuan bernama Shion tapi hanya bertahan beberapa hari. Memang aku belum benar-benar menyukai Shion saat itu karena hatiku masih condong kepada Gaara, namun aku berusaha memperlakukannya dengan baik layaknya kekasih. Sayangnya Shion tidak seperti harapanku. Aku kira perempuan akan senang ketika mendapatkan limpahan perhatian, tetapi dia termasuk cuek, membuatku merasa tak dihargai.
Bukannya membanggakan diri, namun tak semua orang yang mendekatiku, terutama para hawa yang terang-terangan menunjukkan ketertarikan kepadaku, bisa mendapatkan kesempatan untuk menjadi kekasihku. Aku sudah berbeda dari diriku semasa remaja. Tak terhitung berapa perempuan, juga laki-laki, yang sudah menyatakan perasaannya padaku, yang tidak bisa ku terima dengan banyak pertimbangan. Sialnya Shion tak menggunakan peluang itu dengan bijak. Jadi lucu manakala ia seperti tak rela ketika aku memutuskan hubungan.
Pada akhirnya aku memilih untuk kembali setia kepada Gaara, seseorang yang membuatku rela menjadi orang ketiga. Aku tak masalah jika hanya dijadikan yang kedua atau sebagai keranjang sampah ketika dia membutuhkan tempat untuk memuntahkan unek-unek. Asal jangan sampai pernikahannya dikorbankan hanya agar bisa bersamaku yang tak tentu dapat berkomitmen. Lagipula kolot jika status lebih diutamakan, selama ini perempuan cenderung membosankan ketika sudah ku kencani. Mungkin aku naif, tapi untuk sekarang bagiku saling mencintai saja sudah cukup.
Keh, cinta?
Bahkan aku tak yakin apa ini yang dinamakan cinta?
Kalau bukan, seperti apakah cinta itu?
"Sudah puas ributnya?"
Matsuri berdecak setelah Gaara beranjak ke dapur. Ternyata dia mendengar cekcok singkatku dengan Gaara barusan.
"Bukan masalah serius, ayahmu cuma cemburu."
"Selir lagi?"
"Tch anak ini." Aku menjitak kepalanya main-main, "Untuk sekian kali papa bilang, papa tidak punya yang seperti itu."
Bagaimana bisa aku berhubungan dengan orang lain lagi jika aku terus merasa telah menyelingkuhi Gaara ketika dekat dengan yang lain walaupun ikatan kami tak tertulis. Cukup dengan Shion saat itu.
"Aku bukan anak kecil yang bisa dibodohi, Papa."
"Tapi papa selalu jujur padamu."
Matsuri adalah anak angkat Gaara. Selisih usia kami dengan remaja ini berkisar lima belas tahun. Suatu waktu Matsuri mengatakan lebih dekat denganku daripada pasangan Gaara yang sibuk mengejar karier di luar negeri, bahkan dia bilang seperti tak mengenal sosok tersebut. Maka dari itu dia lebih terbiasa memanggilku papa, dan Gaara sebagai ayah.
Matsuri juga pernah bilang kalau aku adalah orang kedua yang bisa menang dalam debat absurd dengannya. Tak tahu mengapa ada kesenangan tersendiri ketika mendengarnya.
Saat Gaara sibuk berkejaran dengan deadline dari editornya, aku yang menjaga Matsuri di kediamanku. Dia perempuan tapi punya kebiasaan bermain game online hingga larut. Jadi aku terbiasa begadang selain untuk menemaninya belajar. Kalau boleh jujur, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan Matsuri dibandingkan dengan sang ayah. Hingga tanpa sadar Matsuri telah menjadi salah satu alasan kenapa aku tak bisa meninggalkan Gaara.
"Dengarkan baik-baik karena papa tak akan sering mengucapkannya. Papa menyayangimu. Apapun yang terjadi, papa akan selalu menyayangimu."
Aku bersungguh-sungguh mengatakannya saat itu. Matsuri adalah rumah. Apapun yang terjadi, dia seperti pelabuhan untukku pulang, kecuali jika dia sendiri yang sudah tidak mengharapkanku untuk kembali.
.
.
"Naruto, aku akan bilang padanya kalau aku ingin bercerai."
"Jangan bodoh."
"Kau yang bodoh. Tidakkah kau ingin kita hidup bersama di bawah satu atap? Aku, kau, dan Matsuri. Kita bertiga, bukan aku dengan Matsuri, atau kau dengan Matsuri saja."
"Sudah berulang kali ku bilang kalau aku tak bisa."
"Kau yang pertama maju, tapi kenapa kau yang ingin mundur saat aku memutuskan untuk mengambil langkah berani?"
"Harus kukatakan berapa kali agar kau bisa mengerti, biarkan seperti ini, aku yang berdiri di tempat dan kau yang tetap bersamanya. Tapi aku akan berusaha selalu ada jika kau membutuhkanku."
"Kau masih belum percaya kalau sekarang Ino lebih seperti kakak bagiku?"
Bukan belum, tapi tidak. Gaara selalu menyinggung namanya, entah dia sadar atau tidak, entah dia hanya ingin mengujiku atau bagaimana, yang jelas aku tahu Gaara masih baik-baik dan akan selalu baik-baik saja dengannya.
"Kau mau pergi di tengah diskusi kita lagi? Kau mau jadi pengecut, huh?"
"Dari awal kau sudah tahu kalau aku bukan orang baik."
"Dan aku pernah bilang di awal, jangan masuki kehidupanku kalau kau hanya berniat menghancurkannya!"
.
.
Aku frustrasi.
Meski rasanya tak lagi pantas bagi diriku yang sudah berkepala tiga untuk menggalaukan hal semacam ini. Bagaikan remaja labil dengan hormon kasmaran mendidih beserta bumbu galaunya yang memuncak. Sangat memalukan.
"Good appearance doesn't make a real man. The important thing is to do your best and keep promises. A real man should show his faith in actions rather than words."
Gaara selalu menyinggung hal itu, tentang aku yang tak bisa menepati kata-kataku. Entah apa yang diluapkan Gaara kepada orang-orang terdekatnya, terlebih kakak-kakaknya. Dari yang ku tahu Gaara memang berlagak layaknya pihak yang paling tersakiti. Lantas mereka selalu mengecamku, mengataiku pengecut atau seseorang yang tak bertanggung jawab. Kebanyakan dari mereka memang hanya melihat dari satu sisi saja. Mereka hanya belum mengenalku dengan baik sampai bisa sembarangan menghakimiku. Aku juga tak pernah mencitrakan bahwa aku adalah orang baik-baik. Tidak akan ada bedanya jika Gaara memperburuk itu di mata mereka.
Aku bahkan tak yakin mereka benar-benar paham akan permasalahan yang terjadi antara diriku dan Gaara. Bagaimanapun mereka tak akan peduli dengan apa yang ku rasakan. Mereka hanya tahu kulit tapi seolah sudah menguasai sampai akarnya.
Tapi sungguh, aku benar-benar frustrasi!
Hingga ketika kawanku, Kiba Inuzuka, menawarkan untuk berburu kesenangan satu malam, tanpa pikir panjang aku menyanggupi. Namun ku sadari ada masalah lain, walaupun sudah terlalu terlambat untuk mundur. Mungkin akan dianggap aneh atau mengada-ada, pria yang dipandang sudah matang sepertiku ternyata belum memiliki pengalaman seks, alias masih perjaka ting-ting!
Pasti akan lebih sulit untuk dipercaya jika aku membongkar hal ini. Suatu waktu aku pernah dicap sebagai bad boy, terkadang juga dikira sebagai playboy. Barangkali lantaran diriku saat remaja begitu sulit untuk menolak ajakan kencan dari para perempuan. Aku pikir, untuk menyatakan perasaan atau menawarkan itu padaku saja membutuhkan keberanian ekstra, jadi aku bermaksud memberikan apresiasi, juga sebagai ungkapan terima kasih. Bukankah lebih baik daripada menolak mereka?
Sayangnya aku bukan pelaku pacaran tidak sehat seperti yang selama ini menjadi prasangka mereka. Teman-temanku pun mengira diriku begitu berpengalaman dengan wanita. Membuatku sadar bahwa belum ada yang benar-benar mengerti akan diriku. Bahkan sampai sekarang ibuku masih khawatir dan mengira kedua cap itu, bad dan player, akan menempel di jidatku selamanya, terlebih karena belum ada satu pun perempuan yang pernah ku bawa ke rumah. Masih segar dalam ingatanku saat ibuku seketika pingsan begitu aku mengaku sedang menjalin hubungan dengan seorang laki-laki.
Dan memang sudah terlalu terlambat untuk mengakui segalanya karena sekarang aku berada di kamar nomor 1611 ini, seperti instruksi Kiba. Malam ini pun Kiba sedang bermain dengan seorang wanita, kenalan dari seseorang yang ditawarkan kepadaku. Sama sekali tidak ada pertimbangan, aku setuju begitu saja, tak peduli bagaimana partnerku nanti. Aku hanya sedang penasaran.
Tapi entah mengapa aku jadi gugup sendiri. Beberapa kali aku mengubah posisi dudukku di sofa sambil memenceti remote televisi tanpa minat. Kiba bilang, wanita itu menyanggupi untuk memulainya pukul tujuh, sedangkan tanpa diminta aku datang lebih awal. Dan saat ini kurang setengah jam menuju waktu yang dijanjikan.
.
.
Sejak malam itu, aku memberikan tarif tambahan sebesar 100 ribu dolar kepada induk semang distrik merah agar bisa memonopoli sang tunasusila cilik selama satu bulan, tanpa interupsi dari pria lain. Ia mengaku bernama Lily, dan demikian pula aku memanggilnya. Betapa terkejutnya aku saat tahu Lily masih berusia 17 tahun. Dandanan Lily sungguh sangat menipu, dengan pakaian yang lumayan terbuka di balik mantelnya, juga lipstik merah menyala, aku awalnya mengira Lily sudah 20 tahunan.
Kiba mengataiku tolol setelah tahu aku dan Lily tidak melakukan apapun malam itu, selain berbincang ringan, dan tanpa ragu aku mencurahkan kegelisahanku belakangan ini. Dengan semua kenyataan itu, Kiba kembali mengumpatku gila lantaran keputusanku untuk membayar lebih.
Aku pun tak mengerti.
Dengan mudahnya aku merasa nyaman berada di dekatnya, dan sangat yakin dapat mempercayainya.
"Dari awal Anda yang membelenggu diri sendiri, Tuan. Membuat penjara untuk menekan perasaan Anda. Sejujurnya, kisah cinta itu hanya dua orang pelakunya, anggap saja yang lain hanya menumpang."
Lily tertawa anggun sebelum melanjutkan, "Jika Anda benar-benar niat, saya yakin Anda tak akan ragu untuk maju. Cinta bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga memperjuangkan."
Aku terus menyimak dengan pandangan yang sulit ku alihkan. Rasanya tidak ingin melewatkan segala ekspresi yang muncul ketika ia berbicara.
"Orang bilang cinta tak harus memiliki, tapi bagi saya justru sebaliknya, cinta harus memiliki entah hati atau raganya saja. Beruntunglah yang bisa memiliki keduanya. Tapi jika saling memiliki perasaan itu, tak berarti harus selalu bersama, asalkan masing-masing diri tetap menjaga komitmen."
Komitmen. Itu dia. Aku tidak yakin bisa berkomitmen.
"Cinta harus memiliki, bahkan meski hanya bisa memiliki perasaan itu sendiri dan bertepuk sebelah tangan."
Kata-kata yang meluncur dari mulutnya begitu menyejukkan. Aku tak peduli siapa dirinya sekarang, tak memandang bagaimana statusnya di mata orang. Aku tertarik padanya yang begitu bijak di usianya yang terbilang belia. Ia yang mampu memberikan ketenangan dari setiap butir kata yang ia ucapkan. Ia yang mendengar semua keluh kesahku dengan sabar, lantas menimpalinya dengan saran yang menenangkan. Aku seolah terhipnotis oleh mulut manisnya.
"Dan hanya orang baik yang mengatakan dirinya bukan orang baik-baik."
"Kau terlalu berharga untuk menjalani profesi ini," ucapku tulus.
"Anda bukan orang pertama yang mengatakan itu, Tuan."
Satu lagi, Lily adalah seseorang yang punya daya imajinasi tinggi. Terkadang aku sulit menalar kisah hidup yang dia tuturkan, yang terkadang seperti cerita fantasi bagiku. Dari kisahnya tentang mendaki untuk menelusuri jejak manusia purba, uji nyali di gua tertua yang katanya banyak arwah penasarannya, sampai mendapati mata air langka yang konon hanya orang terpilih yang dapat menemukannya.
Namun Albert Einstein saja berujar bahwa imajinasi lebih penting dari pengetahuan. Menurutnya pengetahuan terbatas, sedangkan imajinasi meliputi seluruh dunia, merangsang kemajuan, melahirkan evolusi. Dan imajinasi dapat mengantarkan ke semua tempat. Aku pikir mungkin dia bisa menjadi seorang penulis andal seperti Gaara.
Malam ini pertemuanku dengannya untuk ke sekian kali. Malam sebelumnya aku memintanya untuk mencoba pewarna bibir yang lebih soft, tentu saja membuat Lily jadi terlihat sesuai umurnya. Dan kini aku justru menyesal ketika timbul perasaan untuk melumat bibir berpoles warna pink pastel itu.
Apakah tidak apa-apa jika aku melakukannya? Tidak aneh kah jika malam-malam sebelumnya hanya berbincang layaknya teman, sedangkan malam ini aku ingin lebih. Lily terlalu indah untuk tak dimiliki.
Aku yakin dalam keadaan sangat sadar, tapi seolah lupa bagaimana aku memulainya, tahu-tahu aku sudah menindihnya di ranjang, dan aku benar-benar meluluskan hasratku. Mundur adalah hal yang tidak akan ku lakukan karena Lily sama sekali tidak menolak, justru sambutannya begitu menggairahkan.
Berapa laki-laki yang pernah melumat bibir ranum ini? Berapa lelaki yang sudah menjamah tubuh moleknya ini? Tapi aku tidak mau peduli.
Di tengah debaran dada yang begitu asing namun menyenangkan, aku mendekap tubuhnya, menatapnya tepat di matanya yang mendamba. Ini adalah yang pertama bagiku. Aku, Naruto Namikaze, akan melepas keperjakaanku untuk seorang wanita tunasusila. Sulit dipercaya, tetapi inilah yang ku lakukan sekarang, perempuan ini yang ku pilih.
Mengikuti insting, aku menurunkan celanaku sedikit, menyusul pakaian dalamnya yang turun sebatas paha. Penuh hati-hati aku mendorong pinggulku.
"Mmhh, Tuan…."
"Tunggu,"
Apa aku tidak salah lihat?
"… kau … perawan?"
Bagaimana mungkin….
.
.
Setibanya di rumah di hari berikutnya, aku masih tidak habis pikir. Lily ternyata masih perawan sampai aku menyentuhnya. Dia hanya tersenyum ketika aku bertanya tentang alasannya memilihku untuk melepas harta tak ternilainya itu. Mungkin sama halnya dengan diriku yang tidak tahu mengapa begitu mudah untuk memberikan yang pertama kepadanya. Hanya saja, aku masih bertanya-tanya, bagaimana dia menjalani hari-harinya yang lalu bersama pria lainnya?
"Hei, Ahou, aku dengar kau menjalin hubungan dengan tunasusila."
"Siapa yang bilang padamu?"
Apa Gaara yang memberitahunya? Ah, siapa lagi.
Inilah hal yang kurang ku sukai jika pulang ke rumah utama. Orang-orang akan mulai mencampuri urusan pribadiku. Tapi aku tidak bisa menolak undangan ibu untuk makan bersama.
"Tidak penting! Aku sudah bisa menerima kalau adikku menyimpang, aku bahkan merestuimu dengan Gaara, lalu membelamu di depan ayah dan ibu untuk jalan hidup yang kau pilih! Tapi kenapa kau justru memilih bersama seorang pelacur!"
"Karin! Jaga ucapanmu."
"Untuk pertama kalinya kau membentak kakakmu hanya karena wanita jalang itu."
"Bukan begitu. Aku hanya tak ingin kau menuruti emosi. Kata-kata yang kau lontarkan saat marah hanya akan menjadi penyesalan hebat di kemudian hari."
"Persetan, simpan itu untuk dirimu sendiri."
Aku urung membalasnya ketika ibu muncul setelah mendengar percekcokan kami. Ibu membuat keadaan lebih mencair dengan mengundang kami ke meja makan. Sayangnya nafsu makanku sudah menguap entah ke mana.
.
.
.
.
21112015
NARUTO belongs to Kishimoto Masashi sensei :)
! gain no profit from this fanfiction ! thanks for reading ! please don't copy without permission !
based on true "story"
request-inspired-by-uknowho
