Wonwoo's Happiness
.
.
.
"Aku senang sekali sekarang bisa pergi dan pulang kuliah denganmu, hyung" aku tersenyum menanggapi ucapan pria disebelah kananku. Kami sedang berjalan bergandengan tangan menuju rumah. Senyum juga melekat indah diwajah tampannya. Ia menggengam tanganku erat sambil menyusuri jalanan.
Namaku Jeon Wonwoo. Dan pria yang sedang berjalan denganku adalah juniorku di universitas. Dia juga tetangga sebelah rumahku. Dan.. oh ya. Dia itu kekasihku. Kim Mingyu. Pria serba bisa ini sudah jadi kekasihku sejak tiga tahun lalu. Terkejut? Kalau ya, berarti kalian sama seperti teman-teman ku di kampus. Tidak ada yang tau kalau aku sudah memiliki kekasih.
Siapa yang percaya orang yang berwajah datar dan bersikap dingin -galak- sepertiku ini sudah memiliki pacar yang setahun lebih muda. Mereka tidak tahu saja sifat asliku. Dan yang boleh tahu hanya Mingyu.
"Aku juga sangat senang, Gyu. Aku jadi bisa mengawasimu untuk tidak genit ke orang lain" aku sedikit terkekeh melihat reaksi Mingyu. Dia sangat tampan. Sungguh. Banyak sekali wanita atau pria yang mendekatinya bahkan hingga saat ini. Tapi aku bisa bernafas lega karena Mingyu-ku tidak tergoda dengan mereka. Biarlah aku merasa percaya diri.
"Ayo kerumahku, hyung. Kita movie-date dikamar. Mumpung kau sudah tidak sibuk." aku menatap Mingyu lalu mengangguk. Sudah lama kami tidak berkencan karena aku selalu sibuk di kampus. Kami tidak butuh kencan kekanak-kanakan seperti pergi ke taman bermain -walau pernah juga kami lakukan- atau ke pusat perbelanjaan yang sangat ramai. Menurutku kencan itu adalah waktu untuk berduaan.
Kami berjalan sambil berbincang ringan menceritakan kejadian sehari tadi di kampus.
Rumah pertama yang kami temui sebenarnya adalah rumahku. Lalu baru tepat disebelahnya rumah Mingyu. Baru satu langkah aku melewati pintu pagar rumahku, Mingyu berhenti dan membuatku juga ikut berhenti berjalan. Aku menatap Mingyu heran lalu ikut menatap arah pandangnya.
Tepat didepan rumahnya, ibu Mingyu sedang mengantarkan dua orang pria berpamitan pulang. Ibu Mingyu tersenyum kearah dua pria itu. Salah satu pria itu sangat tampan. Terlihat sangat kaya dan elegan. Tapi entah hanya menurutku saja atau memang pria berkulit sedikit gelap itu mirip dengan Mingyu. Dan satu pria lagi terlihat sangat tampan dan imut secara bersamaan. Aku yakin mereka adalah pasangan.
Setelah berpamitan dua pria itu memasuki sebuah mobil hitam mewah yang terparkir didepannya lalu melesat pergi dengan cepat. Mingyu masih mematung disampingku. Tatapan mata Mingyu begitu tajam dan aku belum pernah sekalipun melihat tatapan yang seperti itu. Aku jadi bertanya-tanya apa hubungannya dengan dua pria tadi.
Keluarga Mingyu itu cukup kaya. Ibunya seorang pemilik event organizer sukses. Dan mungkin saja dua orang tadi adalah klien ibu Mingyu. Tapi biasanya kalau soal kerjaan ibu Mingyu tidak mau mengundang orang kerumahnya.
Mingyu itu anak satu-satunya. Ia hanya tinggal berdua dengan ibunya yang single parent. Kata Mingyu, ayahnya sudah meninggal saat Mingyu berumur dua tahun. Tapi aku tau itu sebuah kebohongan.
Ayah Mingyu masih hidup. Berdasarkan cerita ibu Mingyu, ayah Mingyu adalah orang yang sangat sukses. Dulu ayah Mingyu dan ibu Mingyu ditambah seorang wanita bernama Im Insoo bersahabat baik. Sejak high school hingga universitas mereka bertiga selalu bersama. Ayah Mingyu jatuh cinta dengan ibu Mingyu, begitu pun sebaliknya. Tapi orang tua ayah Mingyu malah menjodohkannya dengan Insoo. Insoo menggunakan kekuasaan orang tuanya untuk mendapatkan ayah Mingyu. Persahabatan Insoo dan ibu Mingyu jadi sangat memburuk karena itu.
Setelah mereka -terpaksa- menikah, Insoo melahirkan seorang anak lelaki. Tapi diam-diam ayah Mingyu berselingkuh dengan ibu Mingyu hingga ibu Mingyu melahirkan Mingyu. Keluarga kecil Mingyu hidup dengan harmonis walau hanya dengan status perselingkuhan. Saat Mingyu berumur dua tahun perselingkuhan ayah Mingyu terungkap. Insoo marah besar. Dia sampai berani menyakiti ibu Mingyu. Mengancam ayah Mingyu untuk tidak berhubungan lagi dengan ibu Mingyu. Sungguh dengan berat hati ayah Mingyu menuruti permintaan Insoo untuk melindungi ibu Mingyu dan Mingyu.
Sejak berumur dua tahun Mingyu sudah tidak bertemu ayahnya. Dan ia menganggap ayahnya sudah mati. Mingyu merasa diterlantarkan. Cap anak hasil perselingkuhan membuat dia membenci sosok ayahnya.
.
.
.
Aku dan Mingyu memasuki rumah Mingyu. Hampir setiap hari aku memasuki rumah ini tiga tahun belakangan. Ibu Mingyu sudah menjadi sosok ibu buatku juga. Aku yang tinggal sendiri di Seoul merasa memiliki keluarga bila bersama keluarga Mingyu.
"Aku pulang, eomma" ucap Mingyu saat memasuki rumah. Mingyu dan aku mengganti sepatu dengan sandal rumah. Mingyu masih menggenggam tanganku.
Ibu Mingyu, Lee Younghee. Atau aku biasa memanggilnya 'eommoni'. Umurnya sudah kepala empat tapi wajahnya masih terlihat seperti gadis dua puluhan. Ia sedang terlihat gusar sambil duduk di sofa ruang keluarga.
"Eommoni, Wonu datang.." ucapku seperti biasa saat aku berkunjung kesini. Ibu Mingyu hanya tersenyum. Aku mendudukkan diri disamping ibu Mingyu.
"Ah.. kalian baru pulang kuliah. Senang ya kalian sudah bisa kuliah sama-sama" senyum ibu Mingyu begitu lembut dan menenangkan. Tapi senyumnya kali ini menyisipkan sesuatu yang terlihat sulit diartikan.
Aku melirik Mingyu yang duduk di sofa berhadapan dengan sofa kami. Wajahnya terlihat serius.
"Aku melihat pria itu keluar dari rumah tadi. Apa yang dia lakukan disini?" wajah Mingyu dingin sekali. Apa yang dimaksud Mingyu adalah pria yang mirip dengannya tadi?
Aku berpindah menatap ibu Mingyu yang menunduk. Aku paham ini masalah yang serius.
"Eommoni, aku akan membuat minuman hangat didapur, kalian bicaralah berdua." aku beranjak dari sofa cepat sebelum sempat ibu Mingyu mencegahku pergi. Mereka butuh waktu berdua. Walau sebenarnya apapun yang mereka bicarakan pasti akan aku ketahui, tapi meninggalkan mereka bicara empat mata akan lebih aman.
Dari ruang keluarga ke dapur itu sangat dekat. Sudah pasti aku bisa mendengar apapun percakapan mereka dari sini. Aku sengaja memperlambat gerakanku menyeduh teh. Sambil sedikit menguping pembicaraan ibu dan anak itu.
"Kim Jongin datang hanya memberi kabar, Gyu." Ibu Mingyu mulai berbicara. "Appa mu sakit parah. Dia jatuh sakit setelah Insoo meninggal. Dia... ingin bertemu dengan mu, Gyu." suara ibu Mingyu sedikit tertahan dibalik isakan. Eommoni sedang menangis. Aku kembali mendengarkan percakapan mereka.
"Aku tidak mengenal siapa itu Kim Jongin dan siapa itu Insoo. Dan berkali-kali aku katakan aku tidak memiliki ayah. Ayah ku sudah mati tujuh belas tahun yang lalu." aku ingat, Kim Jongin itu adalah anak dari ayah Mingyu dan istri sahnya, Im Insoo. Dan apa tadi kata ibu Mingyu? Insoo sudah meninggal.
Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku. Aku terkejut mendengar berita itu.
"Mingyu-ya. Bagaimana pun Kim Cheolsoo itu adalah ayahmu. Temuilah dia nak. Eomma mohon." rasanya ingin aku memeluk eommoni saat isakannya terdengar makin memilukan.
Mingyu menggeram. Marah. Aku juga bisa merasakan kebencian Mingyu jika aku ada di posisi Mingyu.
"Eomma tolonglah. Jangan pernah sebut nama itu lagi di depanku. Aku tidak mengenalnya dan tidak akan pernah mau mengenalnya.." Aku mengintip dari bilik dapur, Mingyu sudah berdiri dari sofanya dan sudah akan beranjak dari sana. "Memangnya kenapa kalau dia sakit keras? Kenapa tidak sekalian ikut mati saja dengan wanita iblis itu!"
Plak!
Aku membatu menatap pemandangan itu. Ibu Mingyu menampar keras pipi Mingyu. Mingyu menatap ibunya dengan tajam sambil memegangi pipinya yang terasa perih. Lalu dengan cepat meninggalkan ruangan itu menuju kamarnya. Ditambah debuman keras yang aku yakin itu suara pintu kamar Mingyu yang dibanting.
Aku menghampiri ibu Mingyu yang masih mematung berdiri dengan tangannya yang bergetar. Aku memeluknya. Dan tangisnya seketika tumpah didadaku. Ibu Mingyu sudah aku anggap ibuku sendiri. Dan aku sangat tidak tega melihat dia menangis.
"Maafkan eomma, Gyu. Mianhae.." eommoni terus menggumamkan kata maaf disela tangisnya. Hatiku juga terasa diiris-iris.
"Aku akan bicara pada Mingyu dan akan membujuknya, eommoni. Berhentilah menanggis." aku menghapus genangan air mata diwajah ibu Mingyu. "Eommoni minumlah teh hangat ini lalu beristirahatlah. Serahkan Mingyu padaku." Aku meletakkan satu dari tiga cangkir teh yang kubawa dengan nampan di atas meja. Lalu beranjak membawa nampan berisi dua cangkir teh ke kamar Mingyu.
Aku mengetuk beberapa kali kamar Mingyu sebelum masuk. Saat masuk yang aku lihat Mingyu sedang meringkuk di bawah jendela kamarnya sambil bersandar di badan kasur. Wajahnya disembunyikan dibalik lutut yang ditekuknya. Aku belum pernah sekalipun melihat Mingyu sehancur itu.
Ku letakkan nampan teh diatas meja belajar Mingyu. Lalu ku hampiri dia perlahan. Ku dudukkan tubuhku disamping Mingyu. Tanganku terulur mengusap lembut punggungnya. Isakan pilu lolos dari mulutnya. Sungguh aku juga ingin menangis. Bantu aku tuhan.
Aku memeluk tubuhnya menyalurkan kenyamanan. Sebenarnya aku tidak tau apa yang harus aku lakukan. Masalah keluarga Mingyu tidak bisa begitu saja diselesaikan bahkan jika aku ikut campur. Untuk sekarang yang aku bisa hanya berada disisi Mingyu.
"Mau ikut aku keluar tidak? Kali ini aku yang mengajakmu kencan. Ditaman. Eotte?" setelah kurasa tangisan Mingyu mereda aku mengajukan ide gila. Apa? Kencan? Ditengah masalah serius seperti ini. Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang. Aku cuma ingin membawa Mingyu keluar rumah dan membantu dia menenangkan pikirannya. Semoga ini ide yang baik. Dan Mingyu mengangguk.
"Aku akan mencuci wajahku dulu. Ambillah satu baju dilemariku. Bajumu basah, hyung." aku menatap bagian dadaku. Benar. Ini bajuku sudah sangat basah karena airmata.
Ku ambil satu sweater berwarna biru dari lemari pakaian Mingyu. Lalu mengganti kaosku dengan sweater tersebut. Mingyu keluar dari kamar mandi sambil menyeka wajah basahnya. Dia juga berganti baju. Lalu menggenggam tanganku keluar rumah.
Ibu Mingyu sepertinya sudah istirahat di kamar karena ruang keluarga sudah kosong. Cangkir teh yang ku seduh tadi tertinggal dalam keadaan kosong di atas meja. Aku tersenyum kecil.
Setelah memakai sepatu, kami keluar menuju taman didekat pemukiman kami.
.
.
.
Menikmati udara sore di pukul setengah enam ini tidak begitu buruk. Matahari sudah beranjak sembunyi dibalik gedung-gedung tinggi. Berjalan sambil bergenggaman tangan seperti yang setiap hari kami lakukan.
"Gyu, bukankah itu Seungkwan?" aku menunjuk seorang yang berjalan keluar dari sebuah rumah menggandeng seorang anak perempuan.
"Iya memang Seungkwan. Tapi siapa anak kecil itu?" itu juga pertanyaan yang sama yang ada diotakku. Seungkwan itu teman sekelas Mingyu di high school. Tinggal bersama noonanya. Berdua. Seungkwan dan noona nya masih single. Kecuali Seungkwan yang sudah memiliki kekasih.
"Ayo tanya. Aku penasaran" ku tarik tangan Mingyu untuk menghampiri Seungkwan yang berjalan perlahan bersama gadis kecil itu.
"Seungkwan-ah..." aku sedikit berteriak saat sudah dekat dengan Seungkwan. Seungkwan berhenti lalu menatap kami yang berjalan dibelakangnya. Dia tersenyum. Pria tembam asli Jeju itu menunggu kami menghampirinya.
"Mingyu? Wonwoo hyung? Tumben sekali kalian keluar jam segini. Oh ya Mingyu, ku dengar kau masuk universitas S? Kalian satu kampus dong? Asik sekali. Aku dan Hansol tidak bisa satu kampus. Tidak seru." Seungkwan mengerucutkan bibirnya lucu. Hansol itu pacar Seungkwan. Lelaki berdarah campuran Amerika-Korea.
Aku jadi ingat sebenarnya yang niat bertanya itu aku. Kenapa jadi Seungkwan yang bicara panjang lebar. Sebenarnya aku sudah maklum melihat sifat cerewet Seungkwan yang seperti itu. Dia orang yang terbuka dan sangat ceria.
"Kami hanya ingin jalan-jalan. Eum.. kencan ditaman. Kau sendiri mau kemana? Dan...dia?" mataku melirik gadis kecil yang masih dalam gandengan tangan Seungkwan.
"Ah.. Hana-ya, perkenalkan dirimu sayang. Ini teman-teman oppa." Seungkwan berbicara sangat lembut kepada gadis itu.
Gadis itu tersenyum lalu membungkuk. "Annyeonghaseyo. Namaku Chwe Hannah. Umurku enam tahun. Bangapseumnida" imut sekali gadis kecil ini. Chwe Hannah. Nama belakangnya sama dengan Hansol. Apa dia putrinya Hansol? Mana mungkin.
"Annyeong Hana. Kim Mingyu imnida. Panggil aku Gyu Oppa ya.." Mingyu yang dari tadi terdiam malah duluan memperkenalkan diri sambil mengusap lembut rambut Hana yang berwarna keemasan.
"Hai Hana.. Aku Wonwoo Oppa" ucap ku pada Hana di barengi senyum manis.
Mingyu itu menyukai anak kecil. Ada beberapa kali dia mengatakan sangat ingin memiliki adik. Yang lebih parah Mingyu juga pernah mengatakan ingin punya seorang anak, dariku. Aku ini pria, Gyu.
"Hana ini anak dari sepupu laki-laki Hansol. Ibu Hana baru saja meninggal jadi ayahnya dan Hansol sedang mengurus pemakaman. Aku disuruh Hansol untuk menjaga Hana selagi mereka sibuk. Aku sih senang sekali. Apalagi Hana itu menggemaskan." Seungkwan seperti membaca pikiran-pikiran anehku yang mengira Hana adalah putrinya Hansol.
Tiba-tiba Mingyu berlutut dihadapan Hana. Ditangkupnya pipi gembil Hana. "Hana-ya.. Saat ayahmu menjemputmu nanti, kau harus terus menyayangi ayah ya? Jadilah anak yang baik." aku menutup mulutku dengan tangan. Terlalu terkejut mendengar semua ucapan Mingyu.
Aku menatap Hana, Mingyu dan Seungkwan bergantian.
"Ah kalau begitu aku pamit dulu ya Wonwoo hyung. Aku dan Hana mau ke supermarket membeli beberapa camilan dan eskrim. Bye hyung. Bye Mingyu." Seungkwan berjalan mendahului kami.
"Ayo. Katanya mau kencan." aku tersadar dari lamunanku saat Mingyu menarik genggaman tanganku.
Sesampainya ditaman aku mendudukkan diri di sebuah bangku taman panjang terbuat dari kayu. Membelakangi sebuah air mancur kecil. Mingyu duduk disebelahku. Lalu tanpa meminta izin dia merebahkan tubuhnya di bangku itu. Kepalanya diletakkan di pahaku. Aku tidak keberatan sama sekali dengan tindakannya.
Mingyu terdiam. Tangan kanannya menggenggam tanganku yang dibawanya ke atas dadanya. Jantungnya berdegup cepat. Tangan kirinya, ia letakkan di dahi hingga menutupi matanya. Aku mengusap lembut rambutnya menyalurkan ketenangan.
"Aku merindukannya, hyung" Mingyu bergumam pelan. Hampir saja aku tidak mendengarnya. Aku tidak bisa menatap matanya karena masih tertutup lengannya.
Apa tadi? Rindu? Pada siapa? Jangan-jangan...
"Aku merindukan Appa.. Ingin sekali aku bertemu dengannya lalu memeluknya. Aku... aku terlalu malu..." aku menyingkirkan lengan yang berada didahinya. Kutatap lembut mata yang sudah meneteskan bulir bening itu.
"Aku juga tau eomma masih mencintai appa. Aku melihat eomma menangis tengah malam sambil memeluk foto keluarga kami. Aku sudah jahat pada eomma, hyung..." Mingyu menyembunyikan wajahnya diperutku. Isakannya lolos begitu saja.
Aku tersenyum kecil.
Ku isyaratkan Mingyu untuk duduk menghadapku. Kutangkup kedua pipinya yang basah. Perlahan ku dekatkan wajahku ke wajah Mingyu. Sebuah kecupan mendarat dibibir Mingyu. Aku ingin sekali menyalurkan rasa banggaku melalui kecupan ini.
Aku tersenyum lagi.
"Aku tidak pernah salah memilihmu, Gyu. Kau pria terhebat yang pernah aku temui.." jujurku. Sungguh aku bahagia sekali melihat Mingyu yang seperti ini. Mingyu yang tidak lagi keras kepala dan mengenyampingkan gengsinya untuk mengakui kesalahan. Dia pria yang sangat hebat.
"Semua orang pernah melakukan kesalahan. Semua orang juga pernah membenci. Tapi yang paling penting adalah memperbaiki semua kesalahan dan menghapus semua rasa benci." ku bawa tubuh Mingyu kedalam pelukanku.
Mingyu mengangguk dalam pelukanku. "Aku akan menemui appa.." senyumku makin merekah mendengar satu kalimat dari bibir Mingyu itu.
.
.
.
.
.
.
To be continued
.
.
.
.
Hai...
Noona kembali membawa drama kehidupan Meanie. Diselipin Kaisoo sedikit. Siapa yang setuju kalau Kim Jongin dan Kim Mingyu itu mirip?
Fic ini cuma twoshoot. Chap selanjutnya akan di publish secepatnya. Kalau chap ini banyak yang respon update selanjutnya juga bisa dipercepat. /maksa/
Silahkan beri saya saran dan kritik. Review yang masuk di semua fic saya sudah dibaca. Terima kasih. Dan maaf tidak bisa dibalas satu persatu.
Sampai jumpa di chap selanjutnya. Masih hutang Junhao di Seventeen Romance. Secepatnya juga bakal di update.
Salam Kaisoo Meanie. Ppyong!
Kim Noona
Sat, 6th August 2016
