Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Rated: T

Casts: Aomine Daiki | Akashi Seijuurou

First © Hidekazu

Holding Hands

.

Like a cup of chamomile tea in the morning...

.

"Daiki, duduk."

"Ha?"

Minggu pagi yang diawali dengan mail dari Akashi yang meminta –atau lebih tepatnya, menyuruhnya- untuk segera datang ke taman yang berada di dekat stasiun sebelum jam makan siang. Hari Minggu yang seharusnya dia habiskan untuk tidur hingga siang, membaca majalah Mai-chan favoritnya atau sekedar bermalas-malasan di depan TV, yang rencananya hanya akan berantakan bila Satsuki yang meminta untuk ditemani belanja.

Namun, tidak dengan hari Minggu ini. Entah ada angin apa, daripada diusik oleh seseorang berambut merah muda (dan berdada besar, catat itu), kali ini seseorang berambut merah darah (dan berdada rata, ini penting) yang mengusik minggu paginya yang damai.

"Duduklah," kali ini suara di depannya terdengar tidak sabar.

"Ya, ya, baiklah. Aku duduk," begitu pantatnya menyentuh bangku taman yang terletak di bawah pepohonan yang agak rimbun dan punggung sedikit bersandar, Aomine segera menyarungkan tangannya pada saku jaketnya "nih, puas?" Sungguh, seorang Aomine Daiki tidak mengerti kenapa seorang Akashi Seijuurou menyuruh—ralat, memintanya untuk datang ke taman dan menyuruhnya duduk, —

"Tangan."

—lalu mengulurkan tangan.

"Haaaaah?" Nada kesal jelas terdengar dalam suara Aomine Daiki. Ayolah, musim dingin masih belum berakhir dan seingatnya hari Minggu ini bukan April fool atau semacamnya.

Pemuda di depannya menghela napas pendek, mungkin untuk meredam emosinya atau menahan tatapan mencemooh yang ditujukan padanya dengan tatapan datar seperti biasanya, "kau tidak mendengarku?" Mungkin ini hanya imajinasi Aomine saja, tapi ia seakan bisa mendengar kalimat, "atau kau terlalu bodoh untuk mengerti?" di tiap silabel yang terluncur dari bibir milik seorang Akashi Seijuurou.

"Oi oi, aku bukan anjing yang bisa kau perintah duduk dan tangan seenakmu, Akashi." Meski begitu Aomine membantah, tidak terima dengan perintah Akashi. Masih kesal karena hari Minggu-nya yang damai diusik, bisa jadi.

"Jangan membuatku mengulanginya, Daiki."

"Heh, kau tidak mendengarku, ya." Aomine mengulangi ucapan Akashi barusan, berniat untuk membuatnya kesal, atau lebih bagus lagi kalau dia menyerah dan duduk di sebelahnya. Sayangnya, seorang Akashi tidak gampang tersulut emosinya ataupun mengenal kata menyerah, sehingga usaha Aomine tidak membuahkan hasil. Tidak ada reaksi dari Akashi selain tatapannya ke manik biru Aomine.

"Haaah," berlawanan dengan nada suaranya yang terdengar sangat keberatan untuk menuruti perintah dari sosok di depannya saat ini, Aomine mengulurkan tangannya ke depan, dengan sangat enggan.

Hanya untuk mendapati tangannya diputar sembilan puluh derajat hingga punggungnya menatap langit. Sementara telapak tangannya menyapa telapak tangan yang lebih kecil darinya.

Dingin.

"Hmm."

Menyentuh dagunya dengan tangannya yang lain, pemuda berambut merah di depannya tampak berpikir, menatap tangan mereka yang saling menyentuh sama lain dalam diam. Hingga sekian detik berlalu dan Aomine yang pada dasarnya tidak mempunyai kesabaran berlebih mengeluarkan protesnya lagi.

"Oi, Akashi. Sampai kapan-"

"Sepertinya salah," Akashi menggumam hingga kalimatnya tidak sampai di telinga Aomine, "lupakan saja." Hanya untuk kalimat protesnya dipotong di tengah oleh Akashi. Menjauhkan tangannya dari Aomine, Akashi duduk di sebelah kirinya, tidak terlalu jauh namun juga tidak terlalu dekat.

"Sebenarnya kau sedang merencanakan apa, oi."

"Kau membuatku terdengar seperti orang tidak baik, Daiki," namun ada tawa kecil yang lolos dari bibir pemuda di sampingnya, "bukan hal yang penting."

Aomine memutar kepalanya hingga ia dapat menatap Akashi dengan bingung. Dan meskipun detik menuju menit berlalu, tidak ada tanda bahwa Akashi akan menjelaskan lebih daripada apa yang Aomine dengar. Bersandar pada bangku taman, Aomine menatap tangan kanannya yang beberapa menit yang lalu bersentuhan dengan tangan pemuda di sebelahnya. Mungkin Akashi ingin menggenggam tanganku, sekilas kalimat itu sempat mampir di dalam kepala Aomine. Namun ia segera menggelengkan kepalanya. Tidak, itu tidak mungkin. Ia melirik Akashi di sampingnya, lagi, yang kini menghembuskan udara putih ke kedua tangannya yang setengah terkatup di depannya.

Sejenak Aomine menimbang-nimbang untuk mengulurkan tangannya dan menyentuh tangan itu sekali lagi atau tidak. Tetapi melihat mantan kaptennya terlihat kedinginan membuatnya sedikit menggeser duduknya, mengeliminasi jarak di antara mereka. Sebelum mengulurkan tangan kirinya untuk meraih tangan kanan Akashi dan menggenggamnya, mengaitkan jemari mereka.

"Begini lebih hangat, kan." Kata Aomine singkat tanpa menoleh pada Akashi dan membawa tangannya ke saku jaketnya. Menggenggam tangan Akashi erat di dalam sana.

Rasanya berbeda dengan yang tadi. Akashi bisa merasakan kehangatan menjalar perlahan dari tangannya menuju ke sel-sel tubuhnya. Kehangatan yang membuatnya nyaman dan ia menghela napas lega sembari sedikit menyandarkan punggungnya ke bangku taman.

"Terima kasih, Daiki."

.

...it feels warm and nice.

.

.fin.


AN: Terima kasih untuk altaira-san (uhuk) yang sudah berkenan untuk ngebeta cerita ini~ yeeey~

Lalu... SELAMAT AKAAO DAAAAAAAY dan awal dari akaaoaka month (5 April sampai 4 Juni) (self-claimed)

Terima kasih untuk yang sudah membaca sampai akhir~ ヽ(*⌒∇⌒*)ノ